“Benih cinta tumbuh dari pandangan di kedua matamu. Kemudian, tersirami kebersamaan dan kedekatan. Menjadi indah ketika kita saling tersenyum. Menenangkan.”
Aku berlari secepat kilat, melewati gerbang sekolah dengan selamat. Kuhentikan langkah dengan posisi setengah berdiri dan kedua tangan berada di lutut. Terengah-engah, aku mengembus dan menarik napas. Sedangkan bulir keringat juga mulai menyembul melalui pori-pori kulit di leher dan keningku.
“Wah, wah! Kamu nggak pernah absen terlambat, ya. Setiap hari kamu terus yang jadi langganan.” Pak Satpam berdalih sambil menutup pintu gerbang.
Tak heran. Apa yang dikatakan satpam sekolah tadi memang kenyataan. Meski berkata seperti itu, aku hanya terdiam, tak merespons apa yang dikatakannya.
Ketika napas sudah mulai teratur, dengan perlahan kuhadapkan wajah ke depan. Aku melihat sepasang mata mengerikan dengan segores kerutan di dahi, menatap ke arahku. Sepasang mata tersebut merupakan milik Bu Yuni, seorang guru konseling di SMAN 2 Mataram. Tentunya, ia bertugas memberikan hukuman kepada siswa-siswi yang tidak disiplin sepertiku. Meski memiliki tatapan yang terkesan mengerikan, tetapi tak menutup kemungkinan bahwa ia adalah guru termuda plus tercantik di sekolah ini. Karena pesona Bu Yuni, hampir seluruh siswa laki-laki tergila-gila karenanya. Tak terkecuali diriku.
“Kamu harus ikut Ibu sekarang juga!” Dengan sedikit penekanan nada suara dan tatapan tajamnya, aku tahu ke mana akan dibawa.
Nggak salah lagi. Pasti kena hukum, nih!
Di dalam ruang konseling, aku berdiri dan bergeming di hadapan semua guru yang ada. Sedikit gemetar, karena sebentar lagi aku pasti akan dikenakan sanksi atas ketidakdisiplinanku.
“Jadi, alasan kamu apa lagi hari ini, Rio?!” Bu Yuni bertanya, menatap kecewa dan sepertinya ada rasa bosan karena terlalu sering melihatku datang terlambat. Menyilangkan tangan dan bersandar pada kursi empuknya.
“Ma-maaf—”
“Maaf tidak akan menyelesaikan masalah, Rio!” Guru cantik ini memotong kalimatku dengan lugas. Sesekali ia melenguh dengan pasrah.
Bibirku sudah sepenuhnya tak dapat mengurai kata-kata. Kenyataannya, aku memang sudah sering kali terlambat dan melontarkan alasan yang sama setiap hari. Alasan seperti: telat bangun, macet, dan lainnya sudah tidak mempan di hadapan guru cantik ini.
“Bagaimana, Rio? Apa alasan kamu hari ini? Kenapa cuma diam saja?” Bu Yuni membuyarkan lamunanku saat mencoba memikirkan sebuah alasan yang pas untuk mengelak
Apa boleh buat, nih.
“Pahlawan datang ketika musuh sudah membunuh korban. Polisi datang ketika kecelakaan sudah terjadi. Menurutku, keterlambatan adalah keadilan, Bu!” aku berdalih dengan tampang sok keren. Senyumku mengembang. Bangga dengan kata-kata bijak yang baru saja kulontarkan. Ya, tentu saja.
“Jangan ngomong seenaknya! Sudahlah!” Bu Yuni menghela napas kekecewaan. “Ibu akan memberikan kamu hukuman sekarang juga, Rio.” Tanpa sedikit mempertimbangkan, ia menyodorkan selembar kertas padaku. Tentunya, secarik kertas tersebut sudah tak asing di kedua mata. Kertas yang kumaksud ini berisi sekumpulan nama siswa dan siswi yang datang terlambat atau tidak disiplin berdasarkan aturan sekolah. Dengan kata lain, absensi siswa terlambat.
“Dengan ini, kamu sudah terlambat 5 hari berturut-turut. Sekarang, tulis namamu di kertas itu!” Ia memerintahkan dengan nada suara yang mengandung suatu kekecewaan. Sesekali melenguh kesal.
Ya, tentu saja. Aku tidak menyalahkan lenguhan kesalnya. Aku tahu diri bahwa selama ini selalu terlambat.
Aku segera duduk di sebuah kursi, kemudian mulai menulis nama pada kertas yang disodorkan guru bertubuh elok tersebut.
“Bu ... ini daftar hadir yang sudah ditandatangani hari ini.”
Sebuah suara terdengar begitu lembut. Membuatku begitu ingin melihat sang empunya suara.
Dengan segera kupercepat gerakan tangan dan menyelesaikan goresan tinta di atas kertas. Perlahan, kutolehkan pandangan pada sesosok gadis yang kaya akan pesona. Seketika itu juga, mata kami saling bertemu satu sama lain. Namun, karena merasa malu, aku kembali menolehkan pandangan ke posisi semula.
Aku mengenal gadis ini. Atau lebih tepatnya, aku tahu. Gadis cantik ini merupakan salah satu siswi kelas khusus yang memiliki kemampuan super cerdas. Aku tahu karena sering kali mendengar siswa-siswa di kelasku membicarakannya. Sama seperti gadis-gadis, laki-laki di kelasku juga sangat hobi bergosip. Tentunya, mereka hanya menggosipkan gadis-gadis super populer di sekolah.
“Apa kamu sudah selesai?!” Bu Yuni tiba-tiba menghamburkan fantasiku tentang gadis super populer tadi.
Dengan cepat kutolehkan pandangan pada Bu Yuni. “Sudah selesai, Bu,” aku menjawab seraya menyodorkan kembali kertas absensi siswa terlambat yang telah diisi dengan namaku.
“Baiklah. Karena kamu terlambat lagi hari ini, Ibu akan memberikan kamu hukuman untuk berlari di lapangan basket sebanyak 30 kali putaran.”
Waduh! Tiga puluh kali?!
“Rio, apa kamu mengerti?!” lanjutnya dengan tegas. Seperti biasa, tatapan matanya selalu tajam dan mengerikan.
“Mengerti, Bu!”
Aku menjejakkan langkah menuju lapangan basket dan mengalungkan sebuah kertas bertuliskan, “Aku terlambat hari ini. Aku pantas mendapatkan hukuman ini!”
Aku menjalani hukumanku dengan berlari mengitari lapangan basket. Sepuluh kali memutar saja sudah membuatku begitu letih. Keringat bercucur di seluruh tubuh hingga seragam pun basah kuyub. Napasku tersengal-sengal tiada henti.
Karena Bu Yuni terus mengawasi dari ruang konseling, aku tak dapat mencuri waktu untuk mengistirahatkan kedua kaki yang sudah terasa sangat pegal. Tentu, aku terus berlari. Sedangkan, detak jantungku berontak. Tenggorokanku juga rasanya telah kering.
Beberapa saat, kutolehkan lagi kedua mata ke ruang konseling. Bu Yuni menghilang entah ke mana. Mungkin bosan atau semacamnya. Oleh sebab itu, aku dapat beristirahat sejenak. Napas yang tak karuan menandakan bahwa aku sudah sampai pada batas kemampuan.
Aku menjongkok sembari kedua tangan kuletakkan pada lutut. Dalam beberapa waktu, kutengadahkan pandangan ke lantai dua yang merupakan kelas siswa-siswi super cerdas. Dan suatu kebetulan, aku melihat sesosok gadis sedang memandang ke arahku dari atas sana.
Itu kan cewek yang tadi di ruang konseling. Dia lagi merhatiin aku atau cuma aku yang kepedean, ya? Batinku mulai penasaran.
Gadis itu mulai menyadari tatapanku yang tertuju padanya, lalu segera menoleh, berbalik badan dan masuk ke dalam kelasnya.
Ketika pikiran sedang asik-asiknya bergentayangan di alam fantasi, sebuah tangan menepuk bahuku. Kulihat lagi kedua mata tajam itu. Keningnya mengerut, lantas bertanya, “Apa kamu sudah selesai, Rio?”
“I-iya, Bu,” aku menjawab dengan gagap. Berdiri tegak dengan cepat.
“Kalau begitu, kamu sudah boleh masuk ke kelas,” tandas Bu Yuni asal percaya.
Tentu saja, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, lalu segera melangkah pergi dari hadapan sang guru.
Hukuman menyebalkan sudah berakhir. Namun, karena masih berlangsung jam pelajaran kedua, maka aku menyempatkan diri menjejak ke kantin sekolah untuk membeli sebotol minuman dingin demi membasahi tenggorokan yang terasa kering. Selepas itu, aku menuju tempat tongkrongan favoritku, tempat di mana aku biasa menghabiskan waktu isitrahat dari awal menjadi siswa di sekolah ini. Tempat tersebut tak jauh dari kantin sekolah. Suasana yang sepi dan nyaman. Ya, sangat cocok untukku yang merupakan lelaki penyendiri.
--xxx--
Bel tanda pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Aku bergegas menuju kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.Seperti biasa, saat kaki mulai memasuki pintu kelas, semua pandangan menjijikkan, kurasa, tertuju padaku. Ini hal yang biasa. Jadi, tak terlalu kupikirkan. Aku segera duduk pada bangku kesayanganku yang berada di pojok kiri deretan paling belakang. Selain menjadi tak terlihat, aku juga bisa mendengarkan siswa-siswi di kelas ketika membicarakan hal-hal yang buruk tentang orang lain. Pun bisa tidur dengan bebas ketika sedang malas memperhatikan guru yang mengajar.Capek banget hari ini.Aku mulai dengan menyentuhkan pipi di atas meja. Dengan mata yang sayu, lelah sehabis berlari di lapangan basket, aku terlelap dan tak sadarkan diri.--xxx--Beberapa menit mungkin telah berlalu. Kubuka kedua mata dengan perlahan, kemudian menolehkan pandangan ke depan. Meja guru di depan papan tulis kudapati telah kosong.Lo
“Keindahan itu tercipta di kedua mata, kemudian menjadi puing-puing kenangan yang terabadikan.”Aku melangkah pelan dengan segores senyum yang kali pertamanya terpahat di wajah. Ketika menjejakkan langkah melewati koridor kelas, seseorang menyerukan namaku. Kutolehkan pandangan dan mencari sumber suara. Sang empunya suara ternyata Bu Yuni. Ia berdiri di depan ruang konseling di sebelah barat.“Ada apa, Bu?” aku bertanya setelah berada di hadapan sang guru sejuta pesona.“Tumben kamu datang sepagi ini?” Ia berucap seakan tak percaya. Menatap wajahku yang menggores senyum dengan lekat.“Memang salah kalau datang sepagi ini, Bu?”“Tidak. Itu malah bagus, kok.” Bu Yuni tersenyum manis kemudian. “Oh iya. Ibu bisa minta tolong?” sambungnya.“Minta tolong apa, Bu?”“Tolong kamu antarkan d
Sepulang sekolah, di dalam ruangan kosong ber-AC, aku dan seorang guru saling berhadapan. Aku berniat memenuhi janji untuk memberikan jawaban kepadanya jika sudah memikirkan dengan matang tawarannya tempo hari. Guru bernama Sri itu menawarkan padaku untuk memasuki program khusus Teknologi Informatika. Walau bisa dibilang bahwa aku menyukai dan sedikit ahli dalam bidang teknologi, tapi belum saatnya aku disibukkan dengan hal-hal semacam itu. Apalagi beban pikirannya sangat berat.“Jadi, bagaimana keputusan kamu, Nak?” Bu Sri bertanya sambil menatapku penuh harap. Aku tertunduk, tak mampu menyorotkan tatapan mengecewakanku.“Maaf, Bu. Saat ini saya belum bisa menerima tawaran Ibu. Sekali lagi maaf.”Mendengar jawabanku yang memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia mendesah pelan. “Baiklah kalau begitu. Kalau kamu berubah pikiran nanti, kamu bisa langsung ngomong sama Ibu, ya.” Pandangannya sekarang mengandung sebuah ke
“Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.&ldquo
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
“Seiring berlalunya waktu, kebersamaan kita menjadi benih-benih penumbuh cinta di antara kita. Sejuta senyum dan air mata yang kita lalui, tak akan membuatku berpaling dari cinta kokohmu.”Satu setengah tahun aku dan Clara resmi menjadi sepasang kekasih. Tak pernah bisa terbayang, kini aku telah menjadi milik sesosok gadis perhatian tersebut. Satu setengah tahun sudah tercipta kenangan-kenangan indah dan pahit dalam ikatan kami. Terabadikan di dalam memori jangka panjang.Kini aku juga sudah menduduki bangku kelas 12 SMA. Setengah tahun lagi masa putih dan abuku berakhir. Aku sudah menentukan rencana masa depan. Apa yang ingin kuraih. Alasan apa yang membuatku ingin menggapai mimpiku telah kuperhitungkan segalanya.Pagi ini aku tak lagi berangkat sekolah seorang diri. Melainkan selalu bersama Clara dengan si merah semenjak hari di mana kami resmi menjalin hubungan asmara. Setiap hari a
Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d
Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto
“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad
Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw