“Keindahan itu tercipta di kedua mata, kemudian menjadi puing-puing kenangan yang terabadikan.”
Aku melangkah pelan dengan segores senyum yang kali pertamanya terpahat di wajah. Ketika menjejakkan langkah melewati koridor kelas, seseorang menyerukan namaku. Kutolehkan pandangan dan mencari sumber suara. Sang empunya suara ternyata Bu Yuni. Ia berdiri di depan ruang konseling di sebelah barat.
“Ada apa, Bu?” aku bertanya setelah berada di hadapan sang guru sejuta pesona.
“Tumben kamu datang sepagi ini?” Ia berucap seakan tak percaya. Menatap wajahku yang menggores senyum dengan lekat.
“Memang salah kalau datang sepagi ini, Bu?”
“Tidak. Itu malah bagus, kok.” Bu Yuni tersenyum manis kemudian. “Oh iya. Ibu bisa minta tolong?” sambungnya.
“Minta tolong apa, Bu?”
“Tolong kamu antarkan daftar hadir ini ke kelas khusus! Bisa?” Bu Yuni berkata sembari memberikan secarik kertas yang merupakan absensi untuk diisi oleh siswa.
Karena mendengar kata ‘kelas khusus’, aku akhirnya menerima permintaan tersebut, memacu semangatku yang semakin menggelora. Dan salah satu alasanku juga karena ingin melihat wajah ayu milik sesosok gadis bernama Kalisa itu, tentunya.
Senyumku bertambah lebar, hatiku dag, dig, dug sudah tak sabar. Ketika sampai, aku berdiri di depan ruang kelas khusus. Kalisa yang pada saat itu berada di dalam kelasnya, menyadari kehadiranku, kemudian menjejakkan langkah untuk menghampiri.
“Rio?! Ada apa?” Kalisa bertanya setelah berdiri di hadapanku.
“I-Ini daftar hadirnya. Bu Yuni nyuruh aku nganterin ini,” aku menjawab dengan terbata-bata. Faktanya, aku memang belum bisa beradaptasi untuk berkomunikasi dengan Kalisa.
“Oh. Terima kasih ya, Rio,” ucap Kalisa dengan tulus. Lesung pipit di kedua pipinya tampak begitu manis. Wajahku pun memerah saat memandanginya.
Entah disengaja atau tidak, tangan kami saling berbenturan ketika Kalisa mengambil absensi dari tanganku. Kutolehkan tatapanku pada Kalisa. Kedua pipinya memerah. Ia lalu tertunduk malu menyembunyikan wajahnya.
“Kalau gitu, aku masuk ke kelas dulu, ya,” aku berlirih kemudian.
Sebenarnya, aku sangat ingin berlama-lama, tetapi aku tahu bahwa suasana canggung benar-benar membuat semuanya tidak nyaman.
--xxx--
Kelas terdengar gaduh seperti biasa. Beberapa dari siswa ada yang menggosipkan teman dekat mereka. Beberapa dari mereka ada yang saling pamer pengalaman berpacaran dan semacamnya. Entah mengapa aku tak bisa mempunyai seorang teman. Dan aku benci ketika harus memikirkannya. Terkadang, aku pikir itu hanya karena diriku yang aneh dan tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi, faktanya aku sudah pernah mencoba beberapa kali, komunikasi yang susah payah kubangun tidak pernah dapat menyambung hubungan pertemananku.
Setelah bunyi bel terdengar beberapa kali, jam pelajaran pertama akhirnya dimulai dengan mata pelajaran matematika. Pelajaran membosankan bagi sebagian besar siswa, tentunya. Pelajaran yang begitu mudahnya membuat mata terkantuk-kantuk. Pun pelajaran yang cepat bikin frustasi.
--xxx--
“Rio?!” Kalisa menyadari kehadiranku yang pada saat itu berada di sampingnya ketika sedang memilih beberapa makanan di kantin.
“Kalisa?”
“Mau beli apa, Rio?” Kalisa bertanya.
“Cuma beli roti sama ini, teh botol aja, kok,” aku menjawab, kemudian mengambil beberapa roti dan minuman dingin yang sudah tersedia pada tempatnya. “Aku duluan, ya!” lanjutku sembari membawa sekantong roti dan minuman dingin setelah membayarnya pada Mbok penjaga kantin.
“Kamu nggak makan di sini?”
“Nggak. Aku ada tempat biasa, kok.”
“Kalau gitu, aku boleh ikut kamu nggak?”
Aku terkejut atas pertanyaan itu. Serius. Kenapa? Itu karena aku akan berada di tempat yang sangat sepi, yang di mana nanti aku hanya akan berdua dengan Kalisa. Dan dia seorang gadis.
“Gimana, Rio?” tanya lagi Kalisa, meminta jawaban dariku.
“Bo-boleh, kok,” aku menjawab akhirnya, lalu melangkah.
Kalisa mengikuti langkah kakiku seraya bertanya, “Kenapa nggak makan di kantin?”
“Nggak kenapa-kenapa. Aku nggak biasa aja makan di tempat yang ramai. Rasanya juga lebih nikmat kalau makan sendiri,” aku menjawab tanpa menoleh ke arah Kalisa.
“Jadi, kamu setiap hari selalu makan sendiri?”
“I-iya begitulah,” aku menyetujui, “sudah sampai! Di sini tempat favorit aku, Sa.” Aku duduk pada landasan anak tangga di bekas bangunan musolla.
Kedua mata Kalisa sibuk mengitari sekeliling. Ditelitinya. Sampai akhir pandangannya tertuju padaku. Kalisa segera mengambil posisi di dekatku dan berkata, “Oh, di sini.” Kalisa berlirih, lantas mengangguk.
Karena Kalisa duduk di sampingku, aku menggeser pantat untuk memberikan beberapa jarak agar tidak terlalu dekat denganku. Bukan apa-apa, sih. Hanya saja, aku tidak terbiasa begitu dekat dengan gadis. Apalagi gadis bidadari surga secantik Kalisa. Perumpamaanku memang agak berlebihan, tetapi sungguh aku bahkan tidak pernah bertemu atau berbicara langsung dengan gadis secantik dia. Itulah mengapa aku mengumpamakan dia seperti seorang bidadari yang diturunkan Tuhan, yang sepertinya akan mengubah hidupku ke depannya.
Kalisa mengeluarkan makan dan minum yang sudah dibelinya di kantin. Satu roti bakar, beberapa snack makanan ringan, dan satu kotak minuman dingin rasa strawberry. Kalisa mulai menyantap satu per satu.
Makan sama cewek secantik Kalisa, apa pun makanannya, pasti minumnya akan terasa enak.
Tak bisa kubayangkan, kehidupanku yang dulunya tak pernah dihiasi oleh kisah cinta, ternyata akan memulai semuanya sejak saat ini.
Dari pengalaman kesendirian, aku dapat terbiasa hidup seorang diri, bahkan melakukan segalanya seorang diri. Wajar saja jika aku mengharapkan beberapa teman di dalam hidupku. Aku tidak akan selamanya bisa melakukan segala sesuatu seorang diri, maka dari itu aku sadar bahwa manusia tidak pernah bisa hidup tanpa orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Saling membantu dan bergotong royong, seperti itulah realisasi makhluk sosial seperti yang kupelajari pada mata pelajaran IPS.
Bahagia. Mungkin itu adalah kata yang mampu mendefinisikan suasana hatiku. Aku ingin tak percaya, tapi kutahu bahwa ini bukanlah mimpi. Ada banyak sekali perasaan yang bercampur aduk dalam hati. Seketika itu juga, bel waktu istirahat berakhir sudah berbunyi. Perasaan jengkel pun kini ikut hadir.
Aku sadar bahwa aku tidak ingin terlalu hanyut di dalam kebahagiaanku sendiri. Aku meyakini satu hal bahwa kebahagiaan sangat dekat dengan kepedihan dan begitu juga sebaliknya.
Karena bel menyebalkan itu sudah berbunyi, sudah saatnya bagiku dan Kalisa untuk masuk ke kelas masing-masing. Kalisa menghela napas panjang setelah menghabiskan minumannya. Kemudian, ia mendongakkan kepala, menatap langit biru terhiasi sang awan yang putih dan cerah. Ia menurunkan pandangannya kembali padaku seraya berkata, “Aku balik ke kelas dulu ya, Rio.”
“Oke, deh,” aku menyetujui.
Kalisa berdiri, sementara aku masih terpaku. “Kamu nggak ikut sekalian?”
“Aku nanti aja deh, Sa.”
Setelah mendengar jawabanku, Kalisa menganggukkan kepala sebagai tanda perpisahan. Aku membalasnya dengan senyum tipis atas rasa syukurku. Perempuan ayu itu pun pergi. Kupandangi tubuh indahnya sejenak, sampai akhirnya ia berbelok menuju lorong bangunan sekolah. Kalisa sudah sepenuhnya hilang dari pandanganku, tetapi bibirku tersenyum tanpa kusadari.
--xxx--
Sepulang sekolah, di dalam ruangan kosong ber-AC, aku dan seorang guru saling berhadapan. Aku berniat memenuhi janji untuk memberikan jawaban kepadanya jika sudah memikirkan dengan matang tawarannya tempo hari. Guru bernama Sri itu menawarkan padaku untuk memasuki program khusus Teknologi Informatika. Walau bisa dibilang bahwa aku menyukai dan sedikit ahli dalam bidang teknologi, tapi belum saatnya aku disibukkan dengan hal-hal semacam itu. Apalagi beban pikirannya sangat berat.“Jadi, bagaimana keputusan kamu, Nak?” Bu Sri bertanya sambil menatapku penuh harap. Aku tertunduk, tak mampu menyorotkan tatapan mengecewakanku.“Maaf, Bu. Saat ini saya belum bisa menerima tawaran Ibu. Sekali lagi maaf.”Mendengar jawabanku yang memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia mendesah pelan. “Baiklah kalau begitu. Kalau kamu berubah pikiran nanti, kamu bisa langsung ngomong sama Ibu, ya.” Pandangannya sekarang mengandung sebuah ke
“Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.&ldquo
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,
“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad
“Seiring berlalunya waktu, kebersamaan kita menjadi benih-benih penumbuh cinta di antara kita. Sejuta senyum dan air mata yang kita lalui, tak akan membuatku berpaling dari cinta kokohmu.”Satu setengah tahun aku dan Clara resmi menjadi sepasang kekasih. Tak pernah bisa terbayang, kini aku telah menjadi milik sesosok gadis perhatian tersebut. Satu setengah tahun sudah tercipta kenangan-kenangan indah dan pahit dalam ikatan kami. Terabadikan di dalam memori jangka panjang.Kini aku juga sudah menduduki bangku kelas 12 SMA. Setengah tahun lagi masa putih dan abuku berakhir. Aku sudah menentukan rencana masa depan. Apa yang ingin kuraih. Alasan apa yang membuatku ingin menggapai mimpiku telah kuperhitungkan segalanya.Pagi ini aku tak lagi berangkat sekolah seorang diri. Melainkan selalu bersama Clara dengan si merah semenjak hari di mana kami resmi menjalin hubungan asmara. Setiap hari a
Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d
Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto
“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad
Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw