Home / Young Adult / Di Antara Dua Hati / Keinginan yang Tumbuh

Share

Keinginan yang Tumbuh

Author: Momoy
last update Last Updated: 2021-04-20 17:58:35

Sepulang sekolah, di dalam ruangan kosong ber-AC, aku dan seorang guru saling berhadapan. Aku berniat memenuhi janji untuk memberikan jawaban kepadanya jika sudah memikirkan dengan matang tawarannya tempo hari. Guru bernama Sri itu menawarkan padaku untuk memasuki program khusus Teknologi Informatika. Walau bisa dibilang bahwa aku menyukai dan sedikit ahli dalam bidang teknologi, tapi belum saatnya aku disibukkan dengan hal-hal semacam itu. Apalagi beban pikirannya sangat berat.

“Jadi, bagaimana keputusan kamu, Nak?” Bu Sri bertanya sambil menatapku penuh harap. Aku tertunduk, tak mampu menyorotkan tatapan mengecewakanku.

“Maaf, Bu. Saat ini saya belum bisa menerima tawaran Ibu. Sekali lagi maaf.”

Mendengar jawabanku yang memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia mendesah pelan. “Baiklah kalau begitu. Kalau kamu berubah pikiran nanti, kamu bisa langsung ngomong sama Ibu, ya.” Pandangannya sekarang mengandung sebuah kekecewaan.

“Saya permisi.” Aku segera keluar dari ruangan Bu Sri.

Entah mengapa, aku merasa sangat bersalah telah membuat keputusan yang mengecewakan. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tak bisa memaksa ketidakinginanku menjadi keinginan. Setidaknya, aku butuh sebuah motivasi dulu untuk menerima tawaran itu. Tetapi, nyatanya aku memang tidak punya motivasi. Kemudian akhirnya aku membuat orang lain kecewa atas tindakanku.

Sambil berpikir, aku melangkah pelan menuju parkiran sekolah. Kulihat sepeda merah kesayanganku ternyata tertindih sepeda-sepeda lainnya.

Sial! Jadi lecet gini, deh.

Kutunggangi si merah, kemudian keluar dari gerbang sekolah. Ketika melewati gerbang sekolah di sebelah timur, kulihat sesosok gadis yang tampak tak asing. Rambut hitam bergelombang, itu sudah pasti gadis anggun bernama Kalisa. Kuhentikan laju sepedaku tepat di belakang gadis manis tersebut, ia belum menyadari kehadiranku. Tampak sangat jelas bahwa Kalisa sedang menunggu seseorang. Atau mungkin sedang menunggu ayahnya menjemput.

“Kalisa!” panggilku.

Kalisa segera menoleh ke arahku. “Rio?!” Ia terkejut dan matanya membulat. “Lho! Kamu belum pulang?” lanjutnya seraya meneliti diriku.

“Iya ... tadi, aku ada sedikit urusan.” Aku turun dari sepeda.

“Oh, begitu. Sekarang mau ke mana?”

“Tadinya aku mau pulang. Tapi, setelah lihat ada kamu, aku jadi mau nyamperin.” Entah kenapa aku ingin berkata begitu. Ini tidak seperti diriku yang biasanya malu-malu kucing saat berbicara dengan lawan jenis.

Mendengar perkataanku yang terlalu jujur seperti tadi, kedua pipi Kalisa memerah. Ia tertunduk malu, kemudian menatapku kembali dan berkata, “Ru-rumah kamu di mana, Rio?”

“Rumah aku, sih, nggak jauh dari sini. Kamu pulang sama siapa, Sa?”

“Aku lagi nunggu dijemput. Tapi, sampai sekarang nggak datang-datang.” Keningnya mengerut. Tiba-tiba dengan wajah tersipu, Kalisa berkata, “A-aku ... bisa pulang sama kamu ... nggak?” Tatapannya tertunduk menghadap tanah. Aku tahu, ekspresi malu-malu kucing gadis seperti ini yang tak seorang lelaki di dunia dapat menolak setelah melihatnya.

“Bo-boleh. Tapi ... sepedaku nggak punya boncengan, Sa.”

“Di depan ... apa nggak bisa?” Kalisa menunjuk kerangka besi yang membentang di antara kemudi dan jok sepeda.

“Di de-depan?!” aku mendadak gagap. Tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari seorang gadis cantik, super populer pula. Benar-benar ide yang gila. Aku hanya takut kalau saja kehidupanku ini bisa berubah menjadi kisah komedi romantis.

Setelah menyadari, Kalisa tampak malu, kedua pipinya kembali memerah.

“Kalau gitu, gimana kalau kita jalan bareng aja?” saran Kalisa kemudian. Ia sepertinya mengalihkan pikiranku untuk memudarkan suasana yang cukup mencekam.

“Ide bagus. Ayo jalan, Sa!”

Kami berjalan beriringan. Besok akan kupasang boncengan, pikirku. Ketika sedang terbuai lamunan-lamunan romantis bersama gadis berpesona anggun itu, Kalisa angkat bicara dan khayalanku pun berhamburan.

“Setiap hari kamu selalu sendiri, ya?” tanya Kalisa sambil terus melangkah.

“I-iya. Apa boleh buat. Dari semester awal, aku emang nggak punya teman yang akrab sama aku, Sa.”

“Terus kenapa nggak ngajak teman-teman di kelas kamu berteman?”

“Sudah sering kucoba, kok. Tapi, aku nggak pernah bisa nyambung sama mereka.”

“Oh, gitu.” Kalisa manggut-manggut tanda mengerti.

“Kalau kamu? Apa kamu punya banyak teman?”

Kalisa tertunduk menatap langkah kakinya. Kemudian, dengan perlahan, ia kembali menatap ke depan seraya berkata, “Nggak, Yo. Aku sama sekali nggak bisa akrab dan nggak bisa nyambung ke dalam obrolan mereka.”

“Gi-gimana bisa?! Aku dengar-dengar, kamu punya potensi dan bakat yang bagus dalam setiap mata pelajaran di sekolah. Dengan bakat yang kamu punya, pastinya nggak sulit buat dapat satu teman atau bahkan lebih.” Kutatap wajah manis Kalisa seakan tak percaya apa yang baru saja dinyatakannya.

Dengan menghela napas panjang, Kalisa menjawab, “Itu sama sekali nggak berlaku buat aku, Rio. Mereka kayaknya iri gitu sama aku. Bahkan, mereka kadang-kadang membenci sesuatu yang nggak mereka punya. Hasilnya, mereka juga membenci orang-orang yang nggak punya kemampuan sama sekali.”

Sangat jelas penderitaan di wajahnya. Memang, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Mungkin juga Kalisa mempunyai dendam dan perasaan benci akan hal tersebut untuk beberapa alasan yang ia yakini.

Aku yang tengah mendengar perkataan gadis sejuta pesona itu, hanya bisa membisu dan terus melangkah. Tidak terasa waktu dan langkah kami sudah sangat jauh. Pada akhirnya, kami sampai di sebuah persimpangan jalan dan harus memisahkan kami.

“Rio. Terima kasih sudah mau jalan bareng. Rumahku sudah nggak jauh dari sini. Kalau gitu, sampai ketemu di sekolah, ya!” Sambil melambaikan tangan, gadis bernama Kalisa segera menyeberangi persimpangan jalan. Sementara itu, aku masih terdiam. Kuanggukkan kepala tanda setuju pada gadis berhidung mungil itu.

Siapa yang akan mengira gadis cantik yang dianugerahi kecerdasan seperti Kalisa ternyata menyimpan sebuah kepedihan yang mendalam? Tidak ada yang sempurna. Kata-kata itu terus terpikirkan di benakku. Seseorang diberikan kelebihan, tapi pada akhirnya memiliki kekurangan dalam hal lainnya. Namun, inilah hidup. Percuma menyalahkan hidup, dunia akan terus berputar, tak peduli kita menangis atau tertawa. Karena dunia tidak pernah baik pada siapa pun.

Kutunggangi si merah, lalu berbelok ke kiri pada persimpangan jalan. Entah mengapa pengakuan Kalisa itu membuat hatiku tersentuh. Padahal, aku juga adalah orang yang bernasib seperti dirinya, yang tidak mempunyai teman dan selalu sendiri.

Karena terbuai pikiran-pikiran aneh, aku tak menyadari seseorang sedang mencoba menyeberangi jalan. Begitu tersadar, aku terkesiap, lalu membanting kemudi sepeda ke kanan. Anehnya, ada sebuah mobil melintas. Mobil hitam elegan itu segera mengerem secara mendadak. Alhasil, aku terempas ketika mobil menghantam tubuhku.

Pandanganku buram dan kepalaku terasa pening. Perlahan-lahan, kupejamkan kedua mata, semua jadi gelap gulita hingga akhirnya ditelan oleh kegelapan.

--xxx--

Aku membuka kedua mata secara perlahan. Namun, jidat, tangan, serta kaki kananku sudah tampak dibalut perban. Di dalam sebuah ruangan yang aromanya memang sudah sangat kukenal, salah satu ruangan di rumah sakit Kota Mataram, seorang perempuan berjalan masuk. Wajah beserta senyumnya menampakkan kesedihan, tapi ada juga mimik kelegaan. Ia adalah Lina, adik perempuanku satu-satunya yang masih duduk di bangku SMP.

Lina mendekat ke ranjangku. Sebuah kantong plastik ditaruhnya di atas meja. Lina duduk di samping ranjang seraya berkata, “Kakak sudah sadar?”

“Memang kamu ngelihatnya kayak gimana?”

“Sewot amat. Kak! Ada yang jengukin, tuh. Katanya teman sekolah Kakak,” kata Lina. Ia kemudian menoleh ke pintu masuk ruangan. “Silahkan masuk, Kak!”

Sesosok gadis cantik berambut hitam gelombang. Dengan membawa setangkai bunga, ia berjalan ke arahku. Tentunya, gadis pertama yang menjadi temanku, tak lain gadis bernama Kalisa.

“Kalau gitu, Lina tunggu di luar, Kak. Semoga sukses!” Lina tampak seru. Oke, aku tahu ini karena sesuatu yang sangat langka sehingga Lina bisa melihatku dekat dengan seorang perempuan. Apalagi gadis yang dekat denganku ialah Kalisa, yang merupakan gadis sempurna dan super cerdas, ditambah cantik yang tiada tara.

“Sip!”

Lina segera melangkah ke luar ruangan seraya berkata pada Kalisa, “Masuk aja, Kak! Nggak apa-apa, kok.”

“Iya, terima kasih,” balas Kalisa tersenyum tipis.

Kalisa duduk di sampingku. Ia menarik napas, tampak seperti mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu.

“Ja-jadi, keadaan kamu gimana, Yo?” Gadis manis tersebut menyorotkan pandangan pada beberapa tambalan luka di tubuhku.

“Aku sudah nggak apa-apa, kok. Cuma pusing dikit aja, Sa,” jawabku sembari memegangi kepala yang tengah terbalut perban.

“Maaf, ya, Yo. Semua ini gara-gara aku.” Terlihat sangat jelas mimik wajahnya yang begitu cemas. Perasaan bersalah membalutnya.

“Bukan! Ini bukan gara-gara kamu, kok! Kenapa kamu mikirnya kayak gitu? Ini sudah jadi takdir aku, Sa.” Kutatap Kalisa. Sedangkan gadis cerdas itu hanya menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan bersalahnya. Ketika gadis bagai bidadari itu mengangkat wajah, mata kami saling bertemu satu sama lain. Oke, suasana canggung pun dimulai. Aku akhirnya salah tingkah.

Jauh di balik jendela ruangan, Lina mengintip kami yang tak tahu harus bersikap bagaimana. Kupandangi sepasang mata milik Lina. Begitu lugas Lina menjulurkan lidah, mengejekku yang terlihat begitu bodoh di hadapan Kalisa.

Untuk memudarkan suasana canggung, Kalisa angkat bicara, “Karena aku nggak tahu harus bawa apa, jadi aku cuma bawa ini, Yo,” katanya seraya menunjukkan sebuket bunga indah yang dibawanya, tetapi aku tak mampu meraihnya.

“Nggak bawa apa-apa pun sudah bikin aku senang kok, Sa!” cetusku segera. Kalisa terdiam, kemudian menatap kedua mataku lagi.

“Aku taruh di sini aja bunganya, ya?” Kalisa meletakkan bunga tersebut pada sebuah vas di atas meja.

“Iya. Makasih, Sa. Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana kalau aku kecelakaan?”

“Kemarin, waktu aku lagi ngembaliin absensi ke ruang konseling, aku nggak sengaja dengar pembicaraan Bu Yuni sama adik kamu yang pada waktu itu ngantarin surat keterangan dokter. Waktu aku nyobain masuk ke dalam obrolan mereka dan bertanya, ternyata benar kalau yang mereka bahas saat itu adalah kamu. Akhirnya aku minta nomor handphone adik kamu dan tanya alamat rumah sakit tempat kamu dirawat,”  jelas Kalisa menerangkan.

Mendengar penjelasan Kalisa, aku tak tahu harus merespons seperti apa. Karena mengetahui Kalisa ternyata diam-diam mengkhawatirkan keadaanku, tentu aku sangat senang. Baru kali ini seorang gadis seumuranku begitu cemas dengan keadaanku.

“Intinya Kak Kalisa ini adalah cewek pertama yang benar-benar mengkhawatirkan Kak Rio!” seru Lina sembari berdiri di samping Kalisa.

“Memang sudah berapa hari aku di rumah sakit ini?”

“Cuma dua hari, Kak. Kalau berhari-hari, kayaknya Kakak nggak bisa diselamatkan, tuh,” canda Lina, kemudian terkikik.

“Jadi, Lina nggak sayang sama Kakak sampai-sampai senang lihat Kakak berbaring di sini?” balasku tak mau kalah dengan Lina.

“Nggak, Kak. Aku sayang kok sama Kakak,” kata Lina sambil tersenyum tulus. Ia kembali terkekeh.

Sementara aku dan Lina saling bercanda seperti layaknya kakak-beradik yang benar-benar akrab, Kalisa bangkit seraya berkata, “Rio. Aku pulang dulu, ya. Semoga kamu lekas sembuh. Aku tunggu kehadiran kamu di sekolah.”

Gadis cantik nan anggun itu pun berbalik arah, kemudian melangkah keluar dari ruangan.

“Terima kasih, Sa,” ucapku sambil memperhatikan Kalisa. Sebelum melewati pintu, ia sempat menoleh, melemparkan sebuah senyuman yang begitu hangat.

Sungguh, aku tidak tahu apa arti senyum yang ia berikan. Memang hangat, tetapi ada perihal yang begitu mengganjal di bola matanya. Tampaknya Kalisa sedang mempunyai masalah serius yang tentu tak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun.

Aku pikir, luka-luka di tubuhku tidak seberapa dengan luka yang ditanggung oleh Kalisa. Luka di tubuh memang sakit, tetapi dapat hilang dan kita akan dengan cepat melupakan rasa sakitnya. Sedangkan, luka di hati yang ditanggungnya, apakah bisa hilang dan dilupakan dalam waktu singkat? Entahlah, apakah luka di hati juga memiliki penawar. Ketika pikiran itu menghantuiku, terselip sebuah pertanyaan. Dapatkah aku menjadi penawar untuk sekadar meringankan luka di hatinya? Di sisi lain, ketidakberdayaanku menolak. Apa yang bisa dilakukan oleh orang sepertiku yang juga punya luka sama seperti Kalisa?

Oh, Tuhan. Aku tak minta banyak. Aku hanya ingin ada di sisinya tatkala kepedihan ingin membelainya ....

--xxx--

Related chapters

  • Di Antara Dua Hati   Gadis Baru

    “Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.&ldquo

    Last Updated : 2021-04-20
  • Di Antara Dua Hati   Kurasa, Semua Semakin Rumit

    Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw

    Last Updated : 2021-04-20
  • Di Antara Dua Hati   Di Antara Dua Perempuan

    “Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga

    Last Updated : 2021-05-10
  • Di Antara Dua Hati   Dia Clara, Perempuan yang Tegar

    6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata

    Last Updated : 2021-05-10
  • Di Antara Dua Hati   Tak Hanya Memiliki Dia

    Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--

    Last Updated : 2021-05-10
  • Di Antara Dua Hati   Kenyataan Pahit yang Harus Ditelan

    Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,

    Last Updated : 2021-05-10
  • Di Antara Dua Hati   Semua Tak Baik-Baik Saja

    “Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad

    Last Updated : 2021-05-15
  • Di Antara Dua Hati   Bahkan Adikku Merasa

    Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto

    Last Updated : 2021-05-15

Latest chapter

  • Di Antara Dua Hati   Waktu Terus Berjalan

    “Seiring berlalunya waktu, kebersamaan kita menjadi benih-benih penumbuh cinta di antara kita. Sejuta senyum dan air mata yang kita lalui, tak akan membuatku berpaling dari cinta kokohmu.”Satu setengah tahun aku dan Clara resmi menjadi sepasang kekasih. Tak pernah bisa terbayang, kini aku telah menjadi milik sesosok gadis perhatian tersebut. Satu setengah tahun sudah tercipta kenangan-kenangan indah dan pahit dalam ikatan kami. Terabadikan di dalam memori jangka panjang.Kini aku juga sudah menduduki bangku kelas 12 SMA. Setengah tahun lagi masa putih dan abuku berakhir. Aku sudah menentukan rencana masa depan. Apa yang ingin kuraih. Alasan apa yang membuatku ingin menggapai mimpiku telah kuperhitungkan segalanya.Pagi ini aku tak lagi berangkat sekolah seorang diri. Melainkan selalu bersama Clara dengan si merah semenjak hari di mana kami resmi menjalin hubungan asmara. Setiap hari a

  • Di Antara Dua Hati   Selalu Ada Alasan

    Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d

  • Di Antara Dua Hati   Bahkan Adikku Merasa

    Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto

  • Di Antara Dua Hati   Semua Tak Baik-Baik Saja

    “Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad

  • Di Antara Dua Hati   Kenyataan Pahit yang Harus Ditelan

    Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,

  • Di Antara Dua Hati   Tak Hanya Memiliki Dia

    Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--

  • Di Antara Dua Hati   Dia Clara, Perempuan yang Tegar

    6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata

  • Di Antara Dua Hati   Di Antara Dua Perempuan

    “Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga

  • Di Antara Dua Hati   Kurasa, Semua Semakin Rumit

    Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw

DMCA.com Protection Status