“Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”
Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.
Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.
“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.
“Iya? Kenapa?” tanyaku kemudian.
Sementara itu, kedua orang tuaku mulai menghampiri diriku yang sedang terpaku di atas ranjang. Tentu ada suatu kecemasan di wajah mereka yang menyelinap masuk melalui pikiran-pikiran buruk tentang keadaanku.
“Nak, maafkan kami yang baru saja bisa datang.” Ayah mengelus-elus pundakku. Raut wajahnya menunjukkan suatu kelegaan, juga kecemasan.
“Nggak apa-apa, Yah,” aku membalas. Tak keberatan sama sekali. Aku mengerti mereka melakukan pekerjaan mereka hanya untukku dan Lina.
“Kamu sudah bisa jalan kan, Nak?” Ibu bertanya yang duduk di sisi kanan.
“Sudah bisa kok, Bu. Udah nggak sakit lagi.”
“Kalau gitu, ayo kita bawa Kakak ke mobil. Lina tahu, Kakak pasti sudah sangat rindu rumah, kan?” Lina menukas dengan seratus persen keyakinannya.
Hampir aja benar. Tapi, saat ini aku kangennya sama Kalisa.
Dengan dibantu oleh kedua orang tua, aku berhasil masuk ke mobil. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan sendiri, tetapi karena kecemasan orang tuaku terlalu berlebihan, mereka membantuku seperti orang yang sakit parah dan tak bisa berjalan. Memang sesuatu yang wajar jika orang tua mengkhawatirkan anaknya.
Entah sudah berapa lama, kami akhirnya sampai di rumah. Mobil berhenti tepat di depan gerbang. Kemudian ayah dan ibuku segera keluar dari mobil. Ketika aku akan memasuki rumah, kulihat seorang gadis yang tak kukenal. Gadis tersebut menatap ke arahku. Ia bersembunyi di dinding-dinding rumah tetangga. Rambut sebahu, tubuhnya ramping, juga cantik. Ketika memperhatikan seragam yang dikenakannya, aku sangat yakin bahwa seragam itu adalah seragam khas sekolahku di SMA Negeri 2 Mataram. Aku sedikit penasaran dengan gadis tersebut, tatapan cemas selalu mengarah padaku.
Mungkin salah satu pengagum rahasiaku kali.
--xxx--
Sesuai rencana, aku bersekolah seperti biasa. Walau dengan tangan yang masih terbalut perban karena luka-lukaku belum sepenuhnya mengering, mau tidak mau aku harus tetap bersemangat. Hari ini sepeda kesayanganku juga masih terbaring lemah di garasi. Dan itu membuatku harus berjalan kaki menuju sekolah.
Langkah demi langkah, detik, menit, sampai akhirnya tak sadar aku sudah tiba di sekolah. Semoga aja Kalisa kangen, batinku sambil senyam-senyum tak karuan.
Karena terbuai lamunan yang romantis-romantis bersama Kalisa, aku tak menyadari bahwa Bu Yuni berkali-kali memanggilku. Begitu tersadar kembali, aku melesat menghampirinya yang sedang berdiri di depan ruang konseling.
“Pagi, Bu!” aku menyapa sembari tersenyum ramah.
“Pagi juga, Rio!” Bu Yuni tersenyum lega. Tak seperti biasanya ia tidak menampakkan wajah mengerikan. “Jadi, kamu sudah mulai bersekolah hari ini? Apa tidak akan jadi masalah nanti? Luka-luka kamu, kan, masih belum sepenuhnya sembuh?” lanjutnya seraya menatap tambalan luka pada kepala dan tanganku.
“Oh, ini? Nggak apa-apa, Bu,” aku membalas sambil memegangi kepala yang terbalut perban.
Kening Bu Yuni mengerut, kemudian bersedekap dan berkata, “Kalau begitu, cepat masuk kelas! Lagi sebentar pelajaran dimulai.”
“Iya, Bu.”
Kelas seperti biasa terdengar gaduh. Aku hanya duduk terpaku, bisu sambil menopang dagu. Sementara itu, siswa-siswi lainnya bergosip ria dan melakukan keributan segala macam. Tentu saja, ini hal yang sangat menyebalkan bagiku. Meskipun tidak seperti siswa-siswi normal lainnya, aku tetap menikmati masa SMA-ku dengan bahagia.
Ketika jam istirahat telah tiba, aku kepikiran untuk mencari Kalisa di kelasnya. Siapa tahu aja dia sudah kangen sama aku, batinku dengan gembira.
Aku tiba di kelas Kalisa, berdiri di samping kelas ini sambil kedua mata menembus, menerawang jendela-jendela kaca. Kedua mataku berusaha menemukan gadis cantik yang kaya akan pesona. Namun, setelah beberapa saat, aku gagal menemukan sosok bidadari tersebut.
Salah seorang siswi yang tampaknya merupakan teman sekelas Kalisa, berjalan keluar dari kelas khusus. Tanya sama dia aja, ah, pikirku.
“Hai. Kamu teman sekelas Kalisa, ya?” Aku memberanikan diri.
Gadis itu berhenti di hadapanku, kemudian menjawab, “Iya, benar.”
“Kalisanya ada nggak, ya?”
“Maaf, sudah seminggu ini Kalisa nggak pernah masuk. Tanpa keterangan lagi. Para guru dan teman-teman yang lain nggak tahu kabar tentang Kalisa.”
Aku terperangah kemudian. Pernyataan gadis tadi mengurai kegelisahan. Harapanku untuk bertemu dengan Kalisa hari ini mungkin hanya akan menjadi sebatas angan-angan.
“Oh, gitu. Makasih, ya,” aku berlirih.
Mengetahui hal tersebut, hatiku tak henti-hentinya membatin. Rasa khawatir dan penasaran terus membayang-bayangi. Hal ini membuatku sadar betapa tidak mengertinya aku tentang kehidupan yang selama ini Kalisa jalani. Tak mungkin hanya karena sakit ia sampai tak mengirim surat.
Pasti ada alasan lain atau masalah lain yang sedang dihadapinya.
Entah sudah berapa lama pikiranku bergentayangan di alam fantasi. Tanpa sadar, seorang gadis yang tak kukenal berdiri tegap di hadapanku.
“Hei!” Gadis tersebut menyapa, tampak ramah.
“S-siapa?” Aku sedikit terkejut karena baru saja tersadar dari imaji.
“Kamu Rio, kan?” Gadis ini menebak-nebak.
“Iya, aku Rio. Memangnya kamu siapa?” Rasa penasaran mulai menghampiri.
“Masa nggak tahu?!”
“Nggak. Emangnya kita pernah ketemu?”
“Masak iya kamu nggak kenal aku?” Gadis ini bertanya lagi, tampak semakin tak percaya.
“Iya ... aku nggak tahu. Siapa, sih?”
“Padahal kita satu kelas, loh!”
“Sori. Aku nggak kenal siapa-siapa di kelas.”
“Ya, udah. Aku Clara.” Diacungkannya tangan kanan, tampak mengajakku bersalaman.
Dengan malu-malu aku menyambut tangan gadis bernama Clara. “Aku Rio,” kataku dengan lirih.
Karena menyadari tangan kami berjabat cukup lama, kami segera melepaskan tangan secepat kilat. Clara sedikit memerah dan salah tingkah. Ia tertunduk malu. Suasana mematikan menyelimuti kami cukup lama. Tetapi, bel masuk kelas menyelamatkan beberapa saat.
“Bel sudah bunyi. A-aku masuk duluan, ya. Sampai ketemu di kelas!” Gadis berambut sebahu itu pun melangkah untuk menuruni tangga.
Untuk mengingat orang lain, tentunya orang itu harus memiliki kesan dalam ingatan. Entah itu kesan buruk atau baik, karena otak mampu mengingat hal-hal yang berkesan. Anak-anak di kelasku tak berkesan sama sekali bagiku, karena itulah aku mungkin tidak mengetahui nama mereka. Juga karena diriku yang tidak punya keinginan untuk mengingatnya, maka otakku pasti membuang setiap ingatan tersebut atas kehendakku.
--xxx--
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,
“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad
Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto
Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d
“Seiring berlalunya waktu, kebersamaan kita menjadi benih-benih penumbuh cinta di antara kita. Sejuta senyum dan air mata yang kita lalui, tak akan membuatku berpaling dari cinta kokohmu.”Satu setengah tahun aku dan Clara resmi menjadi sepasang kekasih. Tak pernah bisa terbayang, kini aku telah menjadi milik sesosok gadis perhatian tersebut. Satu setengah tahun sudah tercipta kenangan-kenangan indah dan pahit dalam ikatan kami. Terabadikan di dalam memori jangka panjang.Kini aku juga sudah menduduki bangku kelas 12 SMA. Setengah tahun lagi masa putih dan abuku berakhir. Aku sudah menentukan rencana masa depan. Apa yang ingin kuraih. Alasan apa yang membuatku ingin menggapai mimpiku telah kuperhitungkan segalanya.Pagi ini aku tak lagi berangkat sekolah seorang diri. Melainkan selalu bersama Clara dengan si merah semenjak hari di mana kami resmi menjalin hubungan asmara. Setiap hari a
Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d
Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto
“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik adalah apa yang berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”“Rio!” Clara menghampiri diriku yang tengah bersandar pada tiang listrik pertigaan perumahanku. “Sori lama, Yo.”“Nggak apa-apa, Ra,” kataku tersenyum ramah.“Jadi, kita mau ke mana hari ini?”“Gimana kalau kita ke timezone? Kita senang-senang aja hari ini, Ra.”“Boleh juga ide kamu, Yo. Kalau gitu, yuk!” Clara tampak begitu antusias. Manggut-manggut.Akhir-akhir ini, aku memang sering menghabiskan liburan sekolah bersama dengan Clara. Kami bisa dibilang sangat dekat. Clara juga tampaknya sangat bahagia setiap kali kuajak ke mana pun. Aku merasa bersyukur bisa membagi kebahagiaanku dengan orang lain. Jad
Di dalam sebuah kamar yang berantakan, buku yang berserakan di atas lantai, dan komputer yang masih menyala, aku terbaring lemas di atas ranjang dengan selembar selimut bercorak bunga yang tebal.Pagi ini, hujan masih turun deras. Angin berembus kencang. Kucoba meraih sebuah handphone di atas nakas tanpa merubah posisi tidur. Satu pesan belum terbaca. Dari detail pesan yang ditampilkan pada layar hanphone. Pesan tersebut dikirim 30 menit yang lalu pada pukul enam pagi.Dari: 08xxxxxxxxxxx‘Hai, Rio!Maaf, ya, kalau tiba-tiba ngilang gitu aja. Aku takut. Setelah kamu tahu kalau aku akan pindah, kamu mungkin akan sedih. Karena itu, aku lebih baik nggak bilang sama kamu. Aku nggak akan sanggup ngelihat wajah sedih kamu.Aku berterima kasih untuk setiap perjuangan kamu yang sudah berusaha ngehibur aku di kala sedih. Pertemuan kita punya arti yang sangat penting dan nggak bisa aku lupain. Karena itu, setelah aku nggak ada nanti,
Tepat jam 7 malam, hujan kembali turund deras, mengguyur bumi. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela.Musim hujan sudah tiba ....Aku segera berbaring. Kutarik selimut tebal di ranjang. Menyelimuti diri, mencoba menepis dingin yang kian menusuk. Sedangkan pikiranku masih terbayang-bayang tentang gadis anggun bersenyum elok, Kalisa.Dalam hati, aku terus memohon kepada Tuhan untuk melindunginya. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku bisa saja berpisah dengan Kalisa. Namun, yang selama ini kupikirkan ialah, apakah gadis anggun itu akan bahagia ketika melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan hatinya? Tidak mungkin ia akan bahagia. Kalau pun suatu saat ia menampakkan wajah bahagianya, itu pasti adalah suatu cara seorang gadis untuk menutupi kepedihannya.Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini aku tak dapat melakukan apa pun untuk dirinya yang benar-benar membutuhkan.--xxx--
6 hari telah berlalu, ujian telah berakhir. Kini semua siswa-siswi harus bersabar menunggu hasil ujian dibagikan. Semester dua merupakan babak untuk menentukan siapa yang berhak naik kelas selanjutnya dan siapa yang pantas untuk tinggal di kelas. Dalam arti mengulang setahun lagi. Setiap siswa-siswi sudah memiliki rencana di kelas selanjutnya seperti: keahlian apa yang harus mereka dalami dan menentukan akan jadi apa mereka di masa depan. Walau terdengar cukup enteng, tapi menggapai impian di masa depan bukan hal yang cukup mudah.Berbeda denganku, dengan hidup yang selalu santai, pikiran untuk menentukan semua itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak. Aku tidak harus mengikuti arus. Aku mesti melihat lebih jauh lagi tentang diriku. Mengeksplorasi diri sendiri adalah hal utama untuk dapat mengetahui hal apa yang cocok dan tidak cocok bagi diri. Dengan begitu, aku dapat mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Ingin menjadi apakah aku di masa depan tidak semata-mata
“Debaran rindu terus menggebu. Ketika kedua mataku tak dapat menjangkau indahnya kasihmu, biarkan dunia di dalam fantasiku menyentuh kulit terangmu, sehingga gundah tak lagi menyapa.”Pukul 6.30 pagi pada hari senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan sang angin. Tak lama kemudian, setitik demi setitik hujan mulai mengguyur seluruh jagat raya. Hujan bertambah deras. Kucari tempat untuk berteduh, mencoba melindungi diri dari guyuran hujan.Tepat di sebuah kawasan pertokoan yang biasa aku lalui ketika berangkat ke sekolah, aku berlindung dari derasnya hujan. Padahal hari ini sedang berlangsung ujian semester dua di sekolah.“Rio!”Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, seorang gadis berambut sebahu yang tak lain adalah Clara. Senyumnya mengembang. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari ga
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw