Saat ini, setelah perjamuan makan siang yang penuh drama itu, Xie Yinlan justru sedang dipusingkan oleh hal lain. Wanita-wanita penghibur yang diundang Kaisar pada perjamuan itu, kini berkumpul di depannya dengan raut wajah penuh permohonan.
“Selir Xian, bisakah kamu mengajariku menarikan tarian Jenderal Besar yang Terluka dan Seorang Gadis yang Menyelamatkannya itu?” “Iya, benar! Aku juga mau. Tarian itu bagus sekali, sangat mengharukan, sungguh pertemuan dua insan yang sangat cocok. Selir Xian, dari mana kamu mempelajarinya?” Xie Yinlan menyeringai, “Itu aku mempelajarinya dari perbatasan. Sangat indah, kan?” Mereka mengangguk setuju, “Sungguh! Jika tarian ini sampai terlihat oleh orang-orang Rumah Lianhong, sudah dapat dipastikan akan populer dalam waktu dekat. Selir Xian, bisakah kau mengajari kami bagaimana cara melakukannya?” Rumah Lianhong adalah rumah hiburan paling terkenal dan paling mahal di Ibukota. Mereka juga berasal dari sana, dipesan khusus untuk bermain musik dan menari setiap kali istana mengadakan perjamuan. Xie Yinlan terkekeh, menyenangkan sekali melihat orang-orang mulai melihat keberadaannya. Dia mengangguk senang, “Baiklah, aku akan mengajari kalian. Tapi harus berjanji satu hal, tidak boleh menyebarkan tarian ini keluar. Hanya boleh kalian pelajari sendiri, tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain.” Mereka saling menatap, meski sedikit kecewa, kemudian mengangguk setuju. “Jika tidak, Kaisar mungkin akan menghukum kalian dengan berat.” *** TRANG! Tombak besi yang runcing itu terjatuh, berkelontang di tanah. Jing Xuan menjatuhkan lututnya dengan kondisi tubuh paling lemah. Kaisar muda itu bahkan terbatuk darah, dia mendengus geram, menyeka ujung bibir dengan kasar. Mao Lian menghela napas berat, memungut tombak Jing Xuan. “Sudahlah, Yang Mulia, tak perlu diteruskan lagi latihan ini. Kondisi tubuhmu itu semakin hari semakin mengkhawatirkan.” Mao Lian adalah pengawal pribadi Kaisar sejak kecil. Saat ini, hubungan mereka bukan hanya sekadar majikan dan pengawal, tapi juga hubungan teman dekat yang mendalam. Karena hanya Mao Lian yang mengetahui orang seperti apa Jing Xuan yang sebenarnya. Jing Xuan berdiri dengan susah payah, “Aku yang paling memahami kondisi tubuhku sendiri, Mao Lian.” Mao Lian hanya bisa menatap pasrah, majikannya ini sungguh terlalu keras kepala untuk dibujuk. “Yang Mulia, ini sudah tengah bulan, racun itu akan bergolak lagi. Cepatlah kembali untuk mengistirahatkan tubuh.” Mao Lian sekali lagi membujuknya untuk pulang. Jing Xuan mendekat, justru hendak merebut tombak itu darinya. “Latihan sekali lagi.” “Sekali lagi saja.” Mao Lian memasang kuda-kuda, melanjutkan latih-tanding ini. “Bagaimana mungkin orang udik itu mulai berani menampakkan diri di istanaku?” Jing Xuan mendengus kencang. Dalam kepalanya, masih melayang adegan saat Xie Yinlan menari di depan Ibu Suri dan adik-adiknya. “Yang Mulia, bukankah kau yang waktu itu bersikeras ingin membawanya juga? Kenapa sekarang malah mati-matian membencinya?” Mao Lian menghela napas pasrah. Latihan kali ini ternyata terjadi karena Jing Xuan sedang kesal. Jing Xuan memungut kembali tombaknya, memulai kembali berlatih yang rutin diadakan setiap seminggu sekali di masa luang ini. “Tapi dia berani menyinggung tentang peristiwa belasan tahun itu di depan Ibu Suri!” Jing Xuan berseru marah, mengentakkan tombaknya dengan penuh tenaga. “Kalau begitu, apa alasanmu menjadi ragu kalau dialah orang yang menyelamatkanmu?” Mao Lian melesat ke depannya, menyerang dari arah berlawanan. Jing Xuan dengan cepat menangkisnya dengan tombak, melompat ke belakang, Lian Mao yang terpukul mundur segera menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh. Latih-tanding itu berhenti sejenak, Jing Xuan terkekeh sambil mengatur napas. “Aku tidak pernah ragu dengan keputusanku, Mao Lian. Tapi gadis itu sungguh bukan gadis yang pernah menyelamatkanku dulu.” “Bagaimana kau tiba-tiba begitu yakin?” “Sebab gadis yang menyelamatkanku dulu berwatak sangat ceria, pemberani, tak kenal takut, tak mudah ditindas. Tapi lihatlah gadis itu, dia bahkan tidak berani menatap wajahku, dia gemetar begitu aku membentaknya. Dia sama sekali tidak punya nyali untuk menjadi pendampingku, bagaimana mungkin dia layak?” Jing Xuan mendengus, kembali memasang kuda-kuda. Sementara Mao Lian justru malah melipat kedua lengan di depan dada dengan raut yang begitu santai. “Bukankah Xie Yinlan yang ada diperjamuan itu, sama persis seperti gadis penyelamat yang kamu gambarkan?” tanyanya. Seketika itu juga, Jing Xuan termenung. “Kau benar. Dia …, entah kenapa tiba-tiba sekali menjadi begitu berani. Bahkan membuat ibundaku marah.” Jing Xuan jadi mulai memikirkannya. “Mungkinkah dia benar-benar orang yang pernah menyelamatkanku dulu?” Jing Xuan bertanya-tanya dalam hati, “Ada apa dengan perubahan kepribadian yang bertentangan itu?” Lamunannya terpecah saat melihat dari kejauhan beberapa pelayan berlari dari Halaman Utara menuju Istana Mingyue. Mao Lian berhasil menahan salah satu dari mereka. “Apa yang terjadi?” tanya Mao Lian. Pelayan itu berhenti, saat melihat Jing Xuan, dia membungkuk sebentar sebelum menjawab pertanyaan Mao Lian. “Itu, Tuan Mao. Kudengar pelayan Selir Xian membuat masalah lagi. Orang-orang Yang Mulia Permaisuri sedang mengurusnya.” “Pelayan Selir Xian?” Jing Xuan mendekat, tampak penasaran. Pelayan itu menunduk, “Maafkan Hamba, Yang Mulia. Sejak menghadiri perjamuan tadi siang, Selir Xian jadi mulai berani menunjukkan diri di luar kediamannya. Hamba bersalah, Hamba pantas dihukum.” Kemudian dia menjatuhkan lututnya. Jing Xuan memasang wajah datar. “Peduli apa aku padanya?” dia menggerutu, meninggalkan Mao Lian bersama pelayan itu. Mao Lian bergegas menyuruhnya berdiri, “Pergilah sebelum Yang Mulia berubah pikiran.” Pelayan itu berlari tunggang langgang, menyusul temannya yang sudah jauh. Sementara itu, di aula belakang istana, Xie Yinlan juga sudah mendengar keributan itu. Dia meninggalkan wanita-wanita penghibur itu begitu saja. Segera berlari melihat keadaan A-Yao. “Selir Xian, kudengar kaki pelayanmu dipatahkan oleh orang-orang permaisuri!”Xie Yinlan berlari cepat hingga tiba di harem. Begitu melewati Istana Mingyue, Permaisuri yang juga merupakan kakaknya itu muncul menghalangi jalannya. Awalnya dia tidak tahu siapa orang ini. Tapi ingatan saat orang ini datang membawakan arak beracun untuk Xie Yinlan yang dulu, dia langsung mengingatnya. Apalagi begitu melihat gaun merah menyala yang dipenuhi manik-manik itu, Xie Yinlan berdecih, “Dasar udik, pakaianmu norak sekali,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Permaisuri Xie Qingyan berjalan ke arahnya dengan langkah anggun, senyum yang tak pudar dari wajah cantik dengan kulit putih pucat itu. “Adik, kau dari mana? Berani sekali baru pulang ke rumah saat hampir petang.” Xie Qingyan menyentuh bahunya pelan, lantas sentuhan kecil itu berubah menjadi mencengkeram sangat kuat. Yinlan melotot, segera menyingkirkan tangan lentik itu dari pundaknya. Dengan wajah kesal, dia menjawab, “Aku dari perjamuan makan siang Kekaisaran, Kakak.” Jawaban itu membuat Xie Qingyan men
Hari yang begitu luang, Yinlan menghabiskannya untuk bersih-bersih rumah, menyirami bunga, mempelajari obat-obatan herbal, bahkan juga mulai tertarik mempelajari bisnis kuno. Saat ini, dirinya sedang duduk di tepi kolam sambil memberi makan ikan. Di tepi kolam itu, teratai tumbuh dan mekar dengan indah. Beberapa hari ini dia memang sangat memperhatikan tanaman itu, dia akan mengolahnya menjadi sup bergizi, bahkan menjadi obat. “Astaga, bosan sekali.” Yinlan mengembuskan napas panjang. Dia sangat ingin keluar dari dinding ini dan melihat dunia di luar sana. Tapi tidak pernah terpikirkan cara yang bagus untuk pergi walau hanya sebentar. “Selir! Selir!” suara A-Yao terdengar dari kejauhan. Yinlan menoleh ke arah suara, beberapa detik kemudian, sosoknya muncul dan berlari dengan tergesa-gesa mendekatinya. “Ada apa?” Yinlan bertanya begitu A-Yao berhenti di dekatnya. Pelayan kecil itu berjongkok, mencoba mengatur napasnya yang berantakan, dia duduk menjeplak di samping Yinlan. “Sel
Yinlan meringis kala pecahan piring itu menusuk lututnya. Di belakangnya, tabib muda itu mendongakkan kepala, menatapnya dengan tak tega. Ya. Dia adalah tabib muda yang pernah bertemu secara tak langsung dengan Yinlan dan A-Yao saat pertama kali menyelinap ke Balai Kesehatan Istana. Namanya adalah Liu Xingsheng. Usianya baru dua puluh tiga tahun, tabib paling muda di seluruh Ibukota. Direkrut oleh Kekaisaran karena telah menyembuhkan kaki Ibu Suri. Sejak saat itu pula, Liu Xingsheng mendapat perlakuan yang sangat sempurna dari Ibu Suri. Seperti menganggapnya adalah putranya sendiri. Saat Jing Xuan mendengar dari mulut Xie Qingyan bahwa Xie Yinlan memiliki hubungan tak biasa dengan tabib kepercayaan ibu suri ini, amarahnya memuncak, langsung menghukum Liu Xingsheng dan Xie Yinlan di depannya. “Yang Mulia.” A-Yao menjatuhkan lututnya di samping Xie Yinlan, menatap penuh harap ke arah Kaisar yang duduk di kursi tahta itu. “Selir Xian tidak bersalah, Yang Mulia. Hamba bisa menjadi sak
BRAK!Jing Xuan berdiri dengan sangat marah. Kemarahannya itu membuat semua orang di dalam Aula Pertemuan segera berlutut dan menundukkan kepala. Jing Xuan berjalan menghampiri Xie Yinlan, kedua tangannya menyambar bahu Yinlan, memaksanya agar berdiri dengan tegak meski dia sudah tak punya tenaga karena kedua lututnya terluka dan berdarah. “Katakan padaku, Yinlan. Apakah kau memiliki ketidakpuasan terhadapku?” tanya Jing Xuan dengan suara yang dalam, seperti keluar dari dasar laut, gelap, dingin dan menakutkan. Xie Yinlan memberanikan diri menatap matanya yang menyorot begitu tajam. “Hamba tidak punya, Yang Mulia,” jawabnya lemah. “Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang kaki pelayanmu itu? Kau bisa mengeluarkan alibi semacam apa lagi? Xie Yinlan, kau benar-benar menyembunyikan sesuatu dariku, hah?” Jing Xuan melotot geram, urat lehernya sampai menonjol karena mengeluarkan suara tinggi. Sementara yang diperhatikan Xie Yinlan bukan hanya kemarahannya saja. Melainkan keringat yang m
A-Yao meletakkan mangkuk besar berisi air hangat di atas meja di samping ranjang tidur Xie Yinlan. Dia juga mengambil handuk kecil dari dalam lemari. “Selir, bersihkan lukamu. Itu mungkin menyakitkan, tapi jika tidak dibersihkan, lukamu mungkin bisa menyebabkan infeksi,” ucap A-Yao, yang segera mencelupkan handuk ke air hangat. Xie Yinlan justru termenung akan sesuatu. Dua kata yang diucapkan Liu Xingsheng sebelum mereka berpisah di Aula Pertemuan tadi pagi. “Dia memanggilku Yang Mulia?” Yinlan bergumam, membuat A-Yao menghentikan aktivitasnya. “Tabib Liu adalah orang baik, Selir. Ibu Suri saja bahkan sangat memercayainya. Lalu kenapa jika orang baik sepertinya memanggilmu Yang Mulia?” Yinlan mendengus, menatap malas ke arah A-Yao. “A-Yao, apakah kau bukan orang baik?” A-Yao menautkan alisnya bingung, “Maksudmu apa, Selir?” “Dengar, kau yang sangat dekat denganku bahkan hanya memanggilku Selir Xian. Kau bukan orang baik ya, A-Yao? Karena kau tidak memanggilku Yang Mulia.” Yinla
Suasana ramai menghiasi jalanan Ibu Kota. Berbagai jenis kios terbuka dan pengunjung ramai mencari barang yang ingin dibeli. Di salah satu bangunan tinggi dan mewah di jalanan ramai itu, Xie Qingyan duduk tenang di tepi jendela lantai dua, menyeruput teh sambil menikmati angin sore yang sejuk, mantel bulu rubah miliknya sengaja dilepas, membiarkan kulit putih halusnya diterpa angin musim gugur. Ning'er membuka pintu ruangan eksklusif di Restoran Qiwu itu. Mempersilakan seseorang masuk ke dalam. Tamunya adalah seorang wanita yang memakai pakaian hitam-hitam, seluruh kepalanya tertutup topi dengan kain tipis yang menjuntai ke bawah. Begitu memasuki ruangan, dia melepas topi itu. Wajah cantik dengan bekas luka dalam di pipinya itu terlihat. Dia mungkin tampak lebih cantik jika bekas luka itu dihilangkan. Dialah Xi Feng. Tabib Racun yang dulu terkenal di dunia persilatan. Kini mengambil pekerjaan di Istana, entah karena apa alasannya Jing Xuan merekrut tabib persilatan ini ke wilayah
Hari mulai malam, gulita menyambar dengan cepat. Rombongan ekspedisi peneliti tanaman obat itu terus menjelajah pegunungan tanpa henti. Di tengah udara yang sejuk, Chu Xia merapatkan jaket tebalnya, wajahnya mendongak, mencari di mana bulan berada. “Sudah mau pukul tujuh,” dia menceletuk pelan.“Haruskah kita beristirahat di sini?” seorang pria dengan lembut bertanya padanya, sekaligus meminta pendapat rekan yang lain. Mereka sepakat beristirahat di tempat itu. Lokasinya cukup nyaman, ceruk dalam di sekitar bebatuan besar di tengah pegunungan, berhadapan langsung dengan tebing terjal yang menemani penjelajahan mereka sepanjang sore. “Chu Xia, kau haus?” seorang wanita tersenyum lebar, mengulurkan tangannya menggenggam botol minum yang terisi penuh. Dengan senyum tipis sebagai balasan, Chu Xia mengangguk menerima botol air itu, kemudian mengucapkan terima kasih. “Kamu sudah begitu populer dan berbakat, rupanya masih sudi ikut bersama kami melakukan penelitian tanaman obat.” wanit
Chu Xia beranjak dari ranjang yang keras, dia menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit berdebu dan …, kotor.Dia memasang ekspresi jijik saat mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan remang itu. Dia berjongkok, jemarinya memungut pecahan mangkuk di lantai ruangan yang berserakan.Dia mencium aroma tak biasa dari mangkuk itu. “Racun yang sangat mematikan.” Gumamnya, kembali meletakkan pecahan mangkuk itu.“Nona! Nona!” seorang pelayan—sepertinya begitu, berjalan dengan buru-buru memasuki kamar yang lusuh itu. Dia memegang kedua pundak Chu Xia, memeriksanya dengan cemas.“Nona, syukurlah kau baik-baik saja!” pelayan itu menghela napas lega, tersenyum senang.Chu Xia menatapnya dengan bingung, “Kau …, siapa?” tanyanya dengan tidak pasti.Pertanyaan itu membuat pelayan di depannya melipat wajah dengan murung, “Nona …, apakah kau hilang ingatan setelah meneguk semangkuk racun?”“Meneguk semangkuk racun?” Chu Xia menatap pecahan mangkuk yang dia periksa beberapa saat lalu.Dia berusaha