Kerajaan Benua Timur, dipimpin oleh Kaisar Xian Shen, seorang Immortal yang hebat di masa mudanya, dikenal kuat dan disegani oleh semua kalangan. Meskipun usia tidak membatasi kehidupannya, penampilan Kaisar Xian Shen kini berbeda dari saat ia masih menjadi seorang kultivator.
Hari ini, kebahagiaan meliputi istana. Permaisuri Zhi Yang, istri tercinta Kaisar, sedang melahirkan putri pertama mereka setelah sekian lama dinantikan. Kaisar Xian Shen, yang selama ini mendambakan seorang anak, akhirnya melihat impiannya terwujud.
“Selamat, Paduka! Putri pertama Baginda telah lahir. Semoga diberi kesehatan dan kekuatan,” ucap salah satu pejabat kerajaan, disusul oleh ucapan selamat dari berbagai kalangan.
Kaisar tersenyum lebar, menatap putri kecilnya dengan penuh kasih. "Xian Ling, namamu akan dikenal di seluruh penjuru negeri. Aku akan menamakanmu demikian, agar kelak kau bisa menjadi naga yang memimpin negeri ini, jika memang kau satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Benua Timur."
“Aku setuju denganmu, suamiku,” jawab Permaisuri Zhi Yang dengan senyum lembut, meskipun wajahnya pucat setelah melewati proses persalinan yang sulit.
Kaisar Xian Shen, melihat kelelahan di wajah permaisuri, mendekat dan menggenggam tangannya dengan penuh perhatian. “Kamu kelelahan, istriku. Banyak darah yang kau hilangkan saat melahirkan Xian Ling. Ada baiknya kamu istirahat.”
Permaisuri Zhi Yang mengangguk pelan. “Aku beruntung memiliki suami sebaik dan sesabar dirimu. Aku akan beristirahat, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku masih berharap bisa melahirkan seorang putra untukmu.”
Kaisar terdiam sejenak, tatapan matanya lembut namun tegas. “Jangan memaksakan diri, istriku. Kesehatanmu lebih penting daripada segalanya.”
Namun, kondisi kesehatan Permaisuri Zhi Yang memburuk setelah melahirkan. Meskipun tekadnya kuat untuk memberikan seorang putra kepada Kaisar, rahimnya mengalami komplikasi serius yang mengakibatkan infeksi. Harapan untuk memberikan putra mahkota pun pupus, dan Permaisuri mulai mengurung diri, menolak bertemu siapa pun, bahkan Kaisar Xian Shen.
Suatu hari, ketika Kaisar mencoba mengunjunginya, ia dihentikan oleh salah seorang dayang. “Baginda, Permaisuri Zhi Yang tidak ingin diganggu saat ini. Mohon agar Baginda mengerti situasi yang dihadapi oleh permaisuri.” Dayang ini juga tampak ketakutan karena dia menghentikan pria yang paling berkuasa di Benua Timur, tapi perintah Permaisuri Zhi Yang juga tak boleh dibantah.
Kaisar menghela napas dalam, namun tidak memaksa. “Aku mengerti. Sampaikan padanya bahwa aku selalu di sini untuknya, kapan pun dia membutuhkan.”
Waktu berlalu, dan tepat di usia lima tahun Xian Ling, Permaisuri Zhi Yang menghembuskan nafas terakhirnya. Duka menyelimuti Kerajaan Benua Timur. Kaisar Xian Shen, meski sangat berduka, langsung mengumumkan Xian Ling sebagai Putri Mahkota dan pewaris tunggal tahta Kerajaan Benua Timur.
Mendengar keputusan Kaisar, banyak pejabat kerajaan mulai gelisah. Mereka merasa tidak nyaman dengan gagasan seorang wanita memimpin kerajaan sebesar Benua Timur. Salah satu penasehat kerajaan, Mao Zhen, mendekati Kaisar dengan hati-hati.
“Baginda,” Mao Zhen memulai dengan nada penuh hormat, “harap pertimbangkan kembali keputusan Baginda yang mengangkat Putri Xian Ling menjadi pewaris tahta.”
Kaisar menatap Mao Zhen dengan tajam. “Kamu sudah lama mengikutiku, Mao Zhen. Apakah menurutmu putriku ini tidak sanggup memerintah sebagai Ratu Benua Timur?”
“Bukan begitu maksud hamba, Baginda,” Mao Zhen menjawab dengan suara hati-hati. “Kerajaan Benua Timur belum pernah diperintah oleh seorang wanita. Keputusan ini bisa menimbulkan gejolak nantinya.”
“Aku sudah memutuskan,” jawab Kaisar dengan nada tegas. “Apakah menurutmu aku harus mencabut status pewaris tahta dari tangan putriku, Xian Ling?”
Mao Zhen ragu-ragu sejenak sebelum menjawab, “Jika tindakan Baginda bisa menyelamatkan Kerajaan Benua Timur, tentu saja itu harus dilakukan.”
Kaisar Xian Shen menghela napas dalam. “Xian Heng, adikku, memang mahir dalam seni bertarung dan berperang, tapi dia masih terlalu emosional dalam mengambil keputusan penting. Aku tidak bisa menyerahkan tahta ini kepada seseorang yang lebih suka berperang daripada memerintah dengan bijak.”
Mao Zhen terdiam, menyadari bahwa Kaisar telah memikirkan keputusannya dengan matang.
Kaisar melanjutkan, “Kerajaan ini tidak bisa hanya mengandalkan naluri berperang dan membunuh. Kita harus memperhatikan nasib rakyat. Jika aku memberikan tahta kepada Xian Heng, aku khawatir Benua Timur akan hancur.”
Mao Zhen mengangguk perlahan. “Hamba mengerti, Baginda. Keputusan Baginda akan hamba patuhi.”
Dengan demikian, meski berbagai pihak dalam kerajaan berusaha mempengaruhi keputusan Kaisar, Xian Ling tetap ditetapkan sebagai pewaris tahta Kerajaan Benua Timur. Sementara itu, Kaisar Xian Shen tetap menolak semua tawaran pejabat dan bangsawan yang mencoba menawarkan putri mereka untuk menjadi selir baru Kaisar.
“Tidak ada yang bisa menggantikan Permaisuri Zhi Yang,” ucap Kaisar Xian Shen pada Mao Zhen saat mereka sedang berbincang di taman istana. “Aku mencintainya, dan aku tidak akan menetapkan permaisuri baru untuk menggantikannya.”
Keputusan ini membuat seluruh istana tersadar bahwa Kaisar tidak akan mengubah pilihannya. Putri Xian Ling adalah pewaris tunggal, dan meskipun banyak yang meragukan kemampuan seorang wanita untuk memimpin, tidak ada satu pun yang berani menentang keputusan Kaisar Xian Shen. Dengan statusnya sebagai Immortal Raja, wibawa dan kekuasaan Kaisar Xian Shen tetap tak tergoyahkan.
Selama Kaisar Xian Shen masih hidup, Kerajaan Benua Timur akan tetap kuat dan bersatu, meskipun tantangan dan konflik mungkin menanti di masa depan.
Alam semesta membagi dunia menjadi tiga bagian yaitu Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah.Dunia Atas dihuni oleh dewa dan dewi yang sudah turun temurun, juga dewa dan dewi yang berhasil mencapai tingkatan keabadian ini melalui kultivasi. Penghuni Dunia Atas ini menganggap mereka adalah tingkatan tertinggi dalam kehidupan yang kadang menganggap remeh Dunia Bawah yang dihuni oleh manusia tanpa keabadian.Dunia Tengah adalah dunia yang kejam yang banyak dihuni oleh cultivator yang mati-matian berusaha berkultivasi untuk mencapai keabadian. Selain berkultivasi, mereka juga mempelajari ilmu bela diri yang hebat sehingga mereka hanya menganggap manusia tanpa keabadian di Dunia Bawah sebagai budak mereka saja.Dunia Bawah adalah dunia yang berjalan normal dengan banyaknya manusia yang tanpa keabadian. Dunia ini banyak dihuni oleh pendekar-pendekar sakti, namun sayangnya mereka tetap akan mati bila waktunya sudah tiba, tidak memandang seberapa besar kesaktian mereka. Itulah yang juga me
Di sudut istana yang megah dan penuh kemewahan, ada satu bangunan yang selalu dihindari, tempat yang bahkan para pelayan istana enggan menatap terlalu lama. Itu adalah menara lonceng—sebuah bangunan tua yang kini tampak merana, ditinggalkan begitu saja. Dulu, menara ini menjadi pusat perhatian, tempat lonceng berat yang menggema di seluruh istana, memperingatkan para penghuni tentang bahaya yang mendekat. Namun, sejak Kaisar Xian Shen berkuasa, menara itu telah sunyi, dan tak seorang pun berani mengganggu keheningan yang melingkupi kekuasaan sang kaisar.Xian Ling, putri mahkota yang selalu diliputi rasa ingin tahu, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita hantu yang beredar di antara para pelayan. Dengan hati berdebar dan keberanian yang mendidih dalam dirinya, ia memutuskan untuk menembus tabu yang telah lama membayangi menara lonceng. "Mungkin di sana aku bisa menemukan hantu yang bisa mengajariku jurus-jurus inti dengan cepat," gumamnya dengan semangat yang tak bisa ia ke
Menara Lonceng berdiri megah, menjulang tinggi di atas dataran luas Benua Timur, bayangannya memanjang seiring matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Menara yang telah berdiri kokoh selama ribuan tahun ini menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya, namun satu di antaranya adalah yang paling berharga—Kitab Nirvana Surgawi, sebuah artefak legendaris yang telah lama dianggap hilang.Di tengah keheningan yang mencekam, suara langkah kaki lembut terdengar, menggemakan keheningan di dalam menara tua itu. Putri Xian Ling, dengan pakaian sutra emas yang mengalir lembut di tubuhnya, melangkah hati-hati di antara reruntuhan menara. Rambut hitamnya yang tergerai dihiasi oleh pin emas berbentuk burung phoenix, dan matanya yang cerah berkilau seperti bintang-bintang di langit malam. Dia tidak tahu bahwa takdir besar akan menyambutnya di puncak menara ini.Setelah berjam-jam mendaki dan menjelajahi setiap sudut menara yang berdebu, Xian Ling tiba di sebuah ruang tersembunyi yang hanya diteran
Di dalam istana megah yang berdiri kokoh di bawah langit biru, Selir Song Qian memendam iri yang membara terhadap kemewahan dan kekuasaan yang dipegang oleh Permaisuri Zhi Yang. Setiap kali ia melintasi aula yang dipenuhi ornamen emas dan permata, matanya tertuju pada tahta permaisuri yang megah, disertai dengan kilauan harapan dan rencana yang terukir dalam hatinya."Permaisuri Zhi Yang," gumam Song Qian pelan, sambil menyentuh ornamen emas di dinding, "kau mungkin berkuasa sekarang, tapi semuanya bisa berubah."Malam itu, Selir Song Qian menghiasi dirinya dengan jubah sutra merah yang lembut, rambutnya yang hitam seperti malam disanggul tinggi, dan wewangian melati menguar dari setiap pori kulitnya. Ia berjalan menuju kediaman Kaisar Xian Shen dengan langkah ringan namun penuh perhitungan. Saat ia tiba di depan pintu, ia berhenti sejenak, mengatur napas, dan mengetuk perlahan."Yang Mulia," suaranya lembut dan menggoda, "bolehkah hamba menemani Anda malam ini?"Kaisar Xian Shen mena
Di bawah langit yang muram, di bawah bayang-bayang istana yang menjulang angkuh, Selir Song Qian merajut rencananya dengan ketelitian yang nyaris berbahaya. Kabut kesedihan Kaisar Xian Shen terhadap Permaisuri Zhi Yang—meskipun telah lama wafat—tetap melingkupinya seperti selimut tak kasat mata, menjadi benteng besar yang menghalangi ambisinya. Namun, tekad Song Qian kokoh, seperti baja yang tak mudah goyah. Dalam bisikan tersembunyi, ia mulai meraih orang-orang yang bersedia mengabdi padanya, menebar janji-janji manis di satu sisi dan ancaman di sisi lain, mengumpulkan dukungan di balik layar.Pada suatu malam yang sunyi, dalam kamar megah berhiaskan lampu minyak yang menerangi dengan temaram, Song Qian berhadapan dengan dayang kepercayaannya, Meilan. Mereka duduk berhadapan dengan cermin besar, tempat Song Qian biasa mempercantik dirinya dengan penuh dedikasi sebelum bertemu sang kaisar.“Meilan,” bisiknya, suara Song Qian lirih namun tegas, sementara tangannya menyisir rambut panja
Di balik dinding kekaisaran yang megah, langit memudar menjadi merah muda keemasan. Namun suasana istana terasa tegang, seolah udara enggan bergerak, menahan napas. Lonceng istana berdentang."Utusan dari Dinasti Ching telah tiba!" seruan sang petugas memecah kesunyian, menggema di aula yang luas.Kaisar Xian Shen memandang ke arah gerbang dengan alis terangkat. Mata tuanya menyipit, penuh dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ketika sosok yang dikenal melangkah masuk, sejenak dia terdiam—Raja Shang Fu sendiri datang, bukan hanya sekadar utusan. Mantan jenderal Ching itu, kini dengan pakaian kerajaan yang mencerminkan kekuasaan, menunduk hormat di hadapan Xian Shen."Shang Fu, angin macam apa yang menghembuskanmu ke sini?" Kaisar Xian Shen tersenyum, namun matanya tajam. Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan samar di balik kehangatan itu.Shang Fu perlahan bangkit, memandang Kaisar yang pernah ia dukung menguasai Benua Timur. Ia merasa hatinya tenggelam sejenak, mengenang pert
Xian Ling duduk tegang di depan ayahnya, Kaisar Xian Shen, di ruang singgasana yang megah. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah setiap detak jantungnya bergema di dinding-dinding istana yang tinggi dan sunyi. Ia memandang sang kaisar, sosok yang selalu ia hormati, namun kini mata itu terasa penuh dengan kecemasan. Tangan Xian Ling gemetar saat ia menggenggam ujung gaunnya, berusaha menahan kegelisahan yang merayap dari dadanya."Ayah…" suaranya serak, hampir tenggelam dalam kerinduan yang terpendam. "Lebih baik ayah tangguhkan dahulu penobatanku sebagai Putri Mahkota. Aku… aku tidak ingin Raja-raja di setiap negeri melawan kekuasaan ayah." Kata-katanya keluar dengan terburu-buru, seolah berharap sang kaisar akan mendengarkan dan mengubah keputusan yang sudah diambil.Namun, Kaisar Xian Shen hanya memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa diselami, keras namun penuh keyakinan. "Bukan aku yang harus menuruti mereka, Ling'er," jawabnya dengan suara yang dalam dan berwibawa, men
Xian Ling akhirnya berhasil membujuk pamannya, Xian Heng untuk membawanya keluar dari istana dan berjalan-jalan di pusat kota East City, yang merupakan ibukota dari Kekaisaran Benua Timur.Selain lima kerajaan yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, Kekaisaran Benua Timur memiliki wilayah sendiri yang memanjang dari ujung utara ke ujung selatan Benua Timur yang disebut Dinasti Xian.Sepanjang perbatasan ibukota Kekaisaran dibentengi dengan tembok raksasa setinggi lima meter dengan masing-masing penjaga sejarak seratus meter.Kaisar Xian terdahulu tidak mempercayai lima kerajaan di bawah kekuasaannya yang kemungkinan memberontak suatu hari nanti sehingga membuat pertahanan untuk wilayahnya sendiri dengan membangun tembok raksasa ini.Di balik dinding megah istana Kekaisaran Benua Timur, Xian Ling melangkah dengan semangat yang sulit disembunyikan, roknya yang ringan berayun seirama dengan langkahnya. Mata gadis itu bersinar saat ia memandang pamannya, Xian Heng, yang berjalan di
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi