Di balik dinding kekaisaran yang megah, langit memudar menjadi merah muda keemasan. Namun suasana istana terasa tegang, seolah udara enggan bergerak, menahan napas. Lonceng istana berdentang.
"Utusan dari Dinasti Ching telah tiba!" seruan sang petugas memecah kesunyian, menggema di aula yang luas.
Kaisar Xian Shen memandang ke arah gerbang dengan alis terangkat. Mata tuanya menyipit, penuh dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ketika sosok yang dikenal melangkah masuk, sejenak dia terdiam—Raja Shang Fu sendiri datang, bukan hanya sekadar utusan. Mantan jenderal Ching itu, kini dengan pakaian kerajaan yang mencerminkan kekuasaan, menunduk hormat di hadapan Xian Shen.
"Shang Fu, angin macam apa yang menghembuskanmu ke sini?" Kaisar Xian Shen tersenyum, namun matanya tajam. Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan samar di balik kehangatan itu.
Shang Fu perlahan bangkit, memandang Kaisar yang pernah ia dukung menguasai Benua Timur. Ia merasa hatinya tenggelam sejenak, mengenang pertarungan masa lalu ketika bersama-sama mereka meruntuhkan penguasa lama dan mendirikan kedamaian di lima dinasti. Tapi kali ini, ia datang dengan tujuan yang berbeda.
"Salam hormat, Yang Mulia." Ia menundukkan kepala sekali lagi, dengan suara yang berat. "Baginda tahu, hamba mencintai Putri Xian Ling seperti putri sendiri. Namun mengangkatnya sebagai penerus takhta... itu akan membawa kekacauan di antara tiga kerajaan lainnya."
Xian Shen tersenyum tipis. “Ling’er adalah pilihan yang sudah dipikirkan dengan matang. Aku tahu bakat dan kecerdasannya akan membawa kejayaan kekaisaran.”
Shang Fu menarik napas panjang, suaranya hampir berbisik. "Tiga kerajaan tidak akan bisa menerima ini, Baginda. Di bawah permukaan, mereka pasti sudah mulai menyusun rencana… bahkan mungkin untuk menggulingkan Yang Mulia." Mata Shang Fu berkilat, memperlihatkan kekhawatirannya yang tulus. “Maaf kalau aku salah bicara.”
Xian Shen menepuk pundak sahabatnya dengan lembut, nada suaranya bergetar antara kehangatan dan kepastian yang tak tergoyahkan. "Aku tahu kau bersamaku, Shang Fu. Tetapi ini adalah keputusan yang harus ditegakkan—menariknya kembali akan merusak wibawa kekaisaran."
Hati Shang Fu terasa berat. Dia tahu bahwa bagi Xian Shen, ini adalah prinsip yang tak mungkin diingkari. Sahabat lama itu memandangnya penuh keyakinan, seolah waktu tak pernah menyisakan keraguan.
"Kalau begitu, hamba akan mematuhi keputusan Yang Mulia," jawab Shang Fu akhirnya, meski nada kecewa tak dapat disembunyikan. "Namun, Baginda harus berjaga-jaga terhadap rencana dari tiga kerajaan. Dan bahkan dari kerajaan Ching, agar tidak timbul curiga yang bisa menambah ketegangan."
"Aku mengerti," jawab Xian Shen dengan suara mantap. "Aku harap kau dapat membimbingnya di masa depan, Shang Fu, mendukungnya sebagai Perdana Menteri jika saat itu tiba. Kau tahu, Ling’er punya kekuatan yang akan membawa kita semua ke masa kejayaan baru."
Shang Fu mengangguk, meski hatinya masih terbelah antara kesetiaan pada sahabat dan keraguannya pada keputusan sang kaisar. Angin istana bertiup pelan, seolah membawa pesan yang akan mengubah Benua Timur selamanya.
Shang Fu menarik napas panjang, menundukkan kepalanya dalam penghormatan terakhir. Dengan langkah-langkah mantap, ia berbalik menuju pintu keluar, meninggalkan Kaisar Xian Shen yang menatapnya dalam diam. Namun, di luar aula istana, hati Shang Fu berkecamuk. Langkah kakinya yang tegas tak mampu menyembunyikan badai keraguan dan ketidakpuasan yang bergelora di dalam dirinya.
Begitu ia keluar dari istana, angin dingin dari puncak gunung menampar wajahnya, menyadarkannya kembali dari bayangan percakapan tadi. Matanya memandang lurus ke langit kelabu yang mendung, seakan langit ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti seluruh Benua Timur.
“Yang Mulia terlalu keras kepala,” gumamnya dengan suara rendah, sambil mengepalkan tangan. “Xian Ling memang cerdas, tapi dunia ini penuh dengan ambisi pria yang haus kuasa. Tiga kerajaan lainnya tak akan segan menggunakan segala cara untuk menghalangi seorang wanita naik takhta.”
Shang Fu tak menyadari, seorang prajurit Ching, wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan, mengawasinya dari kejauhan. Mata prajurit itu menyiratkan pengabdian yang penuh. Ketika Shang Fu berlalu, prajurit itu melangkah maju, mendekat ke arahnya.
“Tuan, apakah kami akan berdiam diri?” tanya prajurit itu dengan suara terpendam.
Shang Fu memandang tajam prajuritnya, lalu menggeleng. “Kita tidak akan menentang Kaisar. Namun, kita akan memastikan kerajaan kita tidak terhanyut dalam gejolak yang mungkin akan terjadi. Pengangkatan Xian Ling tak hanya mengancam kestabilan kekaisaran, tapi juga bisa mengundang perpecahan dalam negeri kita sendiri.”
Prajurit itu mengangguk, dan Shang Fu melangkah lebih jauh, meninggalkan istana dengan pikiran yang terus berputar. Ia sadar, pengaruh kaisar begitu kuat. Meskipun hatinya tak rela, ia tahu dirinya tetap harus menjaga kesetiaan pada sahabatnya. Namun, saat itu, ada tekad yang tumbuh dalam hatinya.
Di sisi lain istana, Putri Xian Ling berdiri di depan jendela kamarnya, memandang hamparan lembah dan gunung yang jauh. Angin sore menyapu rambut panjangnya yang hitam, matanya berkilat dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia sudah mendengar kedatangan Raja Shang Fu dan tahu betapa keberatannya sang raja pada penetapannya sebagai penerus. Namun, Xian Ling tak gentar. Tekadnya sekuat baja.
“Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayahanda,” gumamnya pelan, suaranya serak oleh emosi yang ditahan. “Bahkan jika seluruh dunia menentang, aku akan buktikan bahwa aku mampu memimpin Benua Timur.”
Di luar, angin yang bertiup semakin kencang seakan menggema dengan perasaannya, membawa kabar perubahan yang siap menghancurkan atau membangun kembali kekaisaran ini. Dan di tempat-tempat jauh, di istana-istana megah yang tersebar di seluruh Benua Timur, para penguasa lainnya sudah mulai bersiap-siap. Mereka merasakan awal dari badai yang sedang mendekat, badai yang dipicu oleh keputusan Kaisar Xian Shen yang tak tergoyahkan.
Setiap detik berlalu, ketegangan di antara kerajaan-kerajaan pun meningkat. Dewan-dewan rahasia dibentuk, aliansi-aliansi bayangan terbentuk, dan mata-mata mulai bergerak, menembus istana kekaisaran dalam kegelapan malam. Mereka berbisik, bertanya-tanya—seberapa jauh Kaisar Xian Shen akan melangkah demi mempertahankan putrinya di kursi kekaisaran?
Xian Ling duduk tegang di depan ayahnya, Kaisar Xian Shen, di ruang singgasana yang megah. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah setiap detak jantungnya bergema di dinding-dinding istana yang tinggi dan sunyi. Ia memandang sang kaisar, sosok yang selalu ia hormati, namun kini mata itu terasa penuh dengan kecemasan. Tangan Xian Ling gemetar saat ia menggenggam ujung gaunnya, berusaha menahan kegelisahan yang merayap dari dadanya."Ayah…" suaranya serak, hampir tenggelam dalam kerinduan yang terpendam. "Lebih baik ayah tangguhkan dahulu penobatanku sebagai Putri Mahkota. Aku… aku tidak ingin Raja-raja di setiap negeri melawan kekuasaan ayah." Kata-katanya keluar dengan terburu-buru, seolah berharap sang kaisar akan mendengarkan dan mengubah keputusan yang sudah diambil.Namun, Kaisar Xian Shen hanya memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa diselami, keras namun penuh keyakinan. "Bukan aku yang harus menuruti mereka, Ling'er," jawabnya dengan suara yang dalam dan berwibawa, men
Xian Ling akhirnya berhasil membujuk pamannya, Xian Heng untuk membawanya keluar dari istana dan berjalan-jalan di pusat kota East City, yang merupakan ibukota dari Kekaisaran Benua Timur.Selain lima kerajaan yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, Kekaisaran Benua Timur memiliki wilayah sendiri yang memanjang dari ujung utara ke ujung selatan Benua Timur yang disebut Dinasti Xian.Sepanjang perbatasan ibukota Kekaisaran dibentengi dengan tembok raksasa setinggi lima meter dengan masing-masing penjaga sejarak seratus meter.Kaisar Xian terdahulu tidak mempercayai lima kerajaan di bawah kekuasaannya yang kemungkinan memberontak suatu hari nanti sehingga membuat pertahanan untuk wilayahnya sendiri dengan membangun tembok raksasa ini.Di balik dinding megah istana Kekaisaran Benua Timur, Xian Ling melangkah dengan semangat yang sulit disembunyikan, roknya yang ringan berayun seirama dengan langkahnya. Mata gadis itu bersinar saat ia memandang pamannya, Xian Heng, yang berjalan di
East City, ibu kota Kekaisaran Benua Timur, adalah simbol kemegahan dan keagungan. Jalan-jalan besarnya dipenuhi pedagang, penduduk, dan pengelana dari berbagai kerajaan. Di tengah hiruk-pikuk ini, seorang gadis kecil berlari riang di antara kerumunan, rambut hitam panjangnya melambai-lambai seiring langkah kakinya."Paman, lihat! Taman ini penuh dengan pohon-pohon yang indah!" seru Xian Ling dengan mata berbinar. Tangannya menunjuk ke arah taman kota yang dipenuhi pohon-pohon besar dengan dedaunan hijau yang rimbun.Xian Heng, seorang pria gagah, yang dikenal sebagai panglima perang Benua Timur, tersenyum tipis. "Ling'er, kau memang memiliki semangat yang besar. Tapi, dunia luar tidak selalu seindah taman ini. Ada hutan lebat yang dipenuhi binatang buas dan desa-desa yang dilanda perang."Xian Ling berhenti sejenak, matanya berkedip memikirkan ucapan pamannya. "Kalau begitu, aku akan menjadi ratu yang kuat! Aku akan melindungi semua kota dan membuat taman seperti ini di setiap keraja
Langit senja di East City membalut bangunan-bangunan kuno dengan cahaya keemasan. Angin musim gugur yang sejuk membawa aroma dedaunan kering dan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggiran jalan. Xian Ling berdiri di ambang gerbang kota, pandangannya terarah ke kejauhan, ke batas hutan yang tampak seperti kabut hijau pekat di cakrawala. Sepasang matanya yang cerah memantulkan semangat, seperti obor kecil yang berkobar di tengah kegelapan."Paman Heng," suara lembutnya memecah keheningan, "kita bisa keluar dari gerbang East City tidak?"Xian Heng, seorang pria yang masih muda dan gagah tampak bagaikan bukan paman dari Xian Ling, melipat tangannya di dada. Matanya menelusuri wajah keponakannya, menilai dengan campuran keheranan dan kewaspadaan. "Kenapa memangnya? Kamu hendak kemana, Ling'er?""Aku ingin jalan-jalan ke Hutan Terlarang," jawab Xian Ling dengan nada ringan, seolah yang ia bicarakan bukanlah tempat penuh bahaya, melainkan taman bermain biasa."Hutan Terlarang?" Xian Heng tert
Hutan Terlarang terasa seperti kubah kegelapan, di mana hanya remang cahaya bulan yang menembus sela-sela dedaunan tebal. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan getah kayu, tetapi kini tercampur dengan bau hewani yang tajam—bau yang membuat bulu kuduk meremang."Hati-hati, Ling'er!" seru Xian Heng dengan napas tertahan. Matanya menyapu sekeliling dengan tajam. Dari balik pepohonan besar dan semak-semak gelap, mata-mata bersinar keemasan bermunculan satu per satu."Aummm!" Raungan itu bergema, mengguncang udara seperti petir. Harimau putih yang mengepung mereka melangkah maju dengan gerakan anggun namun mematikan. Otot-otot mereka tampak seperti baja hidup, melentur di bawah bulu putih yang bercahaya samar dalam sinar bulan. Gigi-gigi taring mereka berkilat saat mereka membuka mulut, seolah siap melahap siapa saja yang melangkah lebih dekat.Namun, sebelum Xian Heng sempat menarik pedangnya, sesuatu yang jauh lebih besar muncul. Dari kegelapan hutan, muncul seekor harimau putih raksasa,
Xian Ling menguatkan cengkeraman pada pedang kayunya, mata bercahaya penuh tekad meski dadanya berdegup kencang. Di sisinya, Xian Heng berdiri siaga, auranya berangsur-angsur berubah, memancarkan tekanan seorang pendekar sejati."Ujian macam apa yang kau maksud?" tanya Xian Ling dengan suara lantang, meskipun jantungnya terasa seolah ingin melompat keluar.Makhluk setengah harimau itu tersenyum tipis, memperlihatkan taring tajamnya. "Ujian keberanian, kekuatan, dan jiwa. Kalian harus melawan kami tanpa ampun, namun tanpa kebencian. Jika mampu bertahan hingga Byakko mengaum untuk ketiga kalinya, maka kalian layak mendapatkan penghormatan dari kami.""Ketiga kalinya?" gumam Xian Heng, menyadari bahwa raungan pertama tadi mungkin baru permulaan.Seketika, harimau-harimau bersayap mengeluarkan suara rendah, serempak melangkah maju. Xian Heng tak menunggu lebih lama, pedangnya keluar dari sarung dengan kilatan tajam. "Ling'er, jangan meremehkan mereka. Harimau-harimau ini tak hanya buas, t
"Tolong…!"Sebuah jeritan putus asa membelah keheningan, bergema dari kedalaman Hutan Terlarang. Suara itu memancar rasa takut yang begitu nyata hingga membuat dada Xian Ling berdenyut."Paman! Ada seseorang yang membutuhkan pertolongan!" serunya, wajahnya menegang.Xian Heng, yang berdiri di dekatnya, mengerutkan kening. “Ling’er, bukankah semua harimau putih sudah ada dalam kantong ajaibmu?” tanyanya dengan nada curiga."Tapi ini suara manusia. Jangan-jangan masih ada kawanan Bandit Hutan Terlarang yang tersisa!" jawab Xian Ling cepat.Tanpa ragu, Putri Kerajaan itu meraih kantong ajaib di pinggangnya, menyematkannya dengan sigap. Udara di sekitarnya terasa bergetar saat ia mengaktifkan jurusnya. Dalam sekejap, tubuhnya meluncur ke arah asal suara, melintasi pohon-pohon besar dan akar yang menjulur seperti tangan-tangan kegelapan. Xian Heng mengekor di belakangnya, napasnya terengah karena mengikuti gerakan lincah keponakannya.Mereka tiba di sebuah tempat terbuka yang diterangi rem
Raut wajah Xian Heng mengeras, matanya menatap tajam pada wanita muda yang berdiri di depannya. Suara bass-nya memecah keheningan. “Siapa sebenarnya dirimu, Nona? Dan untuk tujuan apa kau datang ke East City?” tanyanya dengan nada penuh kecurigaan.Wanita itu mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan martabat yang tak terbantahkan meski tubuhnya masih menunjukkan jejak ketegangan dari insiden sebelumnya. “Aku adalah Putri Song Yin dari Kerajaan Song,” jawabnya, suaranya tegas namun lembut. “Ayahku, Raja Song Fei, mengutusku untuk menyampaikan pesan kepada Kaisar Xian Shen mengenai pengangkatan Putri Xian Ling sebagai Putri Mahkota.”Sebuah tawa pendek dan sinis lolos dari bibir Xian Heng. “Kenapa bukan ayahmu sendiri yang datang?” tanyanya, nadanya nyaris mengejek.Tatapan Xian Heng tak pernah lepas darinya, sementara suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang. Angin membawa aroma daun basah dan tanah, namun hawa di antara keduanya terasa seperti pedang yang siap dihunuskan kapan s
Aura gelap yang mengelilingi Iblis Hantu semakin pekat, membuat udara di sekitarnya terasa berat dan pengap. Para pengawal yang masih berusaha berdiri tampak menggigil, beberapa mundur perlahan, tak sanggup menahan tekanan. Byakko menatap tajam, bulunya berdiri, mengeluarkan raungan yang menggema ke seluruh desa. "Jadi, Putri Mahkota Xiang Ling ingin bertarung denganku? Kau memiliki keberanian yang luar biasa... atau kebodohan yang tak terukur," suara Iblis Hantu terdengar seperti geraman dan tawa yang menyatu. Xian Ling menarik napas panjang, tangannya mengangkat pedang peraknya yang memancarkan cahaya lembut. "Aku tidak akan membiarkan makhluk sepertimu menghancurkan desaku. Jika harus bertarung, maka aku siap." Iblis Hantu mulai bergerak, tubuhnya melayang rendah dengan gerakan yang tak lazim, seperti asap yang bergulir ke depan. "Bagus. Aku akan menikmati meremukkan jiwa pemberani sepertimu." Namun, sebelum makhluk itu dapat menyerang, Song Yin melangkah maju, berdiri di a
Selir Song Yin berdiri tegap di bawah tatapan mengerikan Iblis Hantu, tetapi ada kilatan dingin di matanya, sesuatu yang membuat Xian Ling semakin curiga. Dengan langkah mantap, Song Yin melangkah maju, membuat pengawal-pengawal di belakang mereka terkejut, bahkan ada yang menahan napas."Kau berani mendekat?" Suara Iblis Hantu menggema seperti guruh yang melayang di udara. Asap hitam di sekeliling tubuhnya menggeliat liar, seolah siap menerkam kapan saja.Song Yin berhenti tepat beberapa langkah dari makhluk itu, lalu menyeringai tipis. "Aku tahu batasanku," katanya dengan nada rendah namun tegas. "Dan aku tahu kau bukan sekadar makhluk liar yang ingin merusak. Kau makhluk yang hidup dari energi jiwa—kau tidak pernah menyerang tanpa alasan."Mata kuning itu menyipit, memperhatikan Song Yin dengan lebih intens. "Hmph. Kau tahu banyak, wanita. Lalu, apa yang akan kau tawarkan untuk menyelamatkan desa ini?"Xian Ling merasa darahnya mendidih mendengar percakapan itu. Apa maksud Song Yin
Langit malam berubah menjadi lautan merah dengan kilat yang menyambar-nyambar di kejauhan. Sosok besar yang mulai terbentuk di balik awan gelap tampak seperti bayangan raksasa dengan mata bercahaya kekuningan. Desir angin kencang membawa suara-suara aneh—bisikan, tawa, dan jerit tangis yang menggema, memeluk udara dengan kengerian yang dingin menusuk.Xian Ling menghunus pedangnya, kilau tajam logamnya memantulkan cahaya api dari desa yang terbakar. "Song Yin, makhluk apa ini?" tanyanya tegas, meski ketegangan menggantung di setiap katanya.Selir Song Yin menatap ke langit, matanya menyipit seolah berusaha membaca rahasia di balik kabut merah yang meliuk-liuk. Namun, sekilas bayangan rasa takut melintas di wajahnya sebelum ia kembali memasang ekspresi tenang. "Itu bukan makhluk biasa," katanya dengan suara rendah. "Itu Iblis Hantu, penjaga Hutan Hantu. Tidak ada yang pernah melihatnya dan hidup untuk menceritakannya.""Bagaimana mungkin kau tahu banyak tentang ini?" Xian Ling memandan
Bayangan malam mulai menyelimuti Desa Huang Yang, tetapi nyala api yang membakar sisa-sisa rumah penduduk membuat kegelapan tampak lebih mencekam. Bau hangus kayu dan jerami bercampur dengan aroma besi dari darah memenuhi udara. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang terdengar seperti rintihan pilu.Xian Ling dan Selir Song Yin berdiri di tepi desa, menyaksikan pemandangan yang lebih mengerikan daripada yang mereka bayangkan. Rumah-rumah berserakan, beberapa telah rata dengan tanah, sementara yang lain masih menyala, memuntahkan asap hitam ke langit. Tubuh-tubuh penduduk tergeletak di tanah, beberapa dengan luka yang terlalu mengenaskan untuk dilihat."Apa-apaan ini..." gumam Xian Ling, matanya menyipit, menahan gejolak emosi. Ia menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan ketegangan yang semakin menyesakkan dada.Sementara itu, Selir Song Yin berdiri sedikit di belakang, wajahnya tetap tenang meskipun matanya menyapu pemandangan dengan penuh perhitungan. Namun, senyum tip
Kilauan matahari sore menyelinap melalui jendela aula istana yang luas, menerangi lantai marmer yang berkilauan. Aroma lembut dupa melayang di udara, namun keheningan terasa seperti bilah tajam yang menggantung di atas kepala. Di tengah aula, Selir Song Yin berdiri anggun, mengenakan jubah sutra berwarna merah marun yang dihiasi bordir bunga peony emas. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang tak terbaca.Seorang pengawal masuk tergesa, langkahnya menggema di lantai marmer. Ia menjatuhkan satu lutut di lantai, menundukkan kepala dengan hormat. "Lapor, Yang Mulia Selir Song! Telah terjadi kekacauan di Desa Huang Yang yang berbatasan dengan Hutan Hantu!"Selir Song Yin mengangkat alisnya dengan elegan. Tatapannya dingin namun penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau lapor padaku? Bukankah ini tanggung jawab Panglima Xiang Heng yang mengurus pertahanan kita?"Pengawal itu menggelengkan kepalanya, keringat menetes di dahinya. "Panglima Xiang Heng sedang pergi ke West City bersama Putri
Malam itu, setelah kegagalan rencananya di Aula Naga Langit, Song Qian duduk di paviliunnya dengan tangan gemetar menahan amarah. Angin dingin malam menyusup melalui celah-celah jendela, seolah ikut menyaksikan kekalahannya yang memalukan. Ia menggenggam cangkir teh hingga nyaris retak, pikirannya berputar mencari cara lain untuk menghancurkan Song Yin.“Aku tidak akan berhenti,” gumamnya lirih, hampir seperti mantra. “Song Yin akan membayar untuk penghinaan ini.”Pelayan setianya, Mei'er, mendekat dengan langkah pelan. “Yang Mulia, apakah Anda ingin aku mencari lebih banyak informasi? Mungkin ada jalan lain untuk menyingkirkan Song Yin tanpa menimbulkan kecurigaan.”Song Qian menatap Mei'er dengan mata tajam. “Tidak. Informasi tidak cukup. Aku membutuhkan tindakan langsung. Jika racun tidak berhasil, maka mungkin aku harus menciptakan skenario yang lebih kompleks. Sesuatu yang membuat Song Yin tidak hanya kehilangan posisi, tetapi juga hidupnya.”Mei'er menelan ludah, menyadari kegil
Sementara itu, Selir Song Qian tidak tinggal diam setelah penghinaan terang-terangan yang dilakukan Song Yin. Dengan amarah yang membara, ia mengumpulkan para selir lain di paviliun tersembunyinya. Lampu-lampu minyak menerangi wajah-wajah para wanita yang kini bersatu dalam kebencian terhadap Song Yin.“Kita tidak bisa membiarkan dia terus merajai hati Kaisar,” ujar Song Qian dengan suara penuh determinasi. “Song Yin semakin kuat setiap harinya. Jika kita tidak bertindak sekarang, dia akan menghancurkan kita semua satu per satu.”Salah satu selir, Selir Mei, mengangguk dengan ekspresi penuh kebencian. “Kau benar. Dia bukan hanya mengambil perhatian Kaisar, tapi juga membuat kita semua terlihat tidak berguna.”“Tapi dia terlalu kuat,” sela Selir Lian dengan ragu. “Kita semua tahu bahwa dia menguasai seni bela diri tingkat tinggi. Setiap kali kita mencoba melawan, dia selalu menang.”Song Qian mengepalkan tangannya, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita tidak perlu melaw
Di paviliunnya yang dingin, Selir Song Qian berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pikirannya berputar-putar, dipenuhi bayangan Song Yin yang tersenyum licik dan pesan ancaman yang masih terukir di pikirannya.“Kau terlalu lemah untuk melawan aku,” gumamnya pelan, mengulang pesan itu dengan kebencian yang mendidih. Tangannya mengepal hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. “Aku lemah? Akan kubuktikan bahwa aku jauh lebih berbahaya daripada yang dia pikirkan.”Pelayan setianya berdiri di sudut, tidak berani mengganggu. Namun, Selir Song Qian memanggilnya dengan suara tajam. “Ayo, kita temui seseorang yang bisa membantuku.”Di Paviliun Bunga Malam, Selir Song Qian bertemu dengan seorang tabib rahasia yang dikenal ahli dalam racun-racun paling mematikan. Pria tua itu memiliki wajah penuh kerut, matanya tajam seperti elang yang terus mengawasi mangsanya. Di hadapannya, botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni tertata rapi.“Aku butuh racun yang tidak meninggalkan jejak,” uja
Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantulkan kilauan keemasan pada atap-atap paviliun istana Naga Emas. Namun di dalam kamar Selir Song Qian, suasananya jauh dari keindahan malam. Ia duduk di depan cermin besar, jarinya menggenggam sisir perak dengan gerakan kasar, menarik rambutnya sendiri dengan penuh amarah. Pelayan setianya berdiri di sudut, takut mengeluarkan suara.“Dia bahkan berani menghina usahaku,” desis Song Qian, menggertakkan giginya. “Dia pikir dirinya tak terkalahkan hanya karena berhasil menggagalkan rencana kecil itu. Tapi aku belum selesai. Jika racun tak mempan, aku akan menggunakan cara lain.”Song Qian berdiri dan memutar tubuhnya dengan cepat. Matanya memancarkan kegilaan yang membuat pelayan di sudut gemetar. “Aku ingin kau mencari seseorang di luar istana. Pembunuh bayaran. Bayar berapa pun yang mereka minta. Tapi kali ini, aku ingin Song Yin lenyap tanpa jejak.”Pelayan itu mengangguk gugup. “Saya akan mengurusnya, Nyonya.”Namun, di balik dindin