Di bawah langit yang muram, di bawah bayang-bayang istana yang menjulang angkuh, Selir Song Qian merajut rencananya dengan ketelitian yang nyaris berbahaya. Kabut kesedihan Kaisar Xian Shen terhadap Permaisuri Zhi Yang—meskipun telah lama wafat—tetap melingkupinya seperti selimut tak kasat mata, menjadi benteng besar yang menghalangi ambisinya. Namun, tekad Song Qian kokoh, seperti baja yang tak mudah goyah. Dalam bisikan tersembunyi, ia mulai meraih orang-orang yang bersedia mengabdi padanya, menebar janji-janji manis di satu sisi dan ancaman di sisi lain, mengumpulkan dukungan di balik layar.
Pada suatu malam yang sunyi, dalam kamar megah berhiaskan lampu minyak yang menerangi dengan temaram, Song Qian berhadapan dengan dayang kepercayaannya, Meilan. Mereka duduk berhadapan dengan cermin besar, tempat Song Qian biasa mempercantik dirinya dengan penuh dedikasi sebelum bertemu sang kaisar.
“Meilan,” bisiknya, suara Song Qian lirih namun tegas, sementara tangannya menyisir rambut panjangnya yang hitam berkilau. “Pastikan, tak ada satu pun gangguan yang bisa menjauhkan kaisar dariku setiap malam.”
Wajah Meilan sedikit meredup, matanya berkedip ragu. “Tentu, Nyonya. Namun... apakah Anda yakin akan berhasil? Kaisar masih sangat merindukan Permaisuri Zhi Yang.”
Tangan Song Qian berhenti bergerak, dan matanya menatap tajam pada bayangan di cermin, pantulan wajahnya penuh tekad yang tak kenal lelah. “Aku tahu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Jika aku bisa lebih sering bersamanya, jika aku bisa memberikan kenyamanan yang dia butuhkan… siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti aku bisa memberinya seorang putra.”
Meilan menarik napas dalam-dalam, mengangguk pelan. “Itu akan mengubah segalanya, Nyonya. Seorang putra akan mengukuhkan posisi Anda.”
Setiap malam, Song Qian bersiap dengan cermat, tubuhnya dililit jubah sutra yang lembut menyentuh kulitnya. Aroma melati memenuhi udara di sekelilingnya, membungkusnya dalam wangi yang lembut namun kuat, berharap bahwa Kaisar Xian Shen akan tertarik pada pesonanya. Saat bersamanya, ia selalu hadir dengan senyum yang penuh arti, berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Permaisuri Zhi Yang.
Suatu malam yang hening, mereka duduk berdua di taman istana, di antara bunga-bunga yang menguarkan wewangian samar dalam sejuknya angin malam. Song Qian membuka percakapan, suaranya seakan berbaur dengan bisikan angin yang tenang.
“Yang Mulia,” katanya pelan, matanya menatap lembut pada sosok sang kaisar. “Apakah Anda pernah memikirkan masa depan garis keturunan Anda? Kekaisaran membutuhkan penerus.”
Sang Kaisar hanya diam sesaat, matanya terpaku pada kegelapan yang menyelimuti taman, seolah mengingat kembali kenangan akan Zhi Yang. “Song Qian,” katanya perlahan, suara yang berat oleh kesedihan, “kau tahu bahwa hatiku masih bersama Zhi Yang. Bagaimana mungkin aku berpikir tentang hal itu sekarang?”
Song Qian menundukkan wajahnya, menyembunyikan luka di hatinya di balik tatapan lembut. “Saya mengerti, Yang Mulia. Namun, kerajaan ini tak bisa menunggu selamanya. Anda adalah harapan kami semua.”
Sang kaisar menghela napas panjang, seperti beban dunia tergantung pada pundaknya. “Aku tahu kau benar, tapi perasaanku tak bisa dipaksakan. Kau ada di sisiku, tapi kehilangan Zhi Yang tak pernah benar-benar sirna dari hatiku.”
Malam itu, ketika sang kaisar beranjak kembali ke kamarnya, Song Qian merasakan kekalahan pahit yang menghujam. Ia tahu bahwa tubuhnya memang disambut, namun tidak hatinya. Baginya, ia tak lebih dari bayangan tanpa kedalaman, sementara sang kaisar tetap terjerat dalam cinta yang telah mati.
Di dalam kamar yang luas dan dingin, Song Qian memandang bulan yang tinggi di langit, matanya mengkilap dalam kebisuan yang merasuk. Tangannya mengepal, mencoba mengendalikan gejolak perasaan yang mengguncang dirinya. “Mengapa?” bisiknya dengan suara lirih, “Mengapa aku masih tidak bisa menyentuh hatinya?”
Meilan, yang datang mendekat dalam keheningan, bertanya hati-hati. “Nyonya, apa rencana Anda selanjutnya?”
Song Qian berbalik, memandang tajam pada dayangnya. Matanya menyala dengan tekad yang tak mengenal ampun. “Kita belum selesai, Meilan. Jika kelembutan tidak berhasil, mungkin aku harus menemukan jalan lain. Kaisar harus sadar bahwa aku bukan sekadar pelengkap di sisinya.”
Dayangnya hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa tak peduli seberapa gelap dan berbatu jalan di depan, nyonyanya takkan mundur. Song Qian bertekad, meski itu berarti mengorbankan segalanya, ia akan memastikan dirinya lebih dari sekadar bayangan dalam hidup Kaisar Xian Shen.
***
Malam demi malam berlalu seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Song Qian semakin terbenam dalam rencana-rencananya yang rumit, meracik strategi di tengah bayang-bayang istana yang diam-diam menyimpan rahasia. Senyum lembutnya saat berada di hadapan kaisar kian matang, menjadi alat yang tajam dalam permainannya. Dengan lembut namun penuh tekad, ia mulai menguasai istana, menyusup melalui bisikan-bisikan yang ia sebarkan melalui orang-orang yang telah ia kendalikan.
Di setiap sudut, ia meninggalkan jejak, memberikan perintah-perintah terselubung yang tak bisa disangkal. Para pejabat, dayang, bahkan penjaga istana mulai tunduk padanya, beberapa dari mereka dengan sukarela, sementara lainnya karena ketakutan. Song Qian tahu bahwa setiap langkah harus diperhitungkan. Kaisar masih terkurung dalam kenangan akan Zhi Yang, dan ia harus mencabut kenangan itu, menggantikannya dengan bayangannya sendiri.
Suatu malam, di taman yang berkelok di bawah pohon sakura yang mulai meranggas, Song Qian melangkah mendekati Kaisar Xian Shen, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. "Yang Mulia," katanya, nada bicaranya penuh dengan kelembutan, hampir seperti rayuan, "bukankah waktu telah berlalu? Luka terdalam pun, pada akhirnya, akan sembuh."
Kaisar menatap langit dengan mata suram, seolah mencari bintang yang tak terlihat. “Luka itu… tetap ada, Song Qian. Zhi Yang bukan hanya permaisuriku; ia adalah jiwaku.”
Song Qian merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi senyumnya tetap tenang. “Tentu, tidak ada yang bisa menggantikan seseorang seistimewa itu, Yang Mulia. Namun, barangkali hanya seseorang yang mengasihi Anda bisa menghapus sebagian kesedihan itu.” Ia berhenti sejenak, menatap ke arah bunga yang mulai layu di taman. “Jika saya diizinkan… saya ingin menjadi orang itu, Yang Mulia.”
Kaisar menoleh, menatapnya dengan pandangan yang penuh keraguan dan rasa bersalah, tetapi ia tak berkata sepatah kata pun. Mata mereka bertemu, dan dalam diam, Song Qian merasakan bahwa untuk sesaat, tembok antara mereka mungkin mulai retak.
Malam itu, ketika Kaisar beranjak meninggalkannya, Song Qian tahu langkah-langkahnya tak akan kembali lagi ke masa lalu. Ia menyusuri taman istana yang sunyi, merasakan kelembapan udara dan aroma bunga yang memudar, semakin tenggelam dalam obsesi yang memenuhi pikirannya. "Jika kelembutan ini tak berhasil," gumamnya, menatap bayangan rembulan di permukaan air kolam, “maka aku tak punya pilihan lain selain menunjukkan ketegasan.”
***
Dalam minggu-minggu berikutnya, Song Qian diam-diam memperkuat pengaruhnya di antara para pejabat. Seorang pejabat tua yang biasanya diam kini mulai berbisik tentang perlunya penerus, seolah pikiran itu lahir dari dirinya sendiri. Penjaga pintu istana mulai menyebarkan rumor tentang bagaimana seorang permaisuri baru dapat membawa ketenangan bagi kaisar. Bahkan, beberapa dayang mulai mengagumi kecantikan Song Qian secara terbuka, membicarakan betapa ia layak berada di samping kaisar.
Pada suatu hari, di tengah heningnya aula yang dipenuhi ornamen emas dan ukiran naga, Song Qian bertemu dengan Menteri Liu, pria tua dengan wajah berkerut yang memegang peran penting di istana. Menteri Liu telah lama berpihak pada Song Qian, tetapi kali ini, ia memiliki satu peringatan. “Selir Song,” ucapnya, wajahnya tak menunjukkan emosi, “jika Anda benar-benar menginginkan tempat di hati kaisar, berhati-hatilah. Kenangan adalah musuh yang tak terlihat namun kuat. Banyak yang mencoba dan gagal menghadapi kekuatan seperti itu.”
Song Qian tersenyum tipis, pandangannya penuh dengan tekad. “Aku tidak akan menyerah, Tuan Liu. Jika kenangan itu adalah musuhku, maka aku akan melawannya. Aku akan menggantikan kenangan itu dengan kehadiranku, dengan janji bahwa aku bisa membawa masa depan yang baru bagi Yang Mulia.”
Menteri Liu mengangguk perlahan, seolah mengakui bahwa tekadnya sulit untuk dihentikan. "Baiklah, Selir Song. Tapi ingat, di istana ini, setiap langkah yang Anda ambil akan meninggalkan jejak, dan ada mata di setiap sudut."
Song Qian hanya tersenyum kecil. “Tidak masalah. Aku sudah bersiap untuk apa pun.”
***
Waktu terus berjalan, dan Song Qian tak lagi bertindak dengan kelembutan semata. Ia kini menggunakan kekuasaannya secara lebih nyata, memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekati Kaisar Xian Shen. Saat berada di sampingnya, ia berbicara tentang masa depan kekaisaran, tentang kedamaian dan stabilitas, dan tentang penerus yang harus segera hadir.
Namun, dalam momen yang sunyi, di dalam kamarnya yang megah dan dingin, Song Qian sering merasa hampa. Bayang-bayang Permaisuri Zhi Yang seolah masih menari di sekelilingnya, menghantuinya di dalam keremangan cahaya lilin yang berkedip. Dalam sepi itu, ketika tak seorang pun mendengar, kadang Song Qian merasa terjebak, seolah tak akan pernah benar-benar mengisi kekosongan yang begitu dalam di hati kaisar.
Namun, ia tak akan berhenti. Meskipun gelap, meskipun jalan di depan penuh duri dan rintangan, Song Qian telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mendaki hingga ke puncak. Ia akan menjadi sesuatu yang tak dapat diabaikan, bahkan jika itu berarti mengorbankan setiap keping dari dirinya.
Di dalam bayang-bayang istana, rencana-rencana Song Qian mulai menyatu dengan kegelapan, dan malam yang penuh rahasia terus berjalan, mengisyaratkan masa depan yang penuh intrik dan ambisi.
Di balik dinding kekaisaran yang megah, langit memudar menjadi merah muda keemasan. Namun suasana istana terasa tegang, seolah udara enggan bergerak, menahan napas. Lonceng istana berdentang."Utusan dari Dinasti Ching telah tiba!" seruan sang petugas memecah kesunyian, menggema di aula yang luas.Kaisar Xian Shen memandang ke arah gerbang dengan alis terangkat. Mata tuanya menyipit, penuh dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ketika sosok yang dikenal melangkah masuk, sejenak dia terdiam—Raja Shang Fu sendiri datang, bukan hanya sekadar utusan. Mantan jenderal Ching itu, kini dengan pakaian kerajaan yang mencerminkan kekuasaan, menunduk hormat di hadapan Xian Shen."Shang Fu, angin macam apa yang menghembuskanmu ke sini?" Kaisar Xian Shen tersenyum, namun matanya tajam. Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan samar di balik kehangatan itu.Shang Fu perlahan bangkit, memandang Kaisar yang pernah ia dukung menguasai Benua Timur. Ia merasa hatinya tenggelam sejenak, mengenang pert
Xian Ling duduk tegang di depan ayahnya, Kaisar Xian Shen, di ruang singgasana yang megah. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah setiap detak jantungnya bergema di dinding-dinding istana yang tinggi dan sunyi. Ia memandang sang kaisar, sosok yang selalu ia hormati, namun kini mata itu terasa penuh dengan kecemasan. Tangan Xian Ling gemetar saat ia menggenggam ujung gaunnya, berusaha menahan kegelisahan yang merayap dari dadanya."Ayah…" suaranya serak, hampir tenggelam dalam kerinduan yang terpendam. "Lebih baik ayah tangguhkan dahulu penobatanku sebagai Putri Mahkota. Aku… aku tidak ingin Raja-raja di setiap negeri melawan kekuasaan ayah." Kata-katanya keluar dengan terburu-buru, seolah berharap sang kaisar akan mendengarkan dan mengubah keputusan yang sudah diambil.Namun, Kaisar Xian Shen hanya memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa diselami, keras namun penuh keyakinan. "Bukan aku yang harus menuruti mereka, Ling'er," jawabnya dengan suara yang dalam dan berwibawa, men
Xian Ling akhirnya berhasil membujuk pamannya, Xian Heng untuk membawanya keluar dari istana dan berjalan-jalan di pusat kota East City, yang merupakan ibukota dari Kekaisaran Benua Timur.Selain lima kerajaan yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, Kekaisaran Benua Timur memiliki wilayah sendiri yang memanjang dari ujung utara ke ujung selatan Benua Timur yang disebut Dinasti Xian.Sepanjang perbatasan ibukota Kekaisaran dibentengi dengan tembok raksasa setinggi lima meter dengan masing-masing penjaga sejarak seratus meter.Kaisar Xian terdahulu tidak mempercayai lima kerajaan di bawah kekuasaannya yang kemungkinan memberontak suatu hari nanti sehingga membuat pertahanan untuk wilayahnya sendiri dengan membangun tembok raksasa ini.Di balik dinding megah istana Kekaisaran Benua Timur, Xian Ling melangkah dengan semangat yang sulit disembunyikan, roknya yang ringan berayun seirama dengan langkahnya. Mata gadis itu bersinar saat ia memandang pamannya, Xian Heng, yang berjalan di
East City, ibu kota Kekaisaran Benua Timur, adalah simbol kemegahan dan keagungan. Jalan-jalan besarnya dipenuhi pedagang, penduduk, dan pengelana dari berbagai kerajaan. Di tengah hiruk-pikuk ini, seorang gadis kecil berlari riang di antara kerumunan, rambut hitam panjangnya melambai-lambai seiring langkah kakinya."Paman, lihat! Taman ini penuh dengan pohon-pohon yang indah!" seru Xian Ling dengan mata berbinar. Tangannya menunjuk ke arah taman kota yang dipenuhi pohon-pohon besar dengan dedaunan hijau yang rimbun.Xian Heng, seorang pria gagah, yang dikenal sebagai panglima perang Benua Timur, tersenyum tipis. "Ling'er, kau memang memiliki semangat yang besar. Tapi, dunia luar tidak selalu seindah taman ini. Ada hutan lebat yang dipenuhi binatang buas dan desa-desa yang dilanda perang."Xian Ling berhenti sejenak, matanya berkedip memikirkan ucapan pamannya. "Kalau begitu, aku akan menjadi ratu yang kuat! Aku akan melindungi semua kota dan membuat taman seperti ini di setiap keraja
Langit senja di East City membalut bangunan-bangunan kuno dengan cahaya keemasan. Angin musim gugur yang sejuk membawa aroma dedaunan kering dan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggiran jalan. Xian Ling berdiri di ambang gerbang kota, pandangannya terarah ke kejauhan, ke batas hutan yang tampak seperti kabut hijau pekat di cakrawala. Sepasang matanya yang cerah memantulkan semangat, seperti obor kecil yang berkobar di tengah kegelapan."Paman Heng," suara lembutnya memecah keheningan, "kita bisa keluar dari gerbang East City tidak?"Xian Heng, seorang pria yang masih muda dan gagah tampak bagaikan bukan paman dari Xian Ling, melipat tangannya di dada. Matanya menelusuri wajah keponakannya, menilai dengan campuran keheranan dan kewaspadaan. "Kenapa memangnya? Kamu hendak kemana, Ling'er?""Aku ingin jalan-jalan ke Hutan Terlarang," jawab Xian Ling dengan nada ringan, seolah yang ia bicarakan bukanlah tempat penuh bahaya, melainkan taman bermain biasa."Hutan Terlarang?" Xian Heng tert
Hutan Terlarang terasa seperti kubah kegelapan, di mana hanya remang cahaya bulan yang menembus sela-sela dedaunan tebal. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan getah kayu, tetapi kini tercampur dengan bau hewani yang tajam—bau yang membuat bulu kuduk meremang."Hati-hati, Ling'er!" seru Xian Heng dengan napas tertahan. Matanya menyapu sekeliling dengan tajam. Dari balik pepohonan besar dan semak-semak gelap, mata-mata bersinar keemasan bermunculan satu per satu."Aummm!" Raungan itu bergema, mengguncang udara seperti petir. Harimau putih yang mengepung mereka melangkah maju dengan gerakan anggun namun mematikan. Otot-otot mereka tampak seperti baja hidup, melentur di bawah bulu putih yang bercahaya samar dalam sinar bulan. Gigi-gigi taring mereka berkilat saat mereka membuka mulut, seolah siap melahap siapa saja yang melangkah lebih dekat.Namun, sebelum Xian Heng sempat menarik pedangnya, sesuatu yang jauh lebih besar muncul. Dari kegelapan hutan, muncul seekor harimau putih raksasa,
Xian Ling menguatkan cengkeraman pada pedang kayunya, mata bercahaya penuh tekad meski dadanya berdegup kencang. Di sisinya, Xian Heng berdiri siaga, auranya berangsur-angsur berubah, memancarkan tekanan seorang pendekar sejati."Ujian macam apa yang kau maksud?" tanya Xian Ling dengan suara lantang, meskipun jantungnya terasa seolah ingin melompat keluar.Makhluk setengah harimau itu tersenyum tipis, memperlihatkan taring tajamnya. "Ujian keberanian, kekuatan, dan jiwa. Kalian harus melawan kami tanpa ampun, namun tanpa kebencian. Jika mampu bertahan hingga Byakko mengaum untuk ketiga kalinya, maka kalian layak mendapatkan penghormatan dari kami.""Ketiga kalinya?" gumam Xian Heng, menyadari bahwa raungan pertama tadi mungkin baru permulaan.Seketika, harimau-harimau bersayap mengeluarkan suara rendah, serempak melangkah maju. Xian Heng tak menunggu lebih lama, pedangnya keluar dari sarung dengan kilatan tajam. "Ling'er, jangan meremehkan mereka. Harimau-harimau ini tak hanya buas, t
"Tolong…!"Sebuah jeritan putus asa membelah keheningan, bergema dari kedalaman Hutan Terlarang. Suara itu memancar rasa takut yang begitu nyata hingga membuat dada Xian Ling berdenyut."Paman! Ada seseorang yang membutuhkan pertolongan!" serunya, wajahnya menegang.Xian Heng, yang berdiri di dekatnya, mengerutkan kening. “Ling’er, bukankah semua harimau putih sudah ada dalam kantong ajaibmu?” tanyanya dengan nada curiga."Tapi ini suara manusia. Jangan-jangan masih ada kawanan Bandit Hutan Terlarang yang tersisa!" jawab Xian Ling cepat.Tanpa ragu, Putri Kerajaan itu meraih kantong ajaib di pinggangnya, menyematkannya dengan sigap. Udara di sekitarnya terasa bergetar saat ia mengaktifkan jurusnya. Dalam sekejap, tubuhnya meluncur ke arah asal suara, melintasi pohon-pohon besar dan akar yang menjulur seperti tangan-tangan kegelapan. Xian Heng mengekor di belakangnya, napasnya terengah karena mengikuti gerakan lincah keponakannya.Mereka tiba di sebuah tempat terbuka yang diterangi rem
Aura gelap yang mengelilingi Iblis Hantu semakin pekat, membuat udara di sekitarnya terasa berat dan pengap. Para pengawal yang masih berusaha berdiri tampak menggigil, beberapa mundur perlahan, tak sanggup menahan tekanan. Byakko menatap tajam, bulunya berdiri, mengeluarkan raungan yang menggema ke seluruh desa. "Jadi, Putri Mahkota Xiang Ling ingin bertarung denganku? Kau memiliki keberanian yang luar biasa... atau kebodohan yang tak terukur," suara Iblis Hantu terdengar seperti geraman dan tawa yang menyatu. Xian Ling menarik napas panjang, tangannya mengangkat pedang peraknya yang memancarkan cahaya lembut. "Aku tidak akan membiarkan makhluk sepertimu menghancurkan desaku. Jika harus bertarung, maka aku siap." Iblis Hantu mulai bergerak, tubuhnya melayang rendah dengan gerakan yang tak lazim, seperti asap yang bergulir ke depan. "Bagus. Aku akan menikmati meremukkan jiwa pemberani sepertimu." Namun, sebelum makhluk itu dapat menyerang, Song Yin melangkah maju, berdiri di a
Selir Song Yin berdiri tegap di bawah tatapan mengerikan Iblis Hantu, tetapi ada kilatan dingin di matanya, sesuatu yang membuat Xian Ling semakin curiga. Dengan langkah mantap, Song Yin melangkah maju, membuat pengawal-pengawal di belakang mereka terkejut, bahkan ada yang menahan napas."Kau berani mendekat?" Suara Iblis Hantu menggema seperti guruh yang melayang di udara. Asap hitam di sekeliling tubuhnya menggeliat liar, seolah siap menerkam kapan saja.Song Yin berhenti tepat beberapa langkah dari makhluk itu, lalu menyeringai tipis. "Aku tahu batasanku," katanya dengan nada rendah namun tegas. "Dan aku tahu kau bukan sekadar makhluk liar yang ingin merusak. Kau makhluk yang hidup dari energi jiwa—kau tidak pernah menyerang tanpa alasan."Mata kuning itu menyipit, memperhatikan Song Yin dengan lebih intens. "Hmph. Kau tahu banyak, wanita. Lalu, apa yang akan kau tawarkan untuk menyelamatkan desa ini?"Xian Ling merasa darahnya mendidih mendengar percakapan itu. Apa maksud Song Yin
Langit malam berubah menjadi lautan merah dengan kilat yang menyambar-nyambar di kejauhan. Sosok besar yang mulai terbentuk di balik awan gelap tampak seperti bayangan raksasa dengan mata bercahaya kekuningan. Desir angin kencang membawa suara-suara aneh—bisikan, tawa, dan jerit tangis yang menggema, memeluk udara dengan kengerian yang dingin menusuk.Xian Ling menghunus pedangnya, kilau tajam logamnya memantulkan cahaya api dari desa yang terbakar. "Song Yin, makhluk apa ini?" tanyanya tegas, meski ketegangan menggantung di setiap katanya.Selir Song Yin menatap ke langit, matanya menyipit seolah berusaha membaca rahasia di balik kabut merah yang meliuk-liuk. Namun, sekilas bayangan rasa takut melintas di wajahnya sebelum ia kembali memasang ekspresi tenang. "Itu bukan makhluk biasa," katanya dengan suara rendah. "Itu Iblis Hantu, penjaga Hutan Hantu. Tidak ada yang pernah melihatnya dan hidup untuk menceritakannya.""Bagaimana mungkin kau tahu banyak tentang ini?" Xian Ling memandan
Bayangan malam mulai menyelimuti Desa Huang Yang, tetapi nyala api yang membakar sisa-sisa rumah penduduk membuat kegelapan tampak lebih mencekam. Bau hangus kayu dan jerami bercampur dengan aroma besi dari darah memenuhi udara. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang terdengar seperti rintihan pilu.Xian Ling dan Selir Song Yin berdiri di tepi desa, menyaksikan pemandangan yang lebih mengerikan daripada yang mereka bayangkan. Rumah-rumah berserakan, beberapa telah rata dengan tanah, sementara yang lain masih menyala, memuntahkan asap hitam ke langit. Tubuh-tubuh penduduk tergeletak di tanah, beberapa dengan luka yang terlalu mengenaskan untuk dilihat."Apa-apaan ini..." gumam Xian Ling, matanya menyipit, menahan gejolak emosi. Ia menggenggam pedangnya lebih erat, merasakan ketegangan yang semakin menyesakkan dada.Sementara itu, Selir Song Yin berdiri sedikit di belakang, wajahnya tetap tenang meskipun matanya menyapu pemandangan dengan penuh perhitungan. Namun, senyum tip
Kilauan matahari sore menyelinap melalui jendela aula istana yang luas, menerangi lantai marmer yang berkilauan. Aroma lembut dupa melayang di udara, namun keheningan terasa seperti bilah tajam yang menggantung di atas kepala. Di tengah aula, Selir Song Yin berdiri anggun, mengenakan jubah sutra berwarna merah marun yang dihiasi bordir bunga peony emas. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang tak terbaca.Seorang pengawal masuk tergesa, langkahnya menggema di lantai marmer. Ia menjatuhkan satu lutut di lantai, menundukkan kepala dengan hormat. "Lapor, Yang Mulia Selir Song! Telah terjadi kekacauan di Desa Huang Yang yang berbatasan dengan Hutan Hantu!"Selir Song Yin mengangkat alisnya dengan elegan. Tatapannya dingin namun penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau lapor padaku? Bukankah ini tanggung jawab Panglima Xiang Heng yang mengurus pertahanan kita?"Pengawal itu menggelengkan kepalanya, keringat menetes di dahinya. "Panglima Xiang Heng sedang pergi ke West City bersama Putri
Malam itu, setelah kegagalan rencananya di Aula Naga Langit, Song Qian duduk di paviliunnya dengan tangan gemetar menahan amarah. Angin dingin malam menyusup melalui celah-celah jendela, seolah ikut menyaksikan kekalahannya yang memalukan. Ia menggenggam cangkir teh hingga nyaris retak, pikirannya berputar mencari cara lain untuk menghancurkan Song Yin.“Aku tidak akan berhenti,” gumamnya lirih, hampir seperti mantra. “Song Yin akan membayar untuk penghinaan ini.”Pelayan setianya, Mei'er, mendekat dengan langkah pelan. “Yang Mulia, apakah Anda ingin aku mencari lebih banyak informasi? Mungkin ada jalan lain untuk menyingkirkan Song Yin tanpa menimbulkan kecurigaan.”Song Qian menatap Mei'er dengan mata tajam. “Tidak. Informasi tidak cukup. Aku membutuhkan tindakan langsung. Jika racun tidak berhasil, maka mungkin aku harus menciptakan skenario yang lebih kompleks. Sesuatu yang membuat Song Yin tidak hanya kehilangan posisi, tetapi juga hidupnya.”Mei'er menelan ludah, menyadari kegil
Sementara itu, Selir Song Qian tidak tinggal diam setelah penghinaan terang-terangan yang dilakukan Song Yin. Dengan amarah yang membara, ia mengumpulkan para selir lain di paviliun tersembunyinya. Lampu-lampu minyak menerangi wajah-wajah para wanita yang kini bersatu dalam kebencian terhadap Song Yin.“Kita tidak bisa membiarkan dia terus merajai hati Kaisar,” ujar Song Qian dengan suara penuh determinasi. “Song Yin semakin kuat setiap harinya. Jika kita tidak bertindak sekarang, dia akan menghancurkan kita semua satu per satu.”Salah satu selir, Selir Mei, mengangguk dengan ekspresi penuh kebencian. “Kau benar. Dia bukan hanya mengambil perhatian Kaisar, tapi juga membuat kita semua terlihat tidak berguna.”“Tapi dia terlalu kuat,” sela Selir Lian dengan ragu. “Kita semua tahu bahwa dia menguasai seni bela diri tingkat tinggi. Setiap kali kita mencoba melawan, dia selalu menang.”Song Qian mengepalkan tangannya, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita tidak perlu melaw
Di paviliunnya yang dingin, Selir Song Qian berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pikirannya berputar-putar, dipenuhi bayangan Song Yin yang tersenyum licik dan pesan ancaman yang masih terukir di pikirannya.“Kau terlalu lemah untuk melawan aku,” gumamnya pelan, mengulang pesan itu dengan kebencian yang mendidih. Tangannya mengepal hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. “Aku lemah? Akan kubuktikan bahwa aku jauh lebih berbahaya daripada yang dia pikirkan.”Pelayan setianya berdiri di sudut, tidak berani mengganggu. Namun, Selir Song Qian memanggilnya dengan suara tajam. “Ayo, kita temui seseorang yang bisa membantuku.”Di Paviliun Bunga Malam, Selir Song Qian bertemu dengan seorang tabib rahasia yang dikenal ahli dalam racun-racun paling mematikan. Pria tua itu memiliki wajah penuh kerut, matanya tajam seperti elang yang terus mengawasi mangsanya. Di hadapannya, botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni tertata rapi.“Aku butuh racun yang tidak meninggalkan jejak,” uja
Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantulkan kilauan keemasan pada atap-atap paviliun istana Naga Emas. Namun di dalam kamar Selir Song Qian, suasananya jauh dari keindahan malam. Ia duduk di depan cermin besar, jarinya menggenggam sisir perak dengan gerakan kasar, menarik rambutnya sendiri dengan penuh amarah. Pelayan setianya berdiri di sudut, takut mengeluarkan suara.“Dia bahkan berani menghina usahaku,” desis Song Qian, menggertakkan giginya. “Dia pikir dirinya tak terkalahkan hanya karena berhasil menggagalkan rencana kecil itu. Tapi aku belum selesai. Jika racun tak mempan, aku akan menggunakan cara lain.”Song Qian berdiri dan memutar tubuhnya dengan cepat. Matanya memancarkan kegilaan yang membuat pelayan di sudut gemetar. “Aku ingin kau mencari seseorang di luar istana. Pembunuh bayaran. Bayar berapa pun yang mereka minta. Tapi kali ini, aku ingin Song Yin lenyap tanpa jejak.”Pelayan itu mengangguk gugup. “Saya akan mengurusnya, Nyonya.”Namun, di balik dindin