Menara Lonceng berdiri megah, menjulang tinggi di atas dataran luas Benua Timur, bayangannya memanjang seiring matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Menara yang telah berdiri kokoh selama ribuan tahun ini menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya, namun satu di antaranya adalah yang paling berharga—Kitab Nirvana Surgawi, sebuah artefak legendaris yang telah lama dianggap hilang.
Di tengah keheningan yang mencekam, suara langkah kaki lembut terdengar, menggemakan keheningan di dalam menara tua itu. Putri Xian Ling, dengan pakaian sutra emas yang mengalir lembut di tubuhnya, melangkah hati-hati di antara reruntuhan menara. Rambut hitamnya yang tergerai dihiasi oleh pin emas berbentuk burung phoenix, dan matanya yang cerah berkilau seperti bintang-bintang di langit malam. Dia tidak tahu bahwa takdir besar akan menyambutnya di puncak menara ini.
Setelah berjam-jam mendaki dan menjelajahi setiap sudut menara yang berdebu, Xian Ling tiba di sebuah ruang tersembunyi yang hanya diterangi oleh sinar matahari yang samar-samar menembus celah-celah dinding batu. Di hadapannya, sebuah peti kuno terletak di atas altar batu. Peti itu tertutup rapat, seolah menunggu seseorang yang pantas untuk membukanya.
Dengan hati-hati, Xian Ling meraih peti itu, membuka tutupnya perlahan. Matanya membulat saat melihat apa yang ada di dalamnya—sebuah kitab kuno dengan sampul yang bersinar lembut, memancarkan cahaya keemasan yang memikat. Kitab itu tampak hidup, seolah berdenyut dengan energi yang tak terlihat.
Saat Xian Ling menyentuh sampul kitab, seketika halaman-halaman kitab itu terbuka dengan sendirinya. Karakter-karakter kuno yang terukir di atasnya mulai bersinar dan bergerak, membentuk kata-kata yang bisa dibaca oleh Xian Ling. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara yang lembut namun penuh wibawa bergema di ruangan itu.
"Selamat datang, Putri Xian Ling. Aku adalah Kitab Nirvana Surgawi, penjaga rahasia masa depan Benua Timur. Segala ilmu silat tertinggi, ramalan masa depan, dan takdir dunia ini tersimpan di dalam diriku."
Xian Ling menelan ludah, takjub sekaligus terkejut. "Bagaimana mungkin sebuah kitab bisa berbicara? Apa kau benar-benar hidup?"
"Aku lebih dari sekadar kitab," jawab suara itu, resonansinya menggetarkan udara di sekeliling Xian Ling. "Aku adalah warisan yang telah menunggu ribuan tahun untuk ditemukan oleh orang yang layak. Dan kini, takdir dunia berada di tanganmu."
Xian Ling merasakan hawa dingin menjalari punggungnya, menyadari betapa besar tanggung jawab yang baru saja ia temukan. "Jika kitab ini jatuh ke tangan yang salah, dunia akan dilanda kekacauan... Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
"Takdir telah memilihmu, Putri Xian Ling. Kau harus menjaga rahasia ini dan melindungi Benua Timur dari kehancuran. Namun ingat, dengan kekuatan besar datanglah bahaya yang tak terhindarkan. Para Immortal, Dewa, dan kultivator dari seluruh penjuru akan mengincarmu. Mereka akan datang, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan."
Di luar menara, angin yang tadinya tenang kini mulai berhembus kencang, mengirimkan desiran yang membawa firasat buruk. Awan-awan gelap berkumpul di langit, menghalangi cahaya matahari yang tersisa. Putri Xian Ling tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Dia harus bertindak cepat sebelum kabar tentang penemuan kitab ini menyebar.
Namun, di dalam hatinya, Xian Ling merasakan sesuatu yang baru—sebuah keberanian yang tumbuh seiring dengan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Dia mengangkat kitab itu, menggenggamnya erat di dadanya. "Aku akan melindungimu," bisiknya dengan tekad yang semakin kuat. "Aku tidak akan membiarkan Benua Timur jatuh ke dalam kekacauan."
Di bawah bayangan Menara Lonceng yang kuno, Putri Xian Ling berdiri tegak, seorang diri, menyadari bahwa dunia yang ia kenal sedang berubah di sekelilingnya. Dia kini adalah penjaga nasib Benua Timur, dan perjalanan panjang yang penuh dengan rahasia kuno, pertarungan epik, dan intrik politik baru saja dimulai. Dengan angin yang berhembus kencang di sekelilingnya, Xian Ling tahu bahwa dia harus bersiap untuk menghadapi ancaman yang akan datang, apa pun yang terjadi.
Dalam keheningan malam yang mulai menyelimuti menara, Xian Ling mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai gelap, mengucapkan doa dalam hatinya. "Aku tidak akan mundur," katanya, suara tekadnya menyatu dengan suara angin. "Aku siap menghadapi takdirku bahkan aku akan melawan takdir apabila tidak sesuai dengan harapanku!"
Putri Xian Ling akan memulai perjalanan yang akan menguji keberanian, kecerdikan, dan kekuatan hatinya. Di tangannya, Kitab Nirvana Surgawi berkilau lembut, seolah-olah menyetujui setiap langkah yang diambil oleh sang putri. Takdir dunia kini tergantung pada kekuatan dan keteguhan hati seorang putri muda yang tidak pernah meminta beban sebesar ini, namun tidak akan menyerah pada apa pun yang menghadangnya.
Di dalam istana megah yang berdiri kokoh di bawah langit biru, Selir Song Qian memendam iri yang membara terhadap kemewahan dan kekuasaan yang dipegang oleh Permaisuri Zhi Yang. Setiap kali ia melintasi aula yang dipenuhi ornamen emas dan permata, matanya tertuju pada tahta permaisuri yang megah, disertai dengan kilauan harapan dan rencana yang terukir dalam hatinya."Permaisuri Zhi Yang," gumam Song Qian pelan, sambil menyentuh ornamen emas di dinding, "kau mungkin berkuasa sekarang, tapi semuanya bisa berubah."Malam itu, Selir Song Qian menghiasi dirinya dengan jubah sutra merah yang lembut, rambutnya yang hitam seperti malam disanggul tinggi, dan wewangian melati menguar dari setiap pori kulitnya. Ia berjalan menuju kediaman Kaisar Xian Shen dengan langkah ringan namun penuh perhitungan. Saat ia tiba di depan pintu, ia berhenti sejenak, mengatur napas, dan mengetuk perlahan."Yang Mulia," suaranya lembut dan menggoda, "bolehkah hamba menemani Anda malam ini?"Kaisar Xian Shen mena
Di bawah langit yang muram, di bawah bayang-bayang istana yang menjulang angkuh, Selir Song Qian merajut rencananya dengan ketelitian yang nyaris berbahaya. Kabut kesedihan Kaisar Xian Shen terhadap Permaisuri Zhi Yang—meskipun telah lama wafat—tetap melingkupinya seperti selimut tak kasat mata, menjadi benteng besar yang menghalangi ambisinya. Namun, tekad Song Qian kokoh, seperti baja yang tak mudah goyah. Dalam bisikan tersembunyi, ia mulai meraih orang-orang yang bersedia mengabdi padanya, menebar janji-janji manis di satu sisi dan ancaman di sisi lain, mengumpulkan dukungan di balik layar.Pada suatu malam yang sunyi, dalam kamar megah berhiaskan lampu minyak yang menerangi dengan temaram, Song Qian berhadapan dengan dayang kepercayaannya, Meilan. Mereka duduk berhadapan dengan cermin besar, tempat Song Qian biasa mempercantik dirinya dengan penuh dedikasi sebelum bertemu sang kaisar.“Meilan,” bisiknya, suara Song Qian lirih namun tegas, sementara tangannya menyisir rambut panja
Di balik dinding kekaisaran yang megah, langit memudar menjadi merah muda keemasan. Namun suasana istana terasa tegang, seolah udara enggan bergerak, menahan napas. Lonceng istana berdentang."Utusan dari Dinasti Ching telah tiba!" seruan sang petugas memecah kesunyian, menggema di aula yang luas.Kaisar Xian Shen memandang ke arah gerbang dengan alis terangkat. Mata tuanya menyipit, penuh dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ketika sosok yang dikenal melangkah masuk, sejenak dia terdiam—Raja Shang Fu sendiri datang, bukan hanya sekadar utusan. Mantan jenderal Ching itu, kini dengan pakaian kerajaan yang mencerminkan kekuasaan, menunduk hormat di hadapan Xian Shen."Shang Fu, angin macam apa yang menghembuskanmu ke sini?" Kaisar Xian Shen tersenyum, namun matanya tajam. Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan samar di balik kehangatan itu.Shang Fu perlahan bangkit, memandang Kaisar yang pernah ia dukung menguasai Benua Timur. Ia merasa hatinya tenggelam sejenak, mengenang pert
Xian Ling duduk tegang di depan ayahnya, Kaisar Xian Shen, di ruang singgasana yang megah. Udara di sekitar mereka terasa berat, seolah setiap detak jantungnya bergema di dinding-dinding istana yang tinggi dan sunyi. Ia memandang sang kaisar, sosok yang selalu ia hormati, namun kini mata itu terasa penuh dengan kecemasan. Tangan Xian Ling gemetar saat ia menggenggam ujung gaunnya, berusaha menahan kegelisahan yang merayap dari dadanya."Ayah…" suaranya serak, hampir tenggelam dalam kerinduan yang terpendam. "Lebih baik ayah tangguhkan dahulu penobatanku sebagai Putri Mahkota. Aku… aku tidak ingin Raja-raja di setiap negeri melawan kekuasaan ayah." Kata-katanya keluar dengan terburu-buru, seolah berharap sang kaisar akan mendengarkan dan mengubah keputusan yang sudah diambil.Namun, Kaisar Xian Shen hanya memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa diselami, keras namun penuh keyakinan. "Bukan aku yang harus menuruti mereka, Ling'er," jawabnya dengan suara yang dalam dan berwibawa, men
Xian Ling akhirnya berhasil membujuk pamannya, Xian Heng untuk membawanya keluar dari istana dan berjalan-jalan di pusat kota East City, yang merupakan ibukota dari Kekaisaran Benua Timur.Selain lima kerajaan yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, Kekaisaran Benua Timur memiliki wilayah sendiri yang memanjang dari ujung utara ke ujung selatan Benua Timur yang disebut Dinasti Xian.Sepanjang perbatasan ibukota Kekaisaran dibentengi dengan tembok raksasa setinggi lima meter dengan masing-masing penjaga sejarak seratus meter.Kaisar Xian terdahulu tidak mempercayai lima kerajaan di bawah kekuasaannya yang kemungkinan memberontak suatu hari nanti sehingga membuat pertahanan untuk wilayahnya sendiri dengan membangun tembok raksasa ini.Di balik dinding megah istana Kekaisaran Benua Timur, Xian Ling melangkah dengan semangat yang sulit disembunyikan, roknya yang ringan berayun seirama dengan langkahnya. Mata gadis itu bersinar saat ia memandang pamannya, Xian Heng, yang berjalan di
East City, ibu kota Kekaisaran Benua Timur, adalah simbol kemegahan dan keagungan. Jalan-jalan besarnya dipenuhi pedagang, penduduk, dan pengelana dari berbagai kerajaan. Di tengah hiruk-pikuk ini, seorang gadis kecil berlari riang di antara kerumunan, rambut hitam panjangnya melambai-lambai seiring langkah kakinya."Paman, lihat! Taman ini penuh dengan pohon-pohon yang indah!" seru Xian Ling dengan mata berbinar. Tangannya menunjuk ke arah taman kota yang dipenuhi pohon-pohon besar dengan dedaunan hijau yang rimbun.Xian Heng, seorang pria gagah, yang dikenal sebagai panglima perang Benua Timur, tersenyum tipis. "Ling'er, kau memang memiliki semangat yang besar. Tapi, dunia luar tidak selalu seindah taman ini. Ada hutan lebat yang dipenuhi binatang buas dan desa-desa yang dilanda perang."Xian Ling berhenti sejenak, matanya berkedip memikirkan ucapan pamannya. "Kalau begitu, aku akan menjadi ratu yang kuat! Aku akan melindungi semua kota dan membuat taman seperti ini di setiap keraja
Langit senja di East City membalut bangunan-bangunan kuno dengan cahaya keemasan. Angin musim gugur yang sejuk membawa aroma dedaunan kering dan bunga-bunga liar yang tumbuh di pinggiran jalan. Xian Ling berdiri di ambang gerbang kota, pandangannya terarah ke kejauhan, ke batas hutan yang tampak seperti kabut hijau pekat di cakrawala. Sepasang matanya yang cerah memantulkan semangat, seperti obor kecil yang berkobar di tengah kegelapan."Paman Heng," suara lembutnya memecah keheningan, "kita bisa keluar dari gerbang East City tidak?"Xian Heng, seorang pria yang masih muda dan gagah tampak bagaikan bukan paman dari Xian Ling, melipat tangannya di dada. Matanya menelusuri wajah keponakannya, menilai dengan campuran keheranan dan kewaspadaan. "Kenapa memangnya? Kamu hendak kemana, Ling'er?""Aku ingin jalan-jalan ke Hutan Terlarang," jawab Xian Ling dengan nada ringan, seolah yang ia bicarakan bukanlah tempat penuh bahaya, melainkan taman bermain biasa."Hutan Terlarang?" Xian Heng tert
Hutan Terlarang terasa seperti kubah kegelapan, di mana hanya remang cahaya bulan yang menembus sela-sela dedaunan tebal. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan getah kayu, tetapi kini tercampur dengan bau hewani yang tajam—bau yang membuat bulu kuduk meremang."Hati-hati, Ling'er!" seru Xian Heng dengan napas tertahan. Matanya menyapu sekeliling dengan tajam. Dari balik pepohonan besar dan semak-semak gelap, mata-mata bersinar keemasan bermunculan satu per satu."Aummm!" Raungan itu bergema, mengguncang udara seperti petir. Harimau putih yang mengepung mereka melangkah maju dengan gerakan anggun namun mematikan. Otot-otot mereka tampak seperti baja hidup, melentur di bawah bulu putih yang bercahaya samar dalam sinar bulan. Gigi-gigi taring mereka berkilat saat mereka membuka mulut, seolah siap melahap siapa saja yang melangkah lebih dekat.Namun, sebelum Xian Heng sempat menarik pedangnya, sesuatu yang jauh lebih besar muncul. Dari kegelapan hutan, muncul seekor harimau putih raksasa,
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi