Meilani menatap pada kedua orang tuanya sendu, wanita itu mengepalkan tangan tanpa sadar menekan semua keresahan hati. Tangannya terulur menarik kain lengan jubah Jaquer.
Jaquer menatap pada jari lentik tersebut dengan menyunggingkan senyum termanis. Lalu pandangannya beralih pada sepasang suami istri yang telah membuangnya. Belum sempat semua ditanggapi, terdengar suara seorang perawat pria memanggil nama Jaquer dengan sebutan tuan. Suara yang bernada sopan membuat Richard menoleh, lalu mencibir. "Tuan, pada siapa nama itu kamu sematkan?" "Tuan Jaquer." "Cuih, orang miskin seperti dia mana pantas dipertuankan. Cukup panggil nama," desis Richard. Namun, petugas itu tidak memedulikan dengan apa yang dikatakan oleh pria tua. Dia terus berjalan mengikis jarak dan berhenti tepat di depan Jaquer dalam jarak satu meter. "Silakan tanda tangan di sini untuk mengklaim kartu yang Anda bawa, Tuan!" Jaquer pun meraih kertas yang disodorkan oleh petugas rumah sakit itu dan langsung membubuhkan tandatangan. Setelahnya semua dikembalikan pada petugas. "Terima kasih, Tuan. Semua biaya berobat telah lunas dan untuk pria kecil ini jika kondisinya hingga sore stabil, maka malam hari boleh pulang," ungkap petugas itu. Setelah apa yang perlu disampaikan sudah semua, maka petugas itu segera berbalik badan dan berjalan meninggalkan ruang tersebut. Namun, baru juga melangkah suara Richard menghentikannya. "Berapa semua biaya?" "Maaf, Tuan, samua sudah lunas dalam jumlah tiga juta," jawabnya. Apa yang diungkap oleh petugas membuat dahi pria tua berkerut. Dalam otaknya duit sebanyak itu dari mana menantu miskinnya itu dapat. Sedangkan petugas sudah meninggalkan ruangan. "Lihatlah situasi suamiku saat ini, Ayah! Apakah semua ini masih belum baik?" cerca Meilani. Richard tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh putrinya. Dia masih saja meremehkan finansial Jaquer meskipun dua peristiwa besar sudah terungkap. "Sepertinya kita tidak perlu berlama-lama di sini, Istriku. Sebaiknya kita segera pulang!" ajaknya pada istri. "Kamu benar suamiku, di sini udara miskin begitu kental dan membuatku sesak napas." Keduanya bersiap hendak berbalik badan dan melangkah, tetapi sosok petugas tadi datang lagi ke ruangan dengan sedikit tergesa sambil membawa sesuatu yang menggelitik hati ibu tiri Meilani. "Tuan, ini kartu hitam Anda. Maafkan atas keteledoran saya!" pinta pria itu sambil membungkuk menyerahkan kartu tersebut. Jaquer menerima dengan wajah datar dan dingin, dia sama sekali tidak melihat wajah terkejut ibu mertua. Mulut wanita paruh baya terbuka lebar dengan kedua bola mata melotot tidak percaya. Namun, dengan cepat lengan wanita itu ditarik oleh suaminya agar segera meninggalkan ruangan itu. Meilani masih berdiri mematung menatap tidak percaya akan semua kejadian yang akhir-akhir ini nyata. Sisi lain hatinya ingin percaya tetapi kenyataannya berkata lain. Suaminya sama sekali tidak mencerminkan sosok pria kaya selayaknya saudara dan iparnya yang kaya. Sosok Jaquer masih sama terlihat miskin dan rendah hati. "Suamiku, apakah kartu itu milikmu?" "Bukan, ada seorang kawan yang meminjamkan ini padaku agar posisimu di keluarga sedikit bagus dari sebelumnya," ungkap Jaquer. Meilani manggut-manggut mengerti, lalu dia pun tersenyum manis pada suaminya yang sudah berusaha untuk memberi kesehatan pada putranya. Waktu terus berjalan dan sore pun akhirnya datang. Kesehatan Leonard dinyatakan telah pulih dan dia boleh pulang ke rumah. Hati Meilani begitu bahagia, senyumnya terlukis jelas. Dengan lembut dibimbingnya Leonard untuk turun dari ranjang, tetapi kepala pria kecil bergerak resah. Dia mencari sosok yang dirindu. "Dimana ayahku, Ibu?" Meilani hanya diam, dia tidak tahu kemana perginya Jaquer. Saat terbangun siang hari pria itu tidak terlihat duduk di tempatnya semula. Hanya meninggalkan secarik kertas bertuliskan kata pergi sebentar. Dia tersenyum lalu jemarinya mengusap ujung kepala sang putra dengan bertutur sopan bahwa ayahnya sedang keluar untuk mengurus keperluan yang lain. "Ayo segera kita pulang, mungkin ada kejutan di sana!" ajak Meilani. Leonard pun segera meraih ujung jari ibunya dan berjalan penuh semangat. Mereka tampak bahagia apalagi terlihat ada kendaraan yang sudah menunggu untuk mengantar pulang. Sepanjang perjalanan pandangan pria kecil menyusuri kendaraan yang membawanya pulang. Senyum manis tersungging sempurna hingga membuat Meilani geleng kepala ringan. "Ibu, apakah ayah akan selalu ada buat kita kelak di masa depan?" Wanita muda tersenyum dan menganggukkan kepalanya, hal itu membuat putranya berceloteh bahagia bahkan terdengar alunan nada ceria selayaknya anak kecil lainnya. Kendaraan yang membawa mereka akhirnya sampai di depan gerbang rumah keluarga besar Hurt. Rumah yang sudah lama ditinggali Meilani. Namun, ada yang aneh pada pintu utama. Terlihat papan pengumuman bahwa keluarga Hurt sedang mengadakan pesta penyambutan, tetapi bukan nama Leonard yang tertera di papan tersebut. Melainkan pria dewasa lainnya. Dahi Meilani berkerut. "Ibu, apa artinya ini semua?" "Ibu juga tidak tahu, lebih baik kita masuk agar semua terjawab!" ajak Meilani. Keduanya melangkah penuh semangat, seakan di dalam ada kejutan yang membahagiakan hati. Namun, belum sampai kaki Meilani melewati batas pintu telinganya mendengar kata pernikahan yang diatur atas namanya. Dengan kasar Meilani mendorong pintu besar. Suara pintu yang membentur dinding kayu berukir dandalion seketika menyadarkan semua orang yang ada di dalam ruangan untuk melihat ke arah pintu. "Meilani, akhirnya kamu pulang juga. Ini Tuan Domain datang untuk melihatmu, sekaligus membawamu ke pusat kota!" kata Luzia--ibu tiri Meilani. Sosok pria yang dikenalkan sebagai Domain itu berbalik badan hingga tatapannya bertemu dengan mata cokelat madu bening milik Meilani. Bibir pria itu seketika melengkung sempurna, lalu melangkah mengikis jaraknya dengan wanita itu. Tangannya yang putih dengan kulit yang berkilau terkena cahaya lampu terulur hendak menyentuh kulit lengan Meilani yang sedikit terbuka. Melihat gerakan lancang pria dewasa itu Leonard melangkah maju menghalangi langkah Domain. "Berhenti di sana, jangan mendekati ibuku!" kata Leonard dengan merentangkan kedua tangannya. Domain tidak memedulikan peringatan pria kecil itu, dengan kasar disibaknya tubuh mungil hingga membuat pria kecil terjatuh dan mengaduh. Apa yang terjadi pada putranya membuat Meilani melengking tidak terima. "Kamu, berani sekali berbuat onar di sini!" Hentak Meilani. "Haha, siapa yang berani denganku. Identitas apa hingga mereka berani melawanku. Keluarga ini sudah aku beli termasuk tubuhmu, Meilani!" "Jaga bicaramu, aku wanita bersuami. Tubuhku hanya untuk suamiku, dan atas dasar apa kamu membeli tubuh serta keluargaku!" Domain menyeringai tajam, dia melayangkan pandang ke seluruh ruangan. Menatap satu per satu orang dewasa yang ada di sana. "Kalian semua, katakan pada wanita ini atas dasar apa aku membeli tubuhnya yang tidak lebih hanya seratus juta!" Mulut Meilani seketika terbuka lebar atas kalimat yang terlontar dari mulut busuk Domain. Kedua bola matanya membulat tidak percaya.Mendengar penjelasan dari ayahnya membuat Meilani melangkah mundur sambil menarik tangan mungil putranya. Wanita itu lebih baik mundur dan meninggalkan keluarganya daripada harus menjadi budak nafsu pria berkebangsaan lain. Domain adalah seorang pedagang pendatang dari luar negeri yang begitu serakah dan menindas kaum Pribumi termasuk keluarga kecilnya. Selama ini hubungan kerjasama keluarga Hurt lancar saja, tetapi begitu pria itu datang menawarkan sebuah kerjasama perlahan tapi pasti perekonomian keluarga Hurt mengalami kemunduran. Akan tetapi keadaan ini tidak disadari oleh ayah dan saudara lelakinya, justru dia dituduh memfitnah Domain yang sudah memberi kemewahan pada keluarga. "Kamu tidak bisa menolak, Cantik. Aku lah pemilik tubuhmu saat ini dan masa depan," kata Domain sambil berjalan maju mendekat pada Meilani. Wanita itu terus mundur hingga tubuhnya menempel pada dinding kayu. Melihat ibunya yang ditindas membuat Leonard merengek dan memukul paha Domain berharap bisa mel
"Bagus, akhirnya kamu mati, Jaquer. Lihat di belakangmu berbaris pasukan dari istana langit untuk membantu Tuan Domain!" Jaquer masih berdiri tegak di atas kedua kakinya. Pandangannya tertuju pada istri dan anaknya dengan tubuh bergetar. Leonard terlihat ketakutan, hal ini terbukti dengan kedua tangannya yang mungil memeluk pinggang ibunya. Begitu juga dengan Meilani, wanita itu mendekap kepala putranya untuk menempel pada perut tanpa membiarkan kedua mata bocah laki-laki melihat pada berisan pria berkas hitam. Sementara Domain berdiri dengan congkaknya, dia tahu tujuan beberapa pria berkas itu apa. Dari ujung jalan terlihat sosok pria muda yang ketampanannya tidak jauh beda dengan Jaquer berjalan tenang mendekat ke arah Domain. "Tuan Kai, maaf jika kami tidak menyambutmu!" Domain berjalan sambil berkata lantang, "selamat datang di kediaman Richard, Tuan Istana Perungu!"Mendengar tempat istana disebutkan lancar oleh Domain seketika wajah Meilani memucat. Tatapannya tertuju pada J
"Hahh, baru luka seperti itu sudah mengeluh pada wanita. Apa ini yang namanya seorang jenderal perang? Menjijikkan!" Sarkas Domain dengan seringaian sinis. Namun, Jaquer masih bergeming. Tidak sedikitpun tubuh tergeser meskipun luka sudah bertebaran di beberapa tempat pada tubuh atasnya. Leonard yang berdiri tidak jauh dari posisi ayahnya hanya menatap heran dengan kekuatan yang dimiliki oleh ayahnya itu. Pria kecil masih bingung dengan apa yang terjadi pada tubuh sang ayah. "Apakah yang membuat tubuh ayah begitu kuat?" gumam Leonard. "Andai aku tahu apa rahasianya, maka semua pasti kuikuti agar bisa sepertinya untuk menjaga keselamatan ibu."Tatapan pria kecil tidak pernah lepas dari sosok sang ayah, begitu juga Meilani. Dia masih tetap memilih berdiri di sisi Jaquer. Ujung jarinya tetap berada pada siku lengan kemeja milik suaminya. Jaquer sendiri terlihat sedang menetralkan jalan napasnya, lalu kepalanya menunduk pada jemari kusam dan mulai terlihat gurat otot mengencang. Leng
Terlihat pergerakan formasi bintang yang masih belum sempurna, hal ini membuat Jaquer menggelengkan kepala. Ujung formasi terlihat begitu kasar gerakannya sehingga hanya sekali hentak pedang di tangan mental meninggalkan sebuah tendangan yang tidak berujung. "Hah, hanya segini ujung formasi kalian!" "Jangan kira semua langsung hancur, Bangsat. Maju kalian, perkuat samping dan berputar!" Kai berteriak memberi perintah. Seketika formasi kembali terbentuk dan kali ini terlihat makin kuat dengan berganti ujung tombaknya. Jaquer terpana. "Bagaimana bisa secepat itu?"Namun, belum sempat Jaquer bereaksi sebuah tombak melayang ke arahnya. Untung sensor tubuhnya bergerak cepat hanya menekuk tubuhnya ke samping kanan tombak itu lolos begitu saja. Terlepas dari ujung tombak sebuah tendangan datang dari arah yang tidak terduga membuat Jaquer segera melompat membuat tubuhnya melayang di udara. Formasi terus bergerak aktif membentuk ke atas mengejar langkah Jaquer. Kali ini otak Jaquer berger
Jaquer terlihat diam mematung menatap istrinya mulai dari bawah hingga ke ujung kepala. Cukup lama hingga di kedua matanya membayang bening dan mulai mengumpul keluar perlahan. Tangan Meilani terangkat, menyentuh wajah lelakinya, "jangan cengeng iih, masak seorang pria menangis?""Maafkan aku yang telah meninggalkan kamu dan calon anak kita dulu, Meme. Aku tidak berdaya meskipun saat ini masih sama." Jaquer berkata dengan nada rendah. "Sudah jangan bicara lagi, sekarang bagaimana?"Belum sempat Jaquer menjawab pertanyaan istrinya, Tiba-tiba dari arah belakang terdengar beberapa benda berat jatuh. Untung semua itu tidak sampai menyentuh punggung kecil Leonard. Jaquer menoleh untuk melihat ada benda apa yang jatuh. Begitu menoleh jelas terlihat dua koper besar yang terbuka. Semua isinya tercerai berai, beberapa helai pakaian wanita yang terlihat kucel dan kusam. Sedangkan koper lainnya berisi sedikit pakaian anak laki-laki. Dalam benak Jaguar memperkirakan semua itu lalu menghela na
Sebuah maybach hitam legam terparkir di depan gedung. Ujung pantofel yang terlihat mengkilat tertempa cahaya membuat sepasang mata menatap dengan tubuh bergetar. Sosok yang dingin dengan tinggi 185 cm keluar. Jaquer, keluar dari mobil dengan balutan jas berwarna kream menampilkan kesan dingin dan datar. "Selamat datang di mansion Albright, Tuan Jaquer!""Hem, bagaimana kabar mengenai kerusuhan di sana, Jiwon?"Lelaki senja yang masih terlihat kekar itu menghela napas panjang. Jiwon adalah salah satu orang kepercayaan Jaquer tetapi karena pernah menyinggung istrinya saat di rumah sakit masa silam membuat Jaquer sedikit lebih hati-hati. "Apa yang sudah kamu temukan?"Langkah keduanya sudah sampai di ruangan kerja Jaquer. Maka, segera Jiwon mengambil file yang disimpan pada map hitam lalu menyerahkan pada Jaquer. Jaquer membuka lembar demi lembar kertas laporan hasil penyelidikan Jiwon di daerah utara wilayah kekuasaannya. "Informasi apa ini!"Map itu dilempar oleh Jaquer dan menyent
Jaquer terdiam, tatapannya lurus ke depan pada jalanan yang sepi. "Putar balik!"Asisten segera memanuver mobilnya berbalik arah menuju ke perusahaan. Sesuai perintah laju kecepatannya pun bertambah hingga hanya dalam hitungan detik mobil sudah terparkir kembali di depan lobi. "Silakan, Tuan!"Jaquer keluar dari mobil, kakinya yang panjang segera melangkah memasuki perusahaan yang baru saja ditinggalkan. Langkahnya terhenti tepat di tengah lobi, tatapan Jaquer memindai seluruh perangkat yang terselip di beberapa tempat rahasia. Setelah merasa yakin, kakinya melangkah pada sebuah vas bunga setinggi satu meter. Dengan gerak lambat, tapak tangannya menyusuri setiap guratan lukisan. "Rupanya di sini!" Jaquer bergumam lirih lalu dia melanjutkan langkahnya pada pihak resepsionis. "Berikan aku laptopmu!"Sang petugas sedikit tergagap menyingkapi inginnya atasa. "Laptop, Tuan?""Hem."Teman resepsionis itu menyenggol rekannya agar segera memberikan apa yang diinginkan atasannya. "Ini, Tua
Sementara di sebuah gedung kosong terlihat seorang wanita dan pria kecil terikat di tiang saling membelakangi. Tubuh keduanya kucel dan lusuh. Suara pria kecil merengek inginkan air mineral. "Haus, berikan aku seteguk air!"Seorang pria berjaket kulit hitam melangkah mendekat sandera itu sambil membawa sebotol air mineral. Langkahnya berhenti tepat di depan pria kecil. "Kau haus, Bocah. Ini, minum!" Pria itu mulai menuangkan air mineral ke wajah pria kecil. "Tuan, jangan tinggi dan jauh. Lihatlah air itu terbuang percuma! Leon benar haus." Rupanya pria kecil itu bernama Leon, dan wanita yang terikat bersamanya pastilah ibunya--Meilani. "Tolong beri putraku air mineral dengan baik, Tuan! Biar nyawaku yang jadi jaminannya asal dia baik-baik saja.""Haha, jangan mimpi kalian. Selama di sini kalian adalah tanggung jawabku sampai pria itu mengalah dan mengikuti inginnya atasan kami!""Kalian pasti akan mati jika sampai ayahku berhasil menemukanku!" Ancam Leonard. Mendengar ancaman an
Peringatan Mr. Hurt untuk istrinya ternyata direspon sedikit terlambat, akibatnya satu anak panah berhasil menancap pada bahu kanan Mrs. Hurt. "Istriku!"/ " Argh!" Sepasang suami istri itu bersamaan berteriak, jika Mrs. Hurt berteriak kesakitan saat anak panah itu menancap dalam, sedangkan suaminya berteriak kekhawatiran saat melihat darah mulai merembes pakaian atas Mrs. Hurt. Pria baruh baya itu tertatih mendekat pada sosok istrinya, segera direngkuh bahu sang istri dan dibawa dalam pelukannya. "Sebaiknya kita mundur dulu, Istriku!" bisik Mr. Hurt. "Tetapi--?""Sudahlah, jangan membantah!" tekan Mr. Hurt. Dengan napas berat, akhirnya Mrs. Hurt mengalah. Dia membungkuk sesaat pada Jaquer. Sikap ini menandakan bahwa saat ini wanita itu memilih mengalah pada menantunya. "Pah, Mah, tunggu dulu. Masakan sudah aku siapkan semua, makanlah dulu kalian!" kata Melani bergegas saat pertarungan itu sudah selesai. Kepala Mr. Hurt menoleh pada asal suara, "tidak perlu. Makanan miskin saja
Tubuh Mrs. Hurt yang mulai bangkit kini bisa berdiri meskipun masih sedikit condong ke depan. Dia berusaha menyeimbangkan tenaga chi miliknya. Setelah berdiam diri sejenak dan merasakan hawa hangat mulai menjalan ke seluruh aliran darah barulah Mrs. Hurt membuka beberapa meridian yang menuju ke luka dalam akibat pertemuan dua jurus. Bibir tipisnya melengkung membentuk kurva yang indah tetapi masam. Jaquer hanya memiringkan kepala ke kanan dengan sorot mata tajam. "Jika kamu belum puas, maka keluarkan semua kemampuanmu, Mrs. Hurt!" Jaquer berkata sambil mengibaskan jubah bagian kanannya. Melihat dan mendengar deretan kata dari menantunya itu darah Mr. Hurt bergolak, dia merasa direndahkan oleh manusia tidak berdaya di depannya itu. Pria paruh baya yang cara jalannya sudah tidak sempurna itu mengikis jaraknya dengan sang istri. "Bagaimana kondisimu, Istriku?" tanya Mr. Hurt begitu jaraknya sudah dekat dengan istri. "Aku tidak apa, Suamiku. Tenang saja, aku masih sanggup melawan me
Jaquer masih berdiri tenang menatap ibu mertuanya, tidak ada kegentaran sedikit pun pada raut wajahnya. Merasakan pelukan istrinya makin erat, dia menunduk melabuhkan ciuman lembut ke pucuk kepala sang istri. Meilani mendongak, bibirnya mengerucut dengan gelengan kepala. Dia tidak rela bila suaminya bertarung lagi dengan keluarganya, "lebih baik kita mengalah, Suami!"Jaquer membelai pipi istrinya, "kamu tenang saja, ini tidak akan berakhir bila semua dibiarkan saja.""Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Jaqu!" bisik Meilani sambil mencium lengan suaminya. Perlakuan Meilani yang begitu lembut mampu memicu tenaga positif yang berlipat ganda. Aliran darah yang hangat meluncur deras di sepanjang sel mati milik Jaquer. Angin berhembus semakin kencang, desirnya membuat jubah Jaquer melambai hingga memperlihatkan otot. Debar jantung Meilani tidak mampu disembunyikan lagi. Dia begitu takut dan waspada hingga susah menekan reaksi tubuhnya. Apa yang terlihat oleh mata telaniang seketika me
Ibu mertua Jaquer menatap tajam padanya. Wanita itu terlihat sedang menahan emosi terhadap Jaquer, tetapi Meilani menanggapi dengan santai. Meskipun wanita itu adalah ibunya, bagi Meilani dia hanya wanita pengganti jadi buat apa takut. Dengan lembut diraihnya jemari Jaquer dan menautkan dengan jarinya. Hal ini membuat Jaquer menunduk untuk melihat mimik wajah istrinya, "apakah ini artinya kamu sudah mau menerimaku lagi, Mei?" Suara Jaquer menyapa telinga Meilani dengan lembut. Cukup lama jawaban itu didengar Jaquer, bagitu rendah hampir saja tidak terdengar. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Mah?" tanya Jaquer datar. "Jika memang kamu seorang pemilik istana naga, maka berikan aku tanah di Wuhai!"Suasana makin terasa tegang saat beberapa mobil sedan hitam berhenti di depan kedai. Semua mata tertuju pada satu sosok yang dikenal sebagai orang kepercayaan istana naga. Seorang pria berjalan tegap dengan tuxedo putih dan pedang tipis, dia terus berjalan menuju ke arah Mr. Hurt dan
Jaquer terpaku menatap pada cara berdiri ibu mertua, ada yang berbeda dia sudut pandangnya. Lalu dia mulai menata jalan napasnya untuk mempersiapkan diri jika sesuatu terjadi pada keluarga kecilnya. "Ayah, tidakkah kamu marah dengan perlakuan mereka?" Suara Leonard membuyarkan konsentrasi Jaquer. Dia menunduk menatap pada manik biru milik putranya, lalu bibirnya mengulum senyum tipis. Jaquer mengusap ujung kepala Leonard, lalu pandangannya kembali ke arah meja makan. "Apa kamu kira setelah suamimu kembali dia bisa membuatmu bahagia, penuh harta?" kata wanita senja itu menekan Meilani. Meilani terdiam, pandangannya tertuju pada Jaquer yang juga menatapnya. Tanpa sadar kepalanya mengangguk dan dibalas oleh Jaquer. "Dia adalah suamiku, Mah. Bagaimanapun aku masih sayang." Meilani berkata dengan tegas, "dia tidak akan tergantikan oleh siapa pun.""Sialan, apa masih kurang pembuangan sepuluh tahun silam? Dia seorang pecundang dan miskin. Kau akan tersiksa, Mei. Dengar kata mama!" "Ak
Pria tua dengan tongkat kepala naga berdiri tegak di depan kedai dengan kepala mendongak ke atas membaca papan nama kedai milik Meilani. Bibirnya mencekik seakan dia menghina apa yang sudah diusahakan oleh keluarga kecil itu. Meilani segera menyambut pria tua itu dengan penuh hormat. Dia membungkuk untuk, "selamat datang, Ayah!"Mr. Hurt menatap datar putri sulungnya. Dia sama sekali tidak bersikap ramah, berjalan begitu saja melewati tubuh Meilani yang masih membungkuk. Melihat reaksi ayah mertuanya membuat Jaquer mengepalkan kedua tangannya. Deru napasnya begitu memburu, dia tidak Terima dengan perlakuan pria tua itu pada istrinya. Raut wajahnya yang masih datar dan dingin hanya menatap tajam. "Tidak sopan, orang tua datang justru mendapat tatapan sinis. Apa kau lupa dengan kejadian sepuluh tahun silam?" Jaquer masih bungkam, dia sama sekali tidak terbakar mendengar ucapan Mr. Hurt. Jaquer justru berbalik badan melangkah ke balik meja masak yang terbuat dari kayu berukir. Mr. H
Pagi pun tiba, terlihat Jaquer di dapur sibuk dengan tepung. Kedua tangannya bergerak gesit membuat adonan mie mentah. Sudah ada beberapa yang sudah jadi dan dia simpan pada tempat biasanya. Suara riuh di dapur membangunkan Meilani. Dia segera bangkit dari ranjang lalu membuka selimutnya. "Ternyata masih utuh, tetapi suara itu terdengar begitu ricuh," gumam Meilani. Dia pun segera merapikan ranjang sebelum melangkah keluar. Setelah mencuci wajahnya, barulah Meilani berjalan menuju ke dapur. Kedua matanya membulat tidak percaya, ternyata apa yang dia ucapkan benar-benar dilakukan oleh Jaquer. "Sejak kapan kamu membuat ini semua, Jaqu?" "Sudah cukup lama, hanya menyisakan ini. Mungkin ada 200 bahan mie yang sudah jadi, Mei. Apakah kurang?"Mendengar jumlah nominal yang dikatakan oleh suaminya kedua bola mata Meilani melotot tidak percaya. Seingatnya saat dia membuka mata di jam dua dini hari, Jaquer masih tidur di sisinya. Lalu, kini di jam enam pagi bagaimana bisa mendapatkan has
Mobil yang dikendarai oleh Jaquer akhirnya sampai di depan kedai mie miliknya. Dia pun membuka pintu untuk Meilani. Dari teras terlihat Leonard berdiri di sana. Senyumnya mengembang kala dilihatnya kedua orang tuanya sudah menyatu kembali. "Selamat datang kembali, Ayah, Ibu!" sambut Leonard. Meilani tersenyum, lalu dia berjalan lebih dulu meninggalkan Jaquer. Dia segera memeluk tubuh putranya. "Terima kasih, Leon.""Apa sebenarnya yang terjadi?"Leonard menatap keduanya bergantian, dia sengaja ini diungkapkan pada ibunya apa yang dia ketahui mengenai ayahnya. Lalu tatapannya berhenti pada wajah Jaquer. "Apakah masalah itu sudah tuntas, Ayah?"Jaquer tidak mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk saja. Lalu menatap pada Meilani. Wanita itu masih tetap bungkam. "Jadi apakah benar Paman Simon yang melakukan semua ini, Ayah?""Begitulah, tetapi ada seseorang yang mendukungnya selama ini. Apakah kamu juga kenal, Leon?"Leonard terdiam, dahinya berkerut. Satu nama melintas begitu saja
Langkah tegak memancarkan aura dingin membuat para barisan pria berjas hitam hanya menunduk. Mereka tidak berani menatap langsung pada sosok pria tersebut. Jaquer berjalan dengan kepala tengadah penuh kesombongan dan keangkuhan yang sulit untuk di tembus. Pakaiannya yang begitu berkelas menandakan posisinya yang tidak biasa di bangunan megah bak istana. Iya bangunan yang begitu megah berhias lukisan naga terbang di setiap dinding menyatakan bahwa itulah istana naga. "Semua sudah ada di tempat biasanya, Tuan. Apa masih perlu di keluarkan?""Antar aku ke sana!"Elang berjalan lebih dulu dia menunjukkan jalan ke dalam ruang bawah tanah. Lorong yang gelap dan lembab langsung menyapa penciuman Jaquer, pria itu mengeratkan rahang dengan kedua tangan mengepal. Terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya. Pintu terbuka dengan pelan, Elang berdiri di sisi pintu menunggu datangnya Jaquer. Pria dengan jas terbaik itu berjalan tenang menuju ke dua kursi yang diduduki oleh tersangka. "Ba