Aku meraung keras sambil menangis. Kumohon, kumohon, kumohon ini semua hanya mimpi! Aku ... hanya bermimpi, kan? Ya, pasti hanya mimpi! Tidak mungkin ada iblis yang bisa menyentuh dan mengisap darah manusia! Tubuhku yang letih ini mungkin karena efek mimpi yang melelahkan! Tapi ... rasa sakit dan lengket di pundak tadi terasa nyata.
Lelah setelah menangis berjam-jam, akhirnya mataku terpejam dan larut ke alam mimpi. Di dalam mimpi, aku kembali bertemu dengan iblis itu. Iblis bermata hijau yang telah menciumku setelah mengisap pundakku. Tubuhku lagi-lagi tidak dapat bergerak, terasa kaku. Sementara iblis itu berjalan mendekatkali ini ia tidak melayang.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ladang lavender yang cantik sejauh mata memandang, dengan aroma harum khasnya. Lavender adalah bunga kesukaanku.
Iblis itu kemudian berhenti, menyisakan jarak beberapa langkah di depanku. Saat mataku kembali ke wajah tampannya, bibir iblis itu mengulas senyum yang kupikir sangat menawan dan mampu meluluhkan hati setiap wanita yang melihatnya, terkecuali aku.
“Nadja ... keinginanmu adalah ... berciuman dengan orang yang kaucintai di padang lavender, kan? Akan kupenuhi.”
Aku berusaha untuk berbicara, tapi hanya erangan yang keluar. Mataku memelotot padanya dengan penuh ketakutan.
Bukan orang yang kucintai, tapi suami yang kucintai! Dan bukan kau orangnya!
“Lambat laun, Nadja ... aku akan menjadi satu-satunya pria yang kaucintai. Hanya aku di hati dan pikiranmu, di setiap helaan napasmu. Hanya namaku yang memenuhi otakmu, Xander ....”
Dengan sekuat tenaga mulutku mengeluarkan pekikan yang sangat keras, membuat telingaku berdenging sakit. Lalu bayangan si iblis bermata hijau dan juga ladang lavender bergoyang, lantas hancur berkeping-keping.
Kemudian mataku terbuka dan mendapati langit-langit kamar temaram yang hanya diterangi cahaya keperakan bulan purnama. Napasku tersengal.
Aku ... hanya bermimpi! Air mata lega menuruni pipiku. Terima kasih, Tuhan.
Tapi ... bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu? Terasa sangat nyata! Tubuhku seketika meremang. Aku tidak mau mengingatnya lagi!
Dengan jantung berdebar karena rasa lega, kembali kupejamkan mata, tidak menolak rasa kantuk yang datang.
***
Aku terbangun saat cahaya matahari mengintip dari sela-sela dedaunan pohon akasia di dekat jendela kamar. Aku bangun dengan perasaan lega yang luar biasa. Bahagia.
Hari ini adalah hari pertamaku di kampus setelah OSPEK yang dengan susah payah kulalui selama seminggu. Senyum tak pernah lepas dari bibir saat aku memakan roti panggang selai kacang yang disediakan Ibu. Sampai-sampai Lyla, adikku yang genit, menyebutku gila. Radja, kakakku yang tampan, hanya terkekeh melihat. Oh ya, Radja itu seniorku di kampus. Usia kami hanya terpaut tiga tahun. Dengan Lyla, usiaku empat tahun di atasnya.
“Apa roti selai kacang yang kaumakan telah berubah menjadi piza, Honey?” tanya Radja. “Apa itu berkat senior tampan di kampus?”
“Mungkin,” jawabku tak acuh. Aku bahagia. Yes, aku bahagia karena yang kualami ternyata hanya mimpi, meskipun terasa seperti nyata.
“Sebaiknya tidak menggoda saudara kalian di saat sarapan seperti ini,” tukas Ibu menggelengkan kepala sambil meletakkan nampan berisi tiga gelas susu di meja makan. Radja menyukai susu murni mix sirup coco pandan, Lyla menggemari susu murni mix vanila, dan aku sendiri merasa lebih nikmat meminum susu murni tanpa campuran, rasanya tidak ada duanya.
Apa? Kau bertanya ayahku di mana? Ayahku ada, entah di mana, mungkin juga masih tertidur lelap di kamar atau tengah mengurusi pekerjaannya yang tidak jelas, dan aku tidak peduli. Ia memang ayahku, tapi aku tak pernah menganggapnya, begitu juga kedua saudaraku; mereka tidak memedulikan Ayah. Sejak kelas empat di sekolah dasar, rasa benciku padanya mulai mengakar. Pria sialan itu menyelingkuhi Ibu, dan Ibu mengetahuinya namun tidak dapat berbuat apa-apa. Mungkin Ibu sudah tidak mencintai Ayah, tapi ia tidak bercerai karena memikirkan kami bertiga, terutama Lyla.
Sejujurnya aku lebih suka jika mereka bercerai, karena sampai saat ini, kelakuan Ayah tidak berubah. Main perempuan dan berjudi. Ayah kerap memarahi Ibu tanpa alasan yang jelas, dan aku sangat membencinya. Memang Ayah tidak melakukan kekerasan fisik, tapi tetap saja, aku tidak menaruh simpati padanya.
Ibu berkata pada kami para anaknya agar berhati-hati dalam memilih pasangan kelak, harus melihat seperti apa kepribadiannya, bukan hanya karena nafsu semata atau perasaan yang disebut cinta buta. Dulu Ibu mati-matian mempertahankan Ayah meski orang tuanya menentang, dan inilah hasilnya. Ibu didera perasaan menyesal, dan tidak ingin ketiga anaknya mengalami hal sama.
Gara-gara Ayah tidak menafkahi kami, Ibu dan Radja harus bekerja. Ibu bekerja sebagai karyawan di toko roti dekat rumah sementara Radja bekerja sebagai asisten dosen di kampusnya dan juga melakukan part-time di toko servis komputer. Aku juga ingin bekerja, tapi Ibu melarang. Ia bilang aku baru boleh bekerja jika sudah kuliah. Dan kini aku sudah kuliah, jadi dengan senang hati aku akan mulai bekerja membantu Ibu dan Radja.
Setelah berpamitan pada Ibu, kami bertigaLyla, aku, dan Radjamengayuh sepeda menuju tempat tujuan kami. Lyla berpisah dengan kami di tikungan kedua, lalu tak berapa lama, Radja mendahuluiku ke kampus karena ia harus mempersiapkan kelas, sementara aku mengayuh sepeda dengan santai, menikmati pemandangan deretan pepohonan di kedua sisi kanan dan kiri jalan yang bernuansa hijau, kuning keemasan, dan merah.
Rasanya dadaku sesak dipenuhi rasa bahagia, sampai kemudian mataku menangkap sesosok pria di dekat parkiran sepeda di kampus. Pria itu, iblis bermata hijau yang ada di dalam mimpi burukku! Dia tengah berdiri tak jauh dari posisiku saat ini, dengan pakaian serba hitam yang membalut tubuh tingginya. Mata hijaunya yang berkilat karena pantulan cahaya matahari pagi, menatapku tajam, dengan sorot yang kental oleh nafsu. Seketika bulu kudukku berdiri. Saat ini juga, rasa bahagiaku sirna.
Bagaimana mungkin iblis dalam mimpiku kini ada di dunia nyata?!
Mataku terpaku pada sosok pria berbaju serba hitam yang masih saja menatapku dengan bola mata hijaunya. Adegan-adegan dalam mimpiku tiba-tiba membanjiri otak. Saat bibirnya menyentuh bibirku, saat mulutnya mengisap ... Kugelengkan kepala dengan kuat.Aku bisa bergerak! Kembali kutatap pria itu. Jadi ... dia bukan iblis di dalam mimpiku? Tapi ... kenapa wajah dan sosoknya sangat mirip? Dan cara matanya menatapku...Pria itu mengulas seringai lebar, membuatnya terlihat semakin tampan sekaligus tampak keji. Jantungku berdegup dengan kencang karena rasa takut. Cepat-cepat kubalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkannya. Aku bersyukur dalam hati karena tubuhku bisa bergerak dan menjauh dari pria bermata hijau itu.Aku menyapa teman pertamaku, Lidya, gadis yang sangat cantik, berkulit cokelat keemasan, dan bertubuh seksi dengan sweater warna peach lengan pendek yang dipadu rok senada di atas lutut, menyu
Menjelang larut malam, aku tak ingin memejamkan mata meski kantuk mulai menyerang. Aku berusaha bertahan dengan menenggak dua cangkir kopi pahit, sebab jika terlelap, aku khawatir akan bertemu lagi dengan Xander di alam mimpi: itu hal terakhir yang kuinginkan.Sepulang kuliah aku telah mendapatkan kerja part-time pertamaku, menjadi petugas laundry di sebuah ruko yang membuka jasa laundry yang terletak di kawasan apartemen dan perumahan mewah yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, tapi dekat dengan kampus. Upah yang akan kuterima lumayan, dan pemilik laundry-nya pun hangat serta ramahMbak Fia namanyajadi aku mengambil pekerjaan itu. Aku baru akan mulai bekerja di Ceria Laundry esok hari sepulang kuliah, mulai jam 5 sore sampai jam 11 malam.Awalnya Ibu tidak mengizinkan karena aku harus pulang sendiri setiap jam 11 malam dengan mengayuh sepeda, tapi aku bersikeras bahwa aku akan baik-baik saja. Aku bilang padanya aku bisa menjaga diriku sen
Aroma lavender yang menenangkan dan keindahan pemandangan padang lavender di sekitarku membuatku terpesona. Ingin rasanya aku berguling-guling. Saat memikirkan itu, tanpa sadar aku sudah berguling-guling di antara semak lavender. Aku tersenyum memandangi langit biru di atasku, dengan gumpalan awan putih seperti kapas. Angin sejuk membelai wajah, leher, lengan, dan kakiku yang terbuka. Ingin rasanya berlama-lama di sini.Lalu tiba-tiba muncul Xander yang menunduk tepat di atas wajahku, napasnya yang beraroma segar mengembus hangat wajahku. Mata hijau teduh itu menatapku mesra dengan senyum lembut terukir di wajah tampannya. “Kau menyukainya?”“Ya, aku sangat menyukainya! Ini ... sempurna, Xander....”“Kalau begitu, beri aku hadiah.”Aku tersenyum menyambut ciumannya. Bibir kami saling memagut hingga napas kami tersengal. Kedua tanganku merangkul lehernya, membuat da
Aku terkejut mendengar suara serak Xander. Jantungku seketika berdegup cepat, panik. Apa yang harus kulakukan?“Yang harus kaulakukan hanyalah datang ke sini, dan ambil bungkusan pakaian laundry-an. Itu tanggung jawabmu, kan? Apa kau ingin dipecat dari Ceria Laundry?”Aku mencengkeram kabel telepon. Terdengar suara menggelegar di kejauhan. Hujan pasti akan turun sementara aku kembali ke apartemen. Tapi iblis itu benar, itu memang tanggung jawabku, dan aku tidak ingin dipecat."Datanglah ke penthouse-ku, lantai teratas apartemen.”Lalu kudengar bunyi klik, tanda bahwa Xander memutus sambungan telepon.Kutatap Mbak Fia. “Aku ... aku akan mengurus baju-baju laundry-an di apartemen. Bisa kupinjam jas hujan? Aku akan naik sepeda ke sana.”“Bowo akan mengantarmu dengan mobil.”“Ti-tida
Author POVPuluhan kapal dengan berbagai macam nama bersandar di pelabuhan utama, deck VIP di kota seribu kapal, Athena, Yunani. Kota para dewa-dewi yang konon abadi dengan kesempurnaan wajah dan fisiknya. Mungkin itu yang sekilas terlihat oleh para pegawai pelabuhan yang mengurus tali-tali besar agar yacht atau kapal pribadi sang penyewa deck bersandar dengan baik—seorang Dewa Olympus. Di siang yang terik—khas kota Athena—seolah musim panas tak pernah berakhir, para pegawai pelabuhan yang mayoritas adalah pria tiga puluhan dengan kulit cokelat memandang sebuah yacht mewah dengan nama De Ville.Seorang pria tegap berada di deck terdepan yacht itu, saat perahu mewah khas kaum jetset itu menempel di pelabuhan, kaki panjang pria berpakaian serba biru melangkah dan selanjutnya berjalan di tepi pelabuhan dengan santai. Seperti seorang model runaway kondang yang sering wara-wiri di couture Paris, dengan rayban hitam dan celana car
Author POVDeretan rumah mewah berjajar di kawasan elit yang terletak di dekat pelabuhan, daerah itu terlihat seperti dunia lain jika dibandingkan dengan perumahan kumuh terletak tiga kilometer dari sana. Udaranya, pepohonannya, bahkan sungainya berbeda. Bagaimana bisa, sebuah sungai di wilayah yang sama bisa berbeda warna dan kondisinya?Sebuah rumah megah minimalis berlantai tiga terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah mewah di samping kanan dan kirinya, sebuah pagar sebahu berwarna hitam mengkilat tidak dapat menyembunyikan keindahan tampilan luar rumah itu. Dinding kuning cerah tertimpa sinar matahari terik, pasti membuat orang berpikir, orang seperti apa mengecat rumah indahnya dengan warna mencolok seperti ini?Lidya melewati permukiman kelas atas itu karena ibunya menyuruh mengirimkan bingkisan cupcakes kepada teman baik ibunya—yang memang seorang sosialita. Sayang sopir pribadi sang I
Xander memaksa untuk mengantarku ke laundry, namun aku menolak dengan keras. Saat ia berkata bahwa tak akan memberikan laundry-an, akhirnya aku menyerah dan membiarkan Xander mengantarku, sementara sepedaku diikat di atas mobilnya.Mbak Fia menyambutku dengan kening berkerut saat melihat Xander yang mengantarku. Bosku itu terlihat akan menegur, namun entah kenapa dia malah diam saja, lalu masuk ke dalam ruangan kantornya.Aku mendelik pada Xander. "Kenapa masih di sini? Cepat pulang."Xander mengangkat bahu, lalu segera berlalu menuju mobilnya tanpa berkata apa pun.Oke, pasti Mbak Fia marah besar padaku karena aku terlalu lama di apartemen, dan malah diantar ke sini oleh pria yang tidak dikenal. Tapi ternyata dugaanku salah, Mbak Fia tidak marah, dia malah langsung menyuruhku untuk menyetrika pakaian yang menumpuk—itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.Aku me
Lidya sangat ceria sekali hari ini, dan aku heran karena ia sama sekali tidak membahas Mr. Xander De Ville pria pujaannya. Baiklah, mungkin dia sudah berpindah dengan cepat ke lain hati? Baguslah, karena Xander sama sekali bukan pria yang baik, dan masih diragukan jenis makhluk seperti apakah Xander itu.Sepulang kuliah, aku berpisah dengan Lidya di parkiran, lalu aku mengayuh sepeda menuju Ceria Laundry. Di tengah jalan, rantai sepedaku tiba-tiba putus. Dengan kesal, aku menepikan sepeda. Sial, aku tidak boleh terlambat kerja, aku tidak mau mengecewakan Mbak Fia lagi!"Butuh bantuan?"Aku mendongak, dan mendapati seorang pria bermata hijau terang dan berwajah tampan membungkuk di atasku. Poninya yang lurus hitam panjang menjuntai hampir menutupi mata indahnya. Kukerjapkan mataku. Dia bermata hijau, tapi bukan Xander."Ah ... aku ... r