Mataku terpaku pada sosok pria berbaju serba hitam yang masih saja menatapku dengan bola mata hijaunya. Adegan-adegan dalam mimpiku tiba-tiba membanjiri otak. Saat bibirnya menyentuh bibirku, saat mulutnya mengisap ... Kugelengkan kepala dengan kuat.
Aku bisa bergerak! Kembali kutatap pria itu. Jadi ... dia bukan iblis di dalam mimpiku? Tapi ... kenapa wajah dan sosoknya sangat mirip? Dan cara matanya menatapku...
Pria itu mengulas seringai lebar, membuatnya terlihat semakin tampan sekaligus tampak keji. Jantungku berdegup dengan kencang karena rasa takut. Cepat-cepat kubalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkannya. Aku bersyukur dalam hati karena tubuhku bisa bergerak dan menjauh dari pria bermata hijau itu.
Aku menyapa teman pertamaku, Lidya, gadis yang sangat cantik, berkulit cokelat keemasan, dan bertubuh seksi dengan sweater warna peach lengan pendek yang dipadu rok senada di atas lutut, menyuguhkan paha mulusnya. Rambutnya ikal sebahu membingkai wajahnya yang eksotis. Kami mulai akrab saat OSPEK, dan kini berteman. Hobi kami sama, membaca novel, dan kami sama-sama penggemar novel Harry Potter. Oke, itu saja sudah cukup untuk membuat kami menjadi dekat, meskipun penampilan kami seperti bumi dan langit.
“Rambutmu berantakan." Lidya terkekeh sambil mengeluarkan sisir dan cermin dari tasnya lalu memberikannya padaku. “Tapi, aku heran, kau tetap cantik meski rambut lurus sepinggangmu kusut, dan tanpa make up di wajahmu,” ujar Lidya dengan nada iri.
Aku tertawa dan menolak sisir serta cerminnya. “Jangan mengejekku, aku tidak cantik. Well, aku lebih suka seperti ini.”
“Aku tidak mengejek,” ujar Lidya tulus. “Kenapa kau berpenampilan urakan? Maksudku, rambut berantakan, T-shirt longgar dan jeans lusuh, tanpa make up. Padahal kau bisa tampil cantik dengan blouse atau rok—”
“Aku malas, dan kurang nyaman,” jawabku jujur sambil nyengir. Itu memang benar. Aku malas menata rambut panjangku dan berdandan. Entah kenapa aku tidak nyaman mengenakan rok, aku lebih leluasa dengan T-shirt dan jeans. Biar saja seperti ini, toh aku ke kampus bukan untuk mencari pacar atau semacamnya. Aku harus fokus pada kuliah, ditambah harus bekerja nanti.
Lidya mengangguk paham lalu memasukkan kembali peralatannya ke dalam tas. Kemudian kami duduk di bangku dan mulai membicarakan tentang tokoh-tokoh dalam novel Harry Potter sebelum dosen pertama masuk kelas.
Sejak mengenal Lidya saat OSPEK, aku tahu banyak pria mendekati Lidya, tapi gadis ini malah tidak mengacuhkan mereka. Ia lebih tertarik untuk membaca novel atau buku kuliahnya. Aku heran dengan sikap Lidya, padahal para pria yang mendekatinya lumayan tampan.
Saat dosen kedua masuk ke dalam kelasdia adalah dosen pengganti sementara dosen yang bersangkutan sedang kuliah S3 di luar negeriaku terperangah melihat pria bermata hijau itu!
Aku panik dan takut. Jantungku berdebar-debar tidak karuan. Pria ini ... dosen pengganti?
Aku tidak mendengar sorak kagum para mahasiswi yang terpesona oleh pria bermata hijau itu sampai Lidya mengguncangkan bahuku sambil berseru,
“Ya ampun, ya ampun, dia tampan sekaliii! Aku ingin sekali menjadi pacar Mr. Xander A. De Ville!”
Xander? Xander? Mataku membelalak saat mengingat nama itu. Iblis bermata hijau dalam mimpiku menyebutkan namanya ... Xander. Benarkah?
“Nadja, kau dengar tidak? Lihat bentuk tubuhnya? Sempurna!” Lidya masih saja mengguncangkan bahuku. Aku tidak sadar bahwa kini temanku yang cantik, seksi, dan menjadi idola kaum adam di kampus ini sedang memberitahukan tipe pria yang diinginkannya.
Aku terlalu takut untuk berpikir, sementara mata hijau Mr. De Ville tertuju ke arah kami. Kuharap aku hanya salah sangka. Kuharap yang dilihat Mr. De Ville bukan aku, melainkan Lidya.
“Dia melihat ke sini, Nadja! Dia melihatku! Ya Tuhan, dia itu seperti dewa!” bisik Lidya, suaranya terdengar bergetar.
Tatapanku tertuju pada mulut pria itu yang membuka dan menyebutkan satu kata tanpa suara, Nadja.
Tiba-tiba rasa mual naik ke kerongkongan, dan tanpa izin pada sang dosen penggantialias Mr. De Ville, buru-buru aku pergi ke luar kelas lalu berlari menyusuri lorong menuju toilet di ujung gedung. Aku memuntahkan sarapanku. Air mata membanjiri wajahku.
Ini ... hanya mimpi, kan? Sebenarnya... siapa Mr. De Ville itu? Manusia ... atau iblis? Apa yang diinginkannya dariku?
***
Aku memilih untuk bolos dari mata kuliah Mr. De Ville karena tidak mau berada dalam satu ruangan dengannya. Aku takut. Jadi, kuputuskan untuk ke perpustakaan kampus. Setelah mengambil novel berbahasa Jerman dari salah satu rak buku yang terbuat dari kayu jati, aku duduk di birai jendela besar yang mengarah ke taman kampus, lalu mulai membaca novel ini. Tapi aku tidak bisa berkonsentrasi, beberapa kali pun mencoba. Pikiranku tetap tertuju pada Mr. De Ville, atau Xander. Siapa sebenarnya pria itu?
“Kenapa kau pergi begitu saja dari kelasku?”
Dengan gerakan cepat aku mendongak dari novel di tangan. Tubuhnya yang begitu tinggi membuat leherku sampai sakit karena harus menengadah menatap wajahnya. Aku menelan ludah, merasa panik dan takut, sementara jantungku memompa sangat cepat.
Dug dug dug dug dug.
Bagaimana bisa pria ini ada di perpustakaan dan menemukanku? Apa dia hanya mengabsen siswa tanpa memberikan kuliah?
“Kenapa kau pergi begitu saja dari kelasku?” ulangnya, menuntut jawaban.
Aku tidak mau menjawab pertanyaannya.
Xander menghela napas pelan.
“Nadja, aku senang kita bertemu lagi,” ujarnya dengan suara seraknya. Mata hijaunya tampak berlumur nafsu. Lalu dengan cepat ia mendekat dan mengurungku ke jendela besar di belakangku yang tertutup. Napasnya beraroma mawar segar, harum. “Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini ....”
Lagi-lagi, aku tidak bisa bergerak. Mataku tak bisa lepas dari Xander. “Pergilah, kumohon.” Aku bisa berkata-kata, tapi tubuhku seperti dipaku di tempat.
“Jangan bersikap tidak sopan pada dosenmu.
“S-siapa kau sebenarnya?"
“Kau tidak perlu tahu,” ucapnya tegas sebelum bibirnya melumat bibirku.
Kumohon, bergeraklah, bergeraklah, tubuhku, ayolah!
Tolong! Siapa saja, tolong aku!
“Nadja, Nadja!”
Aku membuka mata.
“Kucari kau ke mana-mana, ternyata tertidur di sini. Ayo pergi makan siang, nanti jam istirahat keburu selesai, aku lapar nih.”
Aku bangkit duduk tegak dan mendapati Lidya tersenyum hangat padaku. Kuedarkan pandangan; aku ada di perpustakaan, duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja panjang dan lebar di tengah ruang perpustakaan. Bagaimana bisa aku duduk di sini? Seingatku, tadi aku duduk di tepi jendela...
Aku belum bisa berpikir jernih, namun aku sangat lega karena Lidya membangunkanku dari mimpi buruk dengan Xander.
Ya Tuhan, kenapa aku selalu memimpikan pria bermata hijau itu? Dan kenapa rasanya sangat nyata!
Menjelang larut malam, aku tak ingin memejamkan mata meski kantuk mulai menyerang. Aku berusaha bertahan dengan menenggak dua cangkir kopi pahit, sebab jika terlelap, aku khawatir akan bertemu lagi dengan Xander di alam mimpi: itu hal terakhir yang kuinginkan.Sepulang kuliah aku telah mendapatkan kerja part-time pertamaku, menjadi petugas laundry di sebuah ruko yang membuka jasa laundry yang terletak di kawasan apartemen dan perumahan mewah yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, tapi dekat dengan kampus. Upah yang akan kuterima lumayan, dan pemilik laundry-nya pun hangat serta ramahMbak Fia namanyajadi aku mengambil pekerjaan itu. Aku baru akan mulai bekerja di Ceria Laundry esok hari sepulang kuliah, mulai jam 5 sore sampai jam 11 malam.Awalnya Ibu tidak mengizinkan karena aku harus pulang sendiri setiap jam 11 malam dengan mengayuh sepeda, tapi aku bersikeras bahwa aku akan baik-baik saja. Aku bilang padanya aku bisa menjaga diriku sen
Aroma lavender yang menenangkan dan keindahan pemandangan padang lavender di sekitarku membuatku terpesona. Ingin rasanya aku berguling-guling. Saat memikirkan itu, tanpa sadar aku sudah berguling-guling di antara semak lavender. Aku tersenyum memandangi langit biru di atasku, dengan gumpalan awan putih seperti kapas. Angin sejuk membelai wajah, leher, lengan, dan kakiku yang terbuka. Ingin rasanya berlama-lama di sini.Lalu tiba-tiba muncul Xander yang menunduk tepat di atas wajahku, napasnya yang beraroma segar mengembus hangat wajahku. Mata hijau teduh itu menatapku mesra dengan senyum lembut terukir di wajah tampannya. “Kau menyukainya?”“Ya, aku sangat menyukainya! Ini ... sempurna, Xander....”“Kalau begitu, beri aku hadiah.”Aku tersenyum menyambut ciumannya. Bibir kami saling memagut hingga napas kami tersengal. Kedua tanganku merangkul lehernya, membuat da
Aku terkejut mendengar suara serak Xander. Jantungku seketika berdegup cepat, panik. Apa yang harus kulakukan?“Yang harus kaulakukan hanyalah datang ke sini, dan ambil bungkusan pakaian laundry-an. Itu tanggung jawabmu, kan? Apa kau ingin dipecat dari Ceria Laundry?”Aku mencengkeram kabel telepon. Terdengar suara menggelegar di kejauhan. Hujan pasti akan turun sementara aku kembali ke apartemen. Tapi iblis itu benar, itu memang tanggung jawabku, dan aku tidak ingin dipecat."Datanglah ke penthouse-ku, lantai teratas apartemen.”Lalu kudengar bunyi klik, tanda bahwa Xander memutus sambungan telepon.Kutatap Mbak Fia. “Aku ... aku akan mengurus baju-baju laundry-an di apartemen. Bisa kupinjam jas hujan? Aku akan naik sepeda ke sana.”“Bowo akan mengantarmu dengan mobil.”“Ti-tida
Author POVPuluhan kapal dengan berbagai macam nama bersandar di pelabuhan utama, deck VIP di kota seribu kapal, Athena, Yunani. Kota para dewa-dewi yang konon abadi dengan kesempurnaan wajah dan fisiknya. Mungkin itu yang sekilas terlihat oleh para pegawai pelabuhan yang mengurus tali-tali besar agar yacht atau kapal pribadi sang penyewa deck bersandar dengan baik—seorang Dewa Olympus. Di siang yang terik—khas kota Athena—seolah musim panas tak pernah berakhir, para pegawai pelabuhan yang mayoritas adalah pria tiga puluhan dengan kulit cokelat memandang sebuah yacht mewah dengan nama De Ville.Seorang pria tegap berada di deck terdepan yacht itu, saat perahu mewah khas kaum jetset itu menempel di pelabuhan, kaki panjang pria berpakaian serba biru melangkah dan selanjutnya berjalan di tepi pelabuhan dengan santai. Seperti seorang model runaway kondang yang sering wara-wiri di couture Paris, dengan rayban hitam dan celana car
Author POVDeretan rumah mewah berjajar di kawasan elit yang terletak di dekat pelabuhan, daerah itu terlihat seperti dunia lain jika dibandingkan dengan perumahan kumuh terletak tiga kilometer dari sana. Udaranya, pepohonannya, bahkan sungainya berbeda. Bagaimana bisa, sebuah sungai di wilayah yang sama bisa berbeda warna dan kondisinya?Sebuah rumah megah minimalis berlantai tiga terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah mewah di samping kanan dan kirinya, sebuah pagar sebahu berwarna hitam mengkilat tidak dapat menyembunyikan keindahan tampilan luar rumah itu. Dinding kuning cerah tertimpa sinar matahari terik, pasti membuat orang berpikir, orang seperti apa mengecat rumah indahnya dengan warna mencolok seperti ini?Lidya melewati permukiman kelas atas itu karena ibunya menyuruh mengirimkan bingkisan cupcakes kepada teman baik ibunya—yang memang seorang sosialita. Sayang sopir pribadi sang I
Xander memaksa untuk mengantarku ke laundry, namun aku menolak dengan keras. Saat ia berkata bahwa tak akan memberikan laundry-an, akhirnya aku menyerah dan membiarkan Xander mengantarku, sementara sepedaku diikat di atas mobilnya.Mbak Fia menyambutku dengan kening berkerut saat melihat Xander yang mengantarku. Bosku itu terlihat akan menegur, namun entah kenapa dia malah diam saja, lalu masuk ke dalam ruangan kantornya.Aku mendelik pada Xander. "Kenapa masih di sini? Cepat pulang."Xander mengangkat bahu, lalu segera berlalu menuju mobilnya tanpa berkata apa pun.Oke, pasti Mbak Fia marah besar padaku karena aku terlalu lama di apartemen, dan malah diantar ke sini oleh pria yang tidak dikenal. Tapi ternyata dugaanku salah, Mbak Fia tidak marah, dia malah langsung menyuruhku untuk menyetrika pakaian yang menumpuk—itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.Aku me
Lidya sangat ceria sekali hari ini, dan aku heran karena ia sama sekali tidak membahas Mr. Xander De Ville pria pujaannya. Baiklah, mungkin dia sudah berpindah dengan cepat ke lain hati? Baguslah, karena Xander sama sekali bukan pria yang baik, dan masih diragukan jenis makhluk seperti apakah Xander itu.Sepulang kuliah, aku berpisah dengan Lidya di parkiran, lalu aku mengayuh sepeda menuju Ceria Laundry. Di tengah jalan, rantai sepedaku tiba-tiba putus. Dengan kesal, aku menepikan sepeda. Sial, aku tidak boleh terlambat kerja, aku tidak mau mengecewakan Mbak Fia lagi!"Butuh bantuan?"Aku mendongak, dan mendapati seorang pria bermata hijau terang dan berwajah tampan membungkuk di atasku. Poninya yang lurus hitam panjang menjuntai hampir menutupi mata indahnya. Kukerjapkan mataku. Dia bermata hijau, tapi bukan Xander."Ah ... aku ... r
"Wah, ada kabar baik pasti. Dari tadi kuperhatikan kau senyam-senyum sendiri, Lid!""Iya dong. Aku officially sudah tidak single lagi," jawab Lidya kepadaku yang menatap penasaran. Aku dan Lidya sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Keduanya duduk santai di kafetaria. "Tadi malem, aku first date dan dia nembak aku dengan resmi!" jelas Lidya dengan mata menerawang, bibirnya seakan tidak bisa berhenti tersenyum."Wow, cerita doong. Detail, Lid!" pintaku tertarik."Hmm ... kita candle light dinner gitu, lalu dia kasih aku bunga sambil berlutut satu kaki. So sweet banget sekali, bukan? And then we kissed, dia bilang i love you, dengan sinar bulan temaram dan lilin di meja makan sebagai saksi cinta kita.""Hwowow .... kok bisa seperti film ya, Lid? Romantis sekali. Siapa pria beruntung itu, Lid?""Dokter gigi yang sangat kaya. Tampan, seksi pula! Dosen kita, Pak Xander, tidak ada apa-apanya. Aku panggil