Menjelang larut malam, aku tak ingin memejamkan mata meski kantuk mulai menyerang. Aku berusaha bertahan dengan menenggak dua cangkir kopi pahit, sebab jika terlelap, aku khawatir akan bertemu lagi dengan Xander di alam mimpi: itu hal terakhir yang kuinginkan.
Sepulang kuliah aku telah mendapatkan kerja part-time pertamaku, menjadi petugas laundry di sebuah ruko yang membuka jasa laundry yang terletak di kawasan apartemen dan perumahan mewah yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, tapi dekat dengan kampus. Upah yang akan kuterima lumayan, dan pemilik laundry-nya pun hangat serta ramahMbak Fia namanyajadi aku mengambil pekerjaan itu. Aku baru akan mulai bekerja di Ceria Laundry esok hari sepulang kuliah, mulai jam 5 sore sampai jam 11 malam.
Awalnya Ibu tidak mengizinkan karena aku harus pulang sendiri setiap jam 11 malam dengan mengayuh sepeda, tapi aku bersikeras bahwa aku akan baik-baik saja. Aku bilang padanya aku bisa menjaga diriku sendiri dengan keahlian bela diri yang kudapatkan saat duduk di SMP sampai saat tahun terakhirku di SMA. Walaupun dalam hati merasa ragu apakah aku bisa melawan iblis seperti Xander.
Mengingat pria itu saja sudah membuat bulu kudukku meremang. Begadang sepertinya akan menjadi kebiasaanku setiap hari mulai malam ini. Tubuhku pasti tidak akan sanggup, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.
***
Aku menguap untuk kesekian kalinya hari ini. Aku berhasil begadang dalam dua hari ini, dan inilah hasilnya, mengantuk berat saat kuliah. Tapi untung saja aku masih bisa menyimak materi yang diberikan oleh para dosen.
“Seharusnya kau tidak begadang, Nadja. Kalau untuk belajar kan tidak perlu semalam suntuk, lagi pula kita baru saja mulai kuliah.” Lidya memberi nasihat sambil mengunyah salad buah yang dibelinya di kantin kampus.
Aku hanya tersenyum miring, lalu menenggak kopi dinginku. Aku tidak mungkin menceritakan soal Mr. De Ville atau Xander pada Lidya, karena mungkin ia akan menertawakan atau menganggapku hanya mengada-ada. Aku sendiri berharap bahwa aku hanya mengada-ada.
Lalu tiba-tiba Mr. De Ville duduk di bangku di seberang meja kami, mengenakan kemeja putih lengan panjang tanpa dasi dan celana bahan putihia tampak seperti iblis yang sedang menyamar menjadi malaikat. Mata hijaunya menatapku lekat, tanpa berkedip, membuatku merinding dan ingin segera angkat kaki dari sini.
“Lidya, kurasa aku mau menghirup udara segar di taman. Di kantin sini ... pengap.”
Lidya mengangguk. “Aku ikut—” ucapannya terhenti saat ia melihat Xander. Ia menoleh padaku dengan cepat. “Ya, Tuhan, itu Mr. De Ville!” Wajahnya yang eksotis tampak memerah gelap. “Aku harus bagaimana?”
Aku menelan ludah. “Kau sapa dia saja. Kita bertemu lagi nanti di kelas. Sampai nanti, Lidya.”
Aku bergegas meninggalkan Lidya dan Xander di belakangku, seperti maling yang tengah dikejar polisi. Di taman yang ditumbuhi pepohonan mahoni, flamboyan, kamboja berbagai warna, dan cemara ini, kuhirup oksigen banyak-banyak. Lega rasanya bisa jauh dari Xander.
“Kau tidak bisa lari dariku, Nadja.”
Aku menoleh terkejut pada Xander yang kini telah berdiri menjulang di sebelahku. Spontan aku langsung menjauh, namun kakiku terpaku di tempat, tidak dapat digerakkan. Apakah aku sedang bermimpi? Ini mimpi atau ... kenyataan?
“Tidak ada bedanya kau bermimpi atau tidak, bukan? Aku akan selalu ada.” Tangan Xander terulur untuk meraih wajahku, besar dan hangat. “Jangan begadang lagi,” ujarnya pelan, suaranya lebih menyerupai desau angin.
Meskipun wajah di hadapanku ini sangat menawandengan alis hitam tebal melengkung yang menaungi mata hijau muda yang mengingatkanku pada keindahan warna danau yang pernah kukunjungi sewaktu kecil, hidung lurus mancung layaknya orang Eropa, bibir dengan warna merah yang tampak segar, serta rambut hitam legam bergelombang yang membingkai bentuk wajah dengan garis tegas dan rahang yang tampak keras bagai hasil pahatan maestro Yunani kunoaku tidak merasa terpesona.
Aku ingin menjauh, tapi tidak bisa bergerak. Napasku terasa sesak. Bayangan hal-hal yang iblis ini lakukan di dalam mimpi menari-nari di otakku, membuat sekujur tubuhku panas-dingin.
Kumohon, bergeraklah, aku tidak ingin merasa lemah seperti ini! Air mata meleleh membasahi pipiku, terasa panas.
Xander menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya. Lalu pria itu menunduk, mata hijau mudanya memaksaku untuk menatap matanya. Bibir merahnya membentuk seringai sebelum menyentuh bibirku, terasa hangat, seperti juga sentuhan tangannya.
Sentuhan bibirnya di mengalirkan rasa panas ke sekujur tubuh, membuat jantungku seolah berkejaran. Iblis ini, kurang ajar sekali menciumku di tengah keramaian! Jika semua orang melihat ... kami akan menjadi pembicaraan orang-orang!
Saat bibir Xander akhirnya menjauh dariku, aku langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, karena ciumannya tadi membuat napas terasa sesak.
“Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, kau akan jadi milikku seutuhnya, dan saat itu kau akan tersadar sepenuhnya, Nadja, bahwa tubuh, hati, dan pikiranmu tidak akan bisa jauh dariku.”
Tidak akan pernah! Pergi!
Xander menyeringai, wajahnya tampak senang. Lalu ia berjalan melewatiku.
Sedetik kemudian aku dapat menggerakkan tubuh, lalu tanpa membuang kesempatan, aku berlari secepat mungkin menjauhi Xander. Tapi kemudian Xander tiba-tiba muncul di depanku, membuatku terkejut setengah mati. Aku tak sempat menghentikan laju lariku sehingga tubuhku menubruk tubuh kerasnya. Saat bermaksud untuk menyikutnya, tiba-tiba Xander menghilang, membuatku bingung.
Barusan aku hanya mengkhayal atau ...? Tapi sepertinya aku menabrak benda keras?
“Kau mencariku, Nadja?”
Aku membelalak mendapati pria itu berdiri di belakangku dengan seringai. Ia berjalan mendekat perlahan. Tanpa menunggunya, aku kembali berlari menyusuri taman kampus yang luas, melewati pepohonan rindang, ke mana saja, yang penting menjauh dari Xander.
Setelah keluar dari taman, kakiku mengarah ke dalam gedung kampus. Beberapa menit lamanya aku berlari menaiki tangga di dalam gedung, kemudian baru menyadari bahwa aku tengah berlari di lorong sepi dan agak gelap menuju perpustakaan di lantai empat. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Xander hanya berjarak enam meter dariku, melangkah pelan tapi pasti.
Aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku tidak berlari tanpa tujuan seperti ini! Napasku kini terasa sesak dan kakiku juga pegal karena terus-menerus berlari, sementara peluh membasahi kaus putihku. Tapi aku tidak boleh berhenti. Jika aku berhenti, maka Xander akan menangkapku!
Beberapa detik lagi tanganku menggapai gagang pintu perpustakaan. Di dalam sana pasti ramai, dan Xander tidak akan bisa menyentuhku. Namun, harapanku pupus saat Xander lagi-lagi muncul di depanku, dan lagi-lagi aku menubruk tubuh kerasnya.
“Aromamu ... sungguh harum.” Xander mengangkatku dari lantai lalu mendekapku dengan erat sementara hidung dan bibirnya menempel di leherku yang bermandikan peluh, membuat bulu kudukku meremang.
“Lepaskan aku!” Aku meronta, namun lengan-lengan kuat Xander mengunciku, membuatku tidak dapat bergerak sedikit pun. “Sialan! Kau iblis sialan, lepaskan aku!”
“Kenapa kau bersikeras, Nadja?”
“Kau menjijikkan! Aku tidak mau menjadi milikmu!”
Mata hijau Xander tampak meredup sesaat sebelum menatapku dengan keji dan penuh nafsu. Kemudian kurasakan kedua tanganku bergerak sendiri, naik ke atas merangkul lehernya, lantas menekannya ke arah wajahku yang mendongak.
Hentikan, aku tidak mau! teriakku tanpa suara.
Wajahnya terlalu dekat denganku, bibirnya tersungging ke atas membuat wajahnya terlihat tampan. Ahh, tidak! Dia seorang yang jahat. Iblis jahat.
Samar-samar tercium aroma lavender yang menenangkan.
Air mata sudah membasahi wajahku, namun seolah Xander tak peduli, bibirnya terus saja menempel di keningku, lalu turun ke puncak hidung. Saat aku memandang berkeliling, aku terkejut karena kami berada di padang lavender luas seperti dalam mimpiku!
Aroma lavender yang menenangkan dan keindahan pemandangan padang lavender di sekitarku membuatku terpesona. Ingin rasanya aku berguling-guling. Saat memikirkan itu, tanpa sadar aku sudah berguling-guling di antara semak lavender. Aku tersenyum memandangi langit biru di atasku, dengan gumpalan awan putih seperti kapas. Angin sejuk membelai wajah, leher, lengan, dan kakiku yang terbuka. Ingin rasanya berlama-lama di sini.Lalu tiba-tiba muncul Xander yang menunduk tepat di atas wajahku, napasnya yang beraroma segar mengembus hangat wajahku. Mata hijau teduh itu menatapku mesra dengan senyum lembut terukir di wajah tampannya. “Kau menyukainya?”“Ya, aku sangat menyukainya! Ini ... sempurna, Xander....”“Kalau begitu, beri aku hadiah.”Aku tersenyum menyambut ciumannya. Bibir kami saling memagut hingga napas kami tersengal. Kedua tanganku merangkul lehernya, membuat da
Aku terkejut mendengar suara serak Xander. Jantungku seketika berdegup cepat, panik. Apa yang harus kulakukan?“Yang harus kaulakukan hanyalah datang ke sini, dan ambil bungkusan pakaian laundry-an. Itu tanggung jawabmu, kan? Apa kau ingin dipecat dari Ceria Laundry?”Aku mencengkeram kabel telepon. Terdengar suara menggelegar di kejauhan. Hujan pasti akan turun sementara aku kembali ke apartemen. Tapi iblis itu benar, itu memang tanggung jawabku, dan aku tidak ingin dipecat."Datanglah ke penthouse-ku, lantai teratas apartemen.”Lalu kudengar bunyi klik, tanda bahwa Xander memutus sambungan telepon.Kutatap Mbak Fia. “Aku ... aku akan mengurus baju-baju laundry-an di apartemen. Bisa kupinjam jas hujan? Aku akan naik sepeda ke sana.”“Bowo akan mengantarmu dengan mobil.”“Ti-tida
Author POVPuluhan kapal dengan berbagai macam nama bersandar di pelabuhan utama, deck VIP di kota seribu kapal, Athena, Yunani. Kota para dewa-dewi yang konon abadi dengan kesempurnaan wajah dan fisiknya. Mungkin itu yang sekilas terlihat oleh para pegawai pelabuhan yang mengurus tali-tali besar agar yacht atau kapal pribadi sang penyewa deck bersandar dengan baik—seorang Dewa Olympus. Di siang yang terik—khas kota Athena—seolah musim panas tak pernah berakhir, para pegawai pelabuhan yang mayoritas adalah pria tiga puluhan dengan kulit cokelat memandang sebuah yacht mewah dengan nama De Ville.Seorang pria tegap berada di deck terdepan yacht itu, saat perahu mewah khas kaum jetset itu menempel di pelabuhan, kaki panjang pria berpakaian serba biru melangkah dan selanjutnya berjalan di tepi pelabuhan dengan santai. Seperti seorang model runaway kondang yang sering wara-wiri di couture Paris, dengan rayban hitam dan celana car
Author POVDeretan rumah mewah berjajar di kawasan elit yang terletak di dekat pelabuhan, daerah itu terlihat seperti dunia lain jika dibandingkan dengan perumahan kumuh terletak tiga kilometer dari sana. Udaranya, pepohonannya, bahkan sungainya berbeda. Bagaimana bisa, sebuah sungai di wilayah yang sama bisa berbeda warna dan kondisinya?Sebuah rumah megah minimalis berlantai tiga terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah mewah di samping kanan dan kirinya, sebuah pagar sebahu berwarna hitam mengkilat tidak dapat menyembunyikan keindahan tampilan luar rumah itu. Dinding kuning cerah tertimpa sinar matahari terik, pasti membuat orang berpikir, orang seperti apa mengecat rumah indahnya dengan warna mencolok seperti ini?Lidya melewati permukiman kelas atas itu karena ibunya menyuruh mengirimkan bingkisan cupcakes kepada teman baik ibunya—yang memang seorang sosialita. Sayang sopir pribadi sang I
Xander memaksa untuk mengantarku ke laundry, namun aku menolak dengan keras. Saat ia berkata bahwa tak akan memberikan laundry-an, akhirnya aku menyerah dan membiarkan Xander mengantarku, sementara sepedaku diikat di atas mobilnya.Mbak Fia menyambutku dengan kening berkerut saat melihat Xander yang mengantarku. Bosku itu terlihat akan menegur, namun entah kenapa dia malah diam saja, lalu masuk ke dalam ruangan kantornya.Aku mendelik pada Xander. "Kenapa masih di sini? Cepat pulang."Xander mengangkat bahu, lalu segera berlalu menuju mobilnya tanpa berkata apa pun.Oke, pasti Mbak Fia marah besar padaku karena aku terlalu lama di apartemen, dan malah diantar ke sini oleh pria yang tidak dikenal. Tapi ternyata dugaanku salah, Mbak Fia tidak marah, dia malah langsung menyuruhku untuk menyetrika pakaian yang menumpuk—itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.Aku me
Lidya sangat ceria sekali hari ini, dan aku heran karena ia sama sekali tidak membahas Mr. Xander De Ville pria pujaannya. Baiklah, mungkin dia sudah berpindah dengan cepat ke lain hati? Baguslah, karena Xander sama sekali bukan pria yang baik, dan masih diragukan jenis makhluk seperti apakah Xander itu.Sepulang kuliah, aku berpisah dengan Lidya di parkiran, lalu aku mengayuh sepeda menuju Ceria Laundry. Di tengah jalan, rantai sepedaku tiba-tiba putus. Dengan kesal, aku menepikan sepeda. Sial, aku tidak boleh terlambat kerja, aku tidak mau mengecewakan Mbak Fia lagi!"Butuh bantuan?"Aku mendongak, dan mendapati seorang pria bermata hijau terang dan berwajah tampan membungkuk di atasku. Poninya yang lurus hitam panjang menjuntai hampir menutupi mata indahnya. Kukerjapkan mataku. Dia bermata hijau, tapi bukan Xander."Ah ... aku ... r
"Wah, ada kabar baik pasti. Dari tadi kuperhatikan kau senyam-senyum sendiri, Lid!""Iya dong. Aku officially sudah tidak single lagi," jawab Lidya kepadaku yang menatap penasaran. Aku dan Lidya sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Keduanya duduk santai di kafetaria. "Tadi malem, aku first date dan dia nembak aku dengan resmi!" jelas Lidya dengan mata menerawang, bibirnya seakan tidak bisa berhenti tersenyum."Wow, cerita doong. Detail, Lid!" pintaku tertarik."Hmm ... kita candle light dinner gitu, lalu dia kasih aku bunga sambil berlutut satu kaki. So sweet banget sekali, bukan? And then we kissed, dia bilang i love you, dengan sinar bulan temaram dan lilin di meja makan sebagai saksi cinta kita.""Hwowow .... kok bisa seperti film ya, Lid? Romantis sekali. Siapa pria beruntung itu, Lid?""Dokter gigi yang sangat kaya. Tampan, seksi pula! Dosen kita, Pak Xander, tidak ada apa-apanya. Aku panggil
Nadja...Nadja...Jendela kamar dengan tirai bergerak kencang tertiup angin, deruan angin bercampur suara berat yang selalu menghantui malamku.Nadja...Nadja...Aku terduduk di kasur berseprei warna abu-abu, memandang nyalang ke sekeliling. Dia lagi ... pantas ia bisa menghantuiku bahkan di saat kutidur."Ke mana saja kau, Nadja!" Suara berat disusul sosok siluet besar mendekat, berjalan perlahan dari jendela yang terbuka."Aku sudah tau monster seperti apa kau! Sudah cukup kau menerorku setiap saat!" ucapku pedas."Kau berani denganku, Nadja?" Sosok Xander berada tepat di depan wajahku. Ia duduk di kasur yang sama, tangannya mencoba meraih wajahku namun langsung kutepis."Aku sudah tau apa yang harus kulakukan, dan akan kuselesaikan detik ini juga. Aku akan menolakm