Author POV
Deretan rumah mewah berjajar di kawasan elit yang terletak di dekat pelabuhan, daerah itu terlihat seperti dunia lain jika dibandingkan dengan perumahan kumuh terletak tiga kilometer dari sana. Udaranya, pepohonannya, bahkan sungainya berbeda. Bagaimana bisa, sebuah sungai di wilayah yang sama bisa berbeda warna dan kondisinya?
Sebuah rumah megah minimalis berlantai tiga terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah mewah di samping kanan dan kirinya, sebuah pagar sebahu berwarna hitam mengkilat tidak dapat menyembunyikan keindahan tampilan luar rumah itu. Dinding kuning cerah tertimpa sinar matahari terik, pasti membuat orang berpikir, orang seperti apa mengecat rumah indahnya dengan warna mencolok seperti ini?
Lidya melewati permukiman kelas atas itu karena ibunya menyuruh mengirimkan bingkisan cupcakes kepada teman baik ibunya—yang memang seorang sosialita. Sayang sopir pribadi sang I
Xander memaksa untuk mengantarku ke laundry, namun aku menolak dengan keras. Saat ia berkata bahwa tak akan memberikan laundry-an, akhirnya aku menyerah dan membiarkan Xander mengantarku, sementara sepedaku diikat di atas mobilnya.Mbak Fia menyambutku dengan kening berkerut saat melihat Xander yang mengantarku. Bosku itu terlihat akan menegur, namun entah kenapa dia malah diam saja, lalu masuk ke dalam ruangan kantornya.Aku mendelik pada Xander. "Kenapa masih di sini? Cepat pulang."Xander mengangkat bahu, lalu segera berlalu menuju mobilnya tanpa berkata apa pun.Oke, pasti Mbak Fia marah besar padaku karena aku terlalu lama di apartemen, dan malah diantar ke sini oleh pria yang tidak dikenal. Tapi ternyata dugaanku salah, Mbak Fia tidak marah, dia malah langsung menyuruhku untuk menyetrika pakaian yang menumpuk—itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.Aku me
Lidya sangat ceria sekali hari ini, dan aku heran karena ia sama sekali tidak membahas Mr. Xander De Ville pria pujaannya. Baiklah, mungkin dia sudah berpindah dengan cepat ke lain hati? Baguslah, karena Xander sama sekali bukan pria yang baik, dan masih diragukan jenis makhluk seperti apakah Xander itu.Sepulang kuliah, aku berpisah dengan Lidya di parkiran, lalu aku mengayuh sepeda menuju Ceria Laundry. Di tengah jalan, rantai sepedaku tiba-tiba putus. Dengan kesal, aku menepikan sepeda. Sial, aku tidak boleh terlambat kerja, aku tidak mau mengecewakan Mbak Fia lagi!"Butuh bantuan?"Aku mendongak, dan mendapati seorang pria bermata hijau terang dan berwajah tampan membungkuk di atasku. Poninya yang lurus hitam panjang menjuntai hampir menutupi mata indahnya. Kukerjapkan mataku. Dia bermata hijau, tapi bukan Xander."Ah ... aku ... r
"Wah, ada kabar baik pasti. Dari tadi kuperhatikan kau senyam-senyum sendiri, Lid!""Iya dong. Aku officially sudah tidak single lagi," jawab Lidya kepadaku yang menatap penasaran. Aku dan Lidya sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Keduanya duduk santai di kafetaria. "Tadi malem, aku first date dan dia nembak aku dengan resmi!" jelas Lidya dengan mata menerawang, bibirnya seakan tidak bisa berhenti tersenyum."Wow, cerita doong. Detail, Lid!" pintaku tertarik."Hmm ... kita candle light dinner gitu, lalu dia kasih aku bunga sambil berlutut satu kaki. So sweet banget sekali, bukan? And then we kissed, dia bilang i love you, dengan sinar bulan temaram dan lilin di meja makan sebagai saksi cinta kita.""Hwowow .... kok bisa seperti film ya, Lid? Romantis sekali. Siapa pria beruntung itu, Lid?""Dokter gigi yang sangat kaya. Tampan, seksi pula! Dosen kita, Pak Xander, tidak ada apa-apanya. Aku panggil
Nadja...Nadja...Jendela kamar dengan tirai bergerak kencang tertiup angin, deruan angin bercampur suara berat yang selalu menghantui malamku.Nadja...Nadja...Aku terduduk di kasur berseprei warna abu-abu, memandang nyalang ke sekeliling. Dia lagi ... pantas ia bisa menghantuiku bahkan di saat kutidur."Ke mana saja kau, Nadja!" Suara berat disusul sosok siluet besar mendekat, berjalan perlahan dari jendela yang terbuka."Aku sudah tau monster seperti apa kau! Sudah cukup kau menerorku setiap saat!" ucapku pedas."Kau berani denganku, Nadja?" Sosok Xander berada tepat di depan wajahku. Ia duduk di kasur yang sama, tangannya mencoba meraih wajahku namun langsung kutepis."Aku sudah tau apa yang harus kulakukan, dan akan kuselesaikan detik ini juga. Aku akan menolakm
Lidya dan aku sedang menyantap makan siang pada saat Baltheir dan dua pria di belakangnya tiba. Posisiku membelakangi pintu sedangkan Lidya, saat melihat kekasihnya tiba langsung berdiri dan tersenyum lebar menyambut.Melihat Lidya berdiri dan tersenyum, aku menoleh ke arah pintu. Aku kaget saat melihat pria yang kukenal di jalan bernama Balther berjalan bersama Xander De Ville yang selama ini menghantuiku—pria tampan yang ternyata seorang monster sekaligus dosen di kampusku. Di belakang sosok dua pria yang bersama Balthier, ada satu orang perempuan dengan kecantikan yang sangat sempurna, tinggi semampai dan tubuh langsing seperti seorang model kelas atas, wanita itu berkulit flawless dan berambut panjang pirang sepinggang, berjalan seolah dunia adalah miliknya.Kembali aku menoleh ke arah makanan di depanku. Aku akan berusaha tak menggubris romongan tamu yang datang. Aku sudah tahu bahwa dua p
Dengan berat hati, kuizinkan Xander masuk ke dalam kamar. Saat ini aku sedang duduk di atas kasur, sedangkan Xander berjalan mengitari kamarku."Aku dan Balthier tak memiliki hubungan yang harmonis, kurasa kau tau. Aku bisa sampai di sini, karena ia mengundangku datang. Ia bilang pacar barunya adalah temanmu, dan kalian akan liburan bersama. Tentu saja aku akan ikut, aku tak tahu kalau ada Anne.""Mmh ... mantanmu!" lanjutku spontan.Xander melirik dan tersenyum ke arahku. Ia mengambil kursi dan duduk di depanku. "Aku tak pernah punya kekasih, Nadja. Aku tak pernah mencintai siapa pun. Hanya kau. Kau orang yang ditakdirkan untukku, untuk menemani hidupku.""Lalu ... Anne itu mantan apa? Mantan fuck buddy?" tanyaku kesal."Kalau kujawab iya, akankah kau marah?""Tentu saja tidak. Kenapa harus marah? Kau dan aku hanya dosen dan mahasiswa, kan?" jawabku ketus."Kau dan aku lebih dari dos
"Seumur hidupku, tak pernah ada 'pria biasa' yang main sosor dan cium perempuan yang sedang ia taksir, kecuali diizinkan!" protesku pada kelakuannya."Untuk hal itu, aku tak bisa tahan. Salah sendiri kau punya bibir yang menggoda untuk dicium. Jadi, kau mau aku temani berjalan ke kebun?Kau suka bunga kan? Aku tahu tempat bagus melihat bunga. Ayo!" Xander menarik tanganku, membuatku berdiri dan berjalan di belakangnya.Kami berjalan keluar vila dan berbelok sebelum keluar dari gerbang terluar vila ini. Ada jalan setapak yang memutar ke arah belakang vila, lalu membelok lagi ke kiri melewati beberapa kebun kecil dengan jalan setapak bebatuan kecil. Sepanjang jalan Xander diam, masih menggenggam tanganku. Kadang aku merutuki kebodohanku, sudah tau orang ini bukan manusia normal, kenapa aku tetap berbuat baik padanya? Sudah tahu, pria ini yang menghantui malam-malamku sampai kekurangan tidur, tapi masih saja aku mau diajak berjal
Xander membawaku kembali ke vila. Dalam perjalanan menuju vila, tubuhku terasa sangat lemas. Awalnya aku menapis tangan Xander yang ingin menggandengku, namun saat kepalaku mulai berdentum sakit tanganku berusaha meraih Xander yang sigap memegangiku."Kepalaku ... sakit. Aku tak sanggup jalan," ucapku memejamkan mata.Xander tanpa komentar menggendongku dengan kedua tangannya. Ia berjalan dengan tenang, meskipun kutahu ia merasa berat. Berjalan sedikit mendaki dan menggendongku yang berat badannya lumayan berat. Kepalaku masih sangat sakit, aku memilih memejamkan mata.Sampai di vila, Xander membaringkanku di atas kasurku. Aku membuka mata. Kepalaku masih sakit, tubuhku masih lemas. Aku hanya berbaring dalam diam. Xander sigap mencari gelas dan mengisinya dengan air. Ia mendudukkanku dan memberikan gelas berisi air untuk kuminum.