Nadja...
Nadja...
Jendela kamar dengan tirai bergerak kencang tertiup angin, deruan angin bercampur suara berat yang selalu menghantui malamku.
Nadja...
Nadja...
Aku terduduk di kasur berseprei warna abu-abu, memandang nyalang ke sekeliling. Dia lagi ... pantas ia bisa menghantuiku bahkan di saat kutidur.
"Ke mana saja kau, Nadja!" Suara berat disusul sosok siluet besar mendekat, berjalan perlahan dari jendela yang terbuka.
"Aku sudah tau monster seperti apa kau! Sudah cukup kau menerorku setiap saat!" ucapku pedas.
"Kau berani denganku, Nadja?" Sosok Xander berada tepat di depan wajahku. Ia duduk di kasur yang sama, tangannya mencoba meraih wajahku namun langsung kutepis.
"Aku sudah tau apa yang harus kulakukan, dan akan kuselesaikan detik ini juga. Aku akan menolakm
Lidya dan aku sedang menyantap makan siang pada saat Baltheir dan dua pria di belakangnya tiba. Posisiku membelakangi pintu sedangkan Lidya, saat melihat kekasihnya tiba langsung berdiri dan tersenyum lebar menyambut.Melihat Lidya berdiri dan tersenyum, aku menoleh ke arah pintu. Aku kaget saat melihat pria yang kukenal di jalan bernama Balther berjalan bersama Xander De Ville yang selama ini menghantuiku—pria tampan yang ternyata seorang monster sekaligus dosen di kampusku. Di belakang sosok dua pria yang bersama Balthier, ada satu orang perempuan dengan kecantikan yang sangat sempurna, tinggi semampai dan tubuh langsing seperti seorang model kelas atas, wanita itu berkulit flawless dan berambut panjang pirang sepinggang, berjalan seolah dunia adalah miliknya.Kembali aku menoleh ke arah makanan di depanku. Aku akan berusaha tak menggubris romongan tamu yang datang. Aku sudah tahu bahwa dua p
Dengan berat hati, kuizinkan Xander masuk ke dalam kamar. Saat ini aku sedang duduk di atas kasur, sedangkan Xander berjalan mengitari kamarku."Aku dan Balthier tak memiliki hubungan yang harmonis, kurasa kau tau. Aku bisa sampai di sini, karena ia mengundangku datang. Ia bilang pacar barunya adalah temanmu, dan kalian akan liburan bersama. Tentu saja aku akan ikut, aku tak tahu kalau ada Anne.""Mmh ... mantanmu!" lanjutku spontan.Xander melirik dan tersenyum ke arahku. Ia mengambil kursi dan duduk di depanku. "Aku tak pernah punya kekasih, Nadja. Aku tak pernah mencintai siapa pun. Hanya kau. Kau orang yang ditakdirkan untukku, untuk menemani hidupku.""Lalu ... Anne itu mantan apa? Mantan fuck buddy?" tanyaku kesal."Kalau kujawab iya, akankah kau marah?""Tentu saja tidak. Kenapa harus marah? Kau dan aku hanya dosen dan mahasiswa, kan?" jawabku ketus."Kau dan aku lebih dari dos
"Seumur hidupku, tak pernah ada 'pria biasa' yang main sosor dan cium perempuan yang sedang ia taksir, kecuali diizinkan!" protesku pada kelakuannya."Untuk hal itu, aku tak bisa tahan. Salah sendiri kau punya bibir yang menggoda untuk dicium. Jadi, kau mau aku temani berjalan ke kebun?Kau suka bunga kan? Aku tahu tempat bagus melihat bunga. Ayo!" Xander menarik tanganku, membuatku berdiri dan berjalan di belakangnya.Kami berjalan keluar vila dan berbelok sebelum keluar dari gerbang terluar vila ini. Ada jalan setapak yang memutar ke arah belakang vila, lalu membelok lagi ke kiri melewati beberapa kebun kecil dengan jalan setapak bebatuan kecil. Sepanjang jalan Xander diam, masih menggenggam tanganku. Kadang aku merutuki kebodohanku, sudah tau orang ini bukan manusia normal, kenapa aku tetap berbuat baik padanya? Sudah tahu, pria ini yang menghantui malam-malamku sampai kekurangan tidur, tapi masih saja aku mau diajak berjal
Xander membawaku kembali ke vila. Dalam perjalanan menuju vila, tubuhku terasa sangat lemas. Awalnya aku menapis tangan Xander yang ingin menggandengku, namun saat kepalaku mulai berdentum sakit tanganku berusaha meraih Xander yang sigap memegangiku."Kepalaku ... sakit. Aku tak sanggup jalan," ucapku memejamkan mata.Xander tanpa komentar menggendongku dengan kedua tangannya. Ia berjalan dengan tenang, meskipun kutahu ia merasa berat. Berjalan sedikit mendaki dan menggendongku yang berat badannya lumayan berat. Kepalaku masih sangat sakit, aku memilih memejamkan mata.Sampai di vila, Xander membaringkanku di atas kasurku. Aku membuka mata. Kepalaku masih sakit, tubuhku masih lemas. Aku hanya berbaring dalam diam. Xander sigap mencari gelas dan mengisinya dengan air. Ia mendudukkanku dan memberikan gelas berisi air untuk kuminum.
"Percayalah, kau akan merengek nanti. Memohon agar aku bercinta denganmu. Lagi dan lagi.""Nope. Never. Mmh ... mmh ... Xander ... mmh ... kenapa tubuhku panas?" Aku merasakan panas yang teramat besar, seperti terbakar dalam rumah yang terkepung api."Panas." Aku berlari menuju kamar mandi. Kubuka pakaianku dan langsung mengguyur tubuhku dengan air dari shower. "No. No. Jangan!" Xander menyusul ke kamar mandi dan menarik tanganku dari shower. Ia melihatku tanpa busana dan untuk pertama kalinya aku tak perduli. Hanya fokus dengan rasa panas dalam tubuhku."Aku kepanasan. Biarkan!" Aku menolak dan tetap mengguyur tubuhku yang terasa semakin panas. Sangat panas, kepalaku bahkan terasa ingin meledak."Kau akan semakin merasa panas kalau terkena air, percaya padaku.
Aku terbangun dengan rasa luar biasa. Tubuhku terasa lebih hidup dan bersemangat. Aku membuka mata dengan penglihatan yang lebih jelas. Aku menengok ke sebelah kanan, di sana ... pria yang tadi malam membuatku merasa spesial. Pria perenggut mahkotaku. Perenggut?Bukankah aku yang menyuruhnya? Tapi tetap saja! Gara-gara dia, aku jadi seperti ini. Huh!Timbul gejolak amarah yang membakar diriku. Gejolak tidak seperti tadi malam. Ini adalah perasaanku yang merasa sangat marah kepada pria yang sedang terbaring tanpa menggunakan pakaian di sampingku. Pria dengan dada bidang dan perut rata yang keras yang tadi malam aku cakar, cium, raba, dan jilat. Aku memukul dada Xander dengan keras, berusaha membangunkannya. Saat ini aku sudah menjadi diriku sendiri atau setidaknya lebih sadar dibandingkan keadaanku tadi malam. Aku akan mengkonfrontasinya."Xander!" ucapku menepuk dadanya keras.
Aku menuruni tangga menuju ruang makan. Sekarang sudah jam sembilan pag. Saatnya sarapan, kan? Lagi pula entah kenapa perutku rasanya sangat lapar. Aku sepertinya bisa memakan sampai lima porsi makanan normalku saat ini.Di ruang makan, sudah ada Lidya, Balthier dan Anne yang duduk manis mengitari meja. Saat kakiku menyentuh ruagn makan itu, semua mata memandang dengan heran.“Nadja? tanya Lidya dengan nada bingung. Ia seakan tak percaya kalau yang datang adalah aku. Kenapa memang? Seingatku, aku sudah memakai pakaian dengan benar dan menyisir rambutku."Ya? Kenapa, Lid? Kau seperti baru pertama melihat ku saja," ucapku sambil tersenyum dan duduk di samping Lidya. Persis di depanku, Anne memandang intens. Ini lagi, cari perkara di pagi hari."Kau Nadja?" Ulang Lidya, memperhatikan wajahku dari dekat. Matanya membulat pe
Saat kami bejalan menuju vila untuk pulang dari padang bunga yang indah itu, aku sengaja berjalan agar dekat dengan Xander. Aku berbisik padanya mau bicara, agar ia memperlambat langkahnya. Pria ini kalau ada di luar ruangan sikapnya kaku, padahal kalau cuma berdua sikapnya sangat genit.“Xander! Kenapa kau tak bilang kalau proses transform itu sangat menyakitkan?!" protesku, sedikit membentak."Balthier yang bilang? Huh!" tanyanya dengan sedikit menyindir."Kenapa kau lebih percaya kepadanya dibanding aku?""Just answer the damn question!" bentakku lagi sambil menghentikan langkah. Xander ikut berhenti dan memandangku dengan wajah tak terbaca."Ya. Proses berubah untuk pertama kali akan sangat sakit. Tapi kau punya aku. Setidaknya keberadaanku akan membuatmu tak terlalu merasakannya," jawab Xander memandang lurus kepadaku.