Aku terkejut mendengar suara serak Xander. Jantungku seketika berdegup cepat, panik. Apa yang harus kulakukan?
“Yang harus kaulakukan hanyalah datang ke sini, dan ambil bungkusan pakaian laundry-an. Itu tanggung jawabmu, kan? Apa kau ingin dipecat dari Ceria Laundry?”
Aku mencengkeram kabel telepon. Terdengar suara menggelegar di kejauhan. Hujan pasti akan turun sementara aku kembali ke apartemen. Tapi iblis itu benar, itu memang tanggung jawabku, dan aku tidak ingin dipecat.
"Datanglah ke penthouse-ku, lantai teratas apartemen.”
Lalu kudengar bunyi klik, tanda bahwa Xander memutus sambungan telepon.
Kutatap Mbak Fia. “Aku ... aku akan mengurus baju-baju laundry-an di apartemen. Bisa kupinjam jas hujan? Aku akan naik sepeda ke sana.”
“Bowo akan mengantarmu dengan mobil.”
“Ti-tidak perlu. Bukankah dia masih harus mengantar laundry-an ke tempat lain? Jadi ... aku naik sepedaku saja.”
Mbak Fia menghela napas, lalu berjalan memutari meja administrasi. Ia berjinjit untuk membuka pintu loker ukuran 30 x 30yang terletak paling atas dan paling kiriberbahan kayu jati yang dicat hitam, lalu mengambil jas hujan miliknya yang terlipat rapi. “Ini, hati-hati, ya,” ujarnya seraya menyerahkan bungkusan jas hujan berwarna ungu lavender.
Seharusnya ia memarahiku, tapi ia tidak melakukannya. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah. Seharusnya tadi aku tidak meninggalkan baju-baju itu. Tapi aku terlalu takut dan panik pada Xander. Di dalam pikiranku hanya ada satu kata: kabur!
Setelah berpamitan pada Mbak Fia, aku mengayuh sepedaku sambil mengenakan jas hujan miliknya. Lain waktu aku harus membawa jas hujan, sebab musim penghujan sudah tiba.
Selama perjalanan, langit malam sudah mulai turun, dan hujan pun mulai membasahi tubuhku. Tapi aku tidak menepi karena itu akan memakan waktu. Sesampainya di parkiran apartemen, sambil masih mengenakan jas hujan, aku memasuki apartemen dengan berlari. Di pintu masuk yang dijaga security yang berbeda dengan yang tadi sore menyambutku, aku menitipkan jas hujan padanya yang langsung digantung olehnya di samping loker kayu tinggi.
Dengan perasaan takut dan jantung yang bergemuruh liar, aku melangkah memasuki lift setelah sebelumnya menanyakan letak penthouse milik Xander De Ville. Sang security mengatakan bahwa ada dua lift menuju penthouse Xander, lift khusus dan lift umum. Tapi karena lift khusus harus memakai pin yang hanya diketahui oleh sang pemilik penthouse, jadi dia mempersilakanku untuk memakai lift umum.
Kulihat layar kecil di atas pintu lift, yang menunjukkan posisi lantai lift ini berada. Penthouse berada pada lantai teratas apartemen ini, dan itu berarti ada di lantai 27.
Waktu terasa berjalan lambat saat lift ini naik dari lantai satu ke lantai berikutnya, dengan jantungku yang berdetak terlalu cepat dan pakaianku yang sedikit basah berkat hujan deras di perjalanan. Saat lift ini berhenti di setiap lantai, akan ada pengunjung atau penghuni apartemen yang keluar-masuk lift, dan mereka semua melihat dengan aneh karena penampilanku yang tidak sesuai dengan apartemen kelas atas ini.
Akhirnya aku sampai pada lantai teratas. Seketika saat pintu lift terbuka, aroma citrus segar menyerang indra penciumanku. Di sepanjang koridor ini, lantainya dilapisi karpet berwarna merah yang terlihat lembut, penerangan dengan dinding koridor berwarna senadamembuat kesan mewah saat siapa pun melangkahkan kaki ke lantai ini.
Kutelusuri koridor berhiaskan lukisan-lukisan indah yang mungkin nilainya lebih dari enam digit. Di ujung koridor ini terdapat sebuh pintu kayu besar berwarna hitam, aku berjalan menuju pintu itu dengan rasa waswas. Mencoba menenangkan denyut jantungku yang berdetak terlalu cepat, aku seperti domba yang mendatangi serigala, siap untuk dimangsabodohnya si domba!
Kutekan bel pintu penthouse pria yang kujuluki devilpria yang berstatus dosenkupria yang menghantui pikiranku, baik saat aku sadar ataupun saat di alam mimpi. Saat bel yang kutekan berbunyi satu kali, terdengar suara pria dari interkom.
“Masuk saja ... tidak kukunci.”
Iblis ini mau menjebakku rupanya. Dia kira aku bodoh; aku tidak akan menjadi domba bodoh yang dengan sukarela dimangsa serigala, aku tidak akan masuk ke dalam, akan kuminta paket laundry dari tempatku berdiri.
Kutekan untuk kedua kalinya bel kediaman Mr. De Ville, dan sekali lagi suara pria itu terdengar dari interkom, menyuruhku masuk.
“Maaf, Pak, saya terima paket laundry-nya dari sini saja,” ucapku sambil menekan tombol interkom, yang akan menyampaikan pesanku ke si empunya rumah.
Sesaat setelahnya, pintu kayu hitam di depanku terbuka dan menampakkan sosok yang selalu menghantui hidupku. Iblis di depanku berdiri dengan sisi tubuhnya bersandar pada pintu, postur yang sangat menggoda. Bahkan dengan pakaian rumahannya—jeans biru tua dan kaus polos berwarna cokelat muda, rambutnya yang terlihat berantakania terlihat lebih memesona dibandingkan top-model internasional.
“Masuklah. Kau tidak akan mendapatkan laundry-anmu kalau kau tidak masuk.” Setelah mengucapkan kalimat itu dengan wajah tanpa ekspresi, ia meninggalkanku, namun membiarkan pintu tetap terbuka.
Dengan terpaksa dan tubuh bergetar karena takut, kulangkahkan kaki memasuki kediamannya. Penthouse ini didominasi dengan kaca dan furniture minimalis. Ruangan ini dikelilingi wallpaper hitam polos. Terlihat televisi layar datar tergantung di dinding, berhadapan dengan sofa kulit berwarna hitam. Lantainya semua beralas karpet berwarna abu-abu muda.
Aku hendak berbalik dan melepaskan sepatu yang basah dan kotor, namun berhenti saat Xander berkata santai,
“Tidak usah dilepas, kau boleh pakai sepatumu.” Pria itu menempati sofa kulit di tengah ruangan. Ia menepuk sofa di sampingnya, mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya.
Huh ... jangan harap!!
Aku tetap berdiri dan melihat ngeri ke arah pria berwajah menawan namun berhati menyeramkan ituia masih duduk santai dan bersandar pada punggung sofa, matanya masih melihatku dengan tatapan intensnya. Tidak akan aku turuti permintaannya untuk duduk di sofa itu, aku hanya ingin mengambil paket laundry-ku yang tertinggal—hanya itu.
“Nadja, duduk di sini!”
“Tidak! Mana paket laundry-ku?”
Ia tidak pernah mengalihkan mata hijaunya dariku. Lalu, tanpa kusadari kakiku mulai melangkah ke depan, berjalan mendekat ke arahnya.
“Berhenti!” Apa yang kulakukan? “Berhenti! Stop!”
Aku mengucapkan mantra itu berkali-kali, namun seakan otakku tak bisa mengirimkan sinyal kepada kedua kakiku untuk berhenti. Aku masih melangkah ke arah iblis yang sedang berbuat licik padaku.
“Berhenti! Berhenti!”
Aku masih berjalan ke arahnya, dan saat berada persis di depannya, di luar kendaliku, tubuhku bergerak menjatuhkan bokongku di sofa kulit hitam empuk yang sejak tadi ditunjuk oleh sang iblis.
Xander tersenyum puas saat melihatku duduk di sampingnya lalu mengecup keningku dengan lembut, mengejutkanku, karena kukira ia akan mencari bibirku seperti biasanya. Pria itu berdiri dari sofa, lalu berjalan menuju sebuah pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Tak lama setelahnya, ia keluar dengan membawa dua helai handuk berwarna putih. Xander berjalan ke arahku dengan tatapan tajamnya, lalu saat berada di depanku, ia berlutut dan membuka sepatuku dengan perlahan, membuatku kembali terperangah karena ulahnya.
Dengan tangannya yang terasa hangat, ia membersihkan kakiku yang basah dan kotor akibat air hujan dan kotoran yang berhasil masuk ke dalam sepatuku. Xander membersihkan setiap jari kaki dan telapak kakiku secara bergantian. Sebagai seorang wanita, aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria, bahkan oleh ayahkusi berengsek itusekalipun. Dan hal itu seketika membuat jantungku berdesir.
Tidak, Nadja! Jangan terpengaruh oleh Xander!
Saat ia membersihkan kakiku, aku tak bisa bergerak satu sentimeter pun. Aku hanya bisa memelotot kaget dan heran dengan kelakuan iblis yang berlutut di depanku dan membersihkan kaki kotorku. Matanya terlihat fokus membersihkan setiap kotoran yang menempel di telapak kaki dan sela-sela jariku.
Setelah kedua kakiku bersih, ia beranjak berdiri dan menggunakan handuk lainnya untuk mengeringkan rambut panjang sepinggangku, kali ini matanya menatap mataku intens. Tangannya dengan lembut mengelus kepalaku saat sang handuk selesai melakukan tugasnya.
Ia mengecup lagi keningku lembut dan tersenyum sinis padaku.
“Akan kubuat kau menyerahkan hati dan tubuhmu padaku, segenap jiwa dan raga mendambaku, Nadja. Akan kubuat seluruh denyut nadi dan aliran darahmu mengingatku, mencariku. Lambat laun kau akan kecanduan padaku. Dan ... takkan kubiarkan kau memberikan sedikit hatimu pada pria mana pun,” ucapnya dengan suara serak dan mata hijau yang menggelap sambil kedua tangannya memegang kedua pipiku, sementara aku masih terduduk diam, tak bisa menggerakkan tubuh.
Aku menerima aroma napasnya saat bibir kami menyatu, mencoba untuk tidak meresapinya. Namun, semua perlakuannya tadi malah membuatku sedikit menikmati pagutan-pagutan liarnya. Desah napasku terdengar seperti desah napas wanita murahan yang sering bercumbu mesra dengan ayahku.
Berengsek! Pikiran buruk itu merasuk demikian cepatnya hingga membuyarkan semua kenikmatan yang sedikit kujamah, menjatuhkanku kembali ke dalam perasaan jijik dan benci pada pria di depanku.
Aku menggeram kuat, menggigit lidah Xander, membuatnya melepaskan ciumannya. Lalu mulutku melontarkan pekikan yang memekakkan telinga, dan tiba-tiba saja aku dapat bergerak.
Kutatap Xander dengan jijik dan ngeri dengan posisiku yang masih duduk sementara ia kini tengah terduduk di lantai berkarpet tak jauh di bawahkumata hijau pria itu menatapku terkejut, syok karena aku dapat mematahkan belenggunya.
Aku lantas berdiri. “Di mana paket laundry-ku?” Aku menatapnya dengan perasaan jijik pada diriku, pada jalang sialan itu, dan pada Xander.
Perlahan Xander berdiri dengan tenang. Lalu tanpa kusadari ia telah memanggulku dan membawaku masuk ke dalam sebuah ruangan.
***
Xander membopongku memasuki sebuah ruangan dengan penerangan redup. Pria ini berjalan cepat dan tak berbicara apa pun. Semenit kemudian aku berada dalam ruangan berdinding cokelat muda dan bertirai hitam panjang. Xander mendudukkanku di atas ranjang berukuran double-king size yang didominasi warna hitam. Belum menyadari apa yang terjadi, karena semenit lalu aku berada di ruang tamu dan saat ini berpindah dengan sangat cepat ke ruangan yang beralaskan karpet cokelat tua. Kamarnya-kah? Untuk apa ia membawaku ke sini?
Xander mengimpitku, punggungku menekan kasur super empuknya sementara denyut jantungku berdetak terlalu kencang. Pria dengan ketampanan penuh dosa ini tersenyum sadis menatapku penuh maksud. Tatapan Xander membuatku mengerut takut. Pikiranku kalut. Banyak tanya di kepalaku saat ini.
“Nadja ..., desahnya. Embusan napasnya menerpa wajahku. Kupejamkan mata kuat-kuat. “Nadja ....
Bisikannya terdengar begitu syahdu di telingaku. Jemari Xander dengan lembut menelusuri wajahku. Dari kening, lalu turun perlahan membelai alisku. Dan terus turun ke pipi, terakhir bibirku. Saat aku membuka mata, pria itu tengah menatap bibirku. Tatapan lapar dan seringaiannya membuatku kian berdebar. Aku takut. Aku ingin lari, sekuat tenaga mencoba mendorong tubuh Xander, tapi aku tak sekuat itu.
Wajah Xander semakin mendekati bibirku membuat jantungku semakin tidak karuan. Ya Tuhan, tolong aku, doaku dalam hati. Sedikit lagi, hanya berjarak satu sentimeter dari bibirku, seringaian Xander semakin terlihat lapar.
“Nadja ..., bisiknya sambil jemarinya membelai bibirku lama. Matanya tak lepas menatap mataku. Mata hijau itu terlihat indah dan mempesona. “Aku akan memberikan layndry-mu itu, tapi dengan satu syarat ..., senyum devil-nya belum juga musnah. Jantungku kian sakit karena debaran ini semakin kuat. Masakkan sesuatu untuk makan malamku. Xander kemudian berdiri dan berlalu dari hadapanku.
Aku masih mencerna semua kata-katanya barusan. Apa dia bilang? Memasak? Dasar bajingan itu, meninggalkanku dengan kondisi seperti ini! Hei, apa yang baru saja kupikirkan?! Apa aku merindukan sentuhannya? Tidak, tidak, tidak! Yang benar saja!
Aku tersadar dengan perkataannya barusan, ia akan memberikan laundry-anku asal aku memasak untuknya? Dikira aku koki apa? Kalau memang ia ingin makanan, kenapa tidak beli saja? Huh ... merepotkan sekali!
“Nadja, aku menunggumu di dapur! teriak Xander dari luar ruangan. “Atau kau masih menginginkan diriku menindihmu di kasur?” tanyanya menggoda dengan kepala dilongokkan di celah daun pintu yang terbuka.
Aku terlonjak kaget, lalu buru-buru bangkit dari rasa yang menjalar aneh di seluruh tubuhku. Aku mengikuti Xander sambil mengatur detak jantung yang terus berpacu.
Saat melangkah keluar kamar, kulihat Xander sudah duduk di meja pantry menantiku di dapur canggih minimalis miliknya. Seluruh perabotan terbuat dari stainless steel dan mengkilap, OCD kah ia? Aku berjalan menghampirinya dan berdiri di depannya.
“Aku harus memberimu makan apa?” tanyaku berusaha ketus, namun sepertinya syaraf otakku terganggu karena suara yang keluar dari mulutku barusan seperti desahan.
“Aku ingin ... hmmm ... aku ingin memakanmu?” jawabnya asal sambil memegang dagunya berakting berpikir.
“Jangan mimpi!” timpalku kesal. Apa yang harus kumasak?”
“Lihatlah sendiri bahan yang ada di kulkas, ujarnya dengan pandangan menelitiku dari atas ke bawah.
Kubuka kulkas dua pintu keluaran terbaru asal Jepang, semua bahan makanan tersedia di dalamnya dan tersusun dengan rapi. Dari sekian banyak makanan, ada satu yang memikat mataku. Dua potong pizza beku dengan crust keju yang juga membeku. Kututup kulkas itu dan berpaling ke arah Xander.
“Kau tak masalah bukan, aku memasak apa pun?” tanyaku menaikkan alis kepada pria yang masih terduduk di kursi pantry dan tersenyum nakal kepadaku.
“Ya, tentu saja,” jawabnya singkat, matanya masih menatapku intens.
“Baiklah, kau tidak boleh protes!!” ucapku kemudian berbalik membuka kulkas kembali, mengambil potongan pizza, meletakkannya di dua buah piring dan memasukkannya ke sebuah microwave canggih yang membuatku berpikir keras hanya untuk membukanya.
Beberapa saat setelahnya, microwace tersebut berbunyi nyaring, menandakan masakanku telah siap. Aku mengeluarkan dua potong pizza tersebut dan menambahkan topping keju parut. Dengan bangga aku membawa kedua piring yang masih panas itu—masih menggunakan sarung tangan khusus anti panas—ke arah Xander.
Pria itu menatapku heran, kedua alisnya terangkat dan ujung bibirnya berkedut. Saat kuletakkan kedua piring di depannya, tawanya pecah memenuhi ruangan—Xander si iblis saat ini tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya dan sesekali menunjukku dengan jari telunjuknya.
Baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu, dan menyebalkan, dia terlihat tampan juga menyenangkan.
“Ini yang kausebut memasak, Sayang?”
Aku menatap sebal ke arah Xander. Dia menertawakanku, membuatku merasa konyol. “Memangnya kenapa?”
Xander menatapku dengan mata hijaunya, kini tawanya digantikan oleh seringai, membuat jantungku berlarian dengan kencang. “Kau bukan memasak, Sayang, tapi kau hanya menghangatkan makanan siap saji.” Ia terkekeh. “Tapi, tak masalah, sebab aku tahu kau memang tidak bisa dan tidak hobi memasak seperti kedua saudaramu yang lain.”
“Bagaimana kau bisa tahu? Aku terdiam menatap mata hijaunya. Sebenarnya ... siapa pria ini? Makhluk apa pria ini? Setan? Siluman? Atau ... hanya manusia yang mempunyai kekuatan supranatural? Ahli hipnotis?
“Aku tahu semua tentangmu, Sayang.”
“Jangan menyebutku seperti itu!”
Xander mengangkat bahu, lalu mulai menggigit pizza-nya. “Enak juga,” ucapnya dengan serius, sebelum menambahkan, “lain kali aku ingin kau memasak sungguhan untukku, bukan hanya memanaskan.”
Entah kenapa, tiba-tiba saja kini pakaianku berubah menjadi gaun putih selutut tanpa tali bahu, dengan apron warna pink muda, tengah memasak sesuatu seperti tumisan sayur sambil bersenandung. Di belakangku, Xander duduk dengan manis di kursi pantry. Tapi tak lama, pria itu berjalan mendekatiku, lalu memelukku dari belakang.
“Xander, kau membuatku terkejut!” protesku dengan manja. Tapi tunggu, kenapa aku bertingkah konyol seperti ini?!
“Harum sekali masakanmu. Xander mencium leherku.
Tubuhku bergetar dan terasa hangat. “Hentikan, Xander, nanti masakannya hangus—” aku tersenyum saat tangan besar Xander mematikan kompor, lalu membalikkan tubuhku menghadapnya. Tangannya mengangkat daguku, membuatku mendongak dan menatap mata hijau indahnya.
“Aku sangat lapar, Sayang,” ucapnya sebelum bibirnya melumat bibirku dengan gairah yang menggetarkan hati dan tubuhku....
“Nadja?”
Aku mengerjapkan mata terkejut, dan seketika lamunanku buyar. Sekujur tubuhku terasa panas membara. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi?! Bagaimana bisa aku membayangkan diriku dan Xander seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta?! Aku sudah gila!!
“Kau baik-baik saja?” tanya Xander bingung. “Kurasa kau melamun sementara aku menghabiskan pizza-ku. Sebaiknya kau makan bagianmu sebelum menjadi dingin.”
Kugigit bibir. Aku tidak mungkin membayangkan hal itu, tidak, tidak, tidak! Ini pasti tipu daya Xander, kan!
Xander terkekeh. “Tapi kau menikmati ciumanku kan? Seandainya lamunanmu diteruskan—”
Kupelototi Xander. “Awas kalau berani!”
Diam-diam aku menghela napas lega. Ya Tuhan, ternyata itu memang ulah Xander. Pantas saja....
Setelah menelan potongan pizza terakhir, aku meminun susu murni dingin yang diberikan Xander.
“Kenapa kau suka sekali susu murni?”
Aku menatap Xander. “Rasanya unik, nikmat,” jawabku.
***
Author POVPuluhan kapal dengan berbagai macam nama bersandar di pelabuhan utama, deck VIP di kota seribu kapal, Athena, Yunani. Kota para dewa-dewi yang konon abadi dengan kesempurnaan wajah dan fisiknya. Mungkin itu yang sekilas terlihat oleh para pegawai pelabuhan yang mengurus tali-tali besar agar yacht atau kapal pribadi sang penyewa deck bersandar dengan baik—seorang Dewa Olympus. Di siang yang terik—khas kota Athena—seolah musim panas tak pernah berakhir, para pegawai pelabuhan yang mayoritas adalah pria tiga puluhan dengan kulit cokelat memandang sebuah yacht mewah dengan nama De Ville.Seorang pria tegap berada di deck terdepan yacht itu, saat perahu mewah khas kaum jetset itu menempel di pelabuhan, kaki panjang pria berpakaian serba biru melangkah dan selanjutnya berjalan di tepi pelabuhan dengan santai. Seperti seorang model runaway kondang yang sering wara-wiri di couture Paris, dengan rayban hitam dan celana car
Author POVDeretan rumah mewah berjajar di kawasan elit yang terletak di dekat pelabuhan, daerah itu terlihat seperti dunia lain jika dibandingkan dengan perumahan kumuh terletak tiga kilometer dari sana. Udaranya, pepohonannya, bahkan sungainya berbeda. Bagaimana bisa, sebuah sungai di wilayah yang sama bisa berbeda warna dan kondisinya?Sebuah rumah megah minimalis berlantai tiga terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah mewah di samping kanan dan kirinya, sebuah pagar sebahu berwarna hitam mengkilat tidak dapat menyembunyikan keindahan tampilan luar rumah itu. Dinding kuning cerah tertimpa sinar matahari terik, pasti membuat orang berpikir, orang seperti apa mengecat rumah indahnya dengan warna mencolok seperti ini?Lidya melewati permukiman kelas atas itu karena ibunya menyuruh mengirimkan bingkisan cupcakes kepada teman baik ibunya—yang memang seorang sosialita. Sayang sopir pribadi sang I
Xander memaksa untuk mengantarku ke laundry, namun aku menolak dengan keras. Saat ia berkata bahwa tak akan memberikan laundry-an, akhirnya aku menyerah dan membiarkan Xander mengantarku, sementara sepedaku diikat di atas mobilnya.Mbak Fia menyambutku dengan kening berkerut saat melihat Xander yang mengantarku. Bosku itu terlihat akan menegur, namun entah kenapa dia malah diam saja, lalu masuk ke dalam ruangan kantornya.Aku mendelik pada Xander. "Kenapa masih di sini? Cepat pulang."Xander mengangkat bahu, lalu segera berlalu menuju mobilnya tanpa berkata apa pun.Oke, pasti Mbak Fia marah besar padaku karena aku terlalu lama di apartemen, dan malah diantar ke sini oleh pria yang tidak dikenal. Tapi ternyata dugaanku salah, Mbak Fia tidak marah, dia malah langsung menyuruhku untuk menyetrika pakaian yang menumpuk—itu membuatku semakin merasa bersalah padanya.Aku me
Lidya sangat ceria sekali hari ini, dan aku heran karena ia sama sekali tidak membahas Mr. Xander De Ville pria pujaannya. Baiklah, mungkin dia sudah berpindah dengan cepat ke lain hati? Baguslah, karena Xander sama sekali bukan pria yang baik, dan masih diragukan jenis makhluk seperti apakah Xander itu.Sepulang kuliah, aku berpisah dengan Lidya di parkiran, lalu aku mengayuh sepeda menuju Ceria Laundry. Di tengah jalan, rantai sepedaku tiba-tiba putus. Dengan kesal, aku menepikan sepeda. Sial, aku tidak boleh terlambat kerja, aku tidak mau mengecewakan Mbak Fia lagi!"Butuh bantuan?"Aku mendongak, dan mendapati seorang pria bermata hijau terang dan berwajah tampan membungkuk di atasku. Poninya yang lurus hitam panjang menjuntai hampir menutupi mata indahnya. Kukerjapkan mataku. Dia bermata hijau, tapi bukan Xander."Ah ... aku ... r
"Wah, ada kabar baik pasti. Dari tadi kuperhatikan kau senyam-senyum sendiri, Lid!""Iya dong. Aku officially sudah tidak single lagi," jawab Lidya kepadaku yang menatap penasaran. Aku dan Lidya sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Keduanya duduk santai di kafetaria. "Tadi malem, aku first date dan dia nembak aku dengan resmi!" jelas Lidya dengan mata menerawang, bibirnya seakan tidak bisa berhenti tersenyum."Wow, cerita doong. Detail, Lid!" pintaku tertarik."Hmm ... kita candle light dinner gitu, lalu dia kasih aku bunga sambil berlutut satu kaki. So sweet banget sekali, bukan? And then we kissed, dia bilang i love you, dengan sinar bulan temaram dan lilin di meja makan sebagai saksi cinta kita.""Hwowow .... kok bisa seperti film ya, Lid? Romantis sekali. Siapa pria beruntung itu, Lid?""Dokter gigi yang sangat kaya. Tampan, seksi pula! Dosen kita, Pak Xander, tidak ada apa-apanya. Aku panggil
Nadja...Nadja...Jendela kamar dengan tirai bergerak kencang tertiup angin, deruan angin bercampur suara berat yang selalu menghantui malamku.Nadja...Nadja...Aku terduduk di kasur berseprei warna abu-abu, memandang nyalang ke sekeliling. Dia lagi ... pantas ia bisa menghantuiku bahkan di saat kutidur."Ke mana saja kau, Nadja!" Suara berat disusul sosok siluet besar mendekat, berjalan perlahan dari jendela yang terbuka."Aku sudah tau monster seperti apa kau! Sudah cukup kau menerorku setiap saat!" ucapku pedas."Kau berani denganku, Nadja?" Sosok Xander berada tepat di depan wajahku. Ia duduk di kasur yang sama, tangannya mencoba meraih wajahku namun langsung kutepis."Aku sudah tau apa yang harus kulakukan, dan akan kuselesaikan detik ini juga. Aku akan menolakm
Lidya dan aku sedang menyantap makan siang pada saat Baltheir dan dua pria di belakangnya tiba. Posisiku membelakangi pintu sedangkan Lidya, saat melihat kekasihnya tiba langsung berdiri dan tersenyum lebar menyambut.Melihat Lidya berdiri dan tersenyum, aku menoleh ke arah pintu. Aku kaget saat melihat pria yang kukenal di jalan bernama Balther berjalan bersama Xander De Ville yang selama ini menghantuiku—pria tampan yang ternyata seorang monster sekaligus dosen di kampusku. Di belakang sosok dua pria yang bersama Balthier, ada satu orang perempuan dengan kecantikan yang sangat sempurna, tinggi semampai dan tubuh langsing seperti seorang model kelas atas, wanita itu berkulit flawless dan berambut panjang pirang sepinggang, berjalan seolah dunia adalah miliknya.Kembali aku menoleh ke arah makanan di depanku. Aku akan berusaha tak menggubris romongan tamu yang datang. Aku sudah tahu bahwa dua p
Dengan berat hati, kuizinkan Xander masuk ke dalam kamar. Saat ini aku sedang duduk di atas kasur, sedangkan Xander berjalan mengitari kamarku."Aku dan Balthier tak memiliki hubungan yang harmonis, kurasa kau tau. Aku bisa sampai di sini, karena ia mengundangku datang. Ia bilang pacar barunya adalah temanmu, dan kalian akan liburan bersama. Tentu saja aku akan ikut, aku tak tahu kalau ada Anne.""Mmh ... mantanmu!" lanjutku spontan.Xander melirik dan tersenyum ke arahku. Ia mengambil kursi dan duduk di depanku. "Aku tak pernah punya kekasih, Nadja. Aku tak pernah mencintai siapa pun. Hanya kau. Kau orang yang ditakdirkan untukku, untuk menemani hidupku.""Lalu ... Anne itu mantan apa? Mantan fuck buddy?" tanyaku kesal."Kalau kujawab iya, akankah kau marah?""Tentu saja tidak. Kenapa harus marah? Kau dan aku hanya dosen dan mahasiswa, kan?" jawabku ketus."Kau dan aku lebih dari dos