Beranda / Semua / Devil (Indonesia) / 5. Bukan Sebuah Mimpi

Share

5. Bukan Sebuah Mimpi

Aroma lavender yang menenangkan dan keindahan pemandangan padang lavender di sekitarku membuatku terpesona. Ingin rasanya aku berguling-guling. Saat memikirkan itu, tanpa sadar aku sudah berguling-guling di antara semak lavender. Aku tersenyum memandangi langit biru di atasku, dengan gumpalan awan putih seperti kapas. Angin sejuk membelai wajah, leher, lengan, dan kakiku yang terbuka. Ingin rasanya berlama-lama di sini.

Lalu tiba-tiba muncul Xander yang menunduk tepat di atas wajahku, napasnya yang beraroma segar mengembus hangat wajahku. Mata hijau teduh itu menatapku mesra dengan senyum lembut terukir di wajah tampannya. “Kau menyukainya?”

“Ya, aku sangat menyukainya! Ini ... sempurna, Xander....”

“Kalau begitu, beri aku hadiah.”

Aku tersenyum menyambut ciumannya. Bibir kami saling memagut hingga napas kami tersengal. Kedua tanganku merangkul lehernya, membuat dadaku bergemuruh dan terasa sesak karena rasa bahagia. Kupejamkan mata untuk meresapi semua rasa.

Lalu saat membuka mata, kudapati mata hijau Xander yang sedang menatapku penuh gairah dan seringai mengulas di bibirnya. Di belakangnya, tampak pintu ganda yang tak asing: pintu perpustakaan yang terbuat dari kayu jati. 

Aku terkejut lalu mendorong iblis itu! “Lepaskan aku!” Aku bisa bergerak! 

Perlahan Xander menurunkanku, dan aku langsung mundur beberapa langkah.

Apa yang barusan dilakukan Xander? Kenapa tadi kami bermesraan di padang lavender dan kenapa aku berpikir bahwa mencintainya terasa sangat benar? Tadi itu mimpi atau ... apa? Rasanya sangat nyata!

Wajahku memanas. 

Dia iblis, dan dia dapat melakukan apa pun!

“Itu benar, aku dapat melakukan apa pun, termasuk membuatmu menjadi milikku,” bisiknya dengan suara serak. “Yang tadi kaulihat hanyalah sebuah ilusi ... tapi terasa sangat nyata, bukan? Dan aku akan membuat ilusi itu menjadi kenyataan secepatnya. Tubuhmu, hatimu, pikiranmu hanya akan menyebut satu nama ... Xander.” Seringainya tampak penuh rasa percaya diri. “Kau takkan bisa lari dariku, Nadja. Kau tidur atau bangun, aku akan tetap bisa memasuki pikiranmu,” bisiknya sambil menatapku dengan mata sarat gairah.

Aku menelan ludah, lalu segera berbalik dan berlari pergi meninggalkannya. Suara entakan sepatu kets-ku terdengar nyaring di lorong lantai empat yang sepi dan agak gelap. 

Aku lega Xander tidak mengikutiku.

***

Sesampainya di kelas, kulihat Lidya tampak merengut sambil melipat lengan di dada.

Aku mengatur napas, lalu berjalan ke kursi Lidya. “Kau kenapa?” tanyaku seraya duduk di kursi di sebelahnya.

“Aku gagal menyapa Mr. De Ville. Saat aku akan menghampiri mejanya, seorang pria menyebalkan menabrakku dan menumpahkan minumannya.” Lidya menunjukkan noda kehijauan di blouse putihnya. “Lalu Mr. De Ville lenyap begitu saja,” keluhnya. “Ini gara-gara pria sialan itu!” geramnya sangat kesal.

“Apa pria itu meminta maaf padamu?”

“Dia hanya meminta maaf sekilas, kemudian berlalu begitu saja, tanpa membersihkan noda di bajuku!” Lidya menjelaskan dengan berapi-api. “Lalu kukejar dia, sebagian kesal karena noda di baju, sebagian karena mendapati bahwa Mr. De Ville telah lenyap.”

Aku tertawa. “Kau mengejar pria itu?”

“Ya, dan kutampar dia dengan keras di depan umum.

Aku membelalak, sedikit banyak menduga bahwa Lidya memang seperti itu, dan hal itu membuatku kagum padanya. Lalu?

“Lalu pria itu terpana. Setelah itu aku meminta ongkos laundry padanya dan ia memberikannya dengan kesal. Setelah itu ia berlalu,” jawab Lidya masih jengkel. “Kuharap aku takkan pernah bertemu dengan pria menyebalkan itu lagi!”

Aku nyengir. 

“Kau tadi ke mana? Kucari di taman tidak ada.”

Aku menelan ludah. “Aku ... aku tadi ke perpustakaan ... tiba-tiba aku ingin membaca novel.”

“Begitu?” Lidya mengangkat bahu.

Tak lama, seorang dosen wanita yang sudah lanjut usia namun berpenampilan modisgaun hitam selutut dipadu blazer putih yang membungkus tubuh ramping, serta hi-heels putih setinggi dua belas sentimetermemasuki kelas. Rambut hitamnya yang digelung membuatnya terlihat anggun. Wajahnya masih tampak cantik meskipun terlihat kerutan di beberapa bagian. Yang paling mencolok dari wanita itu adalah sepasang mata hijau dan senyum menawannya; saat ia tersenyum menyapa para mahasiswa, ia terlihat semakin cantik. Wajahnya mengingatkanku akan seseorang....

Aku membelalak terkejut. Xander! Ya, wajahnya mirip Xander! Tapi ... mungkin itu hanya perasaanku? Jika kubilang pada Lidya, ia pasti akan mengejekku.

Setelah memperkenalkan dirinya sebagai Mrs. Silvya, ia mulai mengabsen. Saat wanita itu menyebut namaku, mata hijaunya menatapku ramah, bibirnya membentuk senyum hangat. Tapi entah kenapa, mungkin karena mirip Xander, aku tidak bisa membalas senyumnya dengan tulus. Ada rasa takut yang mencekamku. Saat akhirnya mata kuliah Bahasa Inggris yang diberikan Mrs. Silvya berakhir, aku menghela napas lega. 

“Wanita tua bermata hijau tadi ... cantik, tapi agak menyeramkan,” ujarku pada Lidya yang menatapku bingung.

“Mata hijau? Matanya hitam, Nadja. Dan ... dia tidak tua. Dia masih muda dan ... tidak cantik.”

Kukerjapkan mata. “Apa maksudmu?”

Lidya menyilangkan lengan di depan dada. “Seharusnya itu pertanyaanku, Nadja. Sebaiknya kau tidak begadang lagi, kau pasti bermimpi selama kuliah berlangsung.”

“Aku tidak bermimpi!” ujarku bingung. “Tadi ... kita belajar Bahasa Inggris, kan? Dia mengajarkan tenses!”

Lidya mengangguk-angguk. “Betul.”

“Jadi aku tidak bermimpi!”

Lidya mengerutkan keningnya lalu tertawa. “Mungkin matamu rusak, jadi harus memakai kacamata.”

Aku menelan ludah. Sial, ini pasti ulah Xander! Dia berniat membuatku gila rupanya! 

“Mungkin ya,” ujarku sambil memasukkan semua alat tulisku. Kemudian kami berjalan beriringan menuju parkiran. “Aku pulang duluan, harus ke laundry." Aku duduk di sepedaku, bersiap untuk mengayuh.

“Oke. Hati-hati, Sayang. Ingat, jangan begadang.”

Aku hanya tersenyum sebelum meninggalkan Lidya di parkiran. Biasanya gadis itu pulang dijemput sepupunya dengan mobil, namun hari ini ia terpaksa pulang dengan motor karena sepupunya berhalangan menjemput.

Sesampainya di Ceria Laundry, aku langsung mendapat tugas dari Mbak Fia untuk mengantar beberapa baju ke sebuah apartemen di dekat sini, karena karyawan yang seharusnya mengantar, sedang sakit. Dengan semangat, aku menerima tugas itu. Mbak Fia memberitahu bahwa aku pergi ke sana dengan sopir khusus laundry, jadi tugasku hanya mengantarkan masuk saja.

Sang sopir memarkirkan mobil di parkiran apartemen, dan aku melangkah keluar untuk mengambil 5 paket bungkusan pakaian ber-hanger yang terukir Ceria Laundry. Kupandangi gedung apartemen yang menjulang dengan latar langit kehitaman karena awan gelap pertanda akan turun hujan. Seandainya punya uang banyak, aku takkan mau tinggal di tempat seperti itu. Rumah yang hangat, dengan kebun kecil di pekarangan yang ditumbuhi berbagai tanaman bunga atau obat akan menjadi pilihanku....

Kugelengkan kepala sambil tersenyum lantas bergegas memasuki gedung apartemen. Kutanya pada seorang security di mana letak kantor manajemen apartemen, kemudian pria bertubuh tinggi tegap dan berkulit hitam legam dengan seyum manis itu memberiku petunjuk dengan sangat jelas. 

Sambil membawa tas besar, aku bergegas naik ke lantai dua menggunakan lift lalu belok ke kanan. Kantor manajemen terletak sekitar enam meter dari lift. 

Pria tua berkacamata menyambut dengan ramah saat aku menunjukkan baju laundry-an. Setelah menanyakan namaku dan nama laundry tempatku bekerja, ia mempersilakanku menuju lantai satu untuk memberikan baju-baju tersebut pada petugas berwenangpetugas yang berwenang untuk membagikan baju-baju laundry-an pada penghuni kamar apartemen.

Saat aku memasuki lift yang kosong, tiba-tiba saja seseorang mendorong dari belakang, membalikkan tubuhku dengan cepatmembuat tas bajuku terjatuh ke lantailalu menekanku ke dinding lift. Mataku membelalak melihat wajah yang kukenal baik. Xander!

“Lepaskan aku!” seruku panik melihat pintu lift yang menutup di belakang Xander.

“Tidak.” Pria itu mencengkeram daguku dengan kuat, lalu bibirnya langsung melumatku. 

Entah kenapaajaibkali ini aku bisa bergerak! Sambil menekan dadanya dengan kedua tangan, kutendang perutnya dengan lutut, lalu buru-buru melesat keluar lift tanpa menoleh lagi. Setelah lima menit meninggalkan area apartemen dengan napas tersengal, baru kusadari bahwa aku kehilangan baju laundry-an. 

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Kulihat kilat menyambar-sambar di kejauhan. Sebentar lagi hujan akan turun, sebaiknya aku kembali ke Ceria Laundry. Namun setibanya di sana, Mbak Fia menatapku sedikit kesal sambil bertolak pinggang. 

“Barusan petugas apartemen menelepon. Katanya beberapa orang marah-marah sebab bajunya belum sampai ke tangan mereka.”

Aku menelan ludah. “Itu ... aku ....”

Lalu telepon kembali berdering. Mbak Fia mengangkatnya, menatapku, lantas memberikan teleponnya padaku.

Dengan bingung aku mengambil telepon dari tangan Mbak Fia. “Halo.”

“Ini Xander. Semua baju laundry yang jatuh ... ada padaku.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
pandaheroes
wkwkwk spertinya harus siap2 nabung soalnya ceritanya bagus bangeeet! eh kak author ada sosmed engga? aku pingin follow kakak~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status