Tempat yang paling ingin di kunjungi Syifa adalah, Ancol. Entah kenapa gadis itu ingin sekali pergi kesana, dan mumpung dia di jakarta. Syifa pun mengajak Tito pergi ketempat itu, ia seperti bocah yang kesenangan di lepas oleh ibunya, Syifa berlarian kesana kemari. Terlihat kagum dengan apa yang ada di sana, Tito yang berada tidak jauh dari gadis itu tampak tersenyum, memasukkan kedua tangannya kedalam saku. Memperhatikan bagaimana, bahagia Syifa saat ini. Ada perasaan senang ketika melihat senyum cantik dari gadis itu, apalagi. Membuat Syifa tersenyum adalah dirinya yang membawanya ke tempat impian gadis itu. Meskipun tidak semua wahana, Syifa jelajahi. Selanjutnya Tito mengajak Syifa ke Sea World. Sea World Ancol. merupakan wisata populer di kawasan Ancol Jakarta Baycity yang mengusung 3 tema utama. Tidak hanya menghibur, juga memberikan edukasi tentang biota laut, dan pengalaman konservasi yang memanjakan mata. Ketiga zona perairan tersebut yaitu zona perairan tawar, zona pes
Aya panik, merubah duduknya menjadi tegak, bahkan wanita itu bicara menggunakan bahasa isyarat yang sama sekali tidak Bu Hasniah mengerti. "Maaf, Bu. tadi bukan seperti itu kejadiannya." di sela rasa sakit. Dafa menahan tawanya sekuat tenaga, bagaimana tidak tertawa, Aya begitu lucu dan menggemaskan. Seperti ketahuan berbuat mesum, padahal kan mereka sudah halal, ini kemungkinan, Aya sudah biasa hanya berdua ketika di rumah bahkan ketika masih di apartemen dulu. Mereka akan bebas, melakukan apa saja, dan di mana saja. Bu Hasniah bingung, tidak mengerti apa yang di katakan mantunya. "Ibu nggak ngerti, nduk." menggaruk tengkuknya. Begitu pun Aya menunduk malu. "Udah-udah, Dafa. Bangun kamu nggak apa-apa, toh?" membimbing putranya untuk berdiri. "Ya, Bu. Aku nggak apa-apa, cuma sakit dikit." bohong pria itu. Bagaimana bisa di katakan sakit sedikit, padahal terdengar jelas suara punggungnya yang menghantam pinggiran meja terbuat dari kaca. "Ibu, kesini mau manggil kalian untuk m
Pukul sembilan malam, Tito dan Syifa tiba. kedatangan mereka, surah di sambut oleh Dafa yang tengah berdiri di tangga teras rumahnya. Syifa turun dari motor sport Tito sambil melepas helm yang ia kenakan. "Sudah senang, jalan-jalannya, puas belum?" tanya Dafa, yang entah apa maksudnya. Syifa mengernyitkan kening, memcoba memahami raut wajah sang Kakak. Apakah Dafa tengah marah, atau tidak. "Belum, masih banyak tempat yang mau aku datangi, tapi keburu malam." gerutu Syifa. "Besok, biar sama Mas aja, memangnya kamu mau kemana lagi?" Syifa mengedikkan bahu. "Mas, Tito terima kasih ya, sudah ngajakin Syifa hari ini. Aku masuk dulu," pamit gadis itu, mengucapkan terima kasih pada Tito. "Iya, Sama-sama." kedua pria dewasa itu memandang punggung Syifa yang berjalan masuk kedalam rumah. Setelah Syifa masuk, Dafa memutar badan menatap sahabatnya itu dengan intens. "Senang kan lo, bisa jalan sama adik gue." sungut Dafa. Tito mendekat memberi senyum terbaiknya. "Kenapa lo? kesambet!" led
"Loh_ katanya tadi mau ke resto, kok malah belum siap-siap?""Ada yang lagi nggak mau di tinggal, Bu." kata Dafa sambil melirik Aya yang sedang bergelanyut manja. "Oalah_ Yo. Yo. Ibu ngerti, namanya juga bumil." sambung Bu Hasniah sambil menatap makanannya di meja. Beberapa langkah dari meja, Tiba tiba Aya melepaskan diri dari Dafa, lalu bergegas berlari ke wastafel. Aya mengalami morning sickness, dari mulai shubuh tadi ia memang sudah merasakan mual, namun selalu di tahan. Namun ketika kecium aroma masakan yang Ibu Hasniah buat. Aya tak kuat lagi, dan akhirnya mengeluarkan isi dalam perutnya. "Sayang, kamu nggak apa-apa?" Dafa dengan setia memijat tengkuk sang istri. "Wajar le, namanya hamil muda, ya seperti itu. Ini Ibu buatkan teh madu, biar enakan." Dafa menyuruh Aya duduk, wajahnya sangat pucat. Memberikan cangkir teh tersebut kepada Aya, dengan pelan Aya mulai meminumnya. "Enakan?" perempuan itu hanya mengangguk pelan, lalu menolak tehnya ketika Dafa menyuruhnya minum lag
"Fa, aku pergi dulu ya. Sekali lagi Mas minta maaf, nanti kita bisa pergi lain waktu.""Nggak apa-apa Mas, Aku ngerti kok. Mas Tito sibuk," jawab Syifa meskipun msih terdengar nyolot. "Udah, nggak usah ngambek. Kayak anak kecil aja, ingat kamu udah gede. udah mau kuliah, kalau mau jalan-jalan. Yuk sama Mas Dafa sama Mba Aya,""Aku nggak ngambek! apaan sih, Mas," katanya tidak ngambek tapi dari raut wajah gadis itu terlihat sekali jika sedang kesal. "Ya udah nggak ngambek, tapi Nesu," ledek Dafa dengan kata Nesu yang berarti marah. "Sopo seng nesu! aku ora Nesu." sontak Dafa terbahak sebab, adiknya itu justru berbicara dengan bahasa Jawa. Aya dan Tito tentu hanya diam, mereka kurang paham apa yang di ucapkan Syifa. "Kalian kenapa jadi berantem sih, mana gue nggak tau artinya lagi!" sungut Tito kesal. "Udah sana pergi. Katanya tadi ada meeting, gimana sih lo!""Ya ini gue mau pergi," Tito menoleh pada Syifa. "Fa, aku pergi ya. Assalamu'alaikum,"Gadis itu mengangguk. "Wa'alaikumsa
"Aku ganti baju dulu, habis itu aku buatin siomay-nya." kata Dafa sembari menyuruh Aya duduk di sofa. "Aku boleh lihat nggak Mas?""Jangan, mending aku di sini aja. Tunggu aku selesai masak." Aya berubah sendu, matanya pun sudah berkaca kaca. Dafa jadi bingung sendiri, ternyata wanita hamil memang mudah menangis, baru sedikit bicara dengan nada tinggi sudah menangis. Pria itu menekuk lutut, berlutut di hadapan Aya. "Jangan nangis dong sayang, aku bukannya nggak bolehin kamu lihat, tapi aku nggak mau kamu kecapean,""Aku kan, nggak ngerjain apa-apa. Nggak mungkin capek Mas," Dafa meringis, benar juga. "Oke deh, asal kamu lihat aku masak aja. Duduk di kursi anteng di sana," pesan Dafa. Aya berubah ceria kembali, ia tersenyum lalu mengangguk setuju. Sebagai hadiahnya, Aya memcium pipi Dafa yang membuat pria itu semakin senang. Berganti baju terlebih dahulu, Dafa baru berkutat di dapur, mulai memotong ayam, udang dan ikan tenggiri. Aya nurut duduk anteng di kursi, melihat bagaiman
"Assalamu'alaikum," "Wa'alaikumsalam," jawab Syifa yang membukakan pintu untuk Tito. "Sudah siap?""Sudah Mas, aku pikir Mas Tito nggak bisa lagi." Tito terkekeh menepuk puncak kepala Syifa. "Nggak lah, kan kemarin Mas sudah janji. Nggak mungkin bohong," seulas senyum manis tercetak di bibir Syifa. "Kita pamit dulu ya Mas,""Oke," Tito menurut, ia ikut masuk untuk bertemu Bu Hasniah dan tentunya Dafa sahabatnya. "Sebenarnya, lo mau bawa kemana lagi adik gue?""Terserah, Syifa-nya aja. Dianya mau kemana," jawab pria itu sambil melirik pada gadis itu lalu tersenyum tipis. "Aku pengin keliling Jakarta, Mas Dafa." ujar Syifa greget. "Kalau cuma keliling Jakarta, Mas Dafa juga bisa. Ngapain harus sama si buaya!""Siapa buaya?" beo Syifa dengan raut wajah cengonya. "Tuh di sampingmu." tunjuk Dafa memkai dagunya. "Sembarangan! jangan di dengerin Fa, Mas mu ini memang minta di cubit ginjalnya!" sungut menatap tajam pada sahabatnya itu. Dafa terbahak puas, ketika sudah berhasil mengg
Tito mengajak Syifa berkeliling Jakarta, sampai gadis itu puas, dan tempat terakhir yang mereka kunjungi adalah Taman kota, di sana Syifa seperti anak kecil yang bebas mau pergi kemanapun. Tito hanya mengikuti dari belakang, memperhatikan wajah cantik Syifa yang sedang bahagia, lagi lagi dia senang ketika melihat senyum gadis itu, pokoknya hari ini ia ingin memanjakan Syifa. "Mas, boleh nggak? aku beli itu?" tunjuk Syifa pada pedagang telur gulung, sosis bakar dan juga bakso bakar. "Boleh, beli sepuas kamu." Syifa bersorak lalu berlari kecil menghampiri pedagang tersebut. Syifa membeli telur gulung sosis bakar, dan bakso bakar cukup banyak, usah membayar Tito mengajak gadis itu untuk duduk di salah satu bangku di taman itu. "Ehmm_ enak. Nggak beda jauh sama di Jawa," kata Syifa terkikik geli. "Boleh," jawab Tito. Entah Syifa sadar atau tidak, namun gadis itu memberikan telur gulung miliknya yang sudah dia gigit ke Tito, dan pria itu menerima saja. "Enak Mas?" "Enak," jawabann
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m