Siang telah menjemput, Vivian akan kembali menuju Vila. Langkah demi langkah menapaki rumput di taman, sambil mencium harum bunga, tanpa wanita itu sadari seseorang di bangku taman tengah duduk, menatapnya dengan lekat."Kau darimana saja?" tanya Max ramah, Vivian lihat kehadiran Sunny, dan benar saja di sudut sana pelayan pribadinya itu sedang mengintai mereka."Aku hanya berkeliling sebentar untuk berolah raga," jawab Vivian dia langsung mengerti skenarionya.Max tersenyum lalu beranjak sambil mendekatkan wajahnya ke telinga sang istri "bukankah seharusnya kau perlu menjelaskan dengan jelas? apakah kau butuh ruang untuk kita berdua?" bisik Max diakhiri seringai tipis."Dan penilaianku untuk pelayananmu...sangat buruk." Vivian hanya bisa menunduk, kali ini dia memang salah, pergi tanpa izin jelas tidak mencerminkan perilaku seorang istri yang baik."Ayo kita kembali, ada sedikit kejutan untukmu," ajak Max sambil menjauhkan diri. Sementara itu Vivian merasakan firasat tak enak, kejut
Matahari telah menjemput kembali. Seperti biasa Vivian sedang menyiapkan makanan untuk sang suami. Bergelut sejak pagi bulan masalah lagi, terasa wajar bahkan seperti kebiasaan sehari-hari.Malam kemarin Vivian tidak tidur, tadi malam pun sama, dia harus melakukan berbagai tugas dari Max yang tak bisa dimengerti lagi. Bahkan tugas-tugas tersebut baru selesai pukul tiga pagi, dan sialnya Max sama sekali tak melepas pengawasan sedikitpun sejak tugas diberikan.Waktu sarapan telah tiba, dan satu hal yang membuat Vivian merasa tidak adil adalah kondisi Max, dia tak sedikitpun terlihat mengantuk atau lelah. Vivian duduk dihadapan sang suami sambil memerhatikan suaminya menyantap hidangan."Ini masakanmu?" tanya Max dan dibalas dengan anggukan.Garpu mendarat pada hidangan tumis, Max lalu mencicipi sambil melihat reaksi sang istri."Buruk," cela Max.Dengan bola mata lelah, Vivian menatap balik suaminya."Oh itu bukan masakanku, Moa yang membuatnya." Dengan mata kantuk Vivian menunjukan sen
Sudah satu setengah bulan berlalu. Tanpa disadari, beberapa hari terakhir ini Max tak pernah menampakkan diri. Selama hari-hari itu, Vivian banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Hari-hari berharga yang bisa dinikmati Vivian adalah saat Max tidak ada di vila. Dia bisa bernafas dengan lega, tertawa, dan bersenang-senang sesuka hati. Dia merasa bebas, bagai burung yang terbang di alam bebas. "Semoga dia tidak kembali sampai tiga bulan berlalu," harapnya.Selama itu pula, Vivian merasakan kedekatan dengan River. Pria yang lekat dengan baju loreng perlahan telah meluluhkan hatinya.Bagaimana tidak? River adalah satu-satunya orang yang berpihak pada Vivian dengan tulus, tanpa dipengaruhi oleh peraturan apapun. Selain itu dia adalah orang yang selalu memberinya semangat dan solusi. Maka, tak heran jika pagi hari menjadi waktu paling menyenangkan bagi Vivian, karena saat itulah dia bisa bertemu dengannya.Sementara itu di tempat lain, Max sibuk dengan jadwal syuting, tak ada waktu sedik
Vivian melihat tangan kanannya di tarik menuju ruang kamar. Orang lain mungkin melihat ikatan tangan diantara mereka adalah ikatan mesra, namun Vivian dapat merasakan, tenaga dari pegangan itu, ada sedikit tenaga seakan mengartikan ketidak tulusan didalamnya.Saat mereka tiba di ruang kamar, Max melepas tangan Vivian. Lemari di buka lalu ditarik sepasang baju pasangan dari dalam sana."Pakai," titah Max sembari melempar baju tidur wanita ke atas ranjang. Segera Max memasuki kamar mandi untuk berganti, sementara Vivian mengambil pakaian yang telah diberikan suaminya. Vivian tidak banyak berfikir, hanya patuh dan berusaha menjadi istri yang baik, cukup itu yang harus dia lakukan.Ketika Max selesai, Vivian memasuki kamar mandi. Dengan niat menghindari Max, dia berniat menghabiskan waktu lebih lama di sana, mencari sedikit ruang dan waktu untuk dirinya sendiri."Sekarang aku memiliki alasan untuk diam lebih lama di dalam sini."...Waktu berjalan tanpa terasa, hingga 30 menit berlalu da
Melihat Vivian bingung, Sophie tak ingin meneruskan topik tersebut."Baiklah, kalau begitu, Vivian, mari kita berkeliling rumah! Kamu pasti akan menyukainya. Mama akan menunjukkan kebun jeruk yang Mama tanam. Ayo!" Kata-kata Sophie terdengar seperti melodi, penuh semangat dan kehangatan. Dengan langkah gembira, dia langsung menarik tangan Vivian, meninggalkan Max sendirian di tengah keheningan.Sejenak, Vivian menoleh, matanya bertemu dengan mata suaminya. Max hanya berdiri di tempat, tatapannya terasa berat, namun tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ingin berpikir lebih jauh, Vivian memilih untuk mengikuti Sophie, meninggalkan Max dalam diam yang membingungkan."Sudahlah, jangan pikirkan apapun," gumam Vivian....Di kebun Sophie sedang menenteng keranjang. Kebun jeruk di belakang rumah tersebut tampak luas dengan buah yang lebat.Tak bisa dipungkiri setiap Vivian melihat buah-buahan, sang pria berseragam lah yang selalu mengisi kepalanya. Pagi tadi mungkin River telah menunggu
Max dan Vivian telah tiba di Mall. Setelah menghabiskan waktu perjalanan dengan keheningan, kini mereka mulai bertatapan kembali.Sambil menggunakan masker dan topi, Max berjalan lebih dulu sementara Vivian mengikuti dari belakang. Tiba di tempat sayur dan segala bumbu, Vivian terdiam mengikuti suaminya."Beli yang di suruh Mama," titah Max.Lantas Vivian mencari bunga lawang, tangannya memilah sebagai bumbu yang tersedia. Sementara itu Max memerhatikan setiap yang dilakukan istrinya.Satu bungkus bunga lawang disimpan dalam troli."Sudah," ucap Vivian.Max menatap troli yang masih kosong, alisnya berkerut. "Hanya itu?" Wanita itu tak ingin berdebat, langsung mengambil buah semangka yang berada tak jauh darinya. Dia memasukkannya ke dalam troli, berharap itu bisa membuat troli terlihat lebih berisi.Namun, Max tampaknya masih belum puas. Dengan langkah pasti, dia mengambil dua buah semangka lagi dan menyimpannya dalam troli, tak lama kemudian suaminya itu berjalan menuju bagian lain
Sore telah tiba, dan Max serta Vivian membawa masing-masing dua kresek sisa jajanan. Sementara itu, Lin membawa belanjaan berat lainnya ke dalam rumah.Sophie, yang sedang menunggu di dalam rumah, langsung menyambut kedatangan mereka. Saat mendengar suara deru mobil dari luar, kedua bola matanya langsung menangkap sisa-sisa jajanan yang dibawa oleh Max dan Vivian. Dengan bangga, senyum lebar seketika terukir, menunjukkan betapa senangnya Sophie melihat kehadiran kedua putra-putrinya."Kalian cukup bersenang-senang rupanya," ucap Sophie sambil mengusap sebelah tangan Vivian.Wanita itu baru menyadari tindakan lain dari suaminya. Semua kejahilan itu adalah demi menciptakan sandiwara yang sempurna. "Bagaimana bunga lawangnya ada?" Lin langsung datang sambil membawa dua kantong kresek besar. Melihat itu Sophie langsung mengerti lalu memberikan perintah."Tolong simpan di dapur.""Baik Nyonya." Lin menunduk patuh.Bersamaan dengan itu, tangan Vivian digaet oleh Sophie."Ayo, kita memasak
Max menunjukan seringai lagi."Pasal satu ayat satu perjanjian kita, jangan lupakan itu," ucapnya dengan suara berat.Vivian mengingat jelas pasal pertama perjanjian mereka. 'Hubungan suami istri normal,' seperti itulah bunyi perjanjian tersebut."Jangan lupa, ini tentang kesepakatan kita," lanjut Max dengan pelan.Pria itu lalu menarik kedua tangan istrinya dengan paksa menuju sebuah tempat, persis terlihat seperti seorang penggembala yang membawa ternaknya.Tak memerlukan waktu lama, kedua insan telah duduk menghadap taman. Tak ada perbincangan apapun, hanya diam menatap lurus ke depan. Sementara itu kedua tangan Vivian masih belum dilepas, beberapa kali dia meminta tangannya untuk lepas, namun semua permintaan itu seakan menjadi angin lalu yang tak bisa di dengar."Lepaskan," titah Vivian, wajahnya menunjukkan rasa muak berlebihan.Max tak mendengar, matanya terus tertuju ke depan, seolah sibuk dengan isi pikirannya sendiri.Semakin Vivian memaksa untuk terlepas, genggaman Max tera