Melihat Vivian bingung, Sophie tak ingin meneruskan topik tersebut."Baiklah, kalau begitu, Vivian, mari kita berkeliling rumah! Kamu pasti akan menyukainya. Mama akan menunjukkan kebun jeruk yang Mama tanam. Ayo!" Kata-kata Sophie terdengar seperti melodi, penuh semangat dan kehangatan. Dengan langkah gembira, dia langsung menarik tangan Vivian, meninggalkan Max sendirian di tengah keheningan.Sejenak, Vivian menoleh, matanya bertemu dengan mata suaminya. Max hanya berdiri di tempat, tatapannya terasa berat, namun tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tidak ingin berpikir lebih jauh, Vivian memilih untuk mengikuti Sophie, meninggalkan Max dalam diam yang membingungkan."Sudahlah, jangan pikirkan apapun," gumam Vivian....Di kebun Sophie sedang menenteng keranjang. Kebun jeruk di belakang rumah tersebut tampak luas dengan buah yang lebat.Tak bisa dipungkiri setiap Vivian melihat buah-buahan, sang pria berseragam lah yang selalu mengisi kepalanya. Pagi tadi mungkin River telah menunggu
Max dan Vivian telah tiba di Mall. Setelah menghabiskan waktu perjalanan dengan keheningan, kini mereka mulai bertatapan kembali.Sambil menggunakan masker dan topi, Max berjalan lebih dulu sementara Vivian mengikuti dari belakang. Tiba di tempat sayur dan segala bumbu, Vivian terdiam mengikuti suaminya."Beli yang di suruh Mama," titah Max.Lantas Vivian mencari bunga lawang, tangannya memilah sebagai bumbu yang tersedia. Sementara itu Max memerhatikan setiap yang dilakukan istrinya.Satu bungkus bunga lawang disimpan dalam troli."Sudah," ucap Vivian.Max menatap troli yang masih kosong, alisnya berkerut. "Hanya itu?" Wanita itu tak ingin berdebat, langsung mengambil buah semangka yang berada tak jauh darinya. Dia memasukkannya ke dalam troli, berharap itu bisa membuat troli terlihat lebih berisi.Namun, Max tampaknya masih belum puas. Dengan langkah pasti, dia mengambil dua buah semangka lagi dan menyimpannya dalam troli, tak lama kemudian suaminya itu berjalan menuju bagian lain
Sore telah tiba, dan Max serta Vivian membawa masing-masing dua kresek sisa jajanan. Sementara itu, Lin membawa belanjaan berat lainnya ke dalam rumah.Sophie, yang sedang menunggu di dalam rumah, langsung menyambut kedatangan mereka. Saat mendengar suara deru mobil dari luar, kedua bola matanya langsung menangkap sisa-sisa jajanan yang dibawa oleh Max dan Vivian. Dengan bangga, senyum lebar seketika terukir, menunjukkan betapa senangnya Sophie melihat kehadiran kedua putra-putrinya."Kalian cukup bersenang-senang rupanya," ucap Sophie sambil mengusap sebelah tangan Vivian.Wanita itu baru menyadari tindakan lain dari suaminya. Semua kejahilan itu adalah demi menciptakan sandiwara yang sempurna. "Bagaimana bunga lawangnya ada?" Lin langsung datang sambil membawa dua kantong kresek besar. Melihat itu Sophie langsung mengerti lalu memberikan perintah."Tolong simpan di dapur.""Baik Nyonya." Lin menunduk patuh.Bersamaan dengan itu, tangan Vivian digaet oleh Sophie."Ayo, kita memasak
Max menunjukan seringai lagi."Pasal satu ayat satu perjanjian kita, jangan lupakan itu," ucapnya dengan suara berat.Vivian mengingat jelas pasal pertama perjanjian mereka. 'Hubungan suami istri normal,' seperti itulah bunyi perjanjian tersebut."Jangan lupa, ini tentang kesepakatan kita," lanjut Max dengan pelan.Pria itu lalu menarik kedua tangan istrinya dengan paksa menuju sebuah tempat, persis terlihat seperti seorang penggembala yang membawa ternaknya.Tak memerlukan waktu lama, kedua insan telah duduk menghadap taman. Tak ada perbincangan apapun, hanya diam menatap lurus ke depan. Sementara itu kedua tangan Vivian masih belum dilepas, beberapa kali dia meminta tangannya untuk lepas, namun semua permintaan itu seakan menjadi angin lalu yang tak bisa di dengar."Lepaskan," titah Vivian, wajahnya menunjukkan rasa muak berlebihan.Max tak mendengar, matanya terus tertuju ke depan, seolah sibuk dengan isi pikirannya sendiri.Semakin Vivian memaksa untuk terlepas, genggaman Max tera
Cekitan pintu terdengar, malam telah datang sebagai alasan kedatangan Vivian di kamar bernuansa klasik tersebut. Jam dinding menunjukan pukul 09.00 waktu yang tepat untuk semua orang beristirahat.Saat mata Vivian menangkap sosok pria diranjang sana terlihat penampakan memanjakan mata. Setelan piama tidur yang membuka bagian depan dada bidang Max sontak membuat Vivian melempar pandangan. Begitu pula Max, manik biru bercahaya itu langsung tertuju pada sang istri di awang pintu. Wajahnya terlihat membalik ke arah lain seolah menghindari kontak mata seperti tadi.Loker ditarik, Max mengambil saputangan hijau yang masih dibungkus plastik, lalu dilempar dengan perhitungan tepat agar Vivian dapat meraih benda tersebut."Punyamu," ucap Max lalu mengambil majalah dan membacanya.Kini saputangan itu telah berada ditangan Vivian, sedikit senyuman ingin terukir namun sengaja ditahan. Dan ketika manik coklat melihat setiap sudut kamar, masalah lain muncul, Vivian tidak menemukan adanya sofa, ter
Tiba di restoran, Vivian duduk menghadap suaminya. Suasana tegang tercipta bahkan setelah pelayan menodongkan menu pada mereka."Pesan," titah Max.Dengan cepat Vivian mengambil buku menu, memilih acak apa saja yang tertera disana. Max tampak intens memerhatikan, sorot mata tajam membuat suasana terasa mencekam.Max melipat kedua tangan dengan kaki menyilang, memberikan aura dominan yang sangat kuat."Dimana cincinmu?" tanya Max. Sontak Vivian melihat jari manis yang ternyata tidak terpasang cincin disana.Mata Vivian berkeliaran seolah mengingat kembali dimana cincin tersebut disimpan. Ada dua kemungkinan besar, jika tidak tertinggal di kamar mandi mungkin di ruang kamar saat keberangkatan terburu-buru pagi tadi.Dia lihat salah satu jari suaminya. Cincin berwarna perak tersebut seakan sengaja ditampakkan agar Vivian dapat melihatnya. Bersamaan dengan itu Max membenarkan posisi sekaan siap untuk mengintrogasi."Kau tidak mematuhi perjanjiannya, padahal sudah ku peringatkan.""Dan eks
Sepanjang perjalanan, Vivian habiskan dengan tidur, sementara Sunny dan Lin berada di mobil lain, keputusan ini diambil untuk menghentikan sejenak sandiwara dihadapan pelayan pribadinya."Emm." Vivian mengerang sambil membenarkan posisi. Leher mulus bersih seketika terpampang jelas tanpa penghalang. Dress yang dikenakan telah membuat tulang bahu Vivian tampak jelas. Sambil mengendarai, Max sekilas memandangi pemandangan itu, bahu dan tubuh yang kecil sempat membuat Max menelan salivanya berkali-kali."..."...Setibanya di Vila, mereka langsung menunjukan sandiwara terbaik. Sunny dan Lin tampak memerhatikan dari kejauhan."Hari yang menyenangkan," ucap Vivian pada suaminya, berlaku manja."Tentu, berkatmu," jawab Max lembut, di bumbui senyum bahagia. Tanpa menghabiskan waktu, keduanya segera menuju kamar, bersembunyi sekaligus untuk membersihkan diri. Tiba di ruang kamar, saat pintu ditutup, Vivian langsung melepas kontak tubuh, saling menjauhkan diri satu sama lain. Wajah manis yan
Secepat kilat Max membawa Laura menuju ruang kerja, salah satu tempat paling aman dari segala pengawasan termasuk Sunny.Saat Max dan Lin pergi, senyum tipis menghiasi wajah Vivian. Dia memiliki kesempatan untuk menikmati pagi ini. Matahari belum mencapai puncaknya dan biasanya River masih ada di hutan sana. Dengan cepat, Vivian mengambil sapu tangan, buku dan buah-buahan, lalu bergerak menuju lokasi tujuan....Angin berembus dingin, musim tampaknya sedang berganti, angin akan terus terasa dingin hari demi hari, dan seperti biasa Vivian tidak memakai mantel, hanya cukup mengandalkan dress dengan lengan sesikut dan panjang mencapai betis.Tak... Tak...Bunyi langkah terdengar jelas menapaki dedaunan. Di tempat biasa, pria berseragam duduk terdiam sendirian sambil menikmati terpaan angin sejuk."River, kau sudah lama disini?" tanya Vivian lalu duduk tepat disampingnya.River menggerakkan bola matanya, dia tampak kecewa setelah tidak mendapati Vivian datang dua hari terakhir."Kukira ka