“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.
Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.
“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.
Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.
Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.
Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.
Mereka menoleh bersama ke arah seberang aula. Seorang pria tampak tegap, jas hitamnya tersemat rapi, wajahnya menatap lurus ke depan tanpa sekat emosi.
Melvin—bersama jajaran direksi perusahaan, berjalan mantap menuju ruang rapat yang akan dimulai beberapa menit lagi.
“Hei, sebaiknya kita masuk,” ujar Thania menahan pekikan gemuruh dari tamu lain yang mulai berbaris memenuhi ruang rapat.
Arion melirik sejenak ke arah Melvin, lalu membalas tatapan itu dengan senyum sopan yang nyaris meruntuhkan pilar ketegasan Melvin. “Silakan lebih dulu, Thania. Aku tunggu di dalam.”
Thania terdiam, hatinya berdegup cepat. Ada perasaan lega melihat Arion memberikan jalan, namun seketika terhalang oleh bayangan sosok suaminya.
“Baik,” ucapnya dan melangkah anggun masuk. Melvin menoleh dan sekilas menatapnya, tubuhnya membeku selama sepersekian detik sebelum melanjutkan langkah ke dalam ruangan.
Pintu ruang rapat tertutup di belakang mereka. Suara langkah sepatu hak tinggi dan suara sepatu pantofel bergantian memecah keheningan.
Arion berdiri beberapa langkah di belakang, matanya terus mengikuti Thania, seolah setiap geraknya adalah harta karun yang tak ingin dilepaskannya.
Di dalam, Melvin duduk di kursi paling ujung meja oval, menghadap para direksi. Pandangannya tajam melintas di antara para hadirin, lalu berhenti pada kursi kosong di sisi Thania.
“Duduk di sampingku,” titah Melvin dengan suara dingin yang menusuk, seolah tak menyisakan ruang bagi bantahan.
Thania melirik sekilas ke arah pria itu. Ada ketegangan di matanya yang sejenak menguar, tapi ia cepat menekannya.
Dengan anggukan kecil, ia mematuhi perintah itu. Bukan karena takut. Bukan pula karena tunduk. Tapi karena itulah satu-satunya cara untuk menjaga Melvin tetap tenang, tetap merasa di atas.
Ia sudah lelah bertengkar dengan amarah yang tak pernah jelas asalnya—amarah yang selalu jatuh padanya, walau bukan ia penyebabnya.
Tak lama kemudian, Arion masuk ke dalam ruangan dengan langkah tenang dan percaya diri. Lengan kanannya memegang folder laporan, dan sorot matanya mengarah lurus ke depan, menyapu ruangan tanpa gentar.
Seketika itu juga, suasana menjadi berbeda. Ada ketegangan samar yang merayap seperti kabut di pagi hari. Semua mata tertuju padanya, namun hanya satu tatapan yang benar-benar membakar: Melvin.
Tatapan pria itu tajam, membara, menyimpan kecurigaan yang telah lama bersemayam dalam hatinya. Ia tahu betul—Arion menyukai Thania.
Itu bukan rahasia. Tapi Melvin, dengan segala kesombongan dan keyakinannya, percaya bahwa tak ada pria lain yang bisa menggantikan posisi Kalen di hati Thania.
Bahwa sekalipun Arion tampan, cerdas, dan punya segalanya, ia tetap tak akan mampu menaklukkan wanita itu.
Rapat pun akhirnya selesai. Namun, ketegangan belum berakhir. Justru baru dimulai. Melvin menggenggam tangan Thania dengan kasar, menariknya tanpa aba-aba, menyeretnya menuju ruang kerjanya.
“Sakit, Melvin. Jangan mencengkeram tanganku seperti itu,” lirih Thania, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
Ia melepaskan genggaman itu dengan paksa, menatap Melvin dengan luka yang tak lagi bisa disembunyikan.
Melvin membalikkan badan, wajahnya mengeras. “Kau pikir aku tidak melihat apa yang kau lakukan dengan Arion di depan ruang rapat tadi?” suaranya tajam, seperti bilah pisau yang menebas udara di antara mereka.
Thania terdiam sejenak. Ia mencoba mengatur napas, menahan diri dari amarah yang perlahan membuncah. Tapi Melvin tak berhenti.
“Tidak bisakah kau bersikap sebagai wanita elegan di hadapan pria? Tidak bisakah kau membuang derajat murahanmu itu di hadapan pria?”
Dan saat itulah, sesuatu di dalam diri Thania pecah. Ia menunduk, meremas tangannya sendiri, mencoba meredam getar di dadanya. Tapi kata-kata Melvin terlalu tajam, terlalu menyakitkan.
“Dia hanya mengucapkan selamat padaku. Apa bagimu semua pria yang dekat denganku karena aku murahan? Dangkal sekali otakmu, Melvin!” ucap Thania, suaranya bergetar antara marah dan luka yang telah lama ditahan.
“Karena memang kenyataannya seperti itu, Thania. Kau pikir aku tidak tahu kalau Arion menyukaimu? Tapi, kau tidak mau mendekatinya karena dia hanya seorang General Manager di sini!”
Thania menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Matanya tak sekadar menatap, tapi menelanjangi luka lama yang semakin menganga. Napasnya berat.
“Wanita murahan yang kau sebut-sebut itu istrimu sendiri, Melvin.” Suaranya lirih, tapi tajam.
“Jika kau menghinaku dengan kata-kata itu terus-menerus, apa bedanya denganmu yang sama murahannya denganku, karena menikahi wanita murahan?”
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada