“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.
Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”
Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.
Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.
“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.
Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”
Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”
Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.
Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu besok. Tidak ada tawar-menawar.”
“Tidak!” bentak Thania, suaranya keras dan tegas. Lebih keras dari sebelumnya. Kepalanya menggeleng keras seolah menolak seluruh semesta. “Aku tidak mau!”
Melvin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Thania. Matanya menyala seperti binatang buas yang siap menerkam.
“Oh! Jadi kau lebih memilih dikurung di kamar selama dua minggu dan mendapat hujaman dariku? Tiap hari. Tiap malam. Tanpa henti. Oke! Kalau itu maumu, aku akan mengabulkannya.”
Tubuh Thania kaku. Ia mematung. Bola matanya perlahan membesar menatap pria di hadapannya. Napasnya tercekat, dadanya naik turun menahan teriakan yang ingin meledak.
“Kau ….” suaranya bergetar, seperti bisikan di tengah badai. “Kau benar-benar manusia tidak punya hati! Kau ingin membuatku mati, huh?”
Tawa Melvin terdengar pelan, dalam, dan menakutkan. Seolah-olah ia menikmati rasa takut yang muncul dari sorot mata Thania.
“Kematian?” ujarnya dengan suara dingin.
“Kematian terlalu mudah untuk membebaskanmu, Thania. Aku tidak akan membunuhmu—belum. Kau harus menyesal dulu. Kau harus merasa hancur seperti yang kau lakukan pada keluargaku.”
Thania menghela napas kasar, dadanya sesak karena amarah dan ketidakberdayaan yang menumpuk begitu hebat.
Air mata hampir menyeruak dari pelupuk matanya, tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menang di hadapan pria itu. Tidak di hadapan monster yang menyamar sebagai suami.
“Harus dengan cara apa lagi agar kau percaya bahwa aku tidak menggoda ayahmu, Melvin?” ucap Thania lirih, suaranya pecah.
“Aku menghormatinya. Aku bekerja selama lima tahun untuknya dengan sepenuh hati. Aku tidak pernah berpikir macam-macam tentang beliau. Tapi kau—kau memelintir semuanya seperti aku ini wanita murahan yang hanya mengejar pria tua kaya!”
Thania menatap datar wajah Melvin. “Lagi pula, dapat dari mana kau rekaman percakapanku dengan Archer?”
Melvin tersenyum sinis. “Relasiku luas, Thania. Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku inginkan. Kau pikir aku akan menuduhmu tanpa bukti? Sudah jelas—ada rekaman.
“Lima tahun kau di samping ayahku, jadi sekretaris pribadi. Tiap hari bersama. Kau pikir aku bodoh untuk tidak tahu apa niatmu sebenarnya?”
Thania menutup mata sejenak. Ada lelah yang luar biasa menenggelamkannya. Bukan hanya karena tubuhnya yang lemah, tapi jiwanya yang sudah nyaris runtuh.
Ia sadar, tak peduli seberapa keras ia membela diri, Melvin sudah lebih dulu menulis kisahnya dalam naskah tuduhan dan kebencian. Apa pun yang ia katakan, selalu akan dianggap sebagai kebohongan.
“Terserah kau saja. Aku sudah lelah menghadapimu.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Thania seperti helaan napas terakhir dari orang yang sudah menyerah berperang.
Ia bangkit dari duduknya, langkahnya cepat, tanpa menoleh lagi ke arah Melvin. Ia hanya ingin pergi. Menjauh.
Sekadar mencari udara, walau ia tahu, bahkan udara pun terasa sesak jika masih dalam ruang yang sama dengan pria itu.
Toilet adalah tempat pelarian satu-satunya. Tempat di mana tak ada mata yang menghakimi, tak ada suara yang menuduh, tak ada tangan yang mencengkeram.
Begitu pintu tertutup, Thania mengunci diri. Kakinya lemas, dan tubuhnya merosot pelan hingga ia terduduk di lantai dingin.
Ia memeluk kedua lututnya, tubuhnya berguncang oleh tangis yang ia tahan selama ini. Suara isaknya lirih, namun menyayat hati, seperti suara anak kecil yang hilang arah di tengah hutan gelap.
“Dosa apa yang telah aku lakukan, Ya Tuhan?” gumamnya dengan suara bergetar. “Kenapa aku terjebak dalam pernikahan gila ini? Kenapa aku harus menerima pinangannya?”
Kenangan itu datang tanpa bisa ia tolak. Jelas. Tajam. Menyakitkan. Melvin—dengan setelan rapi, senyum meyakinkan, dan mata yang menatap penuh kasih sayang palsu—berlutut di hadapan Kalen dan Nadya, meminangnya di hadapan semua orang.
Mengatakan bahwa ia mencintai Thania. Mengaku sudah memendam rasa selama empat tahun. Dan Thania—bodohnya—percaya. Karena cinta, katanya. Karena ia ingin menyelamatkan Thania dari jeratan utang yang sudah menumpuk sejak lama.
“Dan aku … aku menerima tawaran itu,” bisik Thania getir, matanya menatap kosong ke dinding. “Kupikir itu cinta. Kupikir dia benar-benar mencintaiku.”
Tangisnya makin menjadi. Ia mendekap lututnya lebih erat, seolah ingin menyatukan seluruh dirinya yang mulai hancur berkeping-keping.
“Lebih baik aku bekerja seumur hidupku dan melunasi utangku sendiri,” lirihnya di sela isakan. “Kalau aku tahu… kalau aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini.”
Air mata tak berhenti jatuh. Ia merasakan sesak luar biasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sakit itu bukan di tubuh, tapi di hati—dan di sanalah luka itu menganga, berdarah tanpa henti.
Ia perlahan bangkit, meski tubuhnya goyah. Tangannya terulur ke wastafel, memutar keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Tapi dingin itu tak cukup membekukan nyeri yang mendalam di dadanya.
Thania menatap pantulan dirinya di cermin. Mata sembab. Wajah pucat. Bahu turun. Seperti tubuh tanpa jiwa. Wanita itu—wanita di dalam cermin—bukan Thania yang dulu.
Bukan Thania yang ceria dan punya harapan. Tapi seorang tawanan yang terjebak di kehidupan yang bahkan bukan miliknya.
“Kuatkan aku, Ya Tuhan,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Atau cabut saja nyawaku… jika memang hanya penderitaan yang harus aku lalui selama hidupku.”
Tangis kembali meledak, dan ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan suara lirihnya agar tak terdengar. Tapi, nyatanya…
“Thania? Ada apa denganmu?”
Suara itu membuat tubuh Thania menegang. Ia perlahan menurunkan tangannya, dan matanya membulat penuh terkejut.
“Regina?”
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Arion? Kau di sini juga?” Thania memiringkan kepalanya sedikit, lalu melangkah menghampiri pria itu yang sedang duduk di pojok rak buku, tertunduk membaca sebuah buku tebal dengan sampul berwarna cokelat tua.Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela besar perpustakaan menyorot setengah wajah Arion, membuatnya tampak tenang dan fokus.Begitu mendengar suara Thania, Arion langsung menutup bukunya dengan satu gerakan halus dan mengangkat wajahnya.Senyuman hangat segera terulas di bibirnya, seperti bias cahaya yang menyelinap lembut ke ruang hati Thania yang sepi.“Ya. Aku di sini bersama dengan timku,” jawab Arion ramah. “Kami sedang menyiapkan beberapa materi literasi untuk program pameran komunitas.” Lalu, dengan nada penasaran, ia menambahkan, “Kau sendiri saja? Atau bersama dengan Regina?”“Hanya sendiri. Regina sedang ada meeting bersama Tuan Kalen,” jawab Thania sambil menunduk sejenak, mengamati rak buku yang ada di sampingnya.Arion mengangguk pelan, matanya masih memandang
“Kenapa sudah pulang?” tanya Thania, suaranya terdengar datar, namun dalam intonasinya terselip sedikit nada heran. Ia melirik jam tangan tipis di pergelangan kirinya.“Baru pukul sembilan. Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini,” lanjutnya, sembari melangkah mendekat dan memungut jas hitam Melvin yang tergeletak sembarangan di atas sofa.Melvin tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Thania dengan tatapan dingin dan tak terbaca, seolah sedang menilai apakah kata-kata wanita itu layak ditanggapi atau diabaikan begitu saja.“Bukankah Joana sangat merindukanmu?” Thania melanjutkan sambil merapikan lipatan jas itu. Meski nadanya tenang, kata-katanya mengandung tajam yang disengaja. “Seharusnya kau menghabiskan malam—”“Buatkan aku spaghetti.” Suara Melvin memotong tajam kalimat Thania. Ia mengucapkannya tanpa ekspresi, langsung dan memaksa.Thania berhenti sejenak. Keningnya berkerut, bibirnya tertarik samar ke bawah. “Spaghetti?” ulangnya, seolah memastikan pendengarannya.“Apa aku t
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
“Kenapa sudah pulang?” tanya Thania, suaranya terdengar datar, namun dalam intonasinya terselip sedikit nada heran. Ia melirik jam tangan tipis di pergelangan kirinya.“Baru pukul sembilan. Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini,” lanjutnya, sembari melangkah mendekat dan memungut jas hitam Melvin yang tergeletak sembarangan di atas sofa.Melvin tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Thania dengan tatapan dingin dan tak terbaca, seolah sedang menilai apakah kata-kata wanita itu layak ditanggapi atau diabaikan begitu saja.“Bukankah Joana sangat merindukanmu?” Thania melanjutkan sambil merapikan lipatan jas itu. Meski nadanya tenang, kata-katanya mengandung tajam yang disengaja. “Seharusnya kau menghabiskan malam—”“Buatkan aku spaghetti.” Suara Melvin memotong tajam kalimat Thania. Ia mengucapkannya tanpa ekspresi, langsung dan memaksa.Thania berhenti sejenak. Keningnya berkerut, bibirnya tertarik samar ke bawah. “Spaghetti?” ulangnya, seolah memastikan pendengarannya.“Apa aku t
“Arion? Kau di sini juga?” Thania memiringkan kepalanya sedikit, lalu melangkah menghampiri pria itu yang sedang duduk di pojok rak buku, tertunduk membaca sebuah buku tebal dengan sampul berwarna cokelat tua.Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela besar perpustakaan menyorot setengah wajah Arion, membuatnya tampak tenang dan fokus.Begitu mendengar suara Thania, Arion langsung menutup bukunya dengan satu gerakan halus dan mengangkat wajahnya.Senyuman hangat segera terulas di bibirnya, seperti bias cahaya yang menyelinap lembut ke ruang hati Thania yang sepi.“Ya. Aku di sini bersama dengan timku,” jawab Arion ramah. “Kami sedang menyiapkan beberapa materi literasi untuk program pameran komunitas.” Lalu, dengan nada penasaran, ia menambahkan, “Kau sendiri saja? Atau bersama dengan Regina?”“Hanya sendiri. Regina sedang ada meeting bersama Tuan Kalen,” jawab Thania sambil menunduk sejenak, mengamati rak buku yang ada di sampingnya.Arion mengangguk pelan, matanya masih memandang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang