“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.
Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.
Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.
Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.
“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.
Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.
Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.
Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih duduk di meja kerjanya, berusaha terlihat sibuk, tapi jelas ia bisa merasakan sorot mata istrinya yang menusuk hingga ke dalam ruangannya.
“Aku sedang sibuk, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku sudah bilang padamu, jangan datang ke kantorku,” ucap Melvin setengah berbisik namun tegas, berusaha mengendalikan emosinya.
Joana mengangkat dagunya sedikit. “Kau selalu menyibukkan diri dengan pekerjaanmu. Padahal kita sudah tidak bertemu beberapa tahun. Apa kau tidak merindukanku?” tanyanya, dengan nada suara yang sengaja dilembutkan.
Tatapannya mencoba memancing rasa bersalah di mata Melvin, seperti yang biasa ia lakukan di masa lalu.
Melvin tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke tumpukan berkas di meja, lalu memijat keningnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Kepalanya terasa berat.
“Sebaiknya pulang, Joana. Aku akan menghubungimu setelah urusanku selesai. Satu jam lagi aku ada meeting,” katanya akhirnya, dengan nada tegas namun lelah.
Joana melangkah mendekat dengan senyum menggoda. “Kau akan datang ke apartemenku?” tanyanya, mata cokelatnya berbinar penuh harap.
“Aku akan membuatkan makanan kesukaanmu. Spaghetti carbonara buatan tanganku, kau masih suka, bukan?”
Melvin terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu yang rumit dalam pikirannya. Lalu, ia mengangguk pelan. “Ya. Aku akan ke apartemenmu. Jadi, sekarang pulanglah.”
Joana tersenyum lebar, matanya berbinar puas. Ia hampir berbalik pergi ketika ekspresi di wajah Melvin berubah.
Joana mengikuti arah pandangan pria itu dan melihat ke luar jendela kaca. Senyumnya perlahan memudar.
“Kau memperhatikan sekretarismu?” tanyanya dengan nada tajam, penuh rasa curiga.
“Bukankah wanita itu menyukai ayahmu? Kenapa kau masih menjadikannya sekretarismu? Jika dia benar-benar merebut ayahmu, keluargamu akan hancur, Melvin.”
Nada suaranya kini berubah. Tidak lagi manja, melainkan bernada memperingatkan. Ia berjalan mendekat ke arah meja, membungkuk sedikit dengan mata menatap tajam ke arah Melvin.
Joana tahu apa yang ia bicarakan. Ia tahu karena Melvin pernah menceritakannya—percakapan larut malam melalui telepon, saat Melvin butuh tempat mengeluh atau sekadar ingin didengar.
Ia tahu tentang gosip kantor, tentang ketegangan keluarga, tentang wanita yang diam-diam disukai ayah Melvin, yang kini menjadi istri sah pria itu.
Kini Joana telah kembali dari Paris. Setelah dua tahun menyelesaikan sekolah modelingnya, ia kembali ke New York untuk melanjutkan karier yang sempat tertunda—dan mungkin, juga untuk merebut kembali posisi yang dulu ia tinggalkan.
“Dia cukup kompeten dan sudah tidak menyukai ayahku lagi. Dia… dia sudah menikah,” ucap Melvin akhirnya dengan suara pelan namun tegas, meskipun matanya masih menatap ke luar jendela, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang perlahan merambat ke dalam dirinya.
Joana mendengus kecil, namun senyumnya kembali merekah. “Begitu rupanya. Ya sudah,” ucapnya sambil merapikan rambutnya yang sempat berantakan karena pelukan barusan.
“Aku pulang dan pergi ke supermarket terlebih dahulu. Setelah itu, memasak makanan kesukaanmu. Aku menunggumu, Melvin,” lanjutnya seraya mendekat, lalu sekali lagi memeluk Melvin dengan perlahan namun penuh hasrat yang tertahan selama bertahun-tahun.
Melvin tidak membalas pelukan itu. Ia hanya diam, tubuhnya kaku dan pikirannya melayang entah ke mana. Joana melepaskannya tak lama kemudian, melambaikan tangan dengan ceria, lalu melangkah keluar dengan anggun.
Melvin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum samar yang sulit dibaca: canggung, tertekan, dan penuh beban.
Begitu pintu tertutup, Melvin menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan gerakan berat. Ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang.
“Joana selalu nekat,” gumamnya, mengusap wajah dengan telapak tangannya. “Bisa-bisanya dia datang ke kantor tanpa memberitahuku terlebih dahulu.”
Ia melonggarkan dasi di lehernya, mencoba meredakan degup jantung yang sejak tadi berlari tak karuan.
Dada sesak oleh situasi yang semakin rumit—antara wanita masa lalunya yang kembali hadir dan wanita yang kini menjadi istri sahnya, meskipun hanya di atas kertas.
Bangkit dari duduknya, Melvin berjalan ke arah jendela. Tatapannya mencari sosok Thania. Namun, kursi tempat wanita itu biasa duduk kini kosong. Alis Melvin berkerut.
“Ke mana wanita itu?” ucapnya pelan, nadanya penuh tanda tanya.
Ia lalu mengambil berkas yang sedari tadi hendak diberikan kepada Thania. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju meja kerja Thania, berharap ia akan segera kembali.
Beberapa saat kemudian, Thania muncul dari arah pantry, membawa map lain di tangannya dan secangkir teh hangat.
Senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang sengaja ia ciptakan agar tetap terlihat profesional meski hatinya sebenarnya kacau.
Namun begitu ia melihat tatapan Melvin yang datar dan dingin, senyum itu langsung memudar.
Thania mengambil berkas dari tangan Melvin dengan gerakan ringan dan efisien. “Tuan Robert sudah menunggu di ruang meeting,” ucapnya datar tanpa menatap wajah pria itu, hanya fokus pada map yang kini ia pegang.
“Kau tidak ikut?” tanya Melvin kemudian, suaranya rendah namun terdengar jelas.
Thania mengerutkan keningnya sejenak sebelum menjawab, “Tidak. Aku harus pergi ke perpustakaan untuk persiapan pameran dua hari yang akan datang. Kau lupa?”
Melvin tidak menjawab. Tatapannya tetap pada wajah Thania, namun tidak ada emosi yang bisa dibaca. Hanya diam.
“Oh, satu lagi.” Thania berhenti sejenak, lalu kembali menatap Melvin. Kali ini dengan sorot mata yang tajam namun tetap tenang.
“Kau akan menemui kekasihmu itu, kan? Aku akan mengatur ulang jadwal meeting-mu di pukul tujuh malam.”
“Tidak perlu—”
“Nona Joana yang memintaku untuk membatalkan semua urusanmu, Tuan Melvin,” potong Thania cepat, nada suaranya dingin dan tak terbantahkan.
Melvin mengerjapkan mata. Ia belum sempat bereaksi ketika Thania melanjutkan kalimatnya.
“Jadi, pertemuan dengan Tuan Max akan dijadwalkan besok, pukul sebelas siang.”
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada