“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.
Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.
Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.
Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”
Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.
Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.
“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang.
Melvin membalas dengan suara yang datar tapi mengandung kemarahan yang ditahan. “Apa hakmu membuka ponselku?”
Thania tidak bergeming. “Hanya kebetulan,” jawabnya dengan tenang tapi tajam.
“Apa yang akan kau katakan padanya karena kau sudah menikah? Kau akan menduakannya? Kau akan mempertahankan hubunganmu itu dengannya?”
Wajah Melvin menegang. Napasnya terhela kasar. Ia menatap Thania dengan dingin, lalu menggeleng pelan. “Bukan urusanmu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
“Tentu ini urusanku!” bentak Thania, suaranya bergetar menahan emosi. Kalimat itu membuat langkah Melvin terhenti di tengah jalan.
“Aku bisa saja memberitahu orang tuamu bahwa kau—”
“Berani sekali kau mengatakan itu padaku!” potong Melvin cepat, matanya menyala penuh amarah. Ia mendekat perlahan, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.
Suaranya mengecil namun jauh lebih berbahaya. “Berani memberitahu orang tuaku? Atau kakakmu akan membusuk di penjara? Pilih mana, hm?”
Ancaman itu menampar kesadaran Thania seperti cambuk. Tangannya mengepal erat, tubuhnya gemetar menahan ketakutan dan marah yang bercampur jadi satu.
Bibirnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Ia tahu, ia tak bisa melawan.
“Lalu,” suaranya lirih namun tegas, “kau akan menyembunyikan statusmu darinya, sampai kau puas menyiksaku?”
“Ya.” Jawaban Melvin terdengar dingin dan tanpa ragu.
Tatapannya menusuk langsung ke mata Thania. “Kenapa? Kau mencintaiku? Kau cemburu karena aku memiliki wanita lain?”
Thania menggeleng pelan, bibirnya mengerucut menahan emosi. “Terserah kau saja,” jawabnya getir.
“Semoga kau bahagia dengan kekasihmu itu. Dan aku berharap dia segera tahu agar mendesakmu menceraikanku!” ucapnya penuh emosi, lalu berbalik dan berjalan cepat ke kamar mandi, membanting pintunya di belakangnya.
Suara pintu yang tertutup keras menggema di kamar itu, meninggalkan Melvin yang berdiri sendiri, menggertakkan rahangnya dengan napas terengah.
“Cerai?” gumamnya pelan sambil menyeringai sinis. “Kau pikir aku akan dengan mudahnya menceraikanmu?”
Ia tertawa singkat, suara tawanya lebih mirip geraman binatang liar, lalu menyunggingkan senyum menyeramkan, seakan menyimpan rencana kelam di balik keheningan yang mencekam.
**
“Apa yang kau temukan di hari keempat pernikahanmu, Thania? Kenapa kau tampak murung seperti ini?”
Regina datang membawa dua gelas kopi dari pantry kecil di ujung ruangan. Ia duduk di sebelah Thania, menyodorkan satu gelas pada perempuan itu dengan senyum simpati yang lembut.
Thania menoleh perlahan, bibirnya menarik senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Ia tampak lelah, seperti seseorang yang tengah berjuang menyembunyikan luka di balik tenang wajahnya.
“Akan selalu ada kejutan-kejutan lainnya menantiku, Regina. Ini baru beberapa saja,” ucapnya lirih, matanya menerawang kosong. “Tapi, aku sedikit penasaran dengan wanita itu.”
Regina mengerutkan alisnya. “Wanita? Melvin … punya kekasih?” tanyanya ragu, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Thania mengangguk pelan. “Ya. Mereka akan bertemu hari ini. Entah jam berapa, aku belum tahu pasti. Karena sedari tadi dia terus di ruang kerjanya. Atau mungkin nanti malam?”
Regina terdiam. Tangannya refleks menutup mulutnya, ekspresi syok tergambar jelas di wajahnya. “Thania….” Ia tak sanggup melanjutkan.
Thania justru terkekeh pelan, sebuah tawa getir yang terdengar lebih seperti luka yang tak berdarah.
“It’s okay, Regina. Melvin memang akan menciptakan neraka dalam hidupku. Itu yang dia katakan padaku setelah berhasil meminangku.
“Jadi, mungkin ini... neraka pertama yang dia berikan padaku. Kenyataan pahit bahwa Melvin memiliki kekasih—bahkan saat statusnya sudah menjadi suamiku.”
Ia lalu menyesap kopi mocca latte yang mulai mendingin. “Terima kasih untuk kopinya. Kembalilah bekerja, jangan sampai Pak Kalen mencarimu.”
Regina menghela napas panjang dan kasar, dadanya sesak menyaksikan temannya harus melalui semua ini. Ia menggenggam tangan Thania sejenak.
“Jika Melvin tidak kembali setelah bertemu dengan wanita itu, hubungi aku. Kita pergi untuk senang-senang juga, ya? Biar sedikit gila, tidak apa-apa.”
Thania mengangguk dengan senyum samar. “Ya. Tentu saja.”
Baru saja Regina hendak berdiri, terdengar suara asing dari arah pintu.
“Permisi. Apakah Melvin ada di ruangannya?”
Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu.
Rambutnya kecokelatan, bergelombang halus sampai sebahu. Ia mengenakan dress berwarna pastel yang jatuh di atas lutut, membuat penampilannya tampak elegan dan manis sekaligus mencolok.
Wajahnya dihiasi senyum yang tidak dibuat-buat, tapi bagi Thania, senyum itu menyakitkan.
Regina memandangi wanita itu dari atas ke bawah, sementara Thania berusaha menahan detak jantungnya yang melonjak tak karuan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Thania dengan suara setenang mungkin, walau suaranya sedikit serak.
Wanita itu tak menjawab. Matanya justru menoleh ke arah ruangan di belakang Thania—pintu ruang kerja Melvin yang kebetulan terbuka.
Saat itu juga, Melvin keluar dari ruangan dengan berkas di tangan, namun langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di sana.
“Melvin!” seru wanita itu riang, lalu melangkah cepat ke arahnya, melewati Thania dan Regina seperti mereka tidak ada.
Tanpa ragu, ia langsung memeluk Melvin erat, membuat pria itu tersentak dan membelalakkan mata. Ekspresi terkejutnya jelas terlihat.
“Aku sangat merindukanmu, Melvin.”
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Arion? Kau di sini juga?” Thania memiringkan kepalanya sedikit, lalu melangkah menghampiri pria itu yang sedang duduk di pojok rak buku, tertunduk membaca sebuah buku tebal dengan sampul berwarna cokelat tua.Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela besar perpustakaan menyorot setengah wajah Arion, membuatnya tampak tenang dan fokus.Begitu mendengar suara Thania, Arion langsung menutup bukunya dengan satu gerakan halus dan mengangkat wajahnya.Senyuman hangat segera terulas di bibirnya, seperti bias cahaya yang menyelinap lembut ke ruang hati Thania yang sepi.“Ya. Aku di sini bersama dengan timku,” jawab Arion ramah. “Kami sedang menyiapkan beberapa materi literasi untuk program pameran komunitas.” Lalu, dengan nada penasaran, ia menambahkan, “Kau sendiri saja? Atau bersama dengan Regina?”“Hanya sendiri. Regina sedang ada meeting bersama Tuan Kalen,” jawab Thania sambil menunduk sejenak, mengamati rak buku yang ada di sampingnya.Arion mengangguk pelan, matanya masih memandang
“Kenapa sudah pulang?” tanya Thania, suaranya terdengar datar, namun dalam intonasinya terselip sedikit nada heran. Ia melirik jam tangan tipis di pergelangan kirinya.“Baru pukul sembilan. Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini,” lanjutnya, sembari melangkah mendekat dan memungut jas hitam Melvin yang tergeletak sembarangan di atas sofa.Melvin tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Thania dengan tatapan dingin dan tak terbaca, seolah sedang menilai apakah kata-kata wanita itu layak ditanggapi atau diabaikan begitu saja.“Bukankah Joana sangat merindukanmu?” Thania melanjutkan sambil merapikan lipatan jas itu. Meski nadanya tenang, kata-katanya mengandung tajam yang disengaja. “Seharusnya kau menghabiskan malam—”“Buatkan aku spaghetti.” Suara Melvin memotong tajam kalimat Thania. Ia mengucapkannya tanpa ekspresi, langsung dan memaksa.Thania berhenti sejenak. Keningnya berkerut, bibirnya tertarik samar ke bawah. “Spaghetti?” ulangnya, seolah memastikan pendengarannya.“Apa aku t
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Kenapa sudah pulang?” tanya Thania, suaranya terdengar datar, namun dalam intonasinya terselip sedikit nada heran. Ia melirik jam tangan tipis di pergelangan kirinya.“Baru pukul sembilan. Aku pikir kau tidak akan pulang malam ini,” lanjutnya, sembari melangkah mendekat dan memungut jas hitam Melvin yang tergeletak sembarangan di atas sofa.Melvin tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Thania dengan tatapan dingin dan tak terbaca, seolah sedang menilai apakah kata-kata wanita itu layak ditanggapi atau diabaikan begitu saja.“Bukankah Joana sangat merindukanmu?” Thania melanjutkan sambil merapikan lipatan jas itu. Meski nadanya tenang, kata-katanya mengandung tajam yang disengaja. “Seharusnya kau menghabiskan malam—”“Buatkan aku spaghetti.” Suara Melvin memotong tajam kalimat Thania. Ia mengucapkannya tanpa ekspresi, langsung dan memaksa.Thania berhenti sejenak. Keningnya berkerut, bibirnya tertarik samar ke bawah. “Spaghetti?” ulangnya, seolah memastikan pendengarannya.“Apa aku t
“Arion? Kau di sini juga?” Thania memiringkan kepalanya sedikit, lalu melangkah menghampiri pria itu yang sedang duduk di pojok rak buku, tertunduk membaca sebuah buku tebal dengan sampul berwarna cokelat tua.Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela besar perpustakaan menyorot setengah wajah Arion, membuatnya tampak tenang dan fokus.Begitu mendengar suara Thania, Arion langsung menutup bukunya dengan satu gerakan halus dan mengangkat wajahnya.Senyuman hangat segera terulas di bibirnya, seperti bias cahaya yang menyelinap lembut ke ruang hati Thania yang sepi.“Ya. Aku di sini bersama dengan timku,” jawab Arion ramah. “Kami sedang menyiapkan beberapa materi literasi untuk program pameran komunitas.” Lalu, dengan nada penasaran, ia menambahkan, “Kau sendiri saja? Atau bersama dengan Regina?”“Hanya sendiri. Regina sedang ada meeting bersama Tuan Kalen,” jawab Thania sambil menunduk sejenak, mengamati rak buku yang ada di sampingnya.Arion mengangguk pelan, matanya masih memandang
“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih d
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang
“Jangan beritahu siapa pun, Regina. Aku mohon,” pinta Thania dengan suara gemetar, matanya memburu ketakutan, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi peluru yang membunuhnya di kemudian hari.Tangannya menggenggam erat tangan Regina, mencari pegangan di tengah badai yang terus menghantam hidupnya.Ia baru saja menceritakan semuanya—penderitaan dalam pernikahan yang tak pernah ia impikan, kebohongan Melvin yang membuatnya terjebak, dan cinta palsu yang berubah menjadi penjara tanpa pintu keluar.Regina terpaku. Matanya berkaca-kaca menatap Thania yang kini jauh dari sosok ceria dan profesional yang ia kenal selama ini.Di hadapannya kini duduk seorang wanita yang hancur, dengan mata sembab dan tubuh lelah seperti telah memikul beban dunia.“Aku tidak menyangka jika sikap Melvin akan semakin menjadi,” ucap Regina perlahan, suaranya nyaris berbisik karena takut menyakiti Thania lebih dari yang sudah ia alami.“Aku tahu, dia memang sedikit arogan dan seringkali berdebat dengan ayahnya
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang