Drrrtt drrrtt
Panggilan telepon di ponselnya terdengar, Luna pun terbangun dari tidurnya. Lalu ia pun melirik ponselnya.
“Fika?”
Luna segera meraih ponselnya. Fika – sahabatnya sejak SMA ternyata menelponnya.
Fika : Luna?
Luna : Ya, Fik?
Fika : Suara lo kenapa?
Luna : Fika! Hiks.
Fika : Lo mau gue jemput?
Luna : Fika! Hiks.
Fika : Tunggu ya, gue otewe ke rumah lo.
Tut.
Sambungan telepon pun telah selesai. Luna hanya dapat menangis. Selama ini hanya Fika – sahabatnya yang ia punya. Sekitar 20 menit kemudian, akhirnya Fika sampai di depan rumah Luna. Luna langsung menghampiri Fika.
Greb.
Luna memeluk Fika erat. Ia pun menangis dalam pelukan sahabatnya itu.
“Ayo naik, Lun! Ada Kaka di dalam,” ajak Fika. Rafka – kembaran Fika menyetir mobilnya. Luna pun menganggukkan kepalanya, ia pun masuk ke dalam mobil. Luna duduk di belakang bersama Fika, ia pun menangis terisak di pelukan Fika.
“Lo belum sarapan?” tanya Fika lembut. Luna pun menggelengkan kepalanya.
“Ka, bisa mampir ke resto dulu untuk sarapan?” tanya Fika ke Rafka – kembarannya. Rafka menjawabnya dengan gumaman saja.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah resto siap saji.
“Makan dulu, Luna.”
“Makasih ya, Fika.”
Luna pun menyantap sarapannya. Rafka dan Fika hanya bisa saling menatap satu sama lainnya. 10 menit kemudian, Luna sudah selesai menghabiskan sarapannya itu. Merasa sudah agak tenang, maka Fika pun mulai bertanya kepada Luna.
“Lun, kenapa?”
Fika menatap sendu Luna, ia memang tahu semua kisah Luna. Luna sudah menceritakan semua kisah masa kecilnya itu kepada Fika. Fika menggenggam tangan Luna lembut, ia pun mengusap punggung tangan sahabatnya itu.
“Lo gak sendirian, ada gue sama Kaka di sini. Kalo lo ada sesuatu, lo bisa telepon gue. Gue pasti akan segera datang,” ujar Fika mencoba menenangkan Luna. Luna pun tersenyum singkat.
“Makasih Fika, makasih Kaka.”
“Udah sekarang lo mau balik ke rumah? Atau mau ke rumah gue?”
“Boleh gue ke rumah lo?”
“Tentu, ayo, ke rumah gue aja?”
“Maaf kalo ngerepotin,” ucap Luna. Ia merasa tidak enak selalu merepotkan sahabatnya itu.
“Enggak ngerepotin sama sekali ok. Ayo, Ka!”
“Ya,” jawab Rafka singkat.
Mereka pun akhirnya menuju rumah Huditama – rumah keluarga Rafka dan Fika. Pukul 8 pagi mereka sudah sampai di rumah. Rafka segera memarkirkan mobilnya, kemudian mereka semua turun dari mobil. Rumah mewah dan megah yang berada di Kawasan elit. Memang orang tua Fika dan Rafka itu adalah orang berada. Biarpun mereka dari keluarga yang kaya, tapi mereka sama sekali tidak sombong. Bahka Joe Huditama – Papa Rafka dan Fika, terkenal sebagai donator tetap di banyak panti asuhan. Sedangkan Sayla Huditama – Mama Rafka dan Fika, mendirikan sebuah panti dan sekolah gratis untuk anak yang kurang mampu.
“Assalamualaikum,” salam Fika ketika baru masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam,” sahut seseorang di dalam. Ternyata itu adalah Sayla Huditama – Mama Fika. Sayla Huditama memiliki kulit putih dengan lesung pipi sangat manis di kedua pipinya. Rambutnya panjang sepinggang berwarna kecoklatan.
Fika mencium tangan mamanya, begitu pula dengan Rafka.
“Loh? Luna?” tanya Sayla kaget melihat ada Luna di belakang Fika. Luna tersenyum manis lalu mencium tangan Sayla.
“Selamat pagi, Tante,” salamnya hangat, “Maaf Luna ganggu pagi-pagi,” lanjutnya lagi.
“Kamu gak ganggu kok, Luna. Tante malah senang kamu ke sini. Kamu sudah makan?”
“Sudah, Tante,” jawab Luna.
“Ma, Fika ma uke kamar sama Luna ya,” ujar Fika.
“Iya,” ucap Sayla, “Ka, kamu dicariin sama papa,” lanjut Sayla kepada anak laki-lakinya itu.
“Di mana, Ma?” tanya Rafka.
“Di ruang kerja papa,” jawab Sayla.
Rafka pun segera pergi ke ruang kerja papanya. Luna sendiri tidak terlalu dekat dengan Rafka. Karena dulu Fika dan Rafka itu berbeda sekolah saat SMA. Rafka merupakan sosok laki-laki pendiam, perawakannya tinggi, kulitnya putih, rahangnya tampak tegas, dengan lesung pipi di kedua pipinya.
“Ayo, Luna kita ke kamar!” ajak Fika. Luna menganggukkan kepalanya.
“Luna permisi dulu, Tante,” pamit Luna kepada Sayla.
“Iya, Nak.”
****
Luna dan Fika pun masuk ke dalam kamar tidur Fika. Kamar tidur Fika termasuk yang simple. Terdapat sofa dan ranjang ukuran king size, di ujung ruangan ada sudut membaca. Memang Fika itu sangat suka membaca, hal itu terlihat dari banyaknya buku yang tersusun rapi di sudut baca itu. Warna kamarnya pun sangat soft.
“Fika, boleh gue numpang mandi?” tanya Luna. Luna melihat Fika langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Fika langsung menoleh dan menganggukkan kepalanya.
“Boleh lah. Baju lo juga ada di lemari ya,” jawab Fika.
Ya, memang karena sudah sering menginap di sini, jadi baju Luna ada beberapa sengaja ditinggalkan di lemari Fika. Luna pun tersenyum mendengar jawaban Fika.
“Makasih ya.”
20 menit kemudian, Luna sudah selesai mandi dan berpakaian. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Ting.
Ting.
Terdapat notif chat di ponsel Luna. Luna pun segera membuka ponselnya. Ia melihat ada direct message di aplikasi Instagram-nya.
Bryan : Pagi, Luna.
Bryan : Bagaimana kabar lo pagi ini?
Bryan : Semoga baik-baik aja ya.
Luna tak membalas direct message dari Bryan itu. Ia hanya sekedar membacanya tanpa ada keinginan untuk membelasnya. Ia lalu menghela napasnya. Hal itu disadari oleh Fika. Fika langsung mendekati Luna yang sedang duduk di atas ranjang.
“Siapa, Lun?” tanya Fika. Ia sudah duduk di samping Luna.
“Enggak tahu. Dari kemari DM IG gue terus. Sok mau kenalan segala,” jawab Luna. Fika terkekeh mendengar jawaban Luna.
“Ciee… pengagum rahasia nih?” ledeknya. Luna melirik tajam ke arah Fika.
“Bukan ih! Gak gue ladenin juga. Ngeri banget tahu, tiba-tiba DM terus tiap harinya,” jawab Luna seraya tertawa kecil.
“Gitu dong ketawa, gue gak suka lihat lo nangis.”
“Iya, Fika. Makasih ya lo selalu nemenin gue.”
“Itu gunanya sahabat bukan?” tanya Fika. Luna tersenyum mendengarnya. Ia sangat bersyukur sudah menemukan Fika dan menjadi sahabatnya selama ini.
“Fika…”
“Ya?”
“Semalam gue dengar pertengkaran mami sama papi lagi,” ucap Luna seraya menundukkan kepalanya. Ia sangat sedih jika mengingat kejadian semalam. Fika segera menggenggam tangan Luna. Ia mencoba memberikan energi positif terhadap sahabatnya itu, “Bahkan gue dengar suara pecahan sesuatu. Masih bisa gue tahan, gue coba menutup telinga gue. Tapi, begitu gue dengar suara tamparan, gue langsung ke luar dari kamar. Gue lihat, mami lagi jatuh tersungkur di lantai sambil memegang pipinya,” lanjut Luna.
“Bukan cuma sampai di situ, papi mau sabet mami pakai sabuk pinggangnya,” Luna masih melanjutkan ceritanya. Fika tersentak kaget mendengar cerita Luna, ia masih mengelus tangan Luna lembut.
“Gue melindungi mami, untungnya aja gak jadi dia sabet Mami. Dia langsung pergi ke luar dari rumah dengan banting pintu,” Luna menceritakannya sambil menangis terisak.
Greb.
Fika memeluk Luna, Luna menangis dalam pelukan Fika.
“Nangis aja, Luna. Gapapa kok lo keluarin semua kesedihan lo itu,” ucap Fika lembut seraya mengelus punggung Luna.
“Hiks… Papi jahat. Gue benci sama papi,benci banget.”
Luna mengeluarkan semua kesedihannya saat itu. Ia tak mempu meyembunyikan perasaan sedihnya di hadapan Fika. Hampir 15 menit ia menangis dalam pelukan Fika. Karena merasa sudah lebih tenang, akhirnya Luna melepaskan pelukannya.
“Udah mulai tenang?” tanya Fika.
“Fika?”
“Ya, Lun?”
“Kalau membunuh orang itu gak dosa. Gue pasti udah bunuh papi.”
Fika tersentak kaget mendengar pernyataan Luna itu. Baru pertama kali ia mendengar ucapan Luna seperti itu.
Bersambung
Sore harinya, pukul 16.00Luna masih berada di dalam kamar Fika. Tiba-tiba entah mengapa dia kepikiran dengan maminya. Biasanya maminya ini suka mencari Luna jika ia tidak ada di rumah. Ia melihat Fika sedang asik duduk sambil membaca sebuah novel tebal. Fika, gadis yang sejak dulu menjadi sahabatnya mempunyai mata bulat dengan bulu mata yang lentik. Jika orang tidak mereka kenal, pasti akan menyangka jika Luna dan Fika itu kembar. Karena secara wajah mereka itu mirip, hanya saja rambut Fika lurus hingga ke pinggang dan bentuk mukanya oval.“Fika, gue kayaknya harus pulang deh.”“Kok cepet?” tanya Fika seraya menutup novelnya. Ia segera menatap Luna.“Gue kepikiran mami,” jawab Luna.Tiba-tiba ponsel Luna berdering. Ia melihat siapa yang menelpon, ternyata maminya menelpon Luna. Luna segera mengangkat panggilan di ponselnya itu.Luna&
Matahari pun akhirnya tenggelam. Langit pun berubah menjadi gelap. Bulan dan bintang tampak menghiasi langit pada malam itu. Luna sedang asik melihat pemandangan alam yang indah itu, sampai tiba-tiba ponselnya berbunyi.TingTingTingTerdapat notif direct massage di aplikasi Instagram miliknya. Luna pun membuka aplikasinya itu.Bryan : Selamat malam, Luna.Bryan : Bagaimana kabar lo hari ini?Bryan : Semoga Bahagia selalu yaLuna tidak membalas pesan itu, ia hanya membacanya saja.Bryan : Online, Luna?Luna : (read)
Hari Senin, pukul 8 pagi.Luna sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia lalu bercermin, pakaian yang ia kenakan hari ini adalah atasan blouse putih dengan lengan rample lalu rok panjang hitam. Ia memang termasuk tipe perempuan yang tidak suka mengenakan pakaian yang terlalu heboh. Rambutnya ia kuncir ke belakang, memperlihatkan leher jenjang miliknya. Saat sedang bercermin, Fika datang menghampirinya. Fika sendiri mengenakan atasan kemeja berwarna pastel dengan motif bunga kecil, bawahnya ia pakai celana jeans, tak lupa ia mengenakan ikat pinggang berwarna emas miliknya.“Lo kuliah jam berapa, Luna?” tanya Fika seraya menguncir rambutnya juga.“Gue jam 11,” jawab Luna.“Gue ada kelas jam 10 nih,” jelas Fika.“Ya udah gapapa kok, nanti gue bisa tunggu di kantin aja,” ucap Luna.“Kita bareng aja, gue juga udah rapi nih,” lanjut Luna.Fika melirik
Luna tersentak kaget melihat chat dari Bryan ini.Hah? Kok dia tahu sih? Apa jangan-jangan dia ada di sini juga?Bryan : Boleh kita ketemu?Bryan : Gue ada di dekat lo.Bryan : Tapi kalau memang lo gak berkenan, gue gak akan deketin lo.Apa udah waktunya gue harus ketemu sama dia? Ketemu aja kali ya? Dari pada gue penasaran terus.Luna : Tunjukin muka lo.Bryan : Dengan senang hati 😊Bryan : Gue ada di depan lo sekarang.Degup jantung luna beregup kencang. Ia pun segera menaikkan pandangannya. Terlihat sosok pria di h
Pukul 6 sore, Luna baru saja ke luar kelas. Ia segera ke toilet. Saat sedang mencuci tangan, tiba-tiba lampu padam. Luna pun tersentak kaget, karena ia tidak bisa berada di kamar mandi yang lampunya padam. Tiba-tiba tubuh Luna bergetar hebat, keluar keringat dingin di pelipisnya.“A-ampun… Ampun, Pi,” gagap Luna. Ia pun meringkuk dan segera memeluk kedua lututunya. Tubuhnya menggigil hebat.“Pa-papi, Lu-luna minta maaf. Lu-luna janji gak nakal lagi,” ucap Luna terbata. Ia pun mulai terisak, seraya memeluk erat lututnya.Drrrt drrrt.Terdengar ponselnya berbunyi, dengan sekuat tenaga ia mulai meraih ponselnya itu. Kemudian ia mulai menekan tombol menerima jawaban, lalu ia mulai melepaskan ponselnya itu. Ia masih saja menggigil hebat, tubuhnya bergetar, keringat dingin mulai banjir membasahi seluruh tubuhnya.“Hiks hiks, a-ampun, Pi. Lu-luna janji gak nakal lagi. A-ampun, Pi.”Kemudia
Esok harinya, Luna pun membuka matanya. Ia melihat sekelilingnya, Rafka masih tertidur di sofa. Luna bingung dengan sikap baik Rafka itu. Ia tak habis pikir kenapa Rafka mau menjaganya di sini?Pasti dia pegal duduk di sofa begitu. Hhh… kenapa dia gak pulang aja sih? Malah bela-belain buat jagain gue di sini?Drrrt drrrt.Terdengar ponsel Luna berbunyi, Luna mengambil ponselnya di atas nakas kemudian ia melihat siapa yang menelponnya pagi-pagi.“Mami?”Luna pun segera menjawab panggilan telepon dari maminya itu.Mami : Luna?Mami : Kamu baik-baik saja ‘kan, Sayang?Luna tersentak kaget, ia tak menyangka ternyata feeling mami begitu kuat. Padahal ia tak memberikan kabar kepada Maminya itu. Luna berpikir jika Maminya tahu keadaannya, maka akan mengganggu pekerjaan Ma
Luna dan Rafka segera berjalan menuju mobil milik Rafka. Saat Luna akan membuka pintu mobil, Rafka sudah terlebih dahulu membuka pintu mobil itu. Luna menoleh ke arah Rafka, ia pun tersenyum. Rafka terpaku melihat senyum Luna. Namun, ia segera menggelengkan kepalanya. Kemudian tak lama ia pun menutup pintu mobilnya. Ia pun masuk ke dalam mobil.Di dalam mobil, Luna duduk di samping Rafka.“Ka, bisa mampir sebentar di mini market, kah?” tanya Luna.“Iya,” jawab Rafka singkat.Rafka pun segera menepikan mobilnya di depan sebuah mini market berlogo merah itu. Ketika Luna ingin turun dari mobil, ia tersentak kaget karena melihat sosok yang tak asing lagi baginya.“Mami?” gumam Luna.Ya, Luna melihat maminya sedang bergandengan tangan dengan seorang pria. Bukan hanya itu, tampak maminya begitu bahagia saat berbicara dengan pria itu.“Mami bukannya ada di Surabaya ya? Kenapa dia ada di situ?”
“Luna, ada apa?” tanya Jimmy padanya. Mereka sudah berada di taman, Jimmy duduk di samping Luna.“Gue… gue gak tahu harus mulai dari mana,” lirih Luna.“Mau ice cream dulu?” tanya Jimmy menawarkan. Luna pun menganggukkan kepalanya.“Tunggu ya, aku beliin dulu.”Jimmy pun pergi untuk membeli ice cream.Kenapa harus ketemu sama lo juga, Jim? Gue masih belum bisa sebenarnya untuk ketemu lo lagi. Lo masih terlalu meninggalkan luka di hati gue ini. Tapi gue gak bisa bohong, gue masih nyaman sama lo. Bodohnya memang gue ini.Tak lama kemudian, Jimmy pun datang membawa dua buah ice cream di tangannya.“Nih untuk kamu, Luna,” ucap Jimmy seraya memberikan ice cream kepada Luna.“Terima kasih.” Luna pun mengambil ice cream itu.“Ice cream stroberi? Masih kesukaan kamu, ‘kan
Sesampainya di dalam Kamar, Luna segera meringkuk di pinggir ranjangnya.“Kenapa harus ditampar? Hiks hiks.”“Sa-sakit!”Luna tak dapat menahan rasa sakitnya. Pipinya terasa terbakar dan perih. Tamparan papi tadi terasa sangat keras sehingga Luna merasakan sakit sekali.Ke-kenapa? Hiks hiks. Gue udah gak sanggup lagi. Gue gak sanggup lagi jalanin hidup begini. Mau sampe kapan gue diperlakukan speerti ini? Apa yang gue lakukan selalu salah. Semua yang gue ucapkan selalu bohong di mata Papi!Luna sedang merasa di titik terendahnya saat ini. Apa salahnya? Mengapa papinya selalu saja kasar padanya? Kadang ia merasa bahwa ia bukan merupakan anak kandung papinya itu. Seandainya saja gak ada maminya, mungkin sudah lama Luna ingin mengakhiri hidupnya saja.Ting.Ting.Terdapat notif chat di ponsel miliknya. Luna segera bangkit dan mengambil ponsel yang ada di a
Hari pun berganti, sudah tiba hari di mana hari yang sangat ditunggu oleh semua orang. Ya, hari ini adalah hari Jumat. Tepat sehari sebelum adanya akhir pekan. Hari itu Luna sudah berada di Kampus sejak pagi. Ia masih tinggal di rumah Fika, hal ini dikarenakan Maminya belum kembali ke rumahnya.Siang itu, Luna sudah berada di sebuat tempat ternyaman menurutnya. Tempat itu sangat tenang, banyak tumpukan buku yang dapa membuat penatnya hilang. Luna memang sangat menyukai membaca, baginya buku itu adalah teman baiknya selain Fika tentunya. Fokusnya dapat teralihkan dengan membaca. Ia dapat melupakan semua kejadian buruk selama ini.Saat sedang duduk di sofa empuk yang berada di ruangan itu, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Luna segera menaikkan pandangannya, ia melihat sosok yang sedang menghampirinya itu. Luna melihat sosok pria yang belakangan ini entah mengapa selalu ada di dekatnya.“Luna?” tanya Rafka.Luna tersenyum melihat Rafka mendekat
Luna pun sudah berada di dalam kamar Fika. Ia baru saja berganti pakaian dan hendak untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia melihat Fika sudah lelap tertidur.TingTingTerdapat notif chat di ponsel Luna. Luna pun segera meraih ponselnya, lalu ia melihat pesan yang masuk.Mr. A : Selamat malam, Mrs. L.Mr. A : Sudah tidur?Luna : Selamat malam, Mr. A.Luna : Aku belum tidur kok.Mr. A : Kok belum tidur?Mr. A : Ada apa?Luna : Susah t
“Luna, ada apa?” tanya Jimmy padanya. Mereka sudah berada di taman, Jimmy duduk di samping Luna.“Gue… gue gak tahu harus mulai dari mana,” lirih Luna.“Mau ice cream dulu?” tanya Jimmy menawarkan. Luna pun menganggukkan kepalanya.“Tunggu ya, aku beliin dulu.”Jimmy pun pergi untuk membeli ice cream.Kenapa harus ketemu sama lo juga, Jim? Gue masih belum bisa sebenarnya untuk ketemu lo lagi. Lo masih terlalu meninggalkan luka di hati gue ini. Tapi gue gak bisa bohong, gue masih nyaman sama lo. Bodohnya memang gue ini.Tak lama kemudian, Jimmy pun datang membawa dua buah ice cream di tangannya.“Nih untuk kamu, Luna,” ucap Jimmy seraya memberikan ice cream kepada Luna.“Terima kasih.” Luna pun mengambil ice cream itu.“Ice cream stroberi? Masih kesukaan kamu, ‘kan
Luna dan Rafka segera berjalan menuju mobil milik Rafka. Saat Luna akan membuka pintu mobil, Rafka sudah terlebih dahulu membuka pintu mobil itu. Luna menoleh ke arah Rafka, ia pun tersenyum. Rafka terpaku melihat senyum Luna. Namun, ia segera menggelengkan kepalanya. Kemudian tak lama ia pun menutup pintu mobilnya. Ia pun masuk ke dalam mobil.Di dalam mobil, Luna duduk di samping Rafka.“Ka, bisa mampir sebentar di mini market, kah?” tanya Luna.“Iya,” jawab Rafka singkat.Rafka pun segera menepikan mobilnya di depan sebuah mini market berlogo merah itu. Ketika Luna ingin turun dari mobil, ia tersentak kaget karena melihat sosok yang tak asing lagi baginya.“Mami?” gumam Luna.Ya, Luna melihat maminya sedang bergandengan tangan dengan seorang pria. Bukan hanya itu, tampak maminya begitu bahagia saat berbicara dengan pria itu.“Mami bukannya ada di Surabaya ya? Kenapa dia ada di situ?”
Esok harinya, Luna pun membuka matanya. Ia melihat sekelilingnya, Rafka masih tertidur di sofa. Luna bingung dengan sikap baik Rafka itu. Ia tak habis pikir kenapa Rafka mau menjaganya di sini?Pasti dia pegal duduk di sofa begitu. Hhh… kenapa dia gak pulang aja sih? Malah bela-belain buat jagain gue di sini?Drrrt drrrt.Terdengar ponsel Luna berbunyi, Luna mengambil ponselnya di atas nakas kemudian ia melihat siapa yang menelponnya pagi-pagi.“Mami?”Luna pun segera menjawab panggilan telepon dari maminya itu.Mami : Luna?Mami : Kamu baik-baik saja ‘kan, Sayang?Luna tersentak kaget, ia tak menyangka ternyata feeling mami begitu kuat. Padahal ia tak memberikan kabar kepada Maminya itu. Luna berpikir jika Maminya tahu keadaannya, maka akan mengganggu pekerjaan Ma
Pukul 6 sore, Luna baru saja ke luar kelas. Ia segera ke toilet. Saat sedang mencuci tangan, tiba-tiba lampu padam. Luna pun tersentak kaget, karena ia tidak bisa berada di kamar mandi yang lampunya padam. Tiba-tiba tubuh Luna bergetar hebat, keluar keringat dingin di pelipisnya.“A-ampun… Ampun, Pi,” gagap Luna. Ia pun meringkuk dan segera memeluk kedua lututunya. Tubuhnya menggigil hebat.“Pa-papi, Lu-luna minta maaf. Lu-luna janji gak nakal lagi,” ucap Luna terbata. Ia pun mulai terisak, seraya memeluk erat lututnya.Drrrt drrrt.Terdengar ponselnya berbunyi, dengan sekuat tenaga ia mulai meraih ponselnya itu. Kemudian ia mulai menekan tombol menerima jawaban, lalu ia mulai melepaskan ponselnya itu. Ia masih saja menggigil hebat, tubuhnya bergetar, keringat dingin mulai banjir membasahi seluruh tubuhnya.“Hiks hiks, a-ampun, Pi. Lu-luna janji gak nakal lagi. A-ampun, Pi.”Kemudia
Luna tersentak kaget melihat chat dari Bryan ini.Hah? Kok dia tahu sih? Apa jangan-jangan dia ada di sini juga?Bryan : Boleh kita ketemu?Bryan : Gue ada di dekat lo.Bryan : Tapi kalau memang lo gak berkenan, gue gak akan deketin lo.Apa udah waktunya gue harus ketemu sama dia? Ketemu aja kali ya? Dari pada gue penasaran terus.Luna : Tunjukin muka lo.Bryan : Dengan senang hati 😊Bryan : Gue ada di depan lo sekarang.Degup jantung luna beregup kencang. Ia pun segera menaikkan pandangannya. Terlihat sosok pria di h
Hari Senin, pukul 8 pagi.Luna sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia lalu bercermin, pakaian yang ia kenakan hari ini adalah atasan blouse putih dengan lengan rample lalu rok panjang hitam. Ia memang termasuk tipe perempuan yang tidak suka mengenakan pakaian yang terlalu heboh. Rambutnya ia kuncir ke belakang, memperlihatkan leher jenjang miliknya. Saat sedang bercermin, Fika datang menghampirinya. Fika sendiri mengenakan atasan kemeja berwarna pastel dengan motif bunga kecil, bawahnya ia pakai celana jeans, tak lupa ia mengenakan ikat pinggang berwarna emas miliknya.“Lo kuliah jam berapa, Luna?” tanya Fika seraya menguncir rambutnya juga.“Gue jam 11,” jawab Luna.“Gue ada kelas jam 10 nih,” jelas Fika.“Ya udah gapapa kok, nanti gue bisa tunggu di kantin aja,” ucap Luna.“Kita bareng aja, gue juga udah rapi nih,” lanjut Luna.Fika melirik