Cuaca terik merundungi tempat ini tak lekang membuat tubuh Adhira lepas dari dari rasa dingin. Bisa-bisanya dia demam di tengah hari begini. Kemarin setelah makan bersama bersama Odin dan Salimah, usus kecilnya tak berhenti melilit dirinya. Dia muntah di pagi hari dan hingga sekarang belum bisa mengembalikan dirinya seperti semula.
Langkah kaki yang dipenuhi luka itu membawa dirinya ke sebuah tempat yang pernah dikunjungi sekitar lima tahun lalu. Adhira melompati pembatas koridor dengan ruang penyimpanan obat. Jika ingatannya tidak salah, pada jam istirahat penjaga di tempat ini lebih lengah. Kesempatannya memasuki seluk beluk ruangan tadi jadi lebih gampang.
Satpam depan mengamati gerakan Adhira yang melewatinya di jam besuk. Karena keadaan rumah sakit yang ramai, membuat penjaga tadi sedikit kewalahan. Terlebih tidak banyak yang bisa mereka amati dari kedatangan orang seperti Adhira.
Adhira menyelinap ke ruang belakang yang lebih tersembunyi. Di balik pintu it
Tidak ada yang memperhatikan kaburnya seorang laki-laki di antara keramaian rumah sakit itu. Adhira menyelinap dari pintu belakang dan langsung memintas ke koridor tengah. Dengan begitu dia bisa kabur tanpa kelihatan petugas yang berkerumun di meja depan. Kakinya yang belum terobati sempurna masih harus mengangkut tubuhnya melewati selasar rumah sakit yang luas ini. Untungnya kemarin Ibu Salimah memperbolehkan dia menginap di rumahnya. Sepiring nasi tadi pagi cukup membuatnya melangkah lebih cepat sepanjang hari. Sebelum Adhira bisa melarikan diri lebih jauh, seseorang dari balik pintu mencengkeram tangannya. Sementara satu tangannya lagi merangkul pinggang ramping Adhira, menyeretnya masuk ke pintu tangga darurat yang ternganga. Adhira tak bisa berteriak, karena tentu saja keberadaannya langsung dapat diketahui. Seorang pria berjas putih dengan bahu bidang itu berhasil menyandarkan tubuh lunglai Adhira sepenuhnya ke balik pintu. Adhira menarik napas panjang, tapi yang muncul hanyal
Terlepas dari ekspresi dingin itu, perlakuan yang dikemukakannya jauh dari kata apatis. Bila tubuhnya tidak terasa nyeri, mungkin Adhira masih berpikir kalau ini semua hanyalah mimpi. Apa yang membuat Ervan begitu berbeda dari saat yang dia jumpai sebelas tahun lalu? Dia menjelajahi setiap benda yang ada di apartemen Ervan. Adhira bisa menikmati fasilitas di tempat ini selama beberapa saat sampai Ervan kembali. Aroma lavender yang biasanya menyeruak di rumah Ervan ternyata masih bisa terendus ke tempat ini. Ervan sengaja menaruh aromaterapi dengan wangi yang sama di setiap sudut ruangan. Menciptakan suasana yang serupa dengan yang pernah Adhira rasakan saat berada di kediaman Sadana itu. Ervan sudah menyediakan pakaian ganti untuk Adhira kenakan, tapi Adhira tidak mau memakainya karena ukurannya jauh lebih besar dan warna pastel terlihat kusam, sangat tidak sesuai dengan dirinya. Alhasil dia mengobrak-abrik isi lemari Ervan untuk mencari baju yang lebih pas.
“Kamu siapanya Ervan?”“Aku anak angkatnya.”“Dia—kamu bilang kamu anak angkatnya? Sejak kapan dia punya anak?”Gadis berseragam SMA itu menghela napasnya malas. Setelah yakin Adhira tidak berniat jahat, dia melonggarkan pertahanannya. Sedang matanya tetap sibuk mengikuti gerak-gerik Adhira dengan was-was. Dia menekan nomor Ervan di ponselnya, tapi belum ada jawaban dari teleponnya.“Kamu sendiri siapanya?”“Aku temannya.”“Bohong. Dokter Ervan tak pernah mengizinkan orang asing masuk ke apartemennya.”“Aku kan bukan orang asing. Sudah kubilang aku temannya, Nona Kecil.”Adhira benar. Hanya orang-orang dengan akses sidik jari yang sudah terdaftar yang bisa memasuki apartemen yang berada di lantai tiga puluhnya ini. Lagian gadis itu sepertinya pernah mengenal Adhira di suatu waktu.“Namaku Laila.” Anak tadi menjawab.
Ervan memaku tatapannya pada Adhira tanpa ekspresi. Dia langsung menarik tangan Adhira dari muka pintu setengah melirik ke arah Adhira. Pakaian merah yang dikenakannya cukup membuat Ervan segera tahu kalau Adhira pasti sudah mengobrak-abrik lemari pakaiannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?”“Aku? Memangnya kenapa kalau aku di sini?” tangkis Adhira.“Lihatlah, dia ini. Selalu menjawab seperti ini pada kita. Kamu butuh kesabaran ekstra buat menjaganya, Ervan,” imbuh Ali sambil menggantungkan stetoskop di lehernya. Dia menghilang dari pintu ICU saat berhasil membuat Adhira berada dalam radar yang dibuat Ervan.“Dokter Ervan!” Seorang perempuan memanggil Ervan dari ujung koridor.“Laila? Kenapa tidak menunggu di rumah?”“Bosan. Jadi aku menyusul kemari. Kita pulang?”Ervan menoleh pada Adhira. Laila yang mendapati orang yang sama yang menyelinap ke tempat Ervan langs
Ervan belum menyingkir dari tempatnya berdiri, menunggu jawaban dari bibir Adhira yang masih enggan bergerak. Keduanya saling bertatapan beradu emosi tanpa suara.Demi melepaskan prasangka yang terus menjerat percakapan mereka, Adhira pun menepuk bahu Ervan dengan pelan dan berucap, “Anggapanku tidak penting.”Separuh tertatih Adhira melanjutkan langkahnya menuju ke selasar rumah sakit yang lebih senyap. Dia duduk selama beberapa menit sampai akhirnya tertidur. Ervan tetap duduk di depan ruang perawatan menunggui sang nenek tanpa bisa tertidur. Perawat hilir mudik di dalam sana menggantikan cairan infus yang menetes cepat itu. Belum ada tanda-tanda perbaikan dari wanita renta yang terkulai di dalam sana.Ketika fajar hampir menyingsing, Adhira belum kunjung kembali ke ruang tunggu. Ervan berkeliling dan menemukannya di kamar jaga perawat yang ada di lantai atas. Mereka heran bagaimana orang tak dikenal itu tiba-tiba bisa muncul di tempat mereka. Erva
Sebelas tahun lalu Adhira melangkah gontai memasuki gerbang depan panti asuhan. Lodra membuat harinya lebih cerah walau dia tahu dirinya makin terpuruk. Entah sudah berapa banyak peraturan yang dilanggarnya jika saja dia adalah keluarga Sadana. Lodra berbaik hati mengantarnya hingga ke gerbang bangunan tua di pinggiran kota itu. Bunda Safira tengah duduk di ruang tengah menunggu kedatangannya. Ada Laila yang tengah terlelap di pangkuannya. Saat pintu mengerait terbuka, Bunda Safira menghampirinya. Ada susu hangat yang sudah disiapkan wanita itu untuknya. Dia melirik Adhira dari bingkai atas kacamatanya. “Adhira?” Adhira mencoba menjernihkan matanya dan berdiri setegap mungkin agar tidak terlihat mabuk. Tapi percuma, Bunda Safira sudah mengendus bau menyengat dari tubuh Adhira. Dia menopang Adhira ke sofa terdekat. Adhira menjauh karena takut membangunkan Laila yang sedang tertidur itu. “Kamu mabuk?” “Lili? Kenap
“Hehe… ternyata Ervan saja memilih dirinya sendiri,” ucap Kuswan.Adhira sedikit terhenyak mendengar anggapan Kuswan. Jika memang Kuswan memilih namanya, seharusnya yang muncul hanya satu. Sebab hanya Adhira sendiri yang tahu bahwa orang yang dia pilih sebetulnya bukan dirinya sendiri, melainkan Ervan. Sementara Kuswan mengira Ervan yang terlihat alim itu bisa-bisanya memilih dirinya sendiri.Dari bangku paling depan, Ervan terlihat tengah menoleh melihat ke arah Adhira dengan ekspresi dingin. Adhira menggaruk kepalanya separuh terkekeh. Ervan yang menulis namanya.“Baiklah, sepertinya pemilih terbanyak jatuh pada Ervan.”Ervan segera bangkit. “Saya mengundurkan diri.”Tanggapan tadi membuat seisi kelas memprotes ricuh. Pak Heno sampai harus menggebrak mejanya untuk menenangkan.“Mengapa Ervan tidak mau menjadi ketua? Bukannya dia menikmati pekerjaan itu?” celetuk Kuswan. “Untuk ap
Praktikum biologi hari ini akan berlangsung sepanjang tiga jam ke depan. Pak Okra sudah membagikan kaca preparat yang bisa mereka gunakan untuk mengamati jaringan batang pacar air itu di bawah mikroskop. Tidak ada hal menarik selain melihat lingkaran bulat dengan serat-serat halus tumbuhan dari keturunan magnolia itu. Adhira menengok irisan rapi yang dibuat Ervan di atas kaca preparatnya dengan takjub."Hei, memang apa bagusnya sih tanaman itu?" celetuk Adhira di antara ketenangan kelas.Tentu Ervan tak menggubris pertanyaan itu. Pak Okra menyudahi praktikumnya dengan memberikan tugas baru."Adhira, kamu bagi cawan petri ini ke semua teman-temanmu," perintah Pak Okra sembari menyerahkan wadah bening dari kaca yang pipih dan bundar itu.Adhira ke depan dan mulai membagikan masing-masing siswa cawan tadi. Kemudian Pak Okra meminta mereka mengisinya dengan agar-agar hingga seperempat ketinggian cawan."Saya mau kalian membuat biakan
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A