Sebelas tahun lalu
Adhira melangkah gontai memasuki gerbang depan panti asuhan. Lodra membuat harinya lebih cerah walau dia tahu dirinya makin terpuruk. Entah sudah berapa banyak peraturan yang dilanggarnya jika saja dia adalah keluarga Sadana. Lodra berbaik hati mengantarnya hingga ke gerbang bangunan tua di pinggiran kota itu.
Bunda Safira tengah duduk di ruang tengah menunggu kedatangannya. Ada Laila yang tengah terlelap di pangkuannya. Saat pintu mengerait terbuka, Bunda Safira menghampirinya. Ada susu hangat yang sudah disiapkan wanita itu untuknya. Dia melirik Adhira dari bingkai atas kacamatanya.
“Adhira?”
Adhira mencoba menjernihkan matanya dan berdiri setegap mungkin agar tidak terlihat mabuk. Tapi percuma, Bunda Safira sudah mengendus bau menyengat dari tubuh Adhira. Dia menopang Adhira ke sofa terdekat. Adhira menjauh karena takut membangunkan Laila yang sedang tertidur itu.
“Kamu mabuk?”
“Lili? Kenap
“Hehe… ternyata Ervan saja memilih dirinya sendiri,” ucap Kuswan.Adhira sedikit terhenyak mendengar anggapan Kuswan. Jika memang Kuswan memilih namanya, seharusnya yang muncul hanya satu. Sebab hanya Adhira sendiri yang tahu bahwa orang yang dia pilih sebetulnya bukan dirinya sendiri, melainkan Ervan. Sementara Kuswan mengira Ervan yang terlihat alim itu bisa-bisanya memilih dirinya sendiri.Dari bangku paling depan, Ervan terlihat tengah menoleh melihat ke arah Adhira dengan ekspresi dingin. Adhira menggaruk kepalanya separuh terkekeh. Ervan yang menulis namanya.“Baiklah, sepertinya pemilih terbanyak jatuh pada Ervan.”Ervan segera bangkit. “Saya mengundurkan diri.”Tanggapan tadi membuat seisi kelas memprotes ricuh. Pak Heno sampai harus menggebrak mejanya untuk menenangkan.“Mengapa Ervan tidak mau menjadi ketua? Bukannya dia menikmati pekerjaan itu?” celetuk Kuswan. “Untuk ap
Praktikum biologi hari ini akan berlangsung sepanjang tiga jam ke depan. Pak Okra sudah membagikan kaca preparat yang bisa mereka gunakan untuk mengamati jaringan batang pacar air itu di bawah mikroskop. Tidak ada hal menarik selain melihat lingkaran bulat dengan serat-serat halus tumbuhan dari keturunan magnolia itu. Adhira menengok irisan rapi yang dibuat Ervan di atas kaca preparatnya dengan takjub."Hei, memang apa bagusnya sih tanaman itu?" celetuk Adhira di antara ketenangan kelas.Tentu Ervan tak menggubris pertanyaan itu. Pak Okra menyudahi praktikumnya dengan memberikan tugas baru."Adhira, kamu bagi cawan petri ini ke semua teman-temanmu," perintah Pak Okra sembari menyerahkan wadah bening dari kaca yang pipih dan bundar itu.Adhira ke depan dan mulai membagikan masing-masing siswa cawan tadi. Kemudian Pak Okra meminta mereka mengisinya dengan agar-agar hingga seperempat ketinggian cawan."Saya mau kalian membuat biakan
Undangan rapat aliansi tidak bisa diabaikan Adhira meski Lodra enggan memberikan benda itu padanya. Dia akan datang ke kediaman Defras, sekaligus bertemu dengan Teodro Refendra tentang tindakan yang telah diperbuatnya pada keluarga Osman.Seperti namanya, Gala Matahari adalah aula besar yang berada di taman bunga matahari. Gerbang besar membatasi jalan masuk ke bangunan megah di dalam sana. Mobil hitam itu melintas di depan gerbang dan Lodra muncul di depan menghampiri Adhira.“Kamu datang?”“Tentu saja aku datang,” jawab Adhira.Tidak ada Teodro hadir dalam rapat kali ini. Entah itu karena disengaja atau memang dia—seperti yang dikatakan orang-orang—sedang sakit. Lodra mengeluarkan undangan Adhira yang sempat ditolaknya kemarin. Mereka beriringan masuk ke dalam taman. Masih ada sekitar satu kilometer lagi sebelum sampai ke Gala Matahari.“Pakai ini.” Lodra menyodorkan topeng bercorak dari kulit itu.
Adhira mengukir garis-garis di dinding penjara berbatu bata tanpa plester itu untuk ke-120 kalinya. Guratan itu mewakili jumlah hari dia sudah mendekam di balik jeruji besi ini. Belum ada keterangan jelas kapan dia bisa diperbolehkan untuk keluar. Tidak ada saksi mata yang melihat langsung perbuatan Adhira selain Lyra sendiri. Proses persidangan juga terlihat mengada-ada. Dia disebut sudah menjebak Lyra saat mabuk.Sementara Adhira sejak awal juga belum bisa ingat akan apa yang telah terjadi padanya pada malam itu. Dia terbangun di rumah tahanan setelah dibawa segerombolan polisi dari kediaman Defras itu. Minuman yang diberikan Lodra cukup keras hingga bagian itu seperti menghilang dari ingatannya.“Kalian mau apa?” ujar Adhira saat tiga pria bertubuh bongsor mencengkeram kerah bajunya.“Kau tahu apa yang kami mau.”“Aku tidak punya barangnya!” tangkis Adhira sebelum satu tinju menghantam wajahnya.&ldqu
“Ayolah, sayang… ini akan nikmat untuk beberapa waktu.” Adhira menangis untuk pertama kalinya. Dia tak pernah merasakan dirinya begitu terhina, dilecehkan hingga tak lagi mempunyai harga diri. Berteriak hanya mengundang permasalahan baru. “HEI! Apa yang kalian lakukan?” Dua opsir muda melintas dari balik jeruji besi. Melihat pemandangan tak senonoh itu, mereka segera merangsek masuk dan mengacungkan senjatanya pada ketiga pria yang tengah menganiaya Adhira. “Bawa dia ke klinik! Aku tidak mau melihat tahanan ini kalian siksa di sini,” makinya bringas. Salah satu perwira memakaikan selembar kain ke tubuh Adhira dan membawanya keluar dari sel. Separuh kekuatan Adhira lenyap hanya karena menghadapi tiga pria mesum yang mencoba menodai tubuhnya. Klinik yang dikatakan petugas hanya ada perawat perempuan tua dengan stetoskop berkarat di lehernya. Dia hanya memberikan obat pereda nyeri yang sama sekali tidak berefek pada Adhira. Selanj
Sejak kedatangan Nahif, penderitaan Adhira tak lagi semengenaskan kemarin. Namun efek yang ditinggalkan sangatlah menyiksa. Di beberapa waktu dia harus mengerang kesakitan menghadapi tubuhnya yang tak mendapatkan asupan obat yang kuat. Terkadang Nahif tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya membiarkan Adhira meringkuk berteriak seorang diri.Hingga setelah beberapa hari selang kejadian tersebut, seorang sipir mengeluarkannya dari sel tersebut. Adhira tahu ini bukan saatnya dia untuk dibebaskan.“Seseorang ingin bertemu denganmu.”Ini pertama kalinya Adhira mendapati orang mendatanginya. Di sisi bangunan yang berbeda terdapat ruangan untuk kunjungan. Ada kaca dengan jalinan besi membatasi pengunjung dengan para tahanan. Kuswan duduk di kursi pengunjung menunggu kedatangan Adhira.“Adhi.” Kuswan memanggil sambil menahan haru.Memandangi sosok teman sebangku yang seirama dengannya itu membuat Adhira menyesali kesialan yang dialamin
Seusai dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum, penasehat hukum yang sudah diutus oleh Tuan Pranadipa melakukan eksepsi. Bukti yang berhasil dikumpulkan berupa pakaian korban, rekaman CCTV, surat visum, serta topeng yang sebelumnya pernah dikenakan Adhira pada hari di mana kejadian naas itu terjadi pada Lyra.Adhira digiring memasuki ruang persidangan yang lengang itu. Dirinya tak menyangka akan menjadi salah satu tersangka yang diadili di tempat ini. Ada Bunda Safira yang juga turut hadir di kursi pengunjung. Di sampingnya ada Tamara dan beberapa guru lain. Kuswan duduk tak jauh dari tempat mereka. Dia tersenyum seraya menyemangati Adhira yang mulai menggeliat resah itu. Ervan tidak ada di sana. Tampaknya Haris sudah mengurungnya di Lavandula sejak dia mendekam di penjara.Kemarin pengacara yang dikirim Yasir Pranadipa mendatanginya dan menanyakan begitu banyak hal. Sayangnya yang bisa Adhira jawab hanyalah tidak tahu. Dia dalam keadaan mabuk berat dan tidak sadar
Kelas Pak Okra siang itu terasa lebih membosankan dari biasanya. Bukan karena guru biologi itu tidak datang dengan muka galaknya, tapi hari ini ada tugas tambahan yang harus mereka kerjakan untuk libur akhir tahun nanti.“Saya ingin kalian membuat contoh studi kasus tentang pencemaran lingkungan. Kaidah yang sudah saya terangkan di jam pelajaran ini harus bisa diterapkan di karya tulis kalian nanti. Kalian bisa membentuk kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Ervan, nanti kamu tuliskan nama teman-temanmu ke selembar kertas. Serahkan ke saya sebelum jam makan siang.”Sebelum ditahan Adhira sempat menjabat sebagai ketua kelas, tapi baru dua hari dia menjalani tugasnya posisinya itu kembali diambil alih oleh Ervan. “Dan Adhira, karena kamu sudah satu semester tidak masuk, saya minta kamu untuk ikut mata pelajaran tambahan di akhir kelas,” timpal Pak Okra mengakhiri penjelasannya.“Heh? Saya rasa
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A