“Ayolah, sayang… ini akan nikmat untuk beberapa waktu.”
Adhira menangis untuk pertama kalinya. Dia tak pernah merasakan dirinya begitu terhina, dilecehkan hingga tak lagi mempunyai harga diri. Berteriak hanya mengundang permasalahan baru.
“HEI! Apa yang kalian lakukan?”
Dua opsir muda melintas dari balik jeruji besi. Melihat pemandangan tak senonoh itu, mereka segera merangsek masuk dan mengacungkan senjatanya pada ketiga pria yang tengah menganiaya Adhira.
“Bawa dia ke klinik! Aku tidak mau melihat tahanan ini kalian siksa di sini,” makinya bringas.
Salah satu perwira memakaikan selembar kain ke tubuh Adhira dan membawanya keluar dari sel. Separuh kekuatan Adhira lenyap hanya karena menghadapi tiga pria mesum yang mencoba menodai tubuhnya.
Klinik yang dikatakan petugas hanya ada perawat perempuan tua dengan stetoskop berkarat di lehernya. Dia hanya memberikan obat pereda nyeri yang sama sekali tidak berefek pada Adhira.
Selanj
Sejak kedatangan Nahif, penderitaan Adhira tak lagi semengenaskan kemarin. Namun efek yang ditinggalkan sangatlah menyiksa. Di beberapa waktu dia harus mengerang kesakitan menghadapi tubuhnya yang tak mendapatkan asupan obat yang kuat. Terkadang Nahif tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya membiarkan Adhira meringkuk berteriak seorang diri.Hingga setelah beberapa hari selang kejadian tersebut, seorang sipir mengeluarkannya dari sel tersebut. Adhira tahu ini bukan saatnya dia untuk dibebaskan.“Seseorang ingin bertemu denganmu.”Ini pertama kalinya Adhira mendapati orang mendatanginya. Di sisi bangunan yang berbeda terdapat ruangan untuk kunjungan. Ada kaca dengan jalinan besi membatasi pengunjung dengan para tahanan. Kuswan duduk di kursi pengunjung menunggu kedatangan Adhira.“Adhi.” Kuswan memanggil sambil menahan haru.Memandangi sosok teman sebangku yang seirama dengannya itu membuat Adhira menyesali kesialan yang dialamin
Seusai dakwaan dibacakan oleh jaksa penuntut umum, penasehat hukum yang sudah diutus oleh Tuan Pranadipa melakukan eksepsi. Bukti yang berhasil dikumpulkan berupa pakaian korban, rekaman CCTV, surat visum, serta topeng yang sebelumnya pernah dikenakan Adhira pada hari di mana kejadian naas itu terjadi pada Lyra.Adhira digiring memasuki ruang persidangan yang lengang itu. Dirinya tak menyangka akan menjadi salah satu tersangka yang diadili di tempat ini. Ada Bunda Safira yang juga turut hadir di kursi pengunjung. Di sampingnya ada Tamara dan beberapa guru lain. Kuswan duduk tak jauh dari tempat mereka. Dia tersenyum seraya menyemangati Adhira yang mulai menggeliat resah itu. Ervan tidak ada di sana. Tampaknya Haris sudah mengurungnya di Lavandula sejak dia mendekam di penjara.Kemarin pengacara yang dikirim Yasir Pranadipa mendatanginya dan menanyakan begitu banyak hal. Sayangnya yang bisa Adhira jawab hanyalah tidak tahu. Dia dalam keadaan mabuk berat dan tidak sadar
Kelas Pak Okra siang itu terasa lebih membosankan dari biasanya. Bukan karena guru biologi itu tidak datang dengan muka galaknya, tapi hari ini ada tugas tambahan yang harus mereka kerjakan untuk libur akhir tahun nanti.“Saya ingin kalian membuat contoh studi kasus tentang pencemaran lingkungan. Kaidah yang sudah saya terangkan di jam pelajaran ini harus bisa diterapkan di karya tulis kalian nanti. Kalian bisa membentuk kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Ervan, nanti kamu tuliskan nama teman-temanmu ke selembar kertas. Serahkan ke saya sebelum jam makan siang.”Sebelum ditahan Adhira sempat menjabat sebagai ketua kelas, tapi baru dua hari dia menjalani tugasnya posisinya itu kembali diambil alih oleh Ervan. “Dan Adhira, karena kamu sudah satu semester tidak masuk, saya minta kamu untuk ikut mata pelajaran tambahan di akhir kelas,” timpal Pak Okra mengakhiri penjelasannya.“Heh? Saya rasa
Adhira tak berani melihat ke arah Pak Wayan. Dia tahu jelitan horor itu sudah pasti terpancar dari bingkai lensa cembung yang dikenakannya.“Maaf, Pak,” ucap Adhira serba salah.“Kamu ini. Benar kata para guru, selalu bikin gara-gara!” Omelan Pak Wayan tak berhenti sampai di sana. Dia tampak geram buku dan kertas pentingnya kini sudah menjadi bubur kertas.Akibat kejadian siang tadi, Adhira lagi-lagi tidak bisa lepas dari hukuman. Dia diminta melanjutkan pekerjaan Mbak Yuli untuk membersihkan kamar mandi sekolah setelah jam pulang.Setelah mengambil peralatan bersih-bersih, Adhira pun melangkah lesu ke kamar mandi siswa laki-laki, yang semerbaknya mampu menebas habis bulu hidungnya itu. Dia heran bagaimana bisa sekolah yang katanya elit ini memiliki kamar mandi sedemikian jorok. Bahkan bila bau bisa membunuh orang, maka toilet ini adalah tempat berdarah yang pernah ada.Tanpa banyak mengeluh lagi, Adhira akhirnya mulai menyi
“Kak Adhi?”Sejak kematian Durga, Adhira belum sempat bertemu dengan Kiara. Perpaduan haru dan penyesalan berkumpul di dadanya. Rasa pahit yang dingin membuat Adhira sejenak tak mampu berkata-kata.Gadis itu berdiri dengan wajah polosnya. Tidak ada sedikit pun kebencian yang tercermin dalam ekspresi kejutnya. Dia seperti malaikat tanpa dosa, dan Adhira menyerah untuk tetap berdiri di hadapannya dengan tameng yang kotor ini. Adhira ingin mengatakan beribu maaf lebih banyak, tapi Om Willian sudah berjalan mendekat ke arah mereka.Di waktu yang tipis ini, hanya sirat rasa bersalah yang terungkap dari bola matanya. Tanpa sempat berbincang dengan Kiara, Adhira langsung berkiprah pergi.Bayang-bayang di malam yang mendung itu melayang dalam pikiran Adhira. Dia masih duduk kelas satu SD dan Kiara bahkan belum berusia lima tahun. Setelah ketahuan memecahkan pot kesayangan Tante Durga, Adhira dikurung di gudang selama tiga hari. Tidak pernah selama itu
“Aku percaya padamu.”Adhira berharap dengan menanggapi ucapannya dengan sekali lagi mengabulkan permohonan maaf itu, Lodra bisa terbebaskan dari rasa bersalah. Dia selalu belajar dari cara Kiara yang tak pernah menyentuh kata kebencian dan dendam. Bagaimana dengan memulainya dari orang ini?Lodra memeluknya dengan erat seusai Adhira mengutarakan kalimat singkat tadi.Entah mengapa, di sudut yang tersembunyi di benaknya, dia mengasihani orang ini. Dia begitu terharu hanya karena kata-kata ini. Lodra sempat bercerita tentang ayahnya yang selalu menganggapnya anak haram. Mungkin bentuk ketidakpedulian ini sudah mengakar dalam dirinya hingga dia menjelma menjadi makhluk tersisih yang haus akan kasih sayang.“Aku tidak menyalahkanmu. Yang sudah terjadi, sepenuhnya di luar kendali kita. ““Sejak mamaku meninggal, tidak ada orang yang memercayaiku. Mereka menganggap aku benalu yang semestinya tidak dilahirkan.”
Matahari pagi menyingsing terik di ufuk timur. Kedatangan Ervan di panti asuhan ini membangunkannya dari mimpi buruk yang panjang itu. Liburan telah tiba dan Adhira bahkan tidak sempat menikmati lebih lama masa-masa menggembirakan tersebut. Para guru menjejalinya dengan setumpuk tugas demi mengejar ketertinggalannya.“Ke mana Kuswan dan Ucep?”“Kuswan terserang cacar air dan Ucep tidak bisa dihubungi,” jawab Ervan.Sudah ditebak!Adhira tak pernah berhasil memaksa dua sobat sekriminalnya itu untuk mengerjakan tugas semacam ini. Alhasil Ervan menyeret dirinya untuk ikut mengerjakan tugas.“Oke, jadi kita penelitian apa?” tanya Adhira setelah duduk di samping Ervan. Hari ini Pak Wisman tidak mengantar mereka.“Aku sudah kasih catatannya kemarin.” Ervan menjawab sambil menyetir mobilnya.“Ow.”Adhira ingat Ervan sempat memberikan catatannya kemarin dan dia entah
Ervan mengeluarkan peralatan seperti botol dan usapan kapas, serta beberapa jenis wadah reagen lainnya. Adhira yang tak tahu-menahu tentang penelitian mereka hanya celingak-celinguk bingung. Dia pun mendekati beberapa anak-anak dan mengajak mereka mengobrol. Anak-anak memiliki kulit yang lebih gelap. Tadinya Adhira berpikir mungkin karena mereka terlalu sering terpapar sinar matahari. Namun setelah diamati lebih jauh, penampakan anak-anak ini memang berbeda. Permukaan kulit yang sedikit bersisik dengan warna gelap kemerahan membuat mereka tak berhenti menggaruk. Rambut mereka cenderung kecokelatan. Tentu saja mereka tidak mewarnainya dengan sengaja. Gigi mereka lebih kuning, dan pada beberapa anak, ditemukan karies yang sudah menghitam. Masalah yang ditemukan juga ternyata tak sampai di sana, beberapa bayi juga menunjukkan keterlambatan perkembangan. Baru-baru ini anak pemilik rumah ini meninggal karena cairan di kepalanya. Sisanya mengalami k
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A