Acara televisi tidak menarik perhatian Dirham sama sekali, dia lebih tertarik dengan sosok gadis polos yang sekarang tengah berbaring mengiring membelakanginya. Tangan yang sudah melingkari perut istrinya itu mulai mengusap dengan lembut, membelai seolah meninabobokan anak yang ada dalam perut sang istri.
“Tidurlah Di, nanti waktu makan siang baru bangun.”
“Engh.. ” itu saja suara yang keluar dari bibir Dinar, dia seperti dibius dengan sentuhan suaminya, matanya perlahan terpejam, tapi segera terbuka lagi ketika merasakan ada sesuatu yang keras dan hangat menyentuh belakang punggungnya. Jantung Dinar seolah ingin melompat keluar, dia gugup. Tubuhnya menegang.
Dap dup
dap dup
“Biarkan dia begitu, tidurlah lagi.” Dirham seolah mengerti gerak tubuh istrinya. Seakan paham dengan apa yang ada dalam pikiran Dinar. Tangannya terus membelai hingga akhirnya keduanya tertidur
“Kenapa harus berhenti kerja? nanti aku bosan kalau diem terus nggak ada aktifitas.” “Terima syarat ku, maka aku akan izinkan kamu datang di hari pertunangan temanmu. Jawab iya, Minggu depan kita pulang ke rumah Mama.” Dinar kaget, keputusan yang terlalu mendadak. Berhenti kerja? “Tapi, apa pendapat mas Tama nanti, ini mendadak banget.” “Aku tahu alasan yang sebenarnya kenapa kamu mau terus bekerja. Karena biaya hidup Ibuk dan Arfa kan?” Dinar mengangguk pelan. “Jangan dipikirkan, aku akan urus itu nanti. Yang penting penuhi kemauan ku sesuai perjanjian kita.” Lagi-lagi perjanjian, syarat dan apa lagi nanti. Dinar menahan perasaan. Dirham duduk di samping Dinar. Daster hamil yang dipakai Dinar terlihat begitu cocok sekali dengan warna kulitnya yang bersih. Sangat menawan meski hanya pakaian sederhana yang dikenakan. Ada kebahagiaan tersendiri saat dia dekat de
Dirham dan Dinar pergi ke rumah Riko untuk memberitahukan kalau dia akan resign dari pekerjaannya. Kebetulan hari ini Riko tidak ada jadwal di kampus. “Assalamualaikum.. ” kedua pasangan muda itu mengucap salam bersamaan, Nek Ijah yang sore itu sedang menyiram tanaman di halaman rumah tersenyum ramah melihat siapa yang datang. Dinar mencium tangan tua itu diikuti oleh suaminya. Mata Dinar terpaku pada rumah sebelah, rumah tempatnya berteduh untuk pertama kali di kota kecil ini. Di rumah itu dia selalu menghibur dirinya, berdoa meminta ada kebahagiaan setelah kesedihan, dia selalu yakin akan ada pelangi setelah hujan. Jalan hidup yang berliku telah membuatnya menjadi sosok perempuan tegar dan tidak takut menghadapi hari esok. “Waalaikumussalam nak, ayo masuk, kok malah bengong to?” Dirham ikut menoleh menatap wajah ayu istrinya yang sudah terlihat sedih, ada air jernih di sudut matanya.
Mengandung konten 21+ “Am.. mandiiih dulu sana.” kecupan-kecupan kecil di belakang telinga Dinar membuatnya menggeliat karena geli. Bulu kuduknya berdiri bersamaan dengan desiran gairah karena sedikit sentuhan di area belakang telinganya, juga usapan lembut di perut menjalar naik ke atas, Dirham terlalu pintar membuatnya haus akan sentuhan. “No bra? Why? Are you ready for me?” napas Dirham berat menampar belakang telinga istrinya. ‘Ish, aku salah memilih tadi, kenapa tidak pakai bra saja malam ini.’ Dinar memarahi dirinya sendiri. “Kalau tidur pakai bra sesak, Aaah.. ” satu desahan lolos dari bibir mungil Dinar yang merah alami ketika tangan suaminya sudah meremas dan mencubit serta menggosok puncak bukit kembarnya secara bergantian. Erangan Dinar seolah menginginkan sentuhan lebih lagi. “Minggu depan kita pulang ke Jakarta, kamu bisa bertemu dengan temanmu.” Dirham memutar tubuh istrinya, kini mereka berhadap
Seorang pria muda memakai pakaian santai dan bersepatu sport sedang berjalan semakin mendekat ke arah Dinar dan Dirham. Dinar serta merta melepaskan lengan suaminya. Wajahnya tegang menatap pada pemuda yang kini berhenti di depannya. Waktu memanggil nama Dinar tadi dia berjarak dalam 3 meter saja. Dan sekarang berdiri tepat di depan pasangan suami istri itu. Dirham menatap tajam pada pria muda yang sekarang memegang lengan istrinya. “Andika.” gumaman dari mulut Dinar sudah menjelaskan pada Dirham kenapa ekspresi wajah Dinar setegang itu. “Lepaskan tanganmu, sial!” Dirham menepis tangan Andika dengan kasar. “Memangnya kamu siapanya Dinar, berani ngelarang aku?” “Aku ...” “Dia temanku! Teman dekat, dan kamu tidak perlu menyentuhku, Dika!” Dirham terkesiap mendengar ucapan istrinya, wajahnya memerah dia mengetapkan gigi, dongkol. Marah. “Hanya teman? tapi berani melarang. Kenalkan aku calon suaminya.”
Hari begitu cepat berlalu, Dirham dan Dinar pulang ke Jakarta naik pesawat untuk meminimalkan waktu perjalanan, tidak ingin istrinya kelelahan dan mengambil resiko untuk kandungan Dinar. Saat ini mereka sedang menunggu sopir keluarga Assegaff menjemput mereka di bandara. Ternyata Adam juga ikut serta, hari memang sudah senja, waktunya Adam pulang dari kantor, dia sengaja meminta supirnya untuk langsung pergi ke bandara menjemput putra dan menantunya. “Assalamualaikum.. ” Dirham dan istrinya yang sudah beberapa menit keluar langsung menoleh ke arah sumber suara, Adam tersenyum pada anak dan menantunya. “Waalaikumussalam, Pa.” “Sudah lama menunggu?” “10 menit gitu lah Pa, Mama nggak ikut?” Dirham segera meraih tangan Adam dan menciumnya. Diikuti oleh Dinar, istrinya melakukan hal yang sama. “Papa kan baru saja pulang dari kerja, sekalian ambil kalian dulu, baru bisa pulang bareng.”
Dirham membuka lemari tempat handuk dan bathrobe disimpan, ditarik keluar satu dan diberikan pada istrinya. Dia menatap wajah mendung Dinar yang masih menunduk tanpa melihatnya. “Bisa nggak, kalau menerima apapun dariku, atau berbicara denganku itu jangan menunduk. Memangnya kamu bersalah?” Dinar menelan saliva, kalimat Dirham dengan intonasi yang serius membuat nyalinya ciut. Dinar segera mengangkat wajahnya menatap sang suami yang sudah menyambutnya dengan tatapan tajam bak elang ingin menerkam mangsanya. Setetes butiran bening lolos dari sudut mata bulat Dinar, entah kenapa dia jadi sensitif saat ini. “Hei, kau kenapa, ada yang sakit? perutmu sakit?” Dirham menilik diri istrinya dengan teliti, lengan, perut dan wajah Dinar dilihat lebih dekat, mencari sebab perubahan mood Dinar. ‘Hatiku yang sakit Am.’ tentu saja itu hanya terucap dalam hati. “Tidak. Aku tidak apa-apa,
“A-aku.. ” Dinar tidak mampu meneruskan ucapannya, hatinya sakit seolah ditusuk dengan pisau tajam. Air matanya sudah bergenang. “Aku hanya memintamu untuk memindahkan barang-barang itu, bukan membukanya. Barang-barang berharga ini bahkan nilainya lebih tinggi dari apapun termasuk kamu!” napas Dirham turun naik menahan amarah. Berani sekali Dinar menyentuh barang-barang pribadinya. Kenangan yang terus disimpannya. Menjadi pengusir kerinduannya pada sosok gadis yang sangat dicintai. Aaaargh. Air mata Dinar jatuh tanpa bisa ditahan lagi, hardikan keras dari suaminya sangat menakutkan, kalimatnya teramat menyakitkan, bahkan suaminya tidak menyadari kalau ucapannya telah melukai hati rawan seorang istri, ternyata penilaian Dirham begitu rendah terhadapnya. Kenangan pahit beberapa bulan lalu mulai berputar di ingatan, dia menunduk menyembunyikan tangis. Dinar terisak pelan. Tangannya memegang erat ujung bajunya. Airmatanya menga
Demi melihat mertuanya sedang berdiri memandang kearahnya, Dinar serta merta berdiri dari pangkuan Dirham. Sementara suaminya ikut berdiri, dasi yang sudah dilonggarkan tadi ditarik lalu dilepaskan dan ditinggalkan begitu saja di sofa. Nora melangkah menuju meja makan diiringi anak dan menantunya. Mata Dirham berbinar senang melihat hidangan di atas meja. Semua adalah pesanannya. Ludah ditelan, terasa kering tenggorokan. Dirham duduk dan menggosok kedua tangannya membayangkan enaknya makanan di depannya, terasa tidak sabar ingin menjamah dan segera menyantap dengan penuh selera. Tangannya dicuci dan mengambil tempe mendoan yang digoreng garing. Sekali gigit, dia langsung tersenyum puas. “Mama masak? enak banget ini, Mam.” “Istri kamulah yang masak, Mama tadi mau bantu masak tapi baru teringat ada beberapa pesanan pelanggan Mama yang belum selesai design-nya, mama pergi melukis dan menantu kesayangan Ma