Dinar terkesiap mendengar tuduhan tanpa dasar dari Dirham.
“Lepas Am, sakit.” Dinar mencoba terus melepaskan diri dari cengkraman tangan Dirham, perut yang membukit membuatnya kesusahan bergerak.
“Bro, jangan kasar dengan wanita bisa nggak?”
Romi ingin membantu Dinar yang kini di tarik ke arah ruang tamu utama. Tapi Dirham tidak menghiraukannya.
“Jangan pernah ikut campur urusan rumah tangga gue, suka-suka gue mau ngapain aja dengan dia.”
“Am, wait!” Romi terus memanggil Dirham yang sekarang sudah menarik Dinar untuk ikut bersamanya menuju kamar atas.
Pintu kamar dikunci dari dalam, lengan Dinar dilepaskan dengan kasar. Mereka sekarang berdiri tapi Dirham membelakangi istrinya.
“Aku tidak suka anak aku kau ajak keluyuran dengan alasan periksa ke dokter.”
Suara Dirham bergetar menahan emosi.
“Aku tidak keluyuran, aku
“Kenapa tidak boleh, kamu mengandung anakku, wajar kan jika aku perhatian sama kamu, kalau kamu tidak makan, baby bisa sakit karena kurang asupan nutrisi.” ucapan Dirham sama sekali tidak bisa menghentikan air mata Dinar.“Hei, kenapa malah nangis, ada yang sakit?” Dirham duduk di depan istrinya, Dinar menggeleng dengan cepat. Airmata yang sudah deras mengalir diusap dengan punggung tangan.‘Kenapa kamu tidak bisa mengerti aku Am? Hatiku yang sakit.’Dalam hatinya Dinar berbicara sendiri.“Sekarang makan ya, aku suapin.”“Aku makan sendiri aja.”“Nggak! kamu nggak akan makan kalau dibiarkan.”Selain dia masih sebal dengan Dirham dia juga malu kalau disuapin makan. Dinar tidak mau Dirham melihat luka hatinya lewat tatapan mata mereka“Aku akan makan, nanti ku habiskan. Janji!”“Tidak ada bantahan.”Dirham mengang
Mengandung konten 21+, yang masih di bawah umur harap skip dulu.Dirham melangkah semakin dekat dengan istrinya, wajah Dinar tampak pucat karena ketakutan, aura kemarahan tergambar jelas di wajah suaminya.Ponsel yang berada di atas lantai diambil oleh Dirham. “Sudah berapa kali aku peringatkan sama kamu Di, jangan pernah sentuh barang-barang pribadi ku, ponsel ini juga termasuk privasi ku, jangan berani usik apapun itu!” Dirham memejamkan mata mencoba menahan amarahnya. Melihat perut istrinya yang besar entah kenapa bisa meredam emosinya. Wajah ketakutan Dinar cukup membuatnya kesal pada diri sendiri.‘Aaaaargh, aku kenapa.. ’“Aku.. aku tidak berniat Am, aku hanya... ”“Sudah! Sekarang tidur.” Dinar mengangguk pelan, hatinya lega karena Dirham tidak meneruskan kemarahan yang tadi membuatnya takut setengah mati. Tangan Dinar diraih, membuat empunya mendongak menatap wajah sa
“Tapi nanti, setelah anak itu lahir apa kau akan memisahkan dia dari ibunya?”“Kamu bisa menjaga dia nanti kan?” Mendengar itu air mata Dinar tidak bisa dibendung lagi, dia benci Dirham. Sampai hati dia meminta anaknya dijaga orang lain.‘Itu artinya? Itu artinya memang perpisahan sudah ada di depan mata, jahat kamu Am. Aku benci kamu sampai kapanpun aku benci!’ Kakinya yang lemah dipaksa untuk meninggalkan tempat itu, nampan yang tadi dibawa bersama dua cawan kopi ditinggalkan di meja ruang tamu kedua. Hatinya sakit. Dinar mengatur langkah menuju ke kamar atas, beberapa baju dikeluarkan dari lemari dan dimasukkan kedalam tas, dia tidak ingin menyerahkan anaknya jika harus dijaga oleh orang lain, anaknya butuh dia, dia butuh anaknya. Dinar bertekad akan membawa anaknya pergi dari rumah itu sekarang. Di ruang kerja. “Aku nggak paham maksud mu Am.”Nana yang duduk di depan Dirham berbicara dengan
Dinar meringis sambil duduk bersandar di tiang, Dirham dengan panik langsung mengangkatnya horizontal. Air mata Dinar tidak henti-hentinya mengalir, dia memegang bagian bawah perutnya.“Bertahan, kita ke rumah sakit sekarang.” ucap Dirham, rasa kesalnya terhadap tindakan Dinar yang nekad pergi tanpa pertimbangan tidak diperhatikan.“Terima kasih sudah menolong istri saya.” tas baju Dinar dibawa sekalian, dia berjalan menuju mobilnya. Orang-orang yang berkerumun itu bubar setelah mendengar ucapan Dirham.Dinar dibaringkan di tempat duduk belakang.Mobil itu meluncur dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat.“Am, sakit!”“Sebentar lagi sampai, tahan dikit lagi.” Dirham menambah kecepatan mobilnya. 15 menit berlalu, akhirnya mobil Dirham sampai di depan rumah sakit, dan berhenti tepat di depan pintu IGD, Dirham kembali menggendong istrinya, dia semakin khawatir karena bagian bawah Dinar basah, dia melihat darah. Apa ini?“Sust
“Azankan dulu dia, kalau tidak bisa azan, biar suster tadi memanggil perawat lelaki.” suara ketus itu membuat Dirham terkesiap. Ia segera menoleh pada Dinar yang tidak melihatnya sama sekali. Sepertinya mood Dinar sedang tidak baik. “Aku bisa, Di. Aku sendiri yang akan melakukannya.” Dengan tangan gemetar Dirham mengangkat bayi mungil itu, seumur hidup inilah kali pertama dia memegang bayi yang baru lahir, matanya berkaca-kaca. Senyumnya mekar melihat wajah mungil itu, Bayi itu begitu cantik persis seperti wajah Dinar, tapi hidung dan bibirnya ikut dia. Ini sangat luar biasa. Dirham mulai melafalkan azan di telinga kanan putrinya. Bayi itu begitu nyaman tidur dalam dekapan hangat papanya, melihat itu Dinar berlinang air mata, apa benar dia tidak ada hak lagi atas putrinya seperti yang tertera pada surat perjanjian bodoh yang pernah disetujuinya dulu. Bayi mungil itu menangis kencang ketika Dirham mele
“Del, aku mau minta tolong, kita bisa bertemu sekarang?”(Di, ada apa? Bisa kok. Mau ketemu di mana?)“Jangan ajak Mas Zaky, ini penting Del, kumohon.” Dinar sudah nekad.(Mas Zaky keluar kok, ketemu sama klien dia.)“Bisa ambil aku di Rumah Sakit Bunda Sehat?”(Kamu sakit?)“Nanti aku cerita, aku tunggu di luar gerbang, cepat Del.. tolong jangan sampai lama.”(Iya, aku tahu Rumah sakit itu, dekat kok dari sini.)Dinar menutup panggilan. Dia tidak tahu lagi harus meminta tolong siapa. Yang terlintas di benaknya hanya nama Delia sekarang.‘Ruby, baru berapa menit Bunda sudah kangen kamu, nak.’ air mata kembali mengalir, diseka, mengalir lagi, begitu terus. Hingga hidungnya merah.Di kamar rawatan, Santi melangkah masuk sambil membawa segelas air teh untuk Dinar.“Maaf Non, antri banget tadi di kantin jad
“Katakan pada Am kalau ini tidak benar, Ma. Tolong katakan kalau ini hanya mimpi.” Dirham menangis dalam pelukan sang bunda.“Sabar Am, dengarkan Mama. Mama yakin ini akan terjadi karena Mama tahu, di lubuk hati Am yang paling dalam, Am mencintai Dinar. Am sudah lama jatuh cinta dengan istri Am, tapi Am tak menyadarinya. kenapa? Karena Am ego. Am tidak mau mengakui itu semua.”Nora yang sudah mendengar cerita dari Santi secara garis besarnya tadi merasa iba melihat keadaan putranya. Tangannya mengusap rambut anaknya, menepuk-nepuk punggung Dirham dan memberi semangat untuknya.“Am menyesal Ma, ternyata setelah dia pergi baru Am sadar, kalau dia bagian dari diri Am, dia pemilik hati Am.”Baru tiga hari ditinggal oleh Dinar tapi sudah berantakan seperti kematian istri 7 harinya. Dia yakin Dirham akan menyesal karena telah melukai perasaan istrinya, dulu sudah diperingatkan, tapi bandel. Nora ti
20 bulan berlalu. Dengan cekatan tangan gadis itu mencuci piring-piring yang menumpuk di sampingnya, tangan yang sudah pegal dan kesemutan tidak dihiraukan, dia ingin tetap bekerja untuk mengumpulkan uang yang banyak. Dia perlu bekerja keras sekarang ini. Jilbab instan yang dipakainya sekali-kali jatuh dan kembali disampirkan di atas pundaknya, masker yang selalu menjadi pakaian wajibnya terus dipakai. Memang wajahnya bisa ditutup tapi tidak matanya yang sudah membentuk lingkaran hitam, mata panda karena kurang istirahat. “Lea, kenapa kerjamu makin lambat sekarang? Lihatlah tumpukan piring kotor makin banyak, kenapa tidak selesai-selesai dari tadi.” Omelan dari Titin, kepala staff di restoran terus saja terdengar tidak puas dengan kerjaan gadis yang dipanggil Lea itu. “Ini sudah cepat Mbak, nanti saya percepat lagi.” “Kenapa sih tiap hari kamu pakai masker? nggak kepanasan apa?” “Saya la
Suara nyanyian burung kenari dan debur ombak berselang-seling membangunkan tidur pulas Dirham. Pria itu membuka matanya dan melihat jam di ponsel, sudah jam 5 pagi. Ia bangun dan menatap pada wajah ayu wanita yang masih tertidur pulas di atas lengannya. Dirham bangun dari tempat tidur dan mengalihkan kepala sang istri. Ia melangkah menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sebentar dan menunaikan kewajibannya. Lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Dinar akan bangun, pasti wanita cantik itu kelelahan melayani keinginan suaminya yang tidak pernah jemu. Dinar baru dibiarkan tidur hampir jam 1 pagi.“Eungh …” Dinar menggeliat ketika merasakan tidurnya terganggu. Kantuknya tidak dapat lagi dinegosiasi, suaminya yang perkasa membuatnya hampir tidak bisa berdiri tadi dini hari, hingga ke kamar mandi harus digendong.Melihat istrinya tidur dengan mulut terbuka, membuat Dirham tertawa.'Kenapalah kamu itu sangat m
Mature contentDinar mencoba mengimbangi permainan lidah nakal sang suami, dan seperti selalu, Dirham selalu tidak bisa ditebak arah permainannya.“Mas, engh …” satu lenguhan keluar dari bibir mungil sang istri tatkala bibir Dirham mulai turun menjelajahi leher putih dan menyesap serta melumat dengan sesapan-sesapan kecil dan panas meninggalkan beberapa jejak kemerahan si sana. Jemari tangan Dinar meremas rambut Dirham menyalurkan hasratnya yang mulai bangkit.Dirham membawa istrinya ke atas tempat tidur dan menjatuhkannya, ia merasa celananya sesak karena miliknya mengeras sejak mereka turun dari mobil tadi. Membayangkan Dinar yang mendesis nikmat di bawah tubuhnya saja membuat pria itu langsung bergairah.Dirham membuka blouse istrinya, sementara Dinar memberi akses pada sang suami untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Ia juga menarik keluar baju pria yang menjadi tempat ia mencurahkan segal
“Mas! Anak-anak dengar tuh.” Dinar mencubit pinggang suaminya.“Dengar apa itu, Bunda?” Ruby memang kritis pemikirannya, selalu ingin tahu apapun yang didengar oleh telinganya.“Tidak ada apa, Sayang. Ruby nanti kalau bobo sama Oma dan Opa jangan rewel tau.” Dinar berpesan pada putrinya.“Kakak kan udah gede, pesen itu buat adik kali, Bunda.” Dirham tertawa mendengar kalimat pedas dari putrinya, ngikut siapalah itu, pedas kalau ngomong.“Adik uga udah pintal kok, pipis malam aja udah kaga pelnah.” Abizaair tidak mau ketinggalan.“Jelas dong, Adik udah mau 4 tahun, mana boleh pipis malem. Kasihan yang bobo sama adik kalau kena pipisnya.”Ujar Dirham pula, ia membawa mobil dalam kecepatan sedang.“Papa pelnah pipis malam-malam?” pertanyaan dari sang putra membuat Dinar terbatuk-batuk.“Pernah dong, tanya sama Bunda tuh. S
Dirham menatap istrinya, ia merasa heran mendengar ucapan dari gadis di depannya itu.“Sada, maksudnya apa? Kami tulus lho membantu kalian.” Dinar meminta Sada untuk menjelaskan penolakannya tadi.“Loli, ajak adik-adik ini bermain dengan Ruby.” Dinar memanggil Loli.“Iya, Bu. Ayo adik. Ada temannya di sana.” Loli datang dan memanggil adik-adik Sada untuk menuju ke halaman samping.“Pergilah, nanti Mbak panggil kalau mau pulang.” Baim dan Zahra mengangguk dan mengikuti langkah Loli.“Begini, Pak. Saya tidak enak kalau harus menerima kebaikan bapak dan ibu cuma-cuma.” Dinar tersenyum, ia mengerti apa maksud dari Sada. Ia masih ingat dulu Sada tidak pernah mau menerima uang secara cuma-cuma, ia harus bekerja sebelum menerima uang dari orang lain.“Tapi ini kan beasiswa. Namanya beasiswa pasti tanpa syarat. Kecuali beasiswa prestasi.&r
“Mbak Dinar!” Dinar langsung berdiri dan memeluk gadis itu dengan mata berbinar, gadis yang ingin ditemui ternyata sekarang ada di depannya. Sada membalas memeluknya.“Kamu kerja di sini?” Dirham bertanya pada Sada, gadis yang dulu pernah menjadi orang kepercayaannya untuk mengantar dan menjemput Dinar waktu mereka belum menikah.“Iya, Pak. Saya kerja di sini? Bapak sekeluarga liburan?”“Ayo, duduk. Kita bisa cerita-cerita. Adik-adik kamu pasti sudah besar sekarang.”Dinar menyentuh lengan Sada.Gadis itu tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.“Saya masih kerja, Mbak. Mana bisa duduk-duduk di sini. Adik saya sudah sekolah, kelas 6 SD sama kelas 4.”“Kamu tidak narik ojol lagi?” Dirham bertanya sambil mengambil sebotol air mineral di atas meja. Dibuka tutupnya dan diberikan pada sang istri.“Sore jam 4 setelah pul
“Sayang, Sorry Papa sama bunda ketiduran tadi. Sekarang ajak adik tunggu di depan, ya?”Dirham mengusap kepala putrinya. Ruby mengangguk dengan cepat. Ia memanggil sang adik sesuai pesan papanya.Sementara Dirham kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dinar baru saja selesai memakai selendang pashmina kegemarannya. Ia menyembur parfum lalu mengoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.Pelukan hangat Dirham dari belakang membuatnya sedikit menoleh.Dirham mendekap erat tubuh ramping istrinya, wangian aroma yang selalu segar pada penciumannya ia hirup dalam-dalam.“Jangan cantik-cantik, nanti ada yang naksir.”“Ruby bilang apa?”Dinar mengusap lengan sang suami yang melingkari perutnya.“Minta jalan-jalan ke pantai. Kita gerak sekarang. Kasihan anak-anak, ngambek katanya nungguin kita lama dari tadi.”“Papanya sih suka lama-lam
Mature content “Sayang, sabar.” Dinar mengacuhkan kalimat suaminya, entah kenapa sejak ia masuk ke dalam kamar, hasrat seksualnya naik tiba-tiba. “Mas, aku tidak bisa sabar lagi.” Dinar langsung menyerang Dirham dengan ciuman-ciuman panas, Pria itu bergerak mundur dan masuk dalam kotak kaca, ia membalas setiap lumatan dan sesapan bibir istrinya. Tangannya menahan tengkuk Dinar agar ciuman panas dan dalam mereka tidak terlepas. Bagian bawah tubuh Dirham sudah berdiri mengeras di dalam celana chino-nya. Begitu juga Dinar ia merasakan denyutan yang semakin menggila di bawah sana. Ia merapatkan kedua kakinya menahan rasa juga keinginan. Pria itu menarik dress istrinya lalu dilepaskan menyisakan penutup bagian dalam saja semakin membuat hasrat Dirham bergelora menatap tubuh indah yang tidak berubah dari awal mereka bersama, Dinar juga tidak tinggal diam, ia menarik turun celana sang suami, matanya membulat saat tangannya meremas sesuatu yang sudah menge
“Iya, ini Ruby. Yang saya kandung waktu masih di sini dulu, Mak. Ini Abizaair adik dia. Ini Loli pengasuh mereka. Ayo sayang, Salim sama Nek Marni.” Mak Marni manggut-manggut dengan mata berkaca-kaca. Terharu ternyata masih diberi kesempatan bertemu dengan majikannya yang baik seperti Dinar dan Dirham.“Saya kaget waktu Masnya menghubungi saya, untuk membantu membersihkan rumah ini.”“Ini semua juga buat saya kaget, Mak. Suami saya selalu memberi kejutan.” matanya memandang pada Dirham yang membaringkan Ruby di atas sofa.“Nak Loli, mari saya tunjukkan kamar untuk tidurkan nak Abizaair.” Mak Marni membawa Loli ke kamar yang memang disediakan khusus untuknya dan anak-anak.“Mas, sebaiknya Ruby juga dipindahkan sekali, lagian mereka juga sudah makan tadi di bandara, biarkan mereka istirahat dulu.”“Iya, aku juga ngantuk. Padahal baru jam 1 siang.”
Mendengar kalimat dari staf itu membuat wajah Rosy pucat seketika. Jadi pria yang begitu mempesona dan sesuai dengan impiannya adalah pemilik Cafe tempatnya bekerja. Istrinya juga berada di sini dan terlihat sangat saling mencintai. Ada rasa malu terselip dalam hatinya tapi rasa terpesonanya masih menguasai perasaannya. Pria yang sangat luar biasa, sudah tampan mempesona dengan postur tubuh sempurna kaya rasa dan romantis. Wanita mana saja pasti akan bertekuk lutut di depannya. Sungguh beruntung wanita yang sudah berhasil menjadi istrinya.“Kamu staf baru ya, tidak tahu kalau itu adalah owner Cafe, itu bos kita. Istrinya sangat baik, ramah dengan siapa saja.” tambah pekerja itu memuji istri bosnya. Sejak bekerja di sini, ia baru tiga kali bertemu dengan istri bos, Dinar tidak segan-segan memberi contoh jika staf baru tidak tahu cara mengerjakan tugasnya.“Mm, i-iya. Gue staf baru.”“O, pantas saja tidak ken