"Maaf."
Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur.
"Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."
Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.
Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.
Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.
Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak mereka itu untuk Auzi sekarang? Kenapa perlu delapan tahun untuk Auzi sadar jika dirinya bersalah dan memang patut memohon maaf seperti yang sekarang dilakukan?
Menguntip dari balik kelopak matanya yang terbuka sedikit, Aran melihat Auzi menciumi kening Ruan. Wajah perempuan itu basah oleh air mata, jelas sekali ada penyesalan di paras gadis yang masih saja cantik di mata Aran itu.
"Semoga Ayah kasih kesempatan sama kita, ya, Ruan? Aku cuma butuh sebulan. Sebulan terakhir bersama kamu, setelahnya, aku janji enggak akan ganggu kehidupan kalian lagi."
Usai mengatakan itu Auzi terlihat beranjak dari kasur sempit itu. Perempuan itu sempat menghampiri sisi kiri tilam, untuk mengusap dahi Aran sejenak, sebelum kemudian meninggalkan kamar.
Aran kemudian membuka mata. Menatapi langit-langit kamar, sklera pria itu memerah. Kenapa? Kenapa Auzi selalu gemar menyakitinya?
Lelaki itu bangkit dari posisi tidur, duduk bersandar ke dinding di belakang. Menyentuh dahi yang terasa sedikit berat, lalu meraba sebuah perban tertempel di sana. Bajunya sudah diganti. Ada bungkusan berisi obat di dekat kasur. Aran yakin, yang merawatnya adalah Auzi.
Menoleh pada sang anak yang sudah lelap di sampingnya, Aran mengusap kepala bocah itu. "Ruan," panggilnya pelan, sedikit gemetar. "Yang tadi itu ... dia ... Ma--"
Bayangan saat Auzi meninggalkan mereka delapan tahun lalu membuat Aran tersedak. Ludahnya terasa pahit. Dadanya bak dihantam palu besar. Sakit, perih hingga ke mata.
"Dia ... Mama kamu, Nak."
Delapan tahun lalu, baru seminggu setelah Ruan kecil pulang dari rumah sakit akibat menderita diare, dengan teganya Auzi mengemasi barang, kemudian pamit untuk pergi.
Aran ingat, hari itu, tidak sekali pun dilihatnya sang istri menggendong anak mereka. Seperti enggan menyentuh Ruan sedikit pun dan hanya sesekali menatapi dengan sorot yang kosong.
Di sore hari, saat Ruan menangis kencang dan Aran membujuk sang stri untuk menimang anak mereka, Auzi malah datang dengan tas.
"Aku mau pergi. Aku enggak bisa hidup sama kamu lagi."
Dua penggal kalimat dengan nada datar dan tak berperasaan itu menjadi salam pembuka dari perpisahan tersakit itu.
Aran memberi banyak pertanyaan sore itu. Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Ingin ke mana Auzi pergi? Namun, tak satu pun jawaban terlontar dari bibir istrinya. Perempuan itu bungkam, diam seribu bahasa.
"Aku mau pergi. Ayahku benar. Aku enggak sanggup hidup susah sama kamu."
Detik usai Auzi mengatakan itu, barulah Aran paham. Tak lain dan tidak bukan, alasan istrinya ingin pergi adalah karena perihal kemewahan, materi semata. Padahal, bukan perempuan itu tidak tahu latar belakang Aran sebelum mereka memutuskan untuk membina rumah tangga.
Kecewa, marah, Aran menelan semua itu bulat-bulat. Demi mempertahankan sang gadis yang begitu dicintai, demi membuat ibu dari anaknya tetap berada di rumah itu, Aran menekan harga diri.
Ketika Auzi bersikeras, dengan tanpa rasa bersalah melewat pintu rumah mereka, Aran mengejar. Pria itu mengadang langkah si istri dengan Ruan masih dalam gendongan.
Dengan segenap hatinya, laki-laki itu menekuk lutut di hadapan Auzi. Mengiba dengan tangis di wajah, diiringi rengekan Ruan. Aran meminta untuk Auzi mengurungkan niat.
"Aku bakal kerja lebih keras, Zi. Jangan gini. Kasihan aku dan Ruan. Kami butuh kamu. Aku butuh kamu, Ruan butuh mamanya."
Apa yang Auzi lakukan kala itu? Bergeming. Perempuan itu hanya sudi menatap Aran selama dua menit, kemudian dengan mudahnya berpaling muka.
"Zi. Aku janji akan cukupin kebutuhan rumah. Aku akan cari kerjaan yang lebih baik. Jangan pergi, Zi. Aku enggak akan bisa tanpa kamu."
Ribuan bujukan Aran berikan, tetapi hati Auzi sudah menjelma batu. Tak tersentuh apalagi terusik secuil pun oleh tetesan air mata atau raungan milik suami dan anaknya.
Pada akhirnya, di sore yang mulai dihampiri gelap itu, Aran menyaksikkan sendiri sang istri melangkah pergi, meninggalkan rumah sederhana mereka. Dengan langkah cepat, tergesa, seolah baru saja lepas dari tempat yang buruk, bahkan tanpa mau menoleh barang sejenak.
Saat ini, saat Aran kembali mengingat semua itu, hanya kebencian yang menyeruak di hati. Benci yang begitu kuat, hingga mampu membuat sesuatu jatuh dari pelupuk mata.
Aran menepis segala rasa dan emosi yang tak perlu, kecuali amarah dan kebencian. Yang pernah pergi meninggalkannya dengan kejam, pastilah punya maksud tak baik kalau pun kembali lagi seperti yang Auzi lakukan sekarang.
Pria itu menengok ke samping. Ia terperangah kala menyadari bahwa sang anak tidak lagi tidur. "Ruan? Kenapa, Nak?"
Ruan ikut duduk di samping sang ayah. "Ayah habis jatuh lagi?" tanyanya mengenai luka yang Aran bawa pulang hari ini.
Mengangguk, Aran berusaha tersenyum. "Enggak pa-pa ini. Dua hari lagi pasti sembuh."
Ruan mengangguk dalam diam. "Udah Ibuk Auzi obati tadi." Anak itu kemudian terlihat memainkan ujung kuku telunjuk dan jempol. "Ayah ... Ayah enggak suka sama Ibuk Auzi?"
Menangkap ada raut enggan dari ekspresi wajah Ruan, Aran meraih tangan anaknya itu untuk digenggam. Ia balas bertanya, "Ruan suka sama Ma--Ibuk Auzi?"
Laki-laki itu menertawai diri sendiri. Memang, ada anak yang tidak suka pada ibunya sendiri? Ruan saja, meski tidak tahu Auzi adalah perempuan yang melahirkannya, tetap punya semacam ikatan batin, walau sudah terpisah cukup lama. Terbukti, anaknya itu bisa langsung dekat dengan tetangga baru mereka padahal belum beberapa hari kenal.
"Ruan?" panggil Aran sebab anaknya menunduk dan belum memberi jawaban. "Ayah tanya tadi. Ruan suka sama Ibuk Guru itu?"
"Ibuk Auzi tolongin aku waktu ritsleting celana aku rusak. Ibuk Auzi beliin aku seragam, Ayah." Masih sambil memainkan kuku jarinya, Ruan berusaha berani. "Tadi, Ibuk Auzi masak untuk aku, karena katanya nanti sakit perut kalau belum makan dan nungguin Ayah."
Aran mengulum senyum, tetapi juga merasakan perih di hati mendengar itu.
"Tadi, Ibuk Auzi juga bantu aku, beresin rumah kita. Ibuk Auzi cuci piring, nyapu dan ngepel."
"Ruan suka sama Ibuk Guru itu?"
Bocah delapan tahun itu menaikkan pandangan. Menatap Ayahnya takut-takut. "Kalau Ayah enggak suka, aku juga enggak suka."
Hampir jatuh air mata Aran mendengar itu. Perkiraannya benar. Mana ada anak yang tidak suka pada ibunya sendiri? Ia memeluk Ruan erat, mengesampingkan rasa sakit di sekujur tubuh akibat luka dan lebam yang didapat.
"Ayah enggak marah kalau Ruan dekat dan main sama Ibuk Guru tetangga kita. Jadi, enggak usah mikirin Ayah, ya?"
Ruan mendongak, wajahnya mendadak semringah. "Beneran, Ayah? Ayah enggak akan marahin Ibuk Auzi lagi, 'kan?"
Aran mengangguk. "Tapi, mainnya yang wajar, ya? Jangan sampai ngerepotin."
Kepala si anak naik-turun antusias. "Besok, pulang sekolah, aku pulang sama Ibuk Auzi, ya? Enggak usah ikut Ayah ngojek. Aku mau belajar baca, Yah. Tadi dimarahi Ibuk Auzi, karena belum bisa ngeja huruf di buku mewarnai."
Kembali setuju, Aran lanjut mendekap sang anak. Sekalian ia gendong dalam posisi duduk, agar Ruan kembali tidur. Di hening malam itu, ada sesuatu yang kembali mengusik pikirannya.
Sebulan bersama Ruan, kata Auzi? Kenapa? Untuk apa? Mengapa hanya sebulan? Auzi ingin apa dengan sebulan bersama Ruan?
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m