Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu.
"Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah.
"Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran.
"Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat.
"A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.
Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan.
"Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
Aran meminta sang putra untuk masuk lebih dulu. Ruan sempat menolak, dengan alasan ingin bersama Auzi.
"Masuk kata Ayah, Ruan! Masuk!"
Bentakan itu Ruan balas dengan tatapan memicing sesaat, sebelum akhirnya menuruti perintah.
Usai Ruan masuk, Aran segera menarik Auzi. Menyeret perempuan itu berjalan mengikuti langkahnya yang besar, menuju sebuah jalan besar di ujung gang kamar sewa mereka.
"Pergi kamu! Enggak ada guna kamu muncul lagi setelah delapan tahun!"
Aran menghempas tangan Auzi, hingga gadis itu terdorong melewati badan jalan.
Auzi berusaha mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh akibat tolakan Aran. Namun, perempuan itu tak melihat keadaan jalanan, hingga tak sadar ada sebuah motor melaju kencang ke arahnya.
Suara klakson kencang yang menyadarkan Auzi. Namun, hal itu malah membuatnya shock, hingga tak bisa memikirkan apa pun selain mematung.
Auzi ditarik di lengan hingga tubuhnya beranjak dari tengah jalan. Perempuan itu terhuyung ke depan dan langsung membentur dada Aran.
"Anjing!" maki Aran pada pesepeda motor yang tadi hampir menabrak Auzi.
Si perempuan terdiam. Pada debar jantung Aran yang telapak tangannya rasa, Auzi menikmati. Air matanya jatuh. Kenapa begitu syahdu sekaligus sakit yang saat ini ia rasakan?
Satu-satunya lelaki di dunia ini yang Auzi ingin bersamanya hingga akhir hayat, mengapa begitu sulit untuk ia rengkuh? Padahal, cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
"Aran," panggil perempuan itu pelan. Isakannya perlahan-lahan lolos dari bibir yang bergetar.
Aran membeku. Pada sentuhan ringan dan sepele Auzi pada dadanya, pria itu mengingkari bahwa ada desir karenanya.
"Menjauh kamu." Aran pada akhirnya memilih. Ia mendorong Auzi. Jauh lebih pelan, agar gadis itu tak lagi terdorong ke tengah jalan.
"Kasih aku kesempatan, Ran. Satu kali aja. Ini untuk yang terakhir." Auzi tegugu dalam tangis yang mati-matian berusaha diredam.
"Kesempatan?" Aran tergelak. Matanya menatap pada lalu-lalang kendaraan yang lewat. Pikirannya bergerak jauh ke belakang. "Delapan tahun lalu, kamu punya kesempatan, waktu aku berlutut dan memohon sama kamu."
Auzi bisa melihat luka di mata Aran. Sesuatu yang juga ia punya di dasar hatinya. Luka dan duka yang entah apa bisa sembuh atau tidak.
"Sebulan aja, Ran. Sebulan. Aku bukan mau ambil Ruan dari kamu." Auzi memupus jarak, meremat kaus Aran. "Biarkan aku ngerasain dekat sama anak aku, untuk terakhir kalinya, Aran. Aku mohon."
Auzi yang menekuk kaki di hadapannya membuat Aran semakin geram. Ia ingin tidak peduli, Auzi pantas mendapat yang lebih buruk dari ini. Namun, tetap saja ada yang koyak dalam dirinya kala menyaksikan gadis itu putus asa, tak berdaya dan menangis sepderti sekarang.
"Aran. Tolong kasih aku kesempatan." Menangis, mengiba dengan dua tangan menyatu, Auzi menatap wajah Aran penuh harap.
Si lelaki habis kata. Kalah pada sesuatu yang menghentak nyeri dalam dada. Pada akhirnya, Aran hanya mampu memutar tumit, berbalik, lalu melangkah pergi meninggalkan Auzi.
***"Aku lapar, Ayah. Ayah lupa belum kasih makan aku?"
Jawaban Ruan atas perintah disuruh tidur, membuat Aran mengusap wajah kasar. Terlalu mengejutkan tingkah Auzi malam ini, hingga ia lupa belum memberi si buah hati santapan malam.
Menengok ke dapur mereka yang kecil, Aran tak menemukan telu atau pun mi instan. Pria itu kemudian menghampiri sang anak yang duduk di atas kasur. Tersenyum penuh penyesalan ke sana.
"Maaf, ya, Nak. Ayah lupa kalau kamu belum makan. Ayah ke warung sebentar, ya. Mau apa? Telur apa mi?"
"Telur aja, Ayah." Ruan menjawab cepat.
Mengangguk, Aran beranjak dari duduk dan segera menuju warung.
Sementara ayahnya pergi, Ruan yang bingung harus melakukan apa memilih mengambil sapu. Membersihkan lantai kamar sewa mereka ala kadarnya dengan itu.
Ini hal biasa untuk Ruan. Membantu pekerjaan ayahnya di rumah bukan perkara sulit. Apalagi, di saat mendesak seperti sekarang. Mereka baru pulang mengojek dan si ayah lupa bahwa perut belum di isi. Tinggal berdua saja dengan Aran selam 8 tahun, Ruan hapal jika ayahnya memang pelupa.
Menyapu sebisanya hingga teras, Ruan mendapati Auzi di teras kamar sebelah. Ibuk gurunya itu tengah berjongkok dengan wajah sedih. Ruan menghampiri.
"Belum tidur, Ibuk guru?"
Auzi menggeleng pelan. Pada Ruan ia berusaha tersenyum. "Kamu habis nyapu?"
Si bocah mengangguk. "Ibuk beneran tinggal di sini? Kita tetangga?"
Si perempuan mengangguk. "Boleh, 'kan, Ruan?"
"Bolehlah!" sahut Ruan antusias.
"Kamu kok belum tidur? Tadi habis dari mana? Kok pulang malam?"
Ruan bercerita. Sepulang sekolah dan dijemput Aran, ia ikut mengojek. Belum tidur karena belum makan dan ayahnya sedang ke warung membelikan telur.
Auzi menatap penuh sesal pada Ruan. Baru delapan tahun usia anaknya itu, tetapi sudah mengaami pahitnya hidup sampai begini.
Menyeka air matanya yang jatuh, Auzi meraih lengan Ruan agar anak itu mendekat. "Ada ayam goreng sama sayur taoge. Ruan mau?"
"Punya Ibuk guru?"
Tidak menjawab, Auzi meminta Ruan untuk kembali ke kamarnya. Ia sendiri masuk dan mengisi piring dengan nasi, sayur dan tiga potong ayam goreng. Ia bawa makanan itu ke kamar Ruan.
"Makan, yuk. Habiskan ini. Yang ini untuk Ayah." Auzi menyisihkan satu potong ayam untuk Aran.
Memang sudah lapar, pun makanan yang tersaji memnacing liur, Ruan tersenyum malu, kemudian meraih sendok.
"Enggak pa-pa aku makan, Buk?"
Auzi mengangguk, mengusap puncak kepala Ruan. "Makan, Nak. Makan." Air matanya kembali tumpah.
Separuh isi piring Ruan habis, Aran datang. Laki-laki langsung menghujani Auzi dengan tatapan marah. Ia sudah hendak menjauhkan piring nasi Ruan dari hadapan sang anak, tetapi urung sebab Auzi mencekal lengannya.
"Biarkan Ruan makan dulu, Ran. Ini udah jam delapan. Biar dia bisa tidur." Auzi berujar dibarengi isakan kencang.
Melihat wajah senang anaknya menikmati makanan itu, Aran mengalah. "Terusin makannya. Cepat, setelahnya pegi tidur."
Ruan mengangguk semringah. Ia mengangsurkan piring berisi satu ayam pada ayahnya. "Kata Ibuk Auzi ini untuk Ayah. Makan sama aku, yuk?"
Aran membuang wajah. "Enggak. Ayah enggak lapar."
Tepat saat ucapan Aran selesai, suara perut keroncongan pria itu terdengar. Ruan cekikan, sedangkan Auzi semakin ingin menangis.
"Bohong! Perutnya Ayah bunyi itu!"
Menghapus basah di pipi, Auzi beranjak dari duduk. Pergi ke kamarnya dan membawakan satu piring nasi pada Aran.
"Makan, Ayah." Ruan mendekatkan piring itu setelah Aran menjauhkannya.
Auzi paham jika mungkin saja Aran enggan dilihatnya makan. Maka perempuan itu pamit untuk pulang.
"Bobok yang nyenyak nanti, ya," ucapnya seraya mengusap sayang rambut Ruan.
Aran yang sempat tak ingin menatap wajah Auzi, perlahan menengok pada punggung perempuan itu yang mulai menjauh. Tatapannya menjadi sendu. Tarikan napasnya berat.
"Zi ...." Pria itu bergumam pelan. Terlalu malu untuk mengaku bahwa ada segunung rindu yang nyaris membuatnya tak tahu cara bernapas.
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m