Share

Bab 6

Author: Sinda
last update Last Updated: 2022-05-17 11:23:13

Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana.

Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh.

Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak.

"Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran.

"Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya.

Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu tertatih, karena luka di lutut, oleh-oleh kecelakaan kemarin.

Lelaki itu jadi bimbang. Pulang saja, 'kan? Memang mau apa? Memberi tumpangan pada Auzi? Karena rumah mereka searah? Karena merasa bersalah sudah membuat Auzi ikut kecelakaan? Tidak.

"Ayah. Ibuk Auzi."

Aran menoleh pada sang anak yang berkedip lucu dari balik helm kebesarannya.

"Ibuk Auzi kakinya sakit. Kayaknya jatuh. Kita nggak bisa kasih boncengan, Ayah? Kasihan."

Aran melihat pada si perempuan dengan raut sinis. Ia menggeleng pada permintaan anaknya barusan. "Palingan nanti ada yang jemput. Mobil."

Mendengar ucapan ayahnya, Ruan ingin memastikan. Saat Auzi sudah dekat dengan sepeda motor yang diduki, anak itu bertanya, "Ibuk Auzi dijemput?"

Auzi melirik pada Aran. Sebentar, sebelum ia menatap ke arah lain. Perempuan itu teringat bentakan Aran saat mereka jatuh menbarak trotoar kemarin.

Si perempuan menggeleng. "Ibuk jalan aja, Ruan. Kan dekat."

Ruan menoleh ayahnya. Berkedip penuh arti ke sana.

Mengerti isyarat anaknya, Aran mendesah pelan. "Naik," katanya ada Auzi.

Perempuan itu celingukan ke kanan dan kiri, Aran mengernyitkan dahi. "Naik," ulangnya sedikit menaikkan nada.

Ruan semringah. "Naik Ibuk Auzi. Kita pulang bareng."

Auzi merasa senang sekali mendengar itu. Rasa bahagia tumpah-tumpah di hati, hanya karena ajakan pulang bersama dari anak dan suaminya. Tak menolak, perempuan itu naik.

"Pegangan Ibuk Auzi. Ayah ini jago balap!" Sepeda motor belum jalan, Ruan berteriak saat berucap. Ia terlihat sangat antusias.

Auzi memegangi ujung jaket bawah Aran. Duduk menyamping, mendengar Ruan bicara begitu, ia sedikit ketar-ketir.

"Pegangan yang benar! Aku nggak punya uang untuk ganti rugi kalau kamu jatuh." Aran sengaja memainkan gas. Membuat motornya bersuara nyaring.

Takut-takut, Auzi melingkarkan lengan di perut si lelaki. Jantungnya mulai lari-lari. Perempuan itu yakin jika Aran bisa merasai itu di punggung.

"Pegang sini, Buk!" Ruan meraih tangan Auzi. Membuat lengan gurunya itu memegangi di bahu kecilnya yang duduk di depan sang ayah. Semakin bersemangat anak itu. "Jalan, Ayah! Ini seru!"

***

"Coba tulis. Telur. Gimana tulisannya?"

Pada Ruan yang duduk di depannya, Auzi menyodorkan pensil. Mereka tengah di rumah si bocah. Sekarang pukul enam sore, sembari menunggu telur yang direbus matang, Auzi memulai les privat Ruan.

Sudah kelas dua, Ruan sama sekali tidak bisa mengeja dan membaca. Anak itu kenal huruf, walau terbata, tetapi tidak bisa menyatukan dan membuat kalimat.

Sehabis mengantar mereka pulang tadi, Aran kembali bekerja. Auzi sudah menemani Ruan sejak tadi juga. Mereka bermain di teras depan, sempat mewarnai juga. Setelah mandi, Auzi berniat mengajari anaknya itu membaca, sembari menyiapkan makan malam.

Atas perintah Auzi barusan, Ruan menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Buk. Aku nggak pandai tulis sama baca."

Auzi tersenyum perih. Ia mengusap kepala Ruan. "Mulai sekarang harus belajar, ya? Aku bantu. Sampai kamu bisa baca dan tulis."

Ruan mengangkat wajah. Senyumnya terbit. Ia mengangguk semangat.

Auzi pamit sebentar. Untuk menyelesaikan masakan di dapur. Usai itu, si perempuan kembali ke ruang depan. Mulai menuliskan huruf dan menyebutnya bersama-sama dengan Ruan.

"Ini huruf apa?"

Ruan menatapi tulisan di bukunya agak lama, kemudian menjawab, "Ef?"

Si ibu mengangguk senang. "Kalau ini?" Ia ukir huruf J di samping F.

"Je!"

Tepat setelah Ruan menjawab, Aran muncul di pintu. Pria itu membuka jaket dengan wajah tak senang yang terarah pada Auzi.

"Ayah, aku udah hapal huruf," adu si anak bangga.

Aran mengangguk saja. "Kalau udah siap belajar, guru kamu boleh pulang, Ruan," katanya sambil berlalu menuju dapur.

Air muka Auzi jadi kelabu mendengar itu. Masih saja Aran tak senang melihatnya berada di sekitar anak mereka. Baru saja ia hendak mengajari Ruan lagi, sosok Aran kembali masuk di pandangan.

"Siapa yang masak semua makanan di dapur, Ruan?" Dahi Aran mengernyit, hidungnya berkerut. Mata pria itu menyorot tajam pada satu-satunya perempuan di rumah mereka.

"Ibuk Auzi, Ayah. Ayah kalau udah lapar, makan aja."

Celotehan sederhana Ruan membuat amarah Aran seketika membabi-buta. Pria itu mengepalkan tangan. Napasnya mulai cepat.

"Siapa yang suruh kamu masak?" tanyanya dingin, tetapi mengancam.

Auzi tergamam. Bisa dilihatnya kemarahan di dua mata Aran.

"Siapa yang suruh kamu menyiapkan makanan untuk kami?" Gigi Aran rapat, gemeletak. Mata pria itu tampak memerah sebab terlalu lama menatap Auzi tanpa berkedip.

"A--aku cuma ma--"

"Siapa yang suruh kamu bersikap seolah kamu berhak berkeliaran di rumahku, Auzi? An*ing!"

Pintu menjadi sasaran amukan Aran. Pria itu menendangnya kuat. Setelahnya, giliran tembok yang menjadi samsak. Dua kali pukulan, Aran menoleh berang pada si pembuat onar.

"Pergi! Pergi kamu, Auzi! Kenapa kamu selalu suka bikin orang lain tersiksa, hah?! Apa semua yang kamu lakuin selama ini belum cukup? Aku muak sama kamu, Auzi! Muak!"

Aran meraih bahu Auzi. Memegang sekuat tenaga di sana, lalu berpindah menangkup dua sisi wajah perempuan itu.

"Jangan sembarangan berkeliaran di rumahku." Aran berucap penuh penekanan. Mata Auzi yang memancarkan ketakutan ia tatap lurus-lurus.

"A--aku cuma mau siapkan makanan, Aran." Air mata Auzi tumpah. "Aku nggak mau Ruan kelaparan selagi nunggu kamu." Perempuan itu terisak.

Bibir Aran gemetar, menahan diri. Dicengekeramnya wajah kecil Auzi semakin kuat. Tak peduli pada ringisan kesakitan si gadis yang berbarengan dengan isakan.

"Itu. Bukan. Urusanmu." Aran menekankan tiap kata. "Anak aku kelaparan atau enggak, itu bukan urusan kamu!" Ia berteriak tepat di depan Auzi.

"Aran." Auzi menangis. Dipegangnya dua tangan Aran yang masih menjepit wajah, seolah ingin meremukkan tulang-tulang di sana.

Aran mendekat. Memposisikan bibirnya di dekat telinga Auzi. Bisa ia rasakan tubuh perempuan itu gemetar takut. "Jangan berlagak seolah kamu itu seorang istri. Jangan bersikap selayaknya kamu ibu dari anakku."

Bisikan itu membuat Auzi merasa hancur. Hatinya remuk. Tangisanya makin parah.

"Itu cuma bikin aku makin jijik," bisik Aran lagi. "Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati."

Related chapters

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 7

    "Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran

    Last Updated : 2022-05-28
  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 1

    "Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m

    Last Updated : 2022-01-20
  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 2

    Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"

    Last Updated : 2022-01-20
  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 3

    Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te

    Last Updated : 2022-01-20
  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 4

    "Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m

    Last Updated : 2022-01-21
  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 5

    Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b

    Last Updated : 2022-05-16

Latest chapter

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 7

    "Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 6

    Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 5

    Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 4

    "Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 3

    Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 2

    Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"

  • Delapan Tahun Usai sang Istri Pergi   Bab 1

    "Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status