"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."
Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.
Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.
Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."
Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan.
"Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah."
Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.
Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin melihatku bernasib sama dengan ibumu?"
Habis kata, Auzi menghela napas. "Ayah juga harus menuruti syaratku. Satu bulan, jangan ganggu aku. Aku ingin menghabiskan waktu terakhir dengan dia, tanpa diusik."
Satu bulan. Satu bulan sebelum ia menuruti kemauan sang ayah, Auzi ingin menikmati waktunya bersama seseorang. Menumpahkan semua rindu dan kasih sayang yang selama ini dipendam, tanpa mau dikekang atau dilarang sang ayah, seperti yang sudah-sudah.
Seseorang itu ada di sini. Di sebuah sekolah dasar sederhana yang resmi menjadi tempat kerja Auzi sejak dua hari lalu. Dan, berita baiknya, Auzi sudah bertemu orang itu di hari pertama menjadi pengajar di sini.
Dia ... tampan seperti yang selama ini Auzi bayangkan. Delapan tahun, dan banyak hal berubah dari seseorang itu. Sesuatu yang membuat Auzi sadar bahwa sudah banyak waktu yang terlampaui dan dirinya tak berada di sisi seseorang itu.
"Selamat pagi, Buk Auzi."
Sapaan itu diterima Auzi saat dirinya menyusuri koridor kelas menuju ruang guru. Dari seseorang yang memang segera ingin ia temui.
"Ruan. Pagi, Sayang." Auzi bejongkok di depan siswa kelas dua itu. Menatap kedua matanya, merasai debar hangat yang sudah terlampau lama absen menyapa jiwa.
Tidak peduli jika akan dipandang aneh, Auzi mendekat pada bocah lelaki di hadapan. Meraihnya ke dalam pelukan yang sungguh erat. Delapan tahun, Auzi kehilangan momen seperti ini. Semua hanya karena keegoisan sang ayah.
"Sudah sarapan, Ruan? Ruan tadi mandi dulu, nggak?"
Ruan. Nama yang sungguh sempurna. Auzi yakin, nama itu dipilihkan sepenuh hati.
"Sarapan? Udah. Pakai telur. Ayah yang buat." Ruan tersenyum lebar. Memamerkan gigi putihnya pada sang guru baru.
Auzi memandangi anak itu lekat. Seolah tak ingin berpaling sedetik pun. Berkedip saja Auzi tak sudi. Tangannya kemudian menyapu helai rambut Ruan. Merapikan bagian yang sedikit acak di sana.
"Seragam Ruan bagus, 'kan? Ini yang Ibuk belikan semalam."
Perempuan itu merasakan hangat dan basah di mata. Ia memegangi dua bahu anak itu, mengusapnya pelan. Auzi mengangguk.
Sepasang seragam sekolah dasar itu Auzi belikan kemarin, sepulang sekolah. Lantaran di pagi harinya, Auzi melihat ritsleting celana merah lusuh Ruan rusak. Anak itu mengaku, tidak ingin memberitahu sang ayah karena sudah beberapa kali dijahit dan lepas lagi. Ruan tidak ingin ayahnya susah.
Hal itu membuat Auzi menyadari betapa dirinya lalai menjaga Ruan. Anaknya itu kesusahan selama ia tak ada. Auzi maklum, sebab dirinya tahu pasti berat menjadi orang tua tunggal, seperti yang Ayah Ruan alami.
"Ayah ikut Ruan hari ini. Katanya, mau bilang terima kasih sama Ibuk."
Seketika Auzi diserang kepanikan. Wanita itu mengusapi matanya yang basah. Ia berdiri, menatap sekitar dengan telapak tangan yamg mulai lembab.
"Ayah lagi di toilet. Katanya mau sisiran dan cuci muka. Tadi kelupaan." Ruan menjelaskan sembari tertawa.
Auzi tak punya pilihan. Ia harus segera angkat kaki dari sana. Melarikan diri, atau dirinya tak akan bisa bertemu Ruan lagi. Namun, langkah wanita itu ditahan oleh si bocah.
"Ke mana, Buk? Tungguin Ayah sebentar, ya? Itu Ayah udah datang." Ruan menunjuk seorang pria dengan jeans lusuh dan kaus hitam yang sedang berjalan melewati lapangan sekolah.
Suara derap langkah itu semakin dekat di telinga Auzi. Dalam posisi memunggui Ruan, ia memejam. Berharap ada keajaiban, ayahnya Ruan lupa pada dirinya.
"Ini Ibuk Guru yang kasih aku seragam, Ayah." Ruan menarik tangan wanita di hadapannya. "Buk? Ini Ayahku."
"Selamat pagi, Buk." Aran, lelaki yang Ruan panggil ayah mengulurkan tangan.
Mau tak mau, sudah terjebak di situasi yang tak mungkin dielak, Auzi berbalik. Jantungnya serasa akan lepas, sangking terlalu cepat memompa. Kembali matanya dihinggapi hangat yang berhasil merambatkan sesak di dada.
Delapan tahun, dan lelaki itu tak berubah sama sekali. Masih saja rupawan, menurut versinya Auzi. Mata dengan iris hitam itu masih saja mampu menggetarkan relung hati dan jiwa Auzi.
"Pa--pagi, Pak." Terbata, Auzi membalas sapa tadi. Ia baru saja ingin menyambut uluran tangan Aran, tetapi pria itu lebih dulu menarik diri.
"Buk Auzi, Ayah. Nama gurunya aku, Ibuk Auzi." Ruan meraih tangan ayahnya, membuatnya berjabat dengan sang guru. Anak itu tersenyum sembari menatapi wajah dua orang dewasa di depannya.
Buru-buru Aran menarik tangannya, melepas jabatan itu. Matanya menyorot tak suka. "Apa yang kamu lakuin di sini?" Pria itu merapatkan gigi-giginya.
Auzi menoleh pada Ruan. Tersenyum sebisanya, kemudian bekata, "Ruan bisa tolong Ibuk? Tolong belikan roti selai nanas di kantin, ya?" Ia mengangsurkan selembar uang lima ribu.
Walau bingung, Ruan menurut saja. Anak itu pergi dengan sedikit berlari menuju kantin.
Auzi menelan ludah saat kembali menghadapkan wajah pada lelaki di hadapan. "A--aku gu-guru di sini sekarang, Ran." Begitu saja, air mata perempuan itu jatuh.
Entah dorongan dari mana, perempuan itu melangkah maju. Dua lengannya terbuka sebelum akhirnya merengkuh tubuh ayahnya Ruan. Auzi membenamkan wajah di bahu Aran. Menangis di sana.
Aran hanya mematung sekitar beberapa belas sekon, sampai akhirnya berhasil menemukan kesadaran. Pria itu mendorong Auzi, memegangi lengan perempuan itu kuat.
"Aku terkejut karena kamu bisa mengenali Ruan." Senyum miringnya muncul. "Kamu berpikir untuk merebut dia, Zi? Karena itu tiba-tiba ada di sini?" Mata Aran memerah. Di tengah rasa terperangah yang belum sepenuhnya hilang, lelaki itu berusaha waras.
Aran melepas cengkeraman dua tangannya, mendorong Auzi ke belakang. "Jangan mimpi kamu!"
Gegas Aran meraih lengan Auzi. Laki-laki itu berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Tepat menebak, Kepala Sekolah sudah ada di sana.
"Kenapa bisa sekolah mempekerjakan orang seperti dia, Pak?" Aran menghempas tangan Auzi begitu saja. Laki-laki itu menatap marah ada sang Kepala Sekolah, Pak Moko namanya.
"Maaf, Pak Aran. Ada apa ini?" Pak Moko bertanya keheranan.
Aran menunjuk Auzi dengan telunjuk. "Dia! Enggak pantas mengajar di sini! Bagaimana bisa Bapak menjadikan perempuan keji seperti dia mendidik anak-anak?"
Dahi Pak Moko berkerut. "Apa alasan Bapak berkata begitu? Buk Auzi diterima mengajar di sekolah ini karena memiliki kualisifikasi, Pak."
"Dia bahkan enggak lulus kuliah, Pak Moko!" tuduh Aran lagi.
"Buk Auzi punya ijazah sarjana Pak Aran," balas Pak Moko semakin terheran.
Wajah Aran berubah pias. Senyum getir muncul di mukanya. Jadi, Auzi melanjutkan hidup dengan baik rupanya.
"Dia ini perempuan keji, Pak Moko! Dia tega menelantarkan darah dagingnya sendiri, bahkan saat anaknya itu sedang sakit! Apa pantas orang seperti dia mengajar anak-anak di sekolah ini?" Napas Aran memburu usai membeberkan semua itu. Pria itu menyorot Auzi dengan semua kebencian yang selama ini dipendam.
Pak Moko tampak berdeham. "Sudah, Pak. Tidak baik Bapak asal menuduh begini. Lagi pula, rasanya tidak baik menghubungkan kehidupan pribadi seseorang dengan pekerjaan. Saya harap, Bapak bisa menerima keputusan saya."
Orang-orang berduit ini, pikir Aran. Laki-laki itu tak meneruskan protesnya, karena yakin Pak Moko adalah salah satu anteknya keluarga Auzi. Pria itu mengambil langkah besar untuk meninggalkan ruangan itu.
Tidak tinggal diam, Auzi berusaha mengejar Aran. Menahan pria itu saat akan menaiki sepeda motornya.
"A--aku berhak atas Ruan, Ran."
Aran menjauhkan tangan Auzi yang menyentuh lengannya. Tangan pria itu terkepal. "Berhak kamu bilang? Anjing kamu, Auzi!"
Persetan di mana mereka sekarang, Aran sungguh murka.
Auzi gemetar. Aran yang marah memang tak pernah ramah untuk siapa pun. "A--aku enggak berencana mau ambil dia dari kamu."
"Kamu memang enggak akan pernah bisa melakukan itu!" Aran menyalakan mesin motor. Sudah akan memutar gas, kalau saja Auzi tidak mengadang jalan kuda besinya. "Jangan kira aku keberatan ngelindas kamu di sini! Minggir!"
"Sa--sa ...." Auzi menelan tangis. Dimaki dan dibentak Aran tak pernah gagal membuatnya menangis dan gemetar. "Sa--satu bulan, Aran. Tolong kasih aku satu bulan aja. Aku mau satu bulan ini, untuk yang terakhir ... aku mau bisa dekat sama Ruan. Anak kita."
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m