Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa.
Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan.Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan?Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar biasa bak orang yang habis dipukul, dan meski sekarang ia kemungkinan besar akan terlambat datang, Auzi tetap harus berangkat ke sekolah.Auzi tengah berlari menuju pintu dengan menenteng sepatu dan tote bag-nya saat kaki tiba-tiba menginjak pecahan kotak plastik yang kemarin yang menjadi pelampiasan amarah.Perempuan itu menjerit, berjingkat-jingkat dengan satu kaki terangkat dan meringis. Melompat-lompat dengan sebelah kaki, ia duduk di teras rumah.Telapak kaki Auzi berdarah. Wajah perempuan itu memerah, begitu pula dengan matanya yang mulai basah. "Kenapa hidupku selalu sial, sih?" gerutunya.Tangan Auzi gegas mengusap darah yang mengalir dari telapak kaki dengan tisu. Saat yang sama, didengarnya suara mesin kendaraan bermotor mendekat, kemudian sosok Aran dengan kuda besi muncul.Cepat Auzi hapus air mata di pipi. Niatnya ingin segera mengenakan sepatu, tetapi darah dari lukanya belum mau berhenti.Auzi ingin mengabaikan eksistensi Aran di sana. Namun, mesin motor yang tak kunjung mati, juga firasat aneh yang bergelanyar di hati membuat Auzi mendongak untuk memeriksa. Dugaannya tepat. Aran sedang menatapi dari atas sepeda motor.Seperti biasa. Sorot mata pria dengan kulit coklat itu masih saja tajam, dalam dan sendu di saat bersamaan. Mengingatkan Auzi bahwa dulu, ia bisa jatuh cinta tiap kali Aran menatapnya selayaknya sekarang. Namun, jangan lupakan, cara Aran memandanginya juga acap kali berhasil membuat nyali ciut.Berdebar, juga gemetaran, Auzi membuang tisu yang sudah penuh bercak darah begitu saja. Masa bodoh soal kaki yang berdarah, ia butuh segera pergi dari sini. Jangan sampai Aran marah dan memaki lagi. Secepat kilat perempuan itu mengenakan sepatu. Bayangan soal murid-murid yang sudah menunggu semakin membuat kalut.Auzi berjalan cepat. Sakit di telapak kaki seolah tak terasa. Langkah perempuan itu akhirnya berhenti saat sepeda motor tiba-tiba saja berhenti di sampingnya."Naik." Aran bicara sembari membuang wajah. Pria itu memutar gas kuat, ungkapan rasa dongkol. Pada diri sendiri.Mata Auzi panas. Sekelebat bayangan sikap Aran bertahun-tahun silam menyeruak memenuhi kepala. Membuatnya serasa dihimpit oleh rindu dan sesal di dada.Sejak dulu, prianya ini memang sehebat itu. Selalu peka akan tiap hal yang Auzi butuhkan. Sosok sempurna yang Auzi yakini adalah satu-satunya yang memang diciptakan untuknya.Lihat saja. Tanpa Auzi minta, Aran datang padanya. Walau tadi sempat menatap tajam seolah sedang marah, tetapi lihatlah. Aran sudi menawarkan tumpangan.Tak menolak. Bodoh jika bersikap sok jual mahal, Auzi naik ke atas sepeda motor. Dada Auzi seolah akan meledak saat tangan berpegangan pada dua bahu Aran untuk naik dan lelaki itu tak menghindar untuk mengelak.Sepeda motor melaju, Auzi terdiam di balik punggung Aran. Mata perempuan itu hangat. Sedekat ini dengan sang belahan jiwa, tetapi tak mampu untuk sekadar memberi pelukan. Sungguh, Auzi rindu pada sensasi nyaman yang selalu hadir tiap kali ia mendekap Aran.Sementara itu, Aran juga sedang memikirkan gadis di jok belakang sepeda motornya. Pria itu merasakan debar di dada. Benaknya melayang pada masa-masa di mana ia merasa dunia terlampau indah sebab Auzi ada di sisi.Mereka bertemu pertama kali di bangku sekolah menengah atas. Di satu insiden yang masih mampu membuat jantung Aran berdetak cepat setiap kali mengingat.Siang itu, di jam istirahat setelah jam kosong, Aran hendak pergi ke kantin bersama teman-teman. Rombongannya yang berjumlah lebih dair lima siswa tiba-tiba diadang oleh seorang gadis.Auzi di masa sekolah tak jauh berbeda dengan Auzi yang beberapa hari ini kembali mengisi bayangan di mata Aran. Berkulit putih, rambutnya hitam pekat, berpotongan sebahu lebih sedikit. Seragam gadis itu rapi, bersih dan putih berkilau. Sangat berbanding terbalik dengan Aran yang saat itu mengenakan kemeja kusut dan sedikit kusam."Aku Auzi."Saat Auzi memperkenalkan diri di hari itu, Aran langsung memberi seluruh atensi pada si gadis. Sebab seminggu penuh sebelum hari itu, Aran selalu mendapat sebatang coklat di laci meja dengan catatan nama pengirim bertuliskan 'Auzi'."Aku suka sama kamu."Masa sekolah dulu, pacaran dan menyatakan perasaan sudah menjadi hal lumrah untuk Aran. Ia sering mendengar itu dari teman sekelas, adik kelas, bahkan senior. Namun, tak ada yang pernah seberani Auzi, mendeklarasikan itu di lapangan sekolah yang ramai."Terus apa?"Meski saat itu Aran memasang wajah seolah tak peduli, sejujurnya dirinya sungguh tertarik. Gadis yang menyatakan cinta padanya itu punya aura yang manis. Wajahnya sederhana, tetapi punya daya tarik yang mmebuat Aran tak sudi berpaling."Kata teman-teman kamu, kamu nggak akan suka sama aku. Kata Nadira, kamu nggak suka sama cewek yang datang ke sekolah pakai mobil kendaraan orang tuanya."Hal yang Auzi katakan kala itu bukan hal baru. Itu memang fakta, sebab Aran anti berpacaran dengan gadis-gadis dari keluarga kaya. Apalagi, yang diantar naik mobil ke sekolah. Baginya, orang-orang dari keluarga berada itu tak pantas diikat dalam sebuah hubungan atas dasar perasaan.Orang kaya hanya memikirkan uang, status, kekayaan, kemewahan, sama sekali tak akan pernah bisa menghargai perasaan orang lain, terutama seseorang yang lahir dari latar belakang rumit seperti Aran.Yang Auzi tuturkan siang itu benar, tetapi Aran berhasil dibuat terperangah. Sebab gadis itu mengatakannya dengan dibarengi tangis. Tangis yang Aran artikan sebagai bentuk ketakutan, putus asa dan permohonan.Entahlah. Saat itu, Aran merasa dirinya tidak salah menebak demikian. Sampai saat ini pun, ia yakin akan semua itu."Iya. Aku nggak suka sama cewek yang diantar akai mobil. Aku nggak suka sama anak orang kaya."Tangis Auzi makin pecah saat itu. Gadis itu dengan berani maju, mendekat pada Aran untuk kemudian meraih tangan si pemuda."Aku harus apa biar kamu suka sama aku?""Kenapa aku harus suka kau?" Aran memicing. Memandangi wajah Auzi yang menunduk lekat-lekat. Ia sama sekali tak risih tangannya dipegangi si gadis."Karena aku suka kamu. Aku harus apa biar kamu suka aku?"Waktu itu, Aran asal saja. Tujuannya adalah membuat Auzi segera mundur soal apa pun yang tengah gadis itu ingin capai. Maka Aran memberi syarat jahat."Aku bakal lempar bola bakset ke mukamu. Kau nggak boleh menghindar. Ngak boleh ngaud ke guru apalagi ke orang tuamu."Pikir pemuda itu, Auzi akan menyerah. Orang bodoh mana yang rela mukanya dilempar bola basket? Namun, kembali Aran dibuat terheran. Gadis di depannya mengangguk, setuju.Berharap Auzi akan menyerah di detik-detik terakhir, Aran melempar bola dengan kekuatan penuh. Sayang, Auzi tidak menghindar. Wajah gadis itu dihantam bola hingga memerah dan hidung berdarah.Aran bahkan sempat melihat gadis itu sempoyongan saat berjalan menujunya. Namun, Auzi tidak berubah pikiran."Sekarang, kamu udah bisa suka aku?"Yang ditanya berdecak. Kesal karena seolah telah kalah."Aran? Kamu sekarang nggak masalah lagi, 'kan, kalau aku diantar naik mobil ek sekolah. Mulai besok, aku juga akan naik angkot kayak kamu."Tak pernah Aran temukan orang segila Auzi. Yang semakin membuatnya tak percaya adalah, saat dirinya malah terdiam, memandangi Auzi."Aran? Aku nggak nemuin siapa pun kayak kamu selama aku hidup. Cuma kamu. Aku cuma mau kamu. Kalau ini namanya cinta, itu artinya aku udah jatuh cinta sama kamu."Alih-alih tertawa mengejek atau mengabaikan ucapan melantur Auzi itu, Aran malah memilih membersihkan darah dari hidung Auzi. Dengan tangannya sendiri. Dan setelahnya, pemuda itu tersenyum."Kamu bakal terima aku, 'kan, Aran? Iya, 'kan, Ran?""Aran?""Aran!"Teriakan itu bukan dalam lamunan. Itu nyata, tepat di belakang telinga Aran. Pria itu tersadar, ia menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menatap lurus. Suara klakson memekakkan telinga.Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m