"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati."
Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini.Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat.Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran.Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan?Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu.Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran suarakan memang pantas diterima.Perempuan ini merasa dirinya memang menjijikkan. Tak punya belas kasihan. Tak punya hati dan seperti yang Aran katakan, harusnya Auzi memang mati saja.Terisak dengan dada sesak, Auzi meraih cutter yang tadi sempat diambil dari tas. Perempuan itu keluarkan mata pisau dari sarangnya. Bibirnya tersenyum nanar.Kalau saja sekarang Aran bisa mendengar, Auzi ingin memohon maaf. Meski itu tak akan pernah bisa mengobati luka hati si lelaki. Sungguh, ia tak pernah berniat mengkhianati cinta mereka apalagi membuat anak dan suaminya terluka dan sengsara.Auzi merasa bersalah atas apa yang terjadi pada keluarga kecilnya delapan tahun lalu. Sebab keputusan yang ia ambil, si anak terlantar, hidup susah dan Aran membencinya. Namun, meninggalkan Aran adalah satu-satunya cara yang bisa Auzi tempuh kala itu.Menangis, Auzi mendekatkan besi tajam itu ke pergelangan tangan. Membuat goresan panjang dan dalam di sana, kemudian memejam menikmati pedih yang menjalar.Pisau tadi jatuh dari tangan kiri Auzi. Perempuan itu merasa cairan mengalir deras dari pergelangan kanan. Ia tersenyum pedih.Sakit ini, pedih ini, serta ketakutan yang kini dirasa, belum ada apa-apanya dengan penderitaan yang sudah ia berikan pada Aran dan Ruan.Perlahan tubuh Auzi merasa dingin. Kelopak matanya juga mulai berat. Tangan kanan mulai kebas, ia juga lemas. Saat merasa sudah dekat dengan kematian, pintu kamarnya terbuka. Sosok lelaki yang paling Auzi rindukan muncul di sana.Aran berdiri cukup lama dengan wajah terkejut di dekat pintu, sebelum akhirnya menghampiri Auzi. Pria itu membuat punggung Auzi bersandar ke dada."Kamu gila, Auzi," kata Aran seraya mengikat luka di tangan kanan Auzi dengan kain yang bisa ia temukan."Aran," panggil Auzi dengan suara parau.Gadis itu ingin meronta, tetapi hanya bisa menggeliat pelan kala Aran berusaha membawanya ke dalam gendongan. Tak perlu. Aran tak perlu membawanya ke mana pun. Mati di pelukan lelaki itu adalah keberuntungan.Mereka berpandangan, Auzi berusaha mengulas senyum di bibirnya yang mulai memucat."Tahumu hanya membuatku terluka dan sulit." Mengucapkan itu, Aran merapatkan gigi.Auzi mengangguk pelan. Dipegangnya wajah Aran dengan tangan kiri."Aku tahu ma--maafku enggak akan cukup." Air mata Auzi jatuh semakin banyak."Kalau gitu, tutup mulutmu." Aran meremat helai rambut Auzi. Sorot mata pria itu berpadu antara kalut, takut dan juga amarah.Bahu Auzi bergetar pelan. Perempuan itu tersedu. "Ru-Ruan. A--aku titip Ruan." Matanya mulai terasa berat.Wajah manis Ruan menjadi hal terakhir yang ingin Auzi ingat. Bagaimana anaknya itu tertawa ketika ia belikan seragam baru kemarin. Itu kenangan paling indah sekaligus paling menyedihkan.Perempuan itu menutup mata. Bersiap untuk dijemput. Auzi menyerah pada hidup. Aran sudah menganggapnya mati delapan tahun lalu. Maka mati sekarang pun sudah tak ada arti."Auzi!"Sebuah kehormatan karena di detik terakhirnya, Auzi masih bisa mendengar si pujaan hati menyebut namanya."Auzi! Awas saja kalau kamu ingkar janji! Katamu cuma sebulan, 'kan? Kamu ingin sebulan dengan Ruan, 'kan?"Membuka mata, Auzi merasa tubuhnya melayang dan sedikit terlonjak-lonjak. Tak sadar sedang ada di mana, perempuan itu berusaha membuka mata."Sebulan dengan Ruan! Sial! Doni! Doni!"Dingin makin terasa, Auzi tak mengalah pada kantuk yang mulai tak terlawan. Ia buka kelopak mata untuk bisa melihat wajah Aran."Ke rumah sakit! Ke rumah sakit!"Teriakan Aran membuat kepala Auzi semakin pusing. Saat lelaki itu menunduk dan mereka kembali bertatapan, pandangan Auzi mulai mengabur.Semua suara mulai tidak jelas. Tubuh Auzi terasa begitu ringan. Lalu ketika ia mulai tak sanggup untuk membuka mata, sebuah suara masuk ke telinga. Disuarakan tepat di samping telinganya."Bertahan. Akan kukabulkan sebulanmu bersama Ruan."***Bajingan. Sialan. Berengsek. Dasar perempuan setan.Semua umpatan itu Aran suarakan dalam hati. Setia memasang wajah dingin dan siap meledak, pria itu baru sampai di rumah.Ruan sudah ke sekolah. Aran menitipkan bocah itu pada salah satu tetangga kos. Sudah lewat tengah hari, dan Aran tak melakukan pekerjaan apa pun sejak pagi, karena harus mengurusi Auzi.Perempuan jahat itu kembali berulah. Tak puas menjungkirbalikkan dunia Aran delapan tahun lalu, hari ini ibunya Ruan itu kembali membuat Aran sulit.Menyayat nadi? Ingin mati? Jangan salah paham. Aran tidak peduli pada nyawa Auzi sedikit pun. Asal tidak dilakukan di sini, saat Auzi berada dekat dalam jangkauan Aran.Bagaimana bisa Aran mengabaikan? Tadi itu, ia melihat dengan mata kepala bagaimana darah menetes deras dari pergelangan kanan Auzi.Membiarkan saja, pura-pura tidak tahu, tutup kembali pintu kamar kos Auzi, lalu pergi? Aran tak sekeji perempuan itu. Yang tega meninggalkan suami dan anak yang baru sembuh sakit, tanpa penjelasan masuk akal.Atas dasar kemanusian, Aran menolong gurunya Ruan itu. Ia bawa ke rumah sakit dan biarkan pihak rumah sakit yang menghubungi keluarganya.Sialan.Rasa marah Aran masih tak mau pergi. Pria itu ingin sekali menjambak Auzi sekarang juga, karena sudah berani mencoba mati.Merebahkan punggung ke kursi plastik, Aran menengok ke kanan. Ke rumah kos yang Auzi tempati. Embusan napasnya terasa berat.Pikiran Aran semakin kusut saja. Dalam hati pria itu kembali memaki ibunya Aran.Kenapa? Kenapa harus muncul lagi di hadapannya setelah delapan tahun? Kenapa tidak menghilang saja sampai selamanya?Telanjur masuk ke pikiran, Aran mulai membuat asumsi. Jelas semua ini disengaja Auzi, kecuali tindakan bunuh diri tadi pagi.Auzi itu anak orang kaya. Ayahnya seorang pebisnis berhasil. Kenapa Auzi memilih pindah dan tinggal di kos-kos-an murah begini?Seniat itu Auzi untuk bertemu Ruan? Heh! Buat apa? Sudah terlambat. Aran butuh Auzi mengurusi anak mereka itu delapan tahun lalu, bukan sekarang."Izinkan aku menghabiskan sebulan saja bersama Ruan. Hanya sebulan."Pertanyaan mendasar itu muncul di benak Aran lagi. Kenapa sebulan? Untuk apa Auzi begitu ingin menghabiskan 30 hari bersama anak mereka? Kenapa juga hanya sebulan? Seolah setelah sebulan berlalu, Auzi sudah tak di sini lagi.Di tempatnya duduk, wajah Aran menegang. Sebuah asumsi muncul dan membuat pria itu gugup tanpa sebab.Auzi hanya butuh 30 hari bersama Ruan? Hanya sebulan? Auzi hanya punya waktu sebulan, begitu? Memang apa yang mengejar perempuan itu?"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
"Istriku, ibu dari anakku udah enggak ada. Delapan tahun lalu, dia udah mati." Sumpah demi apa pun, Auzi tak mampu mengenyahkan suara itu dari kepala atau telinga. Perempuan itu terus mendengar suara sarat kebencian Aran itu sepanjang malam, bahkan hingga pagi ini. Sudah pukul tujuh pagi. Matahari sudah menampakkan diri. Harusnya Auzi sudah bersiap untuk pergi mengajar. Namun, perempuan itu masih terduduk di kasur lipat. Matanya yang bengkak menatap kosong ke arah pintu, sedangkan air mata terus menetes. Semalam tak cukup untuk meratapi luka hati akibat ucapan Aran. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu muncul di ingatan. Saat Auzi tanpa belas kasihan meninggalkan Aran yang sedang menggendong Ruan. Suaminya itu berlutut, menangis memohon agar ia tak pergi. Namun, apa yang Auzi lakukan? Kakinya tetap melangkah pergi. Bahkan telinganya seolah tuli mendengar suara tangis Aran dan Ruan hari itu. Si gadis tersenyum perih dalam tangisnya kini. Agaknya, perasaan jijik yang kemarin Aran
Aran menghentikan sepeda motornya di depan gerbang sekolah Ruan. Sekarang pukul sebelas, sebentar lagi anaknya itu pasti akan selesai belajar. Aran langsung menjemput setelah sebelumnya mengantarkan pelanggan di daerah dekat sana. Menunggu beberapa menit, Aran melihat gerbang ditarik terbuka oleh satpam. Tak lama setelahnya bocah-bocah seumuran Ruan berlarian keluar dari sana. Menghampiri orang tua mereka masing-masing sembari berceloteh. Aran mengembangkan senyum saat mendapati Ruan berjalan melewati pagar. Tak seperti anak lain, putranya itu mengayun langkah tenang saja. Sepertinya ragu apakah dijemput atau tidak. "Ayah jemput?" tanya anak lelaki itu. Setelah ayahnya mengangguk, ia memamerkan giginya yang rapi, serupa dengan milik Aran. "Kita beli makan dulu, baru pulang, ya?" Aran memberikan satu helm pada sang anak. Walau kebesaran, setidaknya bisa menjaga sang anak dari bahaya. Sudah akan memutar gas, Aran tak sengaja melihat Auzi berjalan keluar dari sekolah. Perempuan itu
Auzi paham benar jika menangis tak akan menyelesaikan apa-apa. Beberapa tahun di rumah sang nenek dan menangis setiap malamnya, tak satu pun hal buruk yang ada dalam hidup Auzi hilang tiba-tiba atau mendadak menjadi baik. Namun, sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara bagi Auzi untuk meluapkan apa yang dirasa. Sejak meninggalkan kamar sewa Aran kemarin, sampai pukul empat pagi tadi, perempuan itu habiskan untuk menangis. Meratapi semua kesialan yang ia dapatkan, yang seolah tak akan pernah sudah. Alhasil, pagi ini, Auzi musti tergesa-gesa bersiap pergi mengajar karena bangun kesiangan. Menempati posisi cukup sentral meski pegawai baru, Auzi adalah wali siswa kelas 3. Cukup baik untuk guru baru, tetapi bukan yang benar-benar Auzi inginkan. Akan lebih baik jika menjadi wali murid kelas 2, 'kan? Menjabat sebagai guru kelas, Auzi mengemban tugas penting hingga mengambil libur tiba-tiba bukanlah pilihan profesional. Walau kepalanya sedikit pusing, walau matanya bengkak luar b
"Maaf."Suara lirih disertai isak tangis itu menyambut Aran yang baru saja menemukan keasadarannya kembali. Laki-laki itu mengangkat kelopak mata perlahan, kemudian menangkap gambaran Auzi yang setengah berbaring di samping Ruan yang tertidur."Aku tahu maafku enggak akan pantas dan layak, apalagi cukup. Tapi, maaf, Ruan. Maafin Ma ...."Aran memutuskan untuk berpura masih tidur. Laki-laki itu tak ingin bangun dan nantinya harus bersikap galak pada Auzi.Lelaki itu memang marah. Ia amat murka karena setelah delapan tahun pergi dan hilang tanpa kabar, bisa-bisanya Auzi datang begitu saja ke kehidupannya lagi. Menjadi guru di sekolah Ruan dan sekarang, bahkan menjadi tetangganya.Tidak bersekolah tinggi, bukan berarti Aran bodoh. Semua sikap Auzi ini pasti punya maksud. Dan ia bisa dengan mudah menerka bahwa tujuan Auzi adalah Ruan.Mau apa dengan Ruan? Apa pentingnya anak m
Menutup laptop, Auzi turun dari kasurnya. Perempuan itu menarik gorden, mengintip ke teras sebelah. Masih tidak ada sepeda motor di depan kamar kos Ruan. Pun, sedari tadi tak ada suara kendaraan yang mampir di sana.Belum mendapat izin dari Aran untuk berada dekat dengan Ruan, Auzi bimbang harus nekat saja atau tidak. Tadinya, bukan sekarang. Perempuan itu tahu anaknya sedang sendirian di kamar kos sebelah. Sekarang sudah pukul tujuh dan Aran masih belum pulang.Maka itu, dengan segenap keberanian yang ia punya, Auzi keluar dari kediamannya. Apa pun akibat dari kenekatan ini, akan ditanggung, meski itu harus mendengar ayahnya Ruan meneriakinya dengan makian lagi.Auzi mengetuk pintu di depan dua kali. "Ruan," panggilnya pada sang anak.Daun pintu itu kemudian bergerak, Ruan muncul dengan senyum di wajah. "Ibuk Auzi? Kenapa, Buk?"Auzi menghela napas. Sedekat ini dengan si buah hati yang selama delapan tahun dirindu, te
Suara mesin sepeda motor yang mendekat membuat Auzi yang semula duduk santai, lantas menengakkan punggung. Dari teras kecil tempatnya duduk, perempuan itu melihat dua orang yang sedari tadi ia tunggu."Ibuk Auzi!" Ruan yang baru turun dari sepeda motor ayahnya berseru. Senyum bocah itu mereka di wajahnya yang sayu dan lelah."Kamu dari mana? Kok baru pulang semalam ini?" Auzi menghampiri Ruan, berjongkok di depannya, kemudian memeluk. Sayang, seceppat kilat Ruan ditarik menjauh oleh Aran."Mau apa kamu di sini?" tanya Aran sinis. Pria itu memeluk anaknya erat."A--aku tinggal di sini sekarang." Auzi menunjuk kamar kos di sebelah kamar milik Ruan.Rahang Aran bergerak-gerak dan tampak mengeras. Pria itu tahu pasti Auzi tidak main-main dengan apa yang dicetuskan kemarin. Soal sebulan bersama Ruan."Kamu enggak mengerti apa yang aku bilang kemarin? Kamu kira dengan melakukan ini, aku bakal izinin kamu?"
"Apa harus kamu melakukan ini, Auzi? Kamu tidak perlu bekerja di sekolah itu. Ayah bisa mencarikan sekolah yang lebih bagus."Barusan itu adalah bujukan kesekian yang Arnold berikan pada sang putri. Pria dengan rambut setengah memutih itu berdiri di samping meja makan. Dua tangannya berlipat di belakang punggung yang masih tampak tegap di usia 58 tahun.Auzi mengusaikan makan. Perempuan dengan kemeja ungu dan rok hitam itu menggeleng pelan pada sang ayah.Perempuan itu bangkit dari duduk. Mengulurkan lengan, meminta tangan sang ayah untuk dicium. "Aku pergi, Ayah."Dua langkah Auzi menjauh dari meja makan, suara Arnold kembali terdengar. Membuat sang anak berhenti berjalan."Jangan lupa. Kamu sudah berjanji pada Ayah." Auzi berbalik, menoleh ayahnya dengan sorot kecewa dan putus asa.Telunjuk Arnold terangkat sebagai respon atas ekspresi sang putri semata wayang. "Jangan menolak. Kamu ingin m