•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ •• Ketika laun-laun mentari pergi ke peraduannya, terpancang pula keindahan langit berhiaskan semburat lukisan jingga. Pesona sore seakan turut membingkai kesunyian Abimana Abrisam. Dia termenung seraya menatap kemegahan cakrawala, diam memikirkan sang istri tercinta yang saat ini berada di rumah. Ajeng, Ajeng Dwi Ayu; ialah wanita istimewa dengan segala kecantikan yang dia miliki. Mata bulat, kulit putih nan mulus, juga rambut hitam yang panjang dan halus, sungguh menawan untuk dipandang. Ajeng telah seutuhnya memengaruhi pikiran Abimana. Pria itu tengah mengulang kembali peristiwa bahagia tahun lalu kala dia dan Ajeng melangsungkan ijab kabul di depan orang tua mereka dan juga sanak saudara yang hadir. Menjelang setahun pernikahan mereka, kebahagiaan sejoli tersebut akhirnya terlengkapi. Kehamilan Ajeng merupakan hadiah terbaik di sepanjang usia Abimana. Dia bahkan telah menyusun dan mempersiapkan hari khusus demi menanti kelahiran si buah hati.
•• ༻❁༺ •• Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya. "Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka. "Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis." "Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi." "Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan." "Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca. "Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menye
Abimana membubuhkan goresan pena di halaman terakhir proposal, menandakan tugasnya dalam mengecek berkas-berkas itu pun tuntas. "Masuklah!" seru pria ini saat mendengar ketukan pintu dari balik ruangannya. "Pak, ini kopi Anda. Satu jam lagi Tuan Lim akan tiba. Beliau bilang ingin menemui anda untuk membicarakan demo produk di cabang di Kalimantan." Diana/sekretarisnya menuturkan. "Saya sudah baca e-mail yang dia kirim. Tolong kamu siapkan semuanya, ya." "Baik, Pak." Diana membungkuk sopan sebelum meninggalkan atasannya itu. Embusan napasnya terdengar berat, Abimana tampak lesu kali ini. Padatnya jadwal pertemuan bisnis dan proyek yang harus dituntaskan membuat dia berangsur-angsur merasakan jenuh. Usai merapikan lagi berkas-berkas yang sudah rampung diperiksa, dia mengangkat gagang telepon di sisi kanannya. "Dimas, tolong ke ruangan saya sekarang. Saya sudah baca semua proposal yang kamu kirim kemarin." Lima menit berikutnya pria jangkung tersebut sudah muncul, bergeg
Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya. "Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "Silakan kalian bermimpi se
Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah. "Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya." "Mas Abim udah pulang?" "Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya. "Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu." "Baik, Bu," sahut Mumu. Di dalam kamar Ajeng
Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang. "Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturny
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ ••Bunyi tubrukan sendok dan juga piring lirih meramaikan meja makan di waktu sarapan kali ini. Masih di sekitar bandara, mereka memutuskan untuk memilih salah satu restoran yang kerap ramai di jam-jam makan. Kendati, pada giliran mereka beruntung tempat itu tidak penuh seperti biasanya. "Jun, Ayah bersyukur perjalanan kalian lancar-lancar aja sampai ke sini. Gimana keadaan istrimu? Sedang hamil begitu, apa tidak mengalami mual sepanjang penerbangan.""Enggak, Yah. Walau ini kehamilan pertama, Alyssa enggak pernah menghadapi hal-hal aneh apalagi yang mengancam kesehatannya. Dia bahkan enggak ngerasain mual.""Wah, itu jarang terjadi. Kalau di sini masyarakat menyebutnya hamil kebo. Kadang ibu-ibu muda yang tengah hamil justru bisa sama sekali enggak mendapatkan kendala. Segala aktivitas jadi berlalu seperti orang-orang pada umumnya." Cahyani menyambung obrolan tersebut."Hamil kebo?!" Bunga Alyssa Chloe, menantu keluarga Wicaksono ini menyahut seketika. Tergiring rasa penasara
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya
•• ༻❁༺ ••Sore ini mereka semua duduk bercengkerama di teras belakang. Ada kolam ikan koi yang di desain layaknya berada di alam liar dengan aliran air terjun setinggi dua meter. Di sekitar kolam dihiasi beragam tumbuhan paku-pakuan dan talas. Ajeng dan Abimana menyukai panorama asri demikian, kendati mereka membutuhkan tenaga tambahan dalam mengurus kolam tersebut agar tetap terjaga kebersihannya. Satu cerek sirup melon dingin pun menjadi penyegar dahaga, seraya menunggu camilan yang sedang dibawa Abimana menuju perjalanan pulang. "Nak, tadi sudah disampaikan pisang krispinya pakai pulut?""Sudah, Bu. Ajeng ketik jelas-jelas, kok. Pisang krispi pakai pulut tiga porsi buat Ibu, Ayah dan Mumu. Ajeng juga pesan tahu isi sama martabak telur. Lagi kangen makan yang gurih-gurih pedas. Itu sambil dicocol sambal enak banget, Bu." "Jangan banyak-banyak, Nak! Ingat, kamu enggak begitu serasi makan makanan pedas." "Iya, Bu. Ajeng enggak bakalan lupa, Kok. Paling banyak Ajeng makan tiga dan s
•• ༻❁༺ ••"Mas, apaan sih?! Masih pagi begini juga.""Kenapa, Dek? Mas lagi enak-enaknya tidur kok malah diomeli?" "Tidur ya tidur aja, tangannya mas ini loh! Jangan merayap ke mana-mana. Geli, tau!" "Itu refleks, sayang. Saking lelapnya, di dalam tidur pun ada adek si samping Mas. Jadi, mimpi pun terasa nyata."Sejoli ini bahkan tidak sadar bahwa kini waktu menunjukkan sudah lewat pukul setengah delapan. Sementara, jemari Abimana secara naluriah meraba titik sensitif di bagian dada istrinya. Dia pura-pura tidak memahami kekesalan Ajeng, meski tindakannya jelas-jelas mengarah ke tujuan intim. Dia ingin mengecap pagi dengan sedikit sentuhan mesra."Ya memang fakta 'kan? Singkirkan tangan, Mas! Adek mau bangun. Enggak tau sekarang jam berapa, takutnya kesiangan. Adek belum siapkan sarapan untuk kita. Ada ayah ibu juga, kasian mereka kalau makannya telat. Biasanya di usia tua, asam lambung naik lebih cepat. Bisa merembet ke segala penyakit nantinya. Apalagi, ibu langsung pusing kalau m
•• ༻❁༺ ••"Enggak kebas apa, Dek? Lumayan bengkak ini kakinya." "Baru terasa sekarang, Mas. Tadinya aman-aman aja." "Ini Adek mesti stop terima orderan kue. Mas takut kalau dipaksa jalan atau bergerak banyak, malah dampaknya makin enggak enak ke Adek. Libur dulu ya bikin-bikin kuenya?" "Sayang, Mas. Menjelang Ramadhan begini justru bakal banjir pesanan. Adek memang belum buka orderannya. Tapi, info dari Olivia kemarin, banyak kenalan juga tetangga dia yang rencananya mau coba kue buatan Adek--menurut Mas bagaimana? Masa kesempatan baik seperti ini dilepas?!" Tetap dengan penuh perhitungan tangan Abimana mengurut betis ke tapak tungkai Ajeng. Obrolan tak pula mengusik konsentrasinya terhadap bengkak yang tampak di punggung kaki istrinya tersebut. "Mas mengingatkan Adek pun bukan tanpa alasan. Kakinya mulai bengkak. Pasti sakit dibawa mondar-mandir. Minimal mengurangi aktivitas yang memakan waktu lama biar enggak menjadi-jadi bengkaknya. Udah ada ibu dan ayah di rumah buat teman c
•• ༻❁༺ •• Pagi yang tampak sibuk di hari ini. Pukul sembilan tepat Ajeng dan Mumu baru saja kembali dari berbelanja bahan baku pembuatan kue. Seluruhnya diletakkan di permukaan meja untuk dirapikan ke tempat-tempat penyimpanan yang semestinya. "Kamar tamu di atas jadi kamu bersihin?" Sembari menyortir barang-barang beliannya, Ajeng pun bertanya. "Udah, Bu." "Dua-duanya 'kan?" "Saya juga mengubah tatanan barang-barangnya seperti yang Ibu bilang." "Iya, kamar yang itu rencananya untuk ditempati Kak Juna. Semuanya harus keliatan serasi dan nyambung. Sisi perfeksionisnya itu terkadang bikin repot. Tapi, di baliknya dia cukup tenang dan sangat menghargai usaha orang lain. Makasih ya, Mu. Akhir pekan aku kasih bonus." "Enggak usah, Bu. Apa yang Ibu perintahkan memang merupakan bagian dari tugas saya." "Jangan sungkan begitu! Kamu kerja sama aku hampir dua tahun 'kan? Seharusnya bisa lebih leluasa. Aku suka kepribadian dan cara kerja kamu, Mu." "Saya juga senang kerja di sini
•• ༻❁༺ ••"Adek masih kuat jalan, enggak? Rencananya mau belanja ke mal lagi 'kan?""Lain kali aja deh, Mas. Enggak apa-apa, ya. Kaki Adek pegal-pegal rasanya, kepingin rebahan di rumah."Keduanya memutuskan berpisah dari pasangan Lim setelah cukup lama bercengkerama sambil menikmati makanan dan minuman khas India di stand sebelumnya. Ajeng masih betah menggandeng lengan Abimana sambil sesekali kentara pernapasannya terbuang berat. "Jadi, ini kita langsung pulang?""Iya, Mas. Pulang aja. Tapi, kita mampir dulu ke stand gorengan sama es campur tadi. Adek mau beliin buat Mumu di rumah.""Ya udah. Adek enggak mau jajan lagi sekalian buat camilan di rumah?""Enaknya apa ya, Mas? Jangan gorengan, tapi yang bisa buat dimakan nanti maksud Adek.""Apa dong kira-kira?""Loh, 'kan Adek tanya, Mas." "Bubur mau? Atau kue-kue tradisional? Itu bisa disimpan dulu di kulkas. Kapan Adek mau makan, minta tolong Mumu buat dihangatkan.""Iya, Adek mau--esnya boleh juga, Mas?!""Beli yang Adek mau. Mas a