Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang.
"Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya." Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang. Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturnya jangka mengayun langkah ke pintu keluar. ----- Malam yang indah tengah beratapkan bintang-bintang di langit. Bagi pasangan kekasih, keadaan seperti ini merupakan malam istimewa, masa yang tepat untuk memadu cinta. Namun, agaknya tidak bagi Abimana, mungkin. Rautnya tampak tiada bergairah. Banyak pekerjaan menanti tentu pula tak dapat diabaikan, ditambah sikap istrinya yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan. Setibanya di rumah Abimana mendapati situasi sekeliling sepi. Langkahnya yang terasa berat dituntun menuju lantai dua. Dia melepas jas sembari ingin memastikan pintu-pintu terkunci rapat. Namun, belum sampai ke spot yang dituju dia praktis mendesah pelan saat tak sengaja menyaksikan Ajeng terlelap di sofa. Cukup lama Abimana memperhatikan istrinya. Laki-laki itu berjongkok, menyingkirkan ponsel yang masih digenggam Ajeng. Senyum tipis sepintas singgah di wajahnya, sebelum dengan perlahan-lahan dia mengangkat tubuh istrinya menuju kamar mereka. Masa yang mereka lalui kala masih perkenalan dulu sungguhlah singkat. Ketertarikannya pada Ajeng sudah cukup menjadi bekal keyakinan untuk menikahi istrinya itu. Senyum Abimana mengembang bertepatan benaknya mengulang lagi pertemuan setahun silam. Tak banyak kenangan, tetapi tetap menjadi memori terindah di hatinya. Tutur kata Ajeng begitu manis, ramah juga sederhana. Segelintir pesona dari istrinya itu dan paling dia sukai. Bahkan dirinya tak punya kesempatan untuk berpikir ulang. Ketika hati bicara ... segalanya dengan sukarela memilih. Dalam hitungan bulan Abimana langsung memboyong lamaran pernikahan pada keluarga besar Ajeng. Usai mengulang adegan demi adegan tersebut, tak ayal menghadirkan senyum dan tawa di wajah Abimana. Begitu sampai di depan kamar mereka, dia membuka pintu sembari menahan bobot istrinya. Abimana merebahkan Ajeng di atas kasur. Dia lantas duduk sejenak di samping istrinya itu; menarik selimut katun di dekatnya untuk menutupi tubuh Ajeng. Abimana berniat ke kamar mandi bila saja istrinya tidak tiba-tiba menahan dia. "Mas, jangan pergi!" Ajeng berkata manja, menampakkan gurat bersedih di wajahnya. "Mas mau mandi," sahut Abimana. Dia malah kembali duduk di samping istrinya. "Mas masih marah sama Adek?" Suara Ajeng terdengar serak juga pada nada yang nyaris seperti bisikan. "Enggak. Kapan Mas marah?" "Terus, kenapa seharian ini Mas enggak kasih kabar?!" "Tadi pagi ada rapat di kantor. HP Mas ubah dalam mode silent. Rapatnya kelar, malah lupa ganti pengaturan lagi." Perkataan Abimana adalah kebenaran yang terjadi. "Biasanya Mas enggak pernah lupa. Setiap hari menelepon Adek. Kalau pun sibuk, Mas pasti sempatkan buat kirim pesan." Ajeng luapkan semua kesahnya. Air muka cemberut mewakili kecewa dan kesalnya dia sebab menunggu tadi. "Maafin Mas, ya. Di kantor lagi sibuk banget. Cabang toko di Kalimantan bakal segera dibuka. Banyak hal yang perlu Mas urus." Ajeng mengambil duduk, merapatkan diri pada suaminya. "Mas beneran enggak marah lagi sama Adek?" Menatap lekat-lekat wajah suaminya, pandangan Ajeng mengunci perhatian Abimana. Tapi, lelaki itu menanggapi sekadar lewat anggukan. "Adek rindu, Mas," rengek Ajeng sebelum dia naik ke pangkuan Abimana. Hitungan menit dia mengikis jarak di antara mereka, mendekap wajah Abimana untuk mencium mesra bibirnya. Tanpa aba-aba Ajeng merenggangkan dasi dan melepas satu persatu kancing kemeja suaminya, dengan halus memberi sentuhan menggoda di dada bidang yang tampak kokoh. Sementara, si empu yang menuai afeksi dadakan sigap meraih tangan Ajeng; menggenggamnya erat. "Kenapa jadi romantis sekali?" tanya Abimana. "Ehm ... enggak tahu. Adek pengen marah karena Mas cuekin Adek. Mas lebih memilih proyek daripada Adek." Ajeng merangkul leher Abimana, menempelkan dahi mereka. Sejauh ingatannya, dia tidak pernah tidak terpesona oleh jelaga hitam nan sendu tersebut. Itulah Satu-satunya pusat bagi seorang Ajeng Dwi Ayu. Jemari Ajeng kembali bergerak lembut, mengusap garis rahang Abimana bersamaan suaminya pun memberi ciuman di bibirnya. Namun, nyaris tak kena. Sehingga, adegan lucu sekian membuat keduanya serentak terkekeh geli. "Istri Mas nakal," lirih Abimana. "Mas juga ikutan ketawa, ih," balas Ajeng dengan nada yang manja. Tangannya diam-diam turun untuk melepas ikat pinggang. Ritsleting celana suaminya ditarik ke bawah. Ajeng lagi-lagi memantik suasana intim melalui ciuman intens. Di sisi lain Abimana memeluk erat pinggangnya. Berangsur-angsur saling membalas pagutan, jari-jari Abimana merangsang ke punggung Ajeng; melepas pengait bra lalu menyingkirkannya. "Mas, pelan-pelan, ya. Di situ kadang-kadang berdenyut. Produksi ASI." "Sakit ya, Dek?" Detik berikut Abimana mencelus, prihatin terhadap kondisi istrinya. "Sakit setiap berdenyut. Datangnya tuh enggak ketebak, Mas. Tahu-tahu aja udah nyeri." "Kasihannya istri, Mas." Abimana mendaratkan satu kecupan sayang di kening Ajeng. Suasana hangat dan mesra melingkupi keduanya. Gairah yang kian melambung menyebabkan wajah mereka turut memerah sekarang. Ajeng bungkam saat suaminya melakukan penyatuan itu. Dia hanya mampu menyembunyikan muka ke dada Abimana. "Kalau enggak nyaman bilang ya, sayang." "Mas..." Desahan Ajeng mengudara merdu. Tubuhnya turut didorong ke depan, mengikuti tarikan lembut juga betapa awas Abimana. "Mas bisa merasakan detak jantung Adek. Cepat sekali." "Adek juga enggak ngerti. Sampai sekarang Adek masih deg-degan kalau sedekat ini sama Mas." "Adek ... bisa-bisanya merayu di saat begini." "Adek serius." "Itu bukan karena bayinya 'kan, Dek?" "Bukan, Mas sayang. Adek udah konsultasi sama dokter. Aman kok kita melakukan ini, bulannya udah cukup." Ajeng melabuhkan kecupan-kecupan intens di leher jenjang suaminya. Berahi yang kepalang memuncak mengubah hawa menjadi gerah. Keduanya saling memandang penuh rasa kagum, membagi senyum mendambakan di sela-sela senggama. Abimana amat menjaga pergerakan serta ketukan dalam menggeser pinggul istrinya. Tetap dia memperhitungkan agar istrinya aman leluasa. Bibir silih bertaut, mengejar kasih dan rindu yang tertahan sepersekian jam. Ajeng lega, Abimana mengerang rendah. Pada banyak lipatan menit berputar, Abimana memeluk Ajeng erat-erat. Gairah sedia dilepaskan, menumpahkan esensinya. Jeritan kecil malu-malu pun mengiringi romantika keduanya di malam ini.Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menanga
Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
•• ༻❁༺ ••Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya. "Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng.""Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya mene
•• ༻❁༺ ••Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut. "Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok. "Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak."Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?" "Jelas banget ya, Vin?" "Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet.""Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. L
•• ༻❁༺ ••Siang ini matahari bersinar sembunyi-sembunyi. Kepingan tipis awan putih berserakan menghiasi langit. Masih dalam rutinitas serupa, Ajeng bersama Cahyani juga Olivia tengah menyelesaikan persiapan akhir untuk pesanan kue. Sesekali dia menyeka peluh di pelipisnya. "Kalau kamu mulai cape, ada baiknya pesanan dihentikan dulu beberapa hari ini. Ibu lihat semenjak hari pertama kamu terus mendapat pesanan. Kehamilan kamu perlu diperhatikan juga, Ajeng." Cahyani menasihati secara halus sambil memasukkan satu persatu kue tart mini ke dalam keranjang. "Iya, Bu. Yang Ajeng siapkan ini pesanan terakhir. Ajeng juga udah mutusin untuk enggak ambil pesanan dulu sampe minggu depan. Kasihan Oliv, Ibu. Dia ini enggak mau ngomong apa-apa, padahal sendirinya butuh istirahat. Kalau suaminya tau, mungkin Ajeng bakalan diinterogasi." "Aku cuma sedikit membantu. Lagi pula, bosan terus-menerus di rumah. Enggak ada kegiatan yang produktif kayak begini. Bikin kue bareng sama Ibu dan kamu tuh rasan
Suasana bersahaja mengiringi acara makan malam yang sunyi. Nyaringnya bunyi sendok beradu dengan piring keramik, saling bersahutan. Ajeng dan Cahyani menikmati santap mereka tanpa adanya topik rumit yang menjadi perbincangan. "Ajeng, habis makan malam Ibu pamit pulang, ya." Cahyani memberitahukan niatnya, "Kasihan ayahmu, dia kesepian karena tidak ada teman cerita. Sebulan Ibu temani kamu dan ini waktu terlama Ibu meninggalkan rumah. Ada Mumu 'kan? Keadaanmu pun baik-baik aja sekarang. Jadi, Ibu pikir tak ada lagi masalah yang mengharuskan Ibu bertahan di sini." Cahyani menuturkan hati-hati usai menghentikan sekejap suapan nasinya."Kenapa enggak besok pagi aja, Bu? Nanti minta antar sama si Budi, supir di kantornya Mas Abim. Angin malam enggak baik untuk orang tua. Kalau Ibu jatuh sakit, bagaimana?""Sebentar lagi Seto juga nyampe. Ayahmu terus menghubungi Ibu. Dia merengek supaya Ibu mau cepat-cepat pulang. Kami udah berumur, Ajeng. Kalau yang satu pergi entah ke mana, pasti yang s
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi.""Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan.""Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun.""Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan yang nama
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ ••Bunyi tubrukan sendok dan juga piring lirih meramaikan meja makan di waktu sarapan kali ini. Masih di sekitar bandara, mereka memutuskan untuk memilih salah satu restoran yang kerap ramai di jam-jam makan. Kendati, pada giliran mereka beruntung tempat itu tidak penuh seperti biasanya. "Jun, Ayah bersyukur perjalanan kalian lancar-lancar aja sampai ke sini. Gimana keadaan istrimu? Sedang hamil begitu, apa tidak mengalami mual sepanjang penerbangan.""Enggak, Yah. Walau ini kehamilan pertama, Alyssa enggak pernah menghadapi hal-hal aneh apalagi yang mengancam kesehatannya. Dia bahkan enggak ngerasain mual.""Wah, itu jarang terjadi. Kalau di sini masyarakat menyebutnya hamil kebo. Kadang ibu-ibu muda yang tengah hamil justru bisa sama sekali enggak mendapatkan kendala. Segala aktivitas jadi berlalu seperti orang-orang pada umumnya." Cahyani menyambung obrolan tersebut."Hamil kebo?!" Bunga Alyssa Chloe, menantu keluarga Wicaksono ini menyahut seketika. Tergiring rasa penasara
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya