Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.
Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menangani berbagai jenis tekstur dan volume rambut. Selain piawai menggunting dan mengolah gaya rambut, mereka juga kerap mendapatkan pujian dari pelanggan akibat keterampilan dalam mencuci rambut. Black Pearl memberi pelatihan pijat khusus untuk staf mereka. Seolah merasa belum cukup, Ajeng tak pernah usai menerima servis dari beberapa staf yang bergilir. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin. Kantung mata merupakan bagian yang paling dia perhatikan. "Aku enggak tahu sejak kapan ini muncul, mukaku jadi jelek. Kamu lihat deh, Jes!" Dengan cemberut dia memutar wajahnya menghadap Jeslyn. "Agak kelihatan, sih. Tapi enggak usah khawatir, nanti juga langsung berkurang setelah perawatan. Kamu bisa minta krim atau salep khusus untuk itu, mereka menyediakannya." Jeslyn menjawab apa adanya, sudah hafal seluk beluk dan tindakan treatment yang tersedia di salon tersebut. "Kamu yakin bisa cepat hilang? Berapa lama? Bisa besok enggak?" "Ajeng," Jeslyn mendengkus sebelum meletakkan majalah yang dia baca semula ke atas nakas di depannya. "Itu cuma kantung mata, enggak berpengaruh banget ke penampilan kamu. Kamu bisa samarkan dengan concealer juga bedak. Ya mustahil dalam sehari langsung hilang, tapi enggak pernah juga bertahan lama. Kalau kamu kelelahan atau kurang tidur, kantung mata memang bakal muncul." Menarik pernapasannya dalam-dalam, Ajeng masih betah cemberut. "Aku selalu begadang dalam beberapa hari ini. Pantesan mataku menghitam, jelek banget, ih." Ajeng mencebik, merasa sungguh risi atas fenomena alami yang terjadi pada wajahnya. "Kamu sibuk apa sampe begadang begitu?! Biasanya juga tinggal tidur dan makan doang. Istri konglomerat yang dipenuhi kegabutan." "Jaga mulutmu, Jes! Bisa-bisanya mengata-ngatai sendiri." Ajeng melirik sinis. "Iya, iya, maaf." Jeslyn spontan mendengkus jemu, malas juga memperpanjang percakapan tidak penting demikian. "Aku heran, kenapa dua makhluk nyebelin itu belum juga datang?" Namun, Jeslyn tidak akan berhenti memerankan sosok penggerutu. "Mungkin masih sibuk." "Enggak deh kayaknya. Aku udah memastikan sebelum mengajak mereka ketemu di sini—aku telepon Lisa dulu." Persis Jeslyn yang dikenal, dia berdecak jangka seseorang menyambut salamnya di seberang sana. ----- "Pak, ini berkas semalam. Anda belum mengeceknya? Saya lihat belum ditandatangani." Dimas buru-buru datang setelah Abimana memanggilnya. "Dim, persiapanmu gimana? Minggu nanti kita berangkat ke Kalimantan." Abimana mengumumkan selagi mengamati ulang laporan hasil rapat tempo hari. "Udah, Pak. Saya siap pergi kapanpun diminta," kata Dimas. Jiwanya masih sungguh bersemangat. "Spirit anak muda memang beda, ya?!" "Saya seneng banget, Pak. Lumayan, bisa sekalian keliling kalau pekerjaan udah selesai." "Semua tergantung kapabilitas kamu. Bekerja efektif bisa berefek mempersingkat waktu produktif, sisanya bebas-bebas aja jika mau digunakan untuk rencana pribadi." Abimana menyeringai tipis seraya menutup laporan yang lulus pemeriksaan dan menggesernya agak ke tepi meja. "Saya mengerti, Pak. Saya pasti akan bekerja sebaik mungkin agar Bapak enggak menyesal memberi kesempatan kepada saya." Seringai Abimana selalu menyejukkan di mata, seakan siapapun menemukan keteduhan pada tatapannya. ----- "Aku enggak menyangka akhirnya kamu mendapatkan peran itu, Gis." "Semua berkat Lisa, Jes. Dia yang mengurus segalanya, bahkan dia juga yang temani aku ke kantor agensi," jawab Gisca seadanya dengan mata terpejam selagi menikmati pijat relaksasi pada kaki-kakinya. "Selamat, ya. Kamu makin dekat sama mimpi-mimpi kamu," sambung Jeslyn lagi. "Mimpi apa?" Ajeng bergabung ke percakapan saat dia sendiri sedang mengagumi transformasi rambutnya. Wajahnya tampak berubah. Dan itu menyebabkan dia berbinar-binar puas. Dia makin cantik setelah ujung-ujung rambutnya dibuat bergelombang. Di samping Ajeng, Jeslyn mendesah pelan sebelum berkata, "Kamu ini bagaimana sih? Memangnya untuk apa dia pergi ke kantor agensi?" "Serius, Gis? Jadi, sekarang kamu artis dong?!" Ajeng bertanya santai. Namun, dengan nada terdengar antusias seakan dia memang tertarik. "Sudahlah, aku malas membicarakan itu. Lebih baik kita bahas liburan besok. Kalian enggak berubah pikiran 'kan? Kalau jadi, besok pagi-pagi kita harus sudah berangkat. Daripada--" "Aku enggak bisa kalau menginap." Ajeng menyela, menampakkan kesungguhan di bola matanya. Kali ini dia enggan menuruti dengan mudah ajakan teman-temannya lagi jika hal itu justru bisa memicu kemarahan suaminya. "Mendingan menginapnya dibatalkan aja, sore kita pulang. Aku juga enggak bisa, minggunya ada pertemuan dengan kepala agensi." Lipatan detik sekian, Ajeng kontan mendesah lega. Satu suara berada di sisinya. Dia sangat senang mengetahui hal ini. Tidak harus membatalkan jalan-jalan, dia pun bisa berlibur dengan perasaan tenang. "Masa enggak menginap?" Ada yang gembira, tentu ada pula yang kecewa. Lisa salah satunya. Dia telanjur membayangkan kegembiraan yang bakal dikenang dalam liburan itu. Entah apa rencana perempuan ini, "Kalian tidak asyik, padahal aku pikir kita bisa seru-seruan sampai puas." "Aku bahkan belum tahu harus bilang apa ke suami aku. Dia enggak mungkin beri izin kalau perginya ke tempat jauh." Ajeng mengungkap sedikit kegelisahannya, agak putus asa. "Kayaknya berat buat aku untuk pergi ke vila." "Nyebelin juga ya suami kamu. Kamu itu perlu bebas, aku cape mendengar alasanmu yang terus-terusan sama, Ajeng. Memangnya kamu bakal kenapa sih misal pergi bareng kita? Ada yang culik, begitu? Berlebihan banget." Akhirnya Jeslyn emosi. Dia cenderung bosan akibat sering mendapati sikap manja Ajeng yang sangat kelihatan bergantung kepada suaminya. "Bukan diculik, Jes. Suaminya takut terjadi apa-apa ke si Ajeng. Kalian tahu 'kan Ajeng itu permaisurinya dia, enggak boleh ada goresan sedikit pun." Bergantian Lisa yang mencibir. "Jujur aja ya, Jeng, aku enggak bisa berkata apa-apa lagi. Semua keputusan ada di tangan kamu. Kami juga enggak mau jadi kambing hitam nantinya," tegas Lisa selanjutnya. Dia ingin memperjelas situasi bahwa di sini mereka tak lagi bersedia untuk mengalah kepada Ajeng. Semuanya harus sesuai dengan rencana yang mereka siapkan. "Kita udah ikuti mau kamu dengan ngebatalin acara menginapnya. Terus, untuk izinpun kami harus andil juga?! Ogah gue!" Kelihatan di hari ini Lisa lebih memperlihatkan kekesalannya, berbeda dari tempo hari. Lantas, semua penuturan itu menyebabkan Ajeng kian bimbang. "Aku pikirin dulu caranya. Ya semoga suasana hati Mas Abim lagi bagus, biar ngomongnya juga enak." "Terserah aja. Pokoknya kami bertiga enggak mau ikut campur." Cukup menohok ucapan tersebut, Jeslyn ucapkan dengan ekspresi acuh tak acuh. ----- Dinginnya malam mendorong sejoli ini saling mendekap dengan posesif, mereka berbagi kehangatan. Salah satu keadaan yang paling Ajeng sukai ialah setiap ada kesempatan berdua dan dia dapat leluasa menempel sesuka hati ke tubuh Abimana. "Mas ..." Suara Ajeng mendayu rendah seperti yang kerap menyapa telinga Abimana; disambut gumam pelan dari lelaki itu. "Teman Adek mengadakan pesta di vila pribadinya, dia mengundang Adek tadi siang. Wajib datang, katanya. Kalau enggak, dia bakal marah ke Adek. Soalnya dia ini salah satu teman dekat Adek, teman nongkrong. Makanya, dia berharap banget Adek datang." "Enggak bisa, sayang. Hari minggu Mas berangkat ke Kalimantan." "Ehm... Tapi, Adek perginya sendiri kok. Maksudnya, ini pesta khusus buat perempuan. Mereka enggak ada yang mengajak pasangannya, Mas." Ajeng putuskan bercerita terang-terangan, daripada mengelabui yang barangkali berdampak parah di belakang kelak. "Dek, bisa 'kan kali ini Masnya yang didengar? Mas enggak mungkin ngebiarin Adek jauh dari pengawasan, Mas. Kalau cuma ke mal, duduk-duduk di kafe atau resto, Mas bisa pertimbangkan. Ini ke vila? Semisal di sana terjadi apa-apa?! Dan kalian perempuan semua, siapa yang mampu membantu? Tolong pahami Mas, sayang. Demi kebaikan Adek, Mas dan calon anak kita. Buat kedamaian kita, bukan untuk orang lain." "Tapi, Mas ... Adek udah bilang iya." "Udah malam. Tidur, sayang." Jawaban mutlak oleh Abimana seiring turun satu kecupan hangat di pelipis Ajeng.Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
•• ༻❁༺ ••Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya. "Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng.""Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya mene
•• ༻❁༺ ••Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut. "Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok. "Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak."Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?" "Jelas banget ya, Vin?" "Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet.""Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. L
•• ༻❁༺ •• Ketika laun-laun mentari pergi ke peraduannya, terpancang pula keindahan langit berhiaskan semburat lukisan jingga. Pesona sore seakan turut membingkai kesunyian Abimana Abrisam. Dia termenung seraya menatap kemegahan cakrawala, diam memikirkan sang istri tercinta yang saat ini berada di rumah. Ajeng, Ajeng Dwi Ayu; ialah wanita istimewa dengan segala kecantikan yang dia miliki. Mata bulat, kulit putih nan mulus, juga rambut hitam yang panjang dan halus, sungguh menawan untuk dipandang. Ajeng telah seutuhnya memengaruhi pikiran Abimana. Pria itu tengah mengulang kembali peristiwa bahagia tahun lalu kala dia dan Ajeng melangsungkan ijab kabul di depan orang tua mereka dan juga sanak saudara yang hadir. Menjelang setahun pernikahan mereka, kebahagiaan sejoli tersebut akhirnya terlengkapi. Kehamilan Ajeng merupakan hadiah terbaik di sepanjang usia Abimana. Dia bahkan telah menyusun dan mempersiapkan hari khusus demi menanti kelahiran si buah hati.
•• ༻❁༺ •• Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya. "Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka. "Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis." "Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi." "Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan." "Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca. "Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menye
Abimana membubuhkan goresan pena di halaman terakhir proposal, menandakan tugasnya dalam mengecek berkas-berkas itu pun tuntas. "Masuklah!" seru pria ini saat mendengar ketukan pintu dari balik ruangannya. "Pak, ini kopi Anda. Satu jam lagi Tuan Lim akan tiba. Beliau bilang ingin menemui anda untuk membicarakan demo produk di cabang di Kalimantan." Diana/sekretarisnya menuturkan. "Saya sudah baca e-mail yang dia kirim. Tolong kamu siapkan semuanya, ya." "Baik, Pak." Diana membungkuk sopan sebelum meninggalkan atasannya itu. Embusan napasnya terdengar berat, Abimana tampak lesu kali ini. Padatnya jadwal pertemuan bisnis dan proyek yang harus dituntaskan membuat dia berangsur-angsur merasakan jenuh. Usai merapikan lagi berkas-berkas yang sudah rampung diperiksa, dia mengangkat gagang telepon di sisi kanannya. "Dimas, tolong ke ruangan saya sekarang. Saya sudah baca semua proposal yang kamu kirim kemarin." Lima menit berikutnya pria jangkung tersebut sudah muncul, bergeg
•• ༻❁༺ ••Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut. "Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok. "Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak."Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?" "Jelas banget ya, Vin?" "Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet.""Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. L
•• ༻❁༺ ••Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya. "Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng.""Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya mene
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menanga
Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang. "Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturny
Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah. "Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya." "Mas Abim udah pulang?" "Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya. "Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu." "Baik, Bu," sahut Mumu. Di dalam kamar Ajeng
Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya. "Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "Silakan kalian bermimpi se