Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.
Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menangani berbagai jenis tekstur dan volume rambut. Selain piawai menggunting dan mengolah gaya rambut, mereka juga kerap mendapatkan pujian dari pelanggan akibat keterampilan dalam mencuci rambut. Black Pearl memberi pelatihan pijat khusus untuk staf mereka. Seolah merasa belum cukup, Ajeng tak pernah usai menerima servis dari beberapa staf yang bergilir. Dia menatap pantulan wajahnya dari cermin. Kantung mata merupakan bagian yang paling dia perhatikan. "Aku enggak tahu sejak kapan ini muncul, mukaku jadi jelek. Kamu lihat deh, Jes!" Dengan cemberut dia memutar wajahnya menghadap Jeslyn. "Agak kelihatan, sih. Tapi enggak usah khawatir, nanti juga langsung berkurang setelah perawatan. Kamu bisa minta krim atau salep khusus untuk itu, mereka menyediakannya." Jeslyn menjawab apa adanya, sudah hafal seluk beluk dan tindakan treatment yang tersedia di salon tersebut. "Kamu yakin bisa cepat hilang? Berapa lama? Bisa besok enggak?" "Ajeng," Jeslyn mendengkus sebelum meletakkan majalah yang dia baca semula ke atas nakas di depannya. "Itu cuma kantung mata, enggak berpengaruh banget ke penampilan kamu. Kamu bisa samarkan dengan concealer juga bedak. Ya mustahil dalam sehari langsung hilang, tapi enggak pernah juga bertahan lama. Kalau kamu kelelahan atau kurang tidur, kantung mata memang bakal muncul." Menarik pernapasannya dalam-dalam, Ajeng masih betah cemberut. "Aku selalu begadang dalam beberapa hari ini. Pantesan mataku menghitam, jelek banget, ih." Ajeng mencebik, merasa sungguh risi atas fenomena alami yang terjadi pada wajahnya. "Kamu sibuk apa sampe begadang begitu?! Biasanya juga tinggal tidur dan makan doang. Istri konglomerat yang dipenuhi kegabutan." "Jaga mulutmu, Jes! Bisa-bisanya mengata-ngatai sendiri." Ajeng melirik sinis. "Iya, iya, maaf." Jeslyn spontan mendengkus jemu, malas juga memperpanjang percakapan tidak penting demikian. "Aku heran, kenapa dua makhluk nyebelin itu belum juga datang?" Namun, Jeslyn tidak akan berhenti memerankan sosok penggerutu. "Mungkin masih sibuk." "Enggak deh kayaknya. Aku udah memastikan sebelum mengajak mereka ketemu di sini—aku telepon Lisa dulu." Persis Jeslyn yang dikenal, dia berdecak jangka seseorang menyambut salamnya di seberang sana. ----- "Pak, ini berkas semalam. Anda belum mengeceknya? Saya lihat belum ditandatangani." Dimas buru-buru datang setelah Abimana memanggilnya. "Dim, persiapanmu gimana? Minggu nanti kita berangkat ke Kalimantan." Abimana mengumumkan selagi mengamati ulang laporan hasil rapat tempo hari. "Udah, Pak. Saya siap pergi kapanpun diminta," kata Dimas. Jiwanya masih sungguh bersemangat. "Spirit anak muda memang beda, ya?!" "Saya seneng banget, Pak. Lumayan, bisa sekalian keliling kalau pekerjaan udah selesai." "Semua tergantung kapabilitas kamu. Bekerja efektif bisa berefek mempersingkat waktu produktif, sisanya bebas-bebas aja jika mau digunakan untuk rencana pribadi." Abimana menyeringai tipis seraya menutup laporan yang lulus pemeriksaan dan menggesernya agak ke tepi meja. "Saya mengerti, Pak. Saya pasti akan bekerja sebaik mungkin agar Bapak enggak menyesal memberi kesempatan kepada saya." Seringai Abimana selalu menyejukkan di mata, seakan siapapun menemukan keteduhan pada tatapannya. ----- "Aku enggak menyangka akhirnya kamu mendapatkan peran itu, Gis." "Semua berkat Lisa, Jes. Dia yang mengurus segalanya, bahkan dia juga yang temani aku ke kantor agensi," jawab Gisca seadanya dengan mata terpejam selagi menikmati pijat relaksasi pada kaki-kakinya. "Selamat, ya. Kamu makin dekat sama mimpi-mimpi kamu," sambung Jeslyn lagi. "Mimpi apa?" Ajeng bergabung ke percakapan saat dia sendiri sedang mengagumi transformasi rambutnya. Wajahnya tampak berubah. Dan itu menyebabkan dia berbinar-binar puas. Dia makin cantik setelah ujung-ujung rambutnya dibuat bergelombang. Di samping Ajeng, Jeslyn mendesah pelan sebelum berkata, "Kamu ini bagaimana sih? Memangnya untuk apa dia pergi ke kantor agensi?" "Serius, Gis? Jadi, sekarang kamu artis dong?!" Ajeng bertanya santai. Namun, dengan nada terdengar antusias seakan dia memang tertarik. "Sudahlah, aku malas membicarakan itu. Lebih baik kita bahas liburan besok. Kalian enggak berubah pikiran 'kan? Kalau jadi, besok pagi-pagi kita harus sudah berangkat. Daripada--" "Aku enggak bisa kalau menginap." Ajeng menyela, menampakkan kesungguhan di bola matanya. Kali ini dia enggan menuruti dengan mudah ajakan teman-temannya lagi jika hal itu justru bisa memicu kemarahan suaminya. "Mendingan menginapnya dibatalkan aja, sore kita pulang. Aku juga enggak bisa, minggunya ada pertemuan dengan kepala agensi." Lipatan detik sekian, Ajeng kontan mendesah lega. Satu suara berada di sisinya. Dia sangat senang mengetahui hal ini. Tidak harus membatalkan jalan-jalan, dia pun bisa berlibur dengan perasaan tenang. "Masa enggak menginap?" Ada yang gembira, tentu ada pula yang kecewa. Lisa salah satunya. Dia telanjur membayangkan kegembiraan yang bakal dikenang dalam liburan itu. Entah apa rencana perempuan ini, "Kalian tidak asyik, padahal aku pikir kita bisa seru-seruan sampai puas." "Aku bahkan belum tahu harus bilang apa ke suami aku. Dia enggak mungkin beri izin kalau perginya ke tempat jauh." Ajeng mengungkap sedikit kegelisahannya, agak putus asa. "Kayaknya berat buat aku untuk pergi ke vila." "Nyebelin juga ya suami kamu. Kamu itu perlu bebas, aku cape mendengar alasanmu yang terus-terusan sama, Ajeng. Memangnya kamu bakal kenapa sih misal pergi bareng kita? Ada yang culik, begitu? Berlebihan banget." Akhirnya Jeslyn emosi. Dia cenderung bosan akibat sering mendapati sikap manja Ajeng yang sangat kelihatan bergantung kepada suaminya. "Bukan diculik, Jes. Suaminya takut terjadi apa-apa ke si Ajeng. Kalian tahu 'kan Ajeng itu permaisurinya dia, enggak boleh ada goresan sedikit pun." Bergantian Lisa yang mencibir. "Jujur aja ya, Jeng, aku enggak bisa berkata apa-apa lagi. Semua keputusan ada di tangan kamu. Kami juga enggak mau jadi kambing hitam nantinya," tegas Lisa selanjutnya. Dia ingin memperjelas situasi bahwa di sini mereka tak lagi bersedia untuk mengalah kepada Ajeng. Semuanya harus sesuai dengan rencana yang mereka siapkan. "Kita udah ikuti mau kamu dengan ngebatalin acara menginapnya. Terus, untuk izinpun kami harus andil juga?! Ogah gue!" Kelihatan di hari ini Lisa lebih memperlihatkan kekesalannya, berbeda dari tempo hari. Lantas, semua penuturan itu menyebabkan Ajeng kian bimbang. "Aku pikirin dulu caranya. Ya semoga suasana hati Mas Abim lagi bagus, biar ngomongnya juga enak." "Terserah aja. Pokoknya kami bertiga enggak mau ikut campur." Cukup menohok ucapan tersebut, Jeslyn ucapkan dengan ekspresi acuh tak acuh. ----- Dinginnya malam mendorong sejoli ini saling mendekap dengan posesif, mereka berbagi kehangatan. Salah satu keadaan yang paling Ajeng sukai ialah setiap ada kesempatan berdua dan dia dapat leluasa menempel sesuka hati ke tubuh Abimana. "Mas ..." Suara Ajeng mendayu rendah seperti yang kerap menyapa telinga Abimana; disambut gumam pelan dari lelaki itu. "Teman Adek mengadakan pesta di vila pribadinya, dia mengundang Adek tadi siang. Wajib datang, katanya. Kalau enggak, dia bakal marah ke Adek. Soalnya dia ini salah satu teman dekat Adek, teman nongkrong. Makanya, dia berharap banget Adek datang." "Enggak bisa, sayang. Hari minggu Mas berangkat ke Kalimantan." "Ehm... Tapi, Adek perginya sendiri kok. Maksudnya, ini pesta khusus buat perempuan. Mereka enggak ada yang mengajak pasangannya, Mas." Ajeng putuskan bercerita terang-terangan, daripada mengelabui yang barangkali berdampak parah di belakang kelak. "Dek, bisa 'kan kali ini Masnya yang didengar? Mas enggak mungkin ngebiarin Adek jauh dari pengawasan, Mas. Kalau cuma ke mal, duduk-duduk di kafe atau resto, Mas bisa pertimbangkan. Ini ke vila? Semisal di sana terjadi apa-apa?! Dan kalian perempuan semua, siapa yang mampu membantu? Tolong pahami Mas, sayang. Demi kebaikan Adek, Mas dan calon anak kita. Buat kedamaian kita, bukan untuk orang lain." "Tapi, Mas ... Adek udah bilang iya." "Udah malam. Tidur, sayang." Jawaban mutlak oleh Abimana seiring turun satu kecupan hangat di pelipis Ajeng.Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
•• ༻❁༺ ••Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya. "Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng.""Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya mene
•• ༻❁༺ ••Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut. "Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok. "Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak."Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?" "Jelas banget ya, Vin?" "Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet.""Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. L
•• ༻❁༺ ••Siang ini matahari bersinar sembunyi-sembunyi. Kepingan tipis awan putih berserakan menghiasi langit. Masih dalam rutinitas serupa, Ajeng bersama Cahyani juga Olivia tengah menyelesaikan persiapan akhir untuk pesanan kue. Sesekali dia menyeka peluh di pelipisnya. "Kalau kamu mulai cape, ada baiknya pesanan dihentikan dulu beberapa hari ini. Ibu lihat semenjak hari pertama kamu terus mendapat pesanan. Kehamilan kamu perlu diperhatikan juga, Ajeng." Cahyani menasihati secara halus sambil memasukkan satu persatu kue tart mini ke dalam keranjang. "Iya, Bu. Yang Ajeng siapkan ini pesanan terakhir. Ajeng juga udah mutusin untuk enggak ambil pesanan dulu sampe minggu depan. Kasihan Oliv, Ibu. Dia ini enggak mau ngomong apa-apa, padahal sendirinya butuh istirahat. Kalau suaminya tau, mungkin Ajeng bakalan diinterogasi." "Aku cuma sedikit membantu. Lagi pula, bosan terus-menerus di rumah. Enggak ada kegiatan yang produktif kayak begini. Bikin kue bareng sama Ibu dan kamu tuh rasan
Suasana bersahaja mengiringi acara makan malam yang sunyi. Nyaringnya bunyi sendok beradu dengan piring keramik, saling bersahutan. Ajeng dan Cahyani menikmati santap mereka tanpa adanya topik rumit yang menjadi perbincangan. "Ajeng, habis makan malam Ibu pamit pulang, ya." Cahyani memberitahukan niatnya, "Kasihan ayahmu, dia kesepian karena tidak ada teman cerita. Sebulan Ibu temani kamu dan ini waktu terlama Ibu meninggalkan rumah. Ada Mumu 'kan? Keadaanmu pun baik-baik aja sekarang. Jadi, Ibu pikir tak ada lagi masalah yang mengharuskan Ibu bertahan di sini." Cahyani menuturkan hati-hati usai menghentikan sekejap suapan nasinya."Kenapa enggak besok pagi aja, Bu? Nanti minta antar sama si Budi, supir di kantornya Mas Abim. Angin malam enggak baik untuk orang tua. Kalau Ibu jatuh sakit, bagaimana?""Sebentar lagi Seto juga nyampe. Ayahmu terus menghubungi Ibu. Dia merengek supaya Ibu mau cepat-cepat pulang. Kami udah berumur, Ajeng. Kalau yang satu pergi entah ke mana, pasti yang s
•• ༻❁༺ ••Pagi cerah sedang menyapa dengan kilau cahaya mentari dibarengi merdunya kicau burung-burung kecil di atas ranting pepohonan. Hunian mewah seperti kediaman Abimana Abrisam adalah idaman setiap pasangan menikah. Bagian konsep dari desain ruangan di dalam gedung beserta halaman sekitarnya ditata dengan pemikiran bernilai artistik alam. Ajeng menyingkap tirai biru tunggal yang menutupi jendela luas di kamar mereka; menggeser kacanya agar dia dapat menghirup segar dan bersihnya udara pagi. Kedua lengan direnggangkan demi melemaskan otot-otot yang kaku akibat berbaring semalaman.Serta merta Ajeng terkesiap ketika sepasang tangan kokoh membungkus pinggangnya erat dari belakang. Dia menoleh hanya untuk menemukan seringai tipis yang sayangnya begitu menggoda dipandang."Mas, Adek kaget tau! Kayak enggak ada jejak kakinya.""Adek ketinggalan, sih. Mas bisa merayap juga sekarang. Kadang merayap, kadang melayang, terserah Adek senangnya yang mana.""Dasar!" seru Ajeng dini kepalan ta
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi.""Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan.""Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun.""Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan yang nama
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ ••Bunyi tubrukan sendok dan juga piring lirih meramaikan meja makan di waktu sarapan kali ini. Masih di sekitar bandara, mereka memutuskan untuk memilih salah satu restoran yang kerap ramai di jam-jam makan. Kendati, pada giliran mereka beruntung tempat itu tidak penuh seperti biasanya. "Jun, Ayah bersyukur perjalanan kalian lancar-lancar aja sampai ke sini. Gimana keadaan istrimu? Sedang hamil begitu, apa tidak mengalami mual sepanjang penerbangan.""Enggak, Yah. Walau ini kehamilan pertama, Alyssa enggak pernah menghadapi hal-hal aneh apalagi yang mengancam kesehatannya. Dia bahkan enggak ngerasain mual.""Wah, itu jarang terjadi. Kalau di sini masyarakat menyebutnya hamil kebo. Kadang ibu-ibu muda yang tengah hamil justru bisa sama sekali enggak mendapatkan kendala. Segala aktivitas jadi berlalu seperti orang-orang pada umumnya." Cahyani menyambung obrolan tersebut."Hamil kebo?!" Bunga Alyssa Chloe, menantu keluarga Wicaksono ini menyahut seketika. Tergiring rasa penasara
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya