•• ༻❁༺ ••Pagi cerah sedang menyapa dengan kilau cahaya mentari dibarengi merdunya kicau burung-burung kecil di atas ranting pepohonan. Hunian mewah seperti kediaman Abimana Abrisam adalah idaman setiap pasangan menikah. Bagian konsep dari desain ruangan di dalam gedung beserta halaman sekitarnya ditata dengan pemikiran bernilai artistik alam. Ajeng menyingkap tirai biru tunggal yang menutupi jendela luas di kamar mereka; menggeser kacanya agar dia dapat menghirup segar dan bersihnya udara pagi. Kedua lengan direnggangkan demi melemaskan otot-otot yang kaku akibat berbaring semalaman.Serta merta Ajeng terkesiap ketika sepasang tangan kokoh membungkus pinggangnya erat dari belakang. Dia menoleh hanya untuk menemukan seringai tipis yang sayangnya begitu menggoda dipandang."Mas, Adek kaget tau! Kayak enggak ada jejak kakinya.""Adek ketinggalan, sih. Mas bisa merayap juga sekarang. Kadang merayap, kadang melayang, terserah Adek senangnya yang mana.""Dasar!" seru Ajeng dini kepalan ta
•• ༻❁༺ ••Ini tampak lebih baik saat mendapati Ajeng tengah menyibukkan dirinya di dapur bersama peralatan memasak. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi di mana suasana pun hampir terang di luar sana. Spatula diayun gesit dengan kedua tangannya, mengaduk-aduk nasi goreng seafood kesukaan suaminya dengan ekstra sambal dan kacang polong. Abimana si penyuka makanan pedas tak biasa menolak bahan pendamping lainnya asalkan terasa cocok di lidahnya. Apalagi dia begitu menikmati beragam makanan yang pernah dimasak istrinya tersebut."Rajinnya istri Mas--" Seperti hobi dia yang sudah-sudah, memeluk dari belakang bukanlah hal baru di antara mereka. Abimana tahu-tahu menghampiri Ajeng ke dapur usai mempersiapkan dirinya dalam setelan kantor. "Loh, kok udah bangun, Mas?" Ajeng melirik ke samping, menemukan wajah suaminya bersandar di pundak dia sambil memejamkan mata. "Adek pikir Mas libur. Maaf, ya. Kalau tahu Mas kerja, Adek siapkan dulu tadi jasnya.""Mas juga maunya libur sebentar, entah
•• ༻❁༺ ••Abimana memutuskan pulang lebih awal begitu tau di kawasan Kuningan sedang berlangsung Street Food Festival. Inginnya dia mengajak Ajeng sejak pagi tadi, andai pekerjaan di kantor tak menuntut dia untuk duduk bergelung lebih lama dengan berkas laporan. "Istri saya suka jelajah kuliner. Hobinya jajan dan makan enak.""Bukannya Bapak juga? Malah lebih parah kayaknya." Dimas menanggapi sambil pria ini merapikan lembar demi lembaran kertas yang akan dia klip nanti. Ada laporan bulanan yang telah ditandatangani Abimana dari setiap kelompok divisi perusahaan. "Sepertinya itu yang bikin saya dan Ajeng berjodoh.""Bukan sepertinya, Pak. Tapi, memang semestinya." Baik Abimana maupun Dimas sekadar menggulir senyuman seiring pergerakan tetap fokus pada aktivitas masing-masing. Abimana mulai mengemasi barang-barang di meja kerjanya. "Kamu enggak pergi ke Kuningan, Dim?!""Belum tahu, Pak. Kurang asyik kalau pergi sendirian.""Makanya cari pasangan. Betah banget kamu single lama-lama.
•• ༻❁༺ ••Setibanya di festival, Ajeng langsung berencana ingin membeli es buah. Walau sedang musim penghujan, siang hari di Ibu Kota masih tetap terasa panas. "Mas mau rasa apa?""Buat Mas jus semangka aja.""Ibu, saya jus semangkanya satu, es buahnya satu.""Sebentar, ya." Si ibu penjual menyahut ramah. Tidak kehilangan daya untuk tersenyum di tengah kerumunan pembeli. Untungnya mereka mau mengantre dengan sabar, tidak akan memakan waktu lama saat si ibu penjual dan tiga orang rekannya tampak cekatan memenuhi segala macam pesanan pengunjung. "Mbaknya cantik, mirip artis Korea.""Aduh, si ibu bisa aja. Saya jadi malu." Ajeng hampir cengengesan di sana andai tak menyadari sekelilingnya benar-benar ramai. "Saya suka menonton drama Korea. Ceritanya bagus-bagus, pemainnya juga cakep-cakep." Tangan si ibu bekerja di sela dia mengajak Ajeng mengobrol ringan. "Tapi, mbak ini asli mana?""Saya lahir di Surabaya, Bu. Tapi, udah cukup lama menetap di Jakarta.""Wah, pangling sekali wajahnya.
•• ༻❁༺ ••Ajeng dan Abimana baru pergi dari kios baso malang usai menghabiskan masing-masing satu mangkok serta sepiring nasi. Tetapi, Ajeng masih bersemangat untuk berburu jajanan kesukaan dia. Seperti saat ini di mana dia menggeret pelan lengan Abimana menuju stand yang menyajikan kue-kue tradisional, ditata apik di etalase, beragam warna/bentuk juga yang pasti dengan cita rasa berbeda. "Mereka jual klepon sama lupis enggak, ya?""Tanya aja, Dek.""Adek kangen rasanya karena emang jarang beli. Kalau ngeliat ibu makan tuh kok jadi pengen juga, legit manis katanya.""Coba ditanya dulu. Biasanya mereka sediakan apa-apa yang sesuai sama banner promosinya," sahut Abimana begitu mereka sudah berada di depan stand yang menjual kue-kue tradisional tadi."Pak, di sini ada lupis?""Ada, Neng! Ada." Ajeng praktis mengembangkan senyumnya gara-gara jawaban si bapak penjual. "Mau berapa?""Ehm, empat aja boleh?""Berapa aja pun bisa." Si Bapak menanggapinya sambil tangan membungkus lupis pesanan
•• ༻❁༺ ••"Adek masih kuat jalan, enggak? Rencananya mau belanja ke mal lagi 'kan?""Lain kali aja deh, Mas. Enggak apa-apa, ya. Kaki Adek pegal-pegal rasanya, kepingin rebahan di rumah."Keduanya memutuskan berpisah dari pasangan Lim setelah cukup lama bercengkerama sambil menikmati makanan dan minuman khas India di stand sebelumnya. Ajeng masih betah menggandeng lengan Abimana sambil sesekali kentara pernapasannya terbuang berat. "Jadi, ini kita langsung pulang?""Iya, Mas. Pulang aja. Tapi, kita mampir dulu ke stand gorengan sama es campur tadi. Adek mau beliin buat Mumu di rumah.""Ya udah. Adek enggak mau jajan lagi sekalian buat camilan di rumah?""Enaknya apa ya, Mas? Jangan gorengan, tapi yang bisa buat dimakan nanti maksud Adek.""Apa dong kira-kira?""Loh, 'kan Adek tanya, Mas." "Bubur mau? Atau kue-kue tradisional? Itu bisa disimpan dulu di kulkas. Kapan Adek mau makan, minta tolong Mumu buat dihangatkan.""Iya, Adek mau--esnya boleh juga, Mas?!""Beli yang Adek mau. Mas a
•• ༻❁༺ •• Pagi yang tampak sibuk di hari ini. Pukul sembilan tepat Ajeng dan Mumu baru saja kembali dari berbelanja bahan baku pembuatan kue. Seluruhnya diletakkan di permukaan meja untuk dirapikan ke tempat-tempat penyimpanan yang semestinya. "Kamar tamu di atas jadi kamu bersihin?" Sembari menyortir barang-barang beliannya, Ajeng pun bertanya. "Udah, Bu." "Dua-duanya 'kan?" "Saya juga mengubah tatanan barang-barangnya seperti yang Ibu bilang." "Iya, kamar yang itu rencananya untuk ditempati Kak Juna. Semuanya harus keliatan serasi dan nyambung. Sisi perfeksionisnya itu terkadang bikin repot. Tapi, di baliknya dia cukup tenang dan sangat menghargai usaha orang lain. Makasih ya, Mu. Akhir pekan aku kasih bonus." "Enggak usah, Bu. Apa yang Ibu perintahkan memang merupakan bagian dari tugas saya." "Jangan sungkan begitu! Kamu kerja sama aku hampir dua tahun 'kan? Seharusnya bisa lebih leluasa. Aku suka kepribadian dan cara kerja kamu, Mu." "Saya juga senang kerja di sini
•• ༻❁༺ ••"Enggak kebas apa, Dek? Lumayan bengkak ini kakinya." "Baru terasa sekarang, Mas. Tadinya aman-aman aja." "Ini Adek mesti stop terima orderan kue. Mas takut kalau dipaksa jalan atau bergerak banyak, malah dampaknya makin enggak enak ke Adek. Libur dulu ya bikin-bikin kuenya?" "Sayang, Mas. Menjelang Ramadhan begini justru bakal banjir pesanan. Adek memang belum buka orderannya. Tapi, info dari Olivia kemarin, banyak kenalan juga tetangga dia yang rencananya mau coba kue buatan Adek--menurut Mas bagaimana? Masa kesempatan baik seperti ini dilepas?!" Tetap dengan penuh perhitungan tangan Abimana mengurut betis ke tapak tungkai Ajeng. Obrolan tak pula mengusik konsentrasinya terhadap bengkak yang tampak di punggung kaki istrinya tersebut. "Mas mengingatkan Adek pun bukan tanpa alasan. Kakinya mulai bengkak. Pasti sakit dibawa mondar-mandir. Minimal mengurangi aktivitas yang memakan waktu lama biar enggak menjadi-jadi bengkaknya. Udah ada ibu dan ayah di rumah buat teman c
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi.""Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan.""Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun.""Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan yang nama
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ ••Bunyi tubrukan sendok dan juga piring lirih meramaikan meja makan di waktu sarapan kali ini. Masih di sekitar bandara, mereka memutuskan untuk memilih salah satu restoran yang kerap ramai di jam-jam makan. Kendati, pada giliran mereka beruntung tempat itu tidak penuh seperti biasanya. "Jun, Ayah bersyukur perjalanan kalian lancar-lancar aja sampai ke sini. Gimana keadaan istrimu? Sedang hamil begitu, apa tidak mengalami mual sepanjang penerbangan.""Enggak, Yah. Walau ini kehamilan pertama, Alyssa enggak pernah menghadapi hal-hal aneh apalagi yang mengancam kesehatannya. Dia bahkan enggak ngerasain mual.""Wah, itu jarang terjadi. Kalau di sini masyarakat menyebutnya hamil kebo. Kadang ibu-ibu muda yang tengah hamil justru bisa sama sekali enggak mendapatkan kendala. Segala aktivitas jadi berlalu seperti orang-orang pada umumnya." Cahyani menyambung obrolan tersebut."Hamil kebo?!" Bunga Alyssa Chloe, menantu keluarga Wicaksono ini menyahut seketika. Tergiring rasa penasara
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya