•• ༻❁༺ ••Abimana memutuskan pulang lebih awal begitu tau di kawasan Kuningan sedang berlangsung Street Food Festival. Inginnya dia mengajak Ajeng sejak pagi tadi, andai pekerjaan di kantor tak menuntut dia untuk duduk bergelung lebih lama dengan berkas laporan. "Istri saya suka jelajah kuliner. Hobinya jajan dan makan enak.""Bukannya Bapak juga? Malah lebih parah kayaknya." Dimas menanggapi sambil pria ini merapikan lembar demi lembaran kertas yang akan dia klip nanti. Ada laporan bulanan yang telah ditandatangani Abimana dari setiap kelompok divisi perusahaan. "Sepertinya itu yang bikin saya dan Ajeng berjodoh.""Bukan sepertinya, Pak. Tapi, memang semestinya." Baik Abimana maupun Dimas sekadar menggulir senyuman seiring pergerakan tetap fokus pada aktivitas masing-masing. Abimana mulai mengemasi barang-barang di meja kerjanya. "Kamu enggak pergi ke Kuningan, Dim?!""Belum tahu, Pak. Kurang asyik kalau pergi sendirian.""Makanya cari pasangan. Betah banget kamu single lama-lama.
•• ༻❁༺ ••Setibanya di festival, Ajeng langsung berencana ingin membeli es buah. Walau sedang musim penghujan, siang hari di Ibu Kota masih tetap terasa panas. "Mas mau rasa apa?""Buat Mas jus semangka aja.""Ibu, saya jus semangkanya satu, es buahnya satu.""Sebentar, ya." Si ibu penjual menyahut ramah. Tidak kehilangan daya untuk tersenyum di tengah kerumunan pembeli. Untungnya mereka mau mengantre dengan sabar, tidak akan memakan waktu lama saat si ibu penjual dan tiga orang rekannya tampak cekatan memenuhi segala macam pesanan pengunjung. "Mbaknya cantik, mirip artis Korea.""Aduh, si ibu bisa aja. Saya jadi malu." Ajeng hampir cengengesan di sana andai tak menyadari sekelilingnya benar-benar ramai. "Saya suka menonton drama Korea. Ceritanya bagus-bagus, pemainnya juga cakep-cakep." Tangan si ibu bekerja di sela dia mengajak Ajeng mengobrol ringan. "Tapi, mbak ini asli mana?""Saya lahir di Surabaya, Bu. Tapi, udah cukup lama menetap di Jakarta.""Wah, pangling sekali wajahnya.
•• ༻❁༺ ••Ajeng dan Abimana baru pergi dari kios baso malang usai menghabiskan masing-masing satu mangkok serta sepiring nasi. Tetapi, Ajeng masih bersemangat untuk berburu jajanan kesukaan dia. Seperti saat ini di mana dia menggeret pelan lengan Abimana menuju stand yang menyajikan kue-kue tradisional, ditata apik di etalase, beragam warna/bentuk juga yang pasti dengan cita rasa berbeda. "Mereka jual klepon sama lupis enggak, ya?""Tanya aja, Dek.""Adek kangen rasanya karena emang jarang beli. Kalau ngeliat ibu makan tuh kok jadi pengen juga, legit manis katanya.""Coba ditanya dulu. Biasanya mereka sediakan apa-apa yang sesuai sama banner promosinya," sahut Abimana begitu mereka sudah berada di depan stand yang menjual kue-kue tradisional tadi."Pak, di sini ada lupis?""Ada, Neng! Ada." Ajeng praktis mengembangkan senyumnya gara-gara jawaban si bapak penjual. "Mau berapa?""Ehm, empat aja boleh?""Berapa aja pun bisa." Si Bapak menanggapinya sambil tangan membungkus lupis pesanan
•• ༻❁༺ ••"Adek masih kuat jalan, enggak? Rencananya mau belanja ke mal lagi 'kan?""Lain kali aja deh, Mas. Enggak apa-apa, ya. Kaki Adek pegal-pegal rasanya, kepingin rebahan di rumah."Keduanya memutuskan berpisah dari pasangan Lim setelah cukup lama bercengkerama sambil menikmati makanan dan minuman khas India di stand sebelumnya. Ajeng masih betah menggandeng lengan Abimana sambil sesekali kentara pernapasannya terbuang berat. "Jadi, ini kita langsung pulang?""Iya, Mas. Pulang aja. Tapi, kita mampir dulu ke stand gorengan sama es campur tadi. Adek mau beliin buat Mumu di rumah.""Ya udah. Adek enggak mau jajan lagi sekalian buat camilan di rumah?""Enaknya apa ya, Mas? Jangan gorengan, tapi yang bisa buat dimakan nanti maksud Adek.""Apa dong kira-kira?""Loh, 'kan Adek tanya, Mas." "Bubur mau? Atau kue-kue tradisional? Itu bisa disimpan dulu di kulkas. Kapan Adek mau makan, minta tolong Mumu buat dihangatkan.""Iya, Adek mau--esnya boleh juga, Mas?!""Beli yang Adek mau. Mas a
•• ༻❁༺ •• Pagi yang tampak sibuk di hari ini. Pukul sembilan tepat Ajeng dan Mumu baru saja kembali dari berbelanja bahan baku pembuatan kue. Seluruhnya diletakkan di permukaan meja untuk dirapikan ke tempat-tempat penyimpanan yang semestinya. "Kamar tamu di atas jadi kamu bersihin?" Sembari menyortir barang-barang beliannya, Ajeng pun bertanya. "Udah, Bu." "Dua-duanya 'kan?" "Saya juga mengubah tatanan barang-barangnya seperti yang Ibu bilang." "Iya, kamar yang itu rencananya untuk ditempati Kak Juna. Semuanya harus keliatan serasi dan nyambung. Sisi perfeksionisnya itu terkadang bikin repot. Tapi, di baliknya dia cukup tenang dan sangat menghargai usaha orang lain. Makasih ya, Mu. Akhir pekan aku kasih bonus." "Enggak usah, Bu. Apa yang Ibu perintahkan memang merupakan bagian dari tugas saya." "Jangan sungkan begitu! Kamu kerja sama aku hampir dua tahun 'kan? Seharusnya bisa lebih leluasa. Aku suka kepribadian dan cara kerja kamu, Mu." "Saya juga senang kerja di sini
•• ༻❁༺ ••"Enggak kebas apa, Dek? Lumayan bengkak ini kakinya." "Baru terasa sekarang, Mas. Tadinya aman-aman aja." "Ini Adek mesti stop terima orderan kue. Mas takut kalau dipaksa jalan atau bergerak banyak, malah dampaknya makin enggak enak ke Adek. Libur dulu ya bikin-bikin kuenya?" "Sayang, Mas. Menjelang Ramadhan begini justru bakal banjir pesanan. Adek memang belum buka orderannya. Tapi, info dari Olivia kemarin, banyak kenalan juga tetangga dia yang rencananya mau coba kue buatan Adek--menurut Mas bagaimana? Masa kesempatan baik seperti ini dilepas?!" Tetap dengan penuh perhitungan tangan Abimana mengurut betis ke tapak tungkai Ajeng. Obrolan tak pula mengusik konsentrasinya terhadap bengkak yang tampak di punggung kaki istrinya tersebut. "Mas mengingatkan Adek pun bukan tanpa alasan. Kakinya mulai bengkak. Pasti sakit dibawa mondar-mandir. Minimal mengurangi aktivitas yang memakan waktu lama biar enggak menjadi-jadi bengkaknya. Udah ada ibu dan ayah di rumah buat teman c
•• ༻❁༺ ••"Mas, apaan sih?! Masih pagi begini juga.""Kenapa, Dek? Mas lagi enak-enaknya tidur kok malah diomeli?" "Tidur ya tidur aja, tangannya mas ini loh! Jangan merayap ke mana-mana. Geli, tau!" "Itu refleks, sayang. Saking lelapnya, di dalam tidur pun ada adek si samping Mas. Jadi, mimpi pun terasa nyata."Sejoli ini bahkan tidak sadar bahwa kini waktu menunjukkan sudah lewat pukul setengah delapan. Sementara, jemari Abimana secara naluriah meraba titik sensitif di bagian dada istrinya. Dia pura-pura tidak memahami kekesalan Ajeng, meski tindakannya jelas-jelas mengarah ke tujuan intim. Dia ingin mengecap pagi dengan sedikit sentuhan mesra."Ya memang fakta 'kan? Singkirkan tangan, Mas! Adek mau bangun. Enggak tau sekarang jam berapa, takutnya kesiangan. Adek belum siapkan sarapan untuk kita. Ada ayah ibu juga, kasian mereka kalau makannya telat. Biasanya di usia tua, asam lambung naik lebih cepat. Bisa merembet ke segala penyakit nantinya. Apalagi, ibu langsung pusing kalau m
•• ༻❁༺ ••Sore ini mereka semua duduk bercengkerama di teras belakang. Ada kolam ikan koi yang di desain layaknya berada di alam liar dengan aliran air terjun setinggi dua meter. Di sekitar kolam dihiasi beragam tumbuhan paku-pakuan dan talas. Ajeng dan Abimana menyukai panorama asri demikian, kendati mereka membutuhkan tenaga tambahan dalam mengurus kolam tersebut agar tetap terjaga kebersihannya. Satu cerek sirup melon dingin pun menjadi penyegar dahaga, seraya menunggu camilan yang sedang dibawa Abimana menuju perjalanan pulang. "Nak, tadi sudah disampaikan pisang krispinya pakai pulut?""Sudah, Bu. Ajeng ketik jelas-jelas, kok. Pisang krispi pakai pulut tiga porsi buat Ibu, Ayah dan Mumu. Ajeng juga pesan tahu isi sama martabak telur. Lagi kangen makan yang gurih-gurih pedas. Itu sambil dicocol sambal enak banget, Bu." "Jangan banyak-banyak, Nak! Ingat, kamu enggak begitu serasi makan makanan pedas." "Iya, Bu. Ajeng enggak bakalan lupa, Kok. Paling banyak Ajeng makan tiga dan s
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya
•• ༻❁༺ ••Sore ini mereka semua duduk bercengkerama di teras belakang. Ada kolam ikan koi yang di desain layaknya berada di alam liar dengan aliran air terjun setinggi dua meter. Di sekitar kolam dihiasi beragam tumbuhan paku-pakuan dan talas. Ajeng dan Abimana menyukai panorama asri demikian, kendati mereka membutuhkan tenaga tambahan dalam mengurus kolam tersebut agar tetap terjaga kebersihannya. Satu cerek sirup melon dingin pun menjadi penyegar dahaga, seraya menunggu camilan yang sedang dibawa Abimana menuju perjalanan pulang. "Nak, tadi sudah disampaikan pisang krispinya pakai pulut?""Sudah, Bu. Ajeng ketik jelas-jelas, kok. Pisang krispi pakai pulut tiga porsi buat Ibu, Ayah dan Mumu. Ajeng juga pesan tahu isi sama martabak telur. Lagi kangen makan yang gurih-gurih pedas. Itu sambil dicocol sambal enak banget, Bu." "Jangan banyak-banyak, Nak! Ingat, kamu enggak begitu serasi makan makanan pedas." "Iya, Bu. Ajeng enggak bakalan lupa, Kok. Paling banyak Ajeng makan tiga dan s
•• ༻❁༺ ••"Mas, apaan sih?! Masih pagi begini juga.""Kenapa, Dek? Mas lagi enak-enaknya tidur kok malah diomeli?" "Tidur ya tidur aja, tangannya mas ini loh! Jangan merayap ke mana-mana. Geli, tau!" "Itu refleks, sayang. Saking lelapnya, di dalam tidur pun ada adek si samping Mas. Jadi, mimpi pun terasa nyata."Sejoli ini bahkan tidak sadar bahwa kini waktu menunjukkan sudah lewat pukul setengah delapan. Sementara, jemari Abimana secara naluriah meraba titik sensitif di bagian dada istrinya. Dia pura-pura tidak memahami kekesalan Ajeng, meski tindakannya jelas-jelas mengarah ke tujuan intim. Dia ingin mengecap pagi dengan sedikit sentuhan mesra."Ya memang fakta 'kan? Singkirkan tangan, Mas! Adek mau bangun. Enggak tau sekarang jam berapa, takutnya kesiangan. Adek belum siapkan sarapan untuk kita. Ada ayah ibu juga, kasian mereka kalau makannya telat. Biasanya di usia tua, asam lambung naik lebih cepat. Bisa merembet ke segala penyakit nantinya. Apalagi, ibu langsung pusing kalau m
•• ༻❁༺ ••"Enggak kebas apa, Dek? Lumayan bengkak ini kakinya." "Baru terasa sekarang, Mas. Tadinya aman-aman aja." "Ini Adek mesti stop terima orderan kue. Mas takut kalau dipaksa jalan atau bergerak banyak, malah dampaknya makin enggak enak ke Adek. Libur dulu ya bikin-bikin kuenya?" "Sayang, Mas. Menjelang Ramadhan begini justru bakal banjir pesanan. Adek memang belum buka orderannya. Tapi, info dari Olivia kemarin, banyak kenalan juga tetangga dia yang rencananya mau coba kue buatan Adek--menurut Mas bagaimana? Masa kesempatan baik seperti ini dilepas?!" Tetap dengan penuh perhitungan tangan Abimana mengurut betis ke tapak tungkai Ajeng. Obrolan tak pula mengusik konsentrasinya terhadap bengkak yang tampak di punggung kaki istrinya tersebut. "Mas mengingatkan Adek pun bukan tanpa alasan. Kakinya mulai bengkak. Pasti sakit dibawa mondar-mandir. Minimal mengurangi aktivitas yang memakan waktu lama biar enggak menjadi-jadi bengkaknya. Udah ada ibu dan ayah di rumah buat teman c
•• ༻❁༺ •• Pagi yang tampak sibuk di hari ini. Pukul sembilan tepat Ajeng dan Mumu baru saja kembali dari berbelanja bahan baku pembuatan kue. Seluruhnya diletakkan di permukaan meja untuk dirapikan ke tempat-tempat penyimpanan yang semestinya. "Kamar tamu di atas jadi kamu bersihin?" Sembari menyortir barang-barang beliannya, Ajeng pun bertanya. "Udah, Bu." "Dua-duanya 'kan?" "Saya juga mengubah tatanan barang-barangnya seperti yang Ibu bilang." "Iya, kamar yang itu rencananya untuk ditempati Kak Juna. Semuanya harus keliatan serasi dan nyambung. Sisi perfeksionisnya itu terkadang bikin repot. Tapi, di baliknya dia cukup tenang dan sangat menghargai usaha orang lain. Makasih ya, Mu. Akhir pekan aku kasih bonus." "Enggak usah, Bu. Apa yang Ibu perintahkan memang merupakan bagian dari tugas saya." "Jangan sungkan begitu! Kamu kerja sama aku hampir dua tahun 'kan? Seharusnya bisa lebih leluasa. Aku suka kepribadian dan cara kerja kamu, Mu." "Saya juga senang kerja di sini
•• ༻❁༺ ••"Adek masih kuat jalan, enggak? Rencananya mau belanja ke mal lagi 'kan?""Lain kali aja deh, Mas. Enggak apa-apa, ya. Kaki Adek pegal-pegal rasanya, kepingin rebahan di rumah."Keduanya memutuskan berpisah dari pasangan Lim setelah cukup lama bercengkerama sambil menikmati makanan dan minuman khas India di stand sebelumnya. Ajeng masih betah menggandeng lengan Abimana sambil sesekali kentara pernapasannya terbuang berat. "Jadi, ini kita langsung pulang?""Iya, Mas. Pulang aja. Tapi, kita mampir dulu ke stand gorengan sama es campur tadi. Adek mau beliin buat Mumu di rumah.""Ya udah. Adek enggak mau jajan lagi sekalian buat camilan di rumah?""Enaknya apa ya, Mas? Jangan gorengan, tapi yang bisa buat dimakan nanti maksud Adek.""Apa dong kira-kira?""Loh, 'kan Adek tanya, Mas." "Bubur mau? Atau kue-kue tradisional? Itu bisa disimpan dulu di kulkas. Kapan Adek mau makan, minta tolong Mumu buat dihangatkan.""Iya, Adek mau--esnya boleh juga, Mas?!""Beli yang Adek mau. Mas a
•• ༻❁༺ ••Ajeng dan Abimana baru pergi dari kios baso malang usai menghabiskan masing-masing satu mangkok serta sepiring nasi. Tetapi, Ajeng masih bersemangat untuk berburu jajanan kesukaan dia. Seperti saat ini di mana dia menggeret pelan lengan Abimana menuju stand yang menyajikan kue-kue tradisional, ditata apik di etalase, beragam warna/bentuk juga yang pasti dengan cita rasa berbeda. "Mereka jual klepon sama lupis enggak, ya?""Tanya aja, Dek.""Adek kangen rasanya karena emang jarang beli. Kalau ngeliat ibu makan tuh kok jadi pengen juga, legit manis katanya.""Coba ditanya dulu. Biasanya mereka sediakan apa-apa yang sesuai sama banner promosinya," sahut Abimana begitu mereka sudah berada di depan stand yang menjual kue-kue tradisional tadi."Pak, di sini ada lupis?""Ada, Neng! Ada." Ajeng praktis mengembangkan senyumnya gara-gara jawaban si bapak penjual. "Mau berapa?""Ehm, empat aja boleh?""Berapa aja pun bisa." Si Bapak menanggapinya sambil tangan membungkus lupis pesanan
•• ༻❁༺ ••Setibanya di festival, Ajeng langsung berencana ingin membeli es buah. Walau sedang musim penghujan, siang hari di Ibu Kota masih tetap terasa panas. "Mas mau rasa apa?""Buat Mas jus semangka aja.""Ibu, saya jus semangkanya satu, es buahnya satu.""Sebentar, ya." Si ibu penjual menyahut ramah. Tidak kehilangan daya untuk tersenyum di tengah kerumunan pembeli. Untungnya mereka mau mengantre dengan sabar, tidak akan memakan waktu lama saat si ibu penjual dan tiga orang rekannya tampak cekatan memenuhi segala macam pesanan pengunjung. "Mbaknya cantik, mirip artis Korea.""Aduh, si ibu bisa aja. Saya jadi malu." Ajeng hampir cengengesan di sana andai tak menyadari sekelilingnya benar-benar ramai. "Saya suka menonton drama Korea. Ceritanya bagus-bagus, pemainnya juga cakep-cakep." Tangan si ibu bekerja di sela dia mengajak Ajeng mengobrol ringan. "Tapi, mbak ini asli mana?""Saya lahir di Surabaya, Bu. Tapi, udah cukup lama menetap di Jakarta.""Wah, pangling sekali wajahnya.
•• ༻❁༺ ••Abimana memutuskan pulang lebih awal begitu tau di kawasan Kuningan sedang berlangsung Street Food Festival. Inginnya dia mengajak Ajeng sejak pagi tadi, andai pekerjaan di kantor tak menuntut dia untuk duduk bergelung lebih lama dengan berkas laporan. "Istri saya suka jelajah kuliner. Hobinya jajan dan makan enak.""Bukannya Bapak juga? Malah lebih parah kayaknya." Dimas menanggapi sambil pria ini merapikan lembar demi lembaran kertas yang akan dia klip nanti. Ada laporan bulanan yang telah ditandatangani Abimana dari setiap kelompok divisi perusahaan. "Sepertinya itu yang bikin saya dan Ajeng berjodoh.""Bukan sepertinya, Pak. Tapi, memang semestinya." Baik Abimana maupun Dimas sekadar menggulir senyuman seiring pergerakan tetap fokus pada aktivitas masing-masing. Abimana mulai mengemasi barang-barang di meja kerjanya. "Kamu enggak pergi ke Kuningan, Dim?!""Belum tahu, Pak. Kurang asyik kalau pergi sendirian.""Makanya cari pasangan. Betah banget kamu single lama-lama.