Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya.
"Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "Silakan kalian bermimpi sepuasnya. Suamiku bukan relawan sosial, enak aja membiayai hobi foya-foya kalian. Lebih baik Mas Abim drop bantuan ke yayasan sosial. Berkah juga hasilnya." "Oh, si paling yayasan sosial rupanya." Lisa menukas halus saat Gisca mulai bergulir mengamati mereka. "Dari kami semua ... bukannya kamu yang pertama kali menikah, Lis? Tapi, sampe sekarang kamu belum juga hamil." Gisca sengaja mengalihkan topik sebelum dua temannya itu kembali mengusik Ajeng. "Memang belum ada rencana punya anak, Gis. Kamu 'kan tau profesiku. Karierku masih panjang. Dan aku enggak mau pekerjaanku terganggu cuma gara-gara mengurus anak. Eh, tunggu! Kamu lagaknya ngebahas soal anak, menikah pun belum, Gis." Gisca mendengkus, hingga atensi yang lain berpindah padanya. "Kenapa dengan wajahmu?" Lisa menautkan sepasang alisnya, menunggu tanggapan Gisca. "Setelah mendengar jawabanmu, aku jadi makin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat. Enggak seharusnya juga aku terburu-buru buat menikah." Gisca cukup tenang dalam menjelaskan asumsinya. Agaknya sepotong tiramisu dalat membantunya agar tetap rileks. "Kamu enggak usah terlalu memikirkannya. Semua akan terjawab saat kamu dan pasanganmu menikah nanti." Jeslyn mengutarakan sepenggal jawaban bijak, disusul anggukan oleh Lisa. Di saat itu juga Ajeng sedang menikmati secangkir teh melati daun mint pilihannya, tiada menyadari tiga pasang mutiara jelaga kompak menengok dia. "Apa mukaku aneh sampai kalian melihatku seperti itu?" "Bukan karena aneh. Tapi, kamu sendiri yang berbeda dari kita semua. Bisa dibilang kamu dalam posisi emas. Punya suami tampan, kaya raya, juga sangat mencintai kamu. Kamu bisa dapatkan segala yang kamu mau tanpa harus berusaha keras. Sementara kami? Semua ini baru bisa kami nikmati setelah banting tulang seharian." Jeslyn tidak mengada-ada mengenai pernyataan demikian. Di antara kehidupan Ajeng dan mereka ada sebuah kontradiksi yang amat menonjol. "Terus, apa aku perlu berterimakasih kepada kalian? Memang, di antara hidup yang berat ada kesenangan lain untuk bisa mengimbanginya." "Kamu enggak perlu terima kasih ke siapapun. Tapi, apa kamu enggak mau sedikit berempati kepada kami yang kurang beruntung ini?! Buat kamu impian kami sungguh mudah. Enggak seperti kami yang terjebak di dalam ekspektasi." Kepalang kesal mengakibatkan Jeslyn menuding secara runtut. "Jalani aja kehidupan yang kita miliki. Beruntung atau enggak tergantung cara kita dalam menerimanya juga bersyukur. Apa kalian enggak pernah berpikir kalau di luar sana ada perempuan yang menginginkan bisa hidup bebas seperti kalian?!" Fakta yang dituturkan Ajeng barusan menutup keluh kesah teman-temannya. ----- Abimana menunggu istrinya di ruang TV dengan perasaan yang turut gelisah. Sudah hampir malam dan Ajeng belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah. Ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Berkali-kali mencoba, yang ditemukan Abimana adalah suara otomatis operator. Kemungkinan ponsel Ajeng kehabisan daya, asalkan dia bukan dengan sengaja menonaktifkannya. Prasangka buruk segera ditepis. Abimana tetap pada dugaan pertama, mempercayai bahwa istrinya tidak akan tega mengabaikan dia. Putaran sekon berangsur-angsur bertambah lama dan membosankan. Abimana sadar kini kepalanya berdenyut. Tak henti-hentinya Memikirkan undangan makan malam dari keluarga Lim juga mengenai Ajeng yang terlambat pulang. Abimana mendengkus keras, lalu mengayun kaki menuju kamarnya. Dia telah memutuskan untuk pergi memenuhi undangan si rekan bisnis, walau tanpa kehadiran istrinya. Sakitnya cukup membekas di hati, namun dia perlu memahami kondisi istrinya yang rentan. ----- "Rencana enggak berlangsung seperti harapan. Maaf, aku terlambat," ucap Abimana apa adanya dengan santun; di meja makan yang saat ini penuh dengan bermacam hidangan. Dia benar-benar pergi seorang diri "Anyway, gue pikir istri Lo ikut." Alvian Lim terang-terangan bertanya selagi istrinya menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik yan ditata di situ. "Dia kelihatan kurang sehat. Wajahnya lesu. Mungkin karena kelelahan—aku memintanya untuk tetap beristirahat di rumah." Berat untuk Abimana menerangkan peristiwa sebenarnya, supaya kehormatan dan nama baik istrinya terjaga. "Istri Abimana sedang hamil juga." Alvian Lim agak berbisik, hingga keterkejutan spontan terlihat di wajah istrinya. "Sayang sekali, padahal aku sangat berharap bertemu dia. Pasti seru memiliki teman dengan kondisi yang sama, bisa berbagi banyak hal. Khususnya seputar kehamilan ini." Olivia, dialah istri Alvian Lim. "Masih banyak waktu, atau nanti kita adakan lagi makan malam berikutnya. Tapi, di rumah Abimana." "Beneran? Aku jadi enggak sabar." Olivia menanggapi dengan sukacita, berbarengan Abimana menyeringai sungkan. Sejujurnya dia masih tetap gundah; tidak berhenti memikirkan Ajeng. "Tanya Abim dulu." "Ehm, boleh kok. Bisa diatur, Vin." Dan si empu secara ringkas menanggapi setelah sempat diliputi bimbang. "Jamuan dibalas jamuan. Kayaknya seru, ya. Ajeng pasti menyukai ide ini." "Ya udah! Tunda dulu ngobrolnya." Olivia melepas senyum yang mengembang. Wanita ini benar-benar ramah, pandai membuat suasana menjadi terasa akrab. "Jangan sungkan, ya. Nikmati makanannya, semoga semua sesuai selera." "Dari tampilannya aja udah menggugah selera." Abimana pun menyadari bahwa dia perlu meninggalkan kesan positif terhadap Tuan Rumah seperti pasangan Lim ini. Selain bersahaja, juga mampu menarik suasana yang hangat ke tengah-tengah mereka. Keakraban tampak menguasai ruang makan. Mereka silih berbagi senyuman/tawa jenaka. Sahut menyahut dalam percakapan yang kompleks dan terkadang acak. "Sorry Bro, gue telat bilang ini. Selamat makan! Buat diri Lo santai. Gue dan Olivia berterimakasih sekali Lo mau datang ke jamuan sederhana kita." Itu perkataan penutup dari Alvian Lim jangka mereka mulai menikmati menu-menu yang tersaji di sana. ----- Di perjalanan pulang Abimana Abrisam bercokol lagi dengan perasaan cemasnya semula. Entah sudah yang ke berapa kali dia coba menghubungi nomor HP istrinya, tetap saja dia gagal. Seluruh prasangka bercampur aduk di kepala lelaki ini. Rasa takut, kesal serta kecewa bertubi-tubi merundung benaknya.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah. "Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya." "Mas Abim udah pulang?" "Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya. "Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu." "Baik, Bu," sahut Mumu. Di dalam kamar Ajeng
Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang. "Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturny
Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menanga
Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
•• ༻❁༺ ••Pada akhirnya Ajeng menceritakan perihal apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya. Bagi Cahyani, tidak mengherankan bila tindakan putrinya itu berhasil mengundang kemarahan Abimana. Hingga dia sendiri tak dapat merespons dengan benar, amat terkejut akan pengakuan putrinya tadi. Tatapan kecewa pun tak luput dari matanya.Cahyani menutup album foto yang baru saja dilihat ulang. Dia mengambil secangkir teh beralaskan piring ceper kecil, kemudian menyesap tenang isinya. "Ibu enggak menyangka seburuk ini, Jeng. Apalagi menantu enggak bilang apa-apa tentang perbuatan kamu. Sekarang Ibu bisa mengerti wajah murung itu disebabkan oleh anak Ibu sendiri. Kamu mengkhianati kepercayaan menantu. Siapapun prianya pasti membenci hal tersebut, Ajeng.""Tapi, Bu, Ajeng enggak mengkhianati Mas Abim. Ajeng cuma pergi liburan bareng teman-teman. Ajeng baru tahu rencana mereka setelah kami tiba di vila. Kalau Ajeng tau dari awal, Ajeng enggak mungkin ikut, Ma." Ajeng tetap belum sepenuhnya mene
•• ༻❁༺ ••Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut. "Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok. "Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak."Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?" "Jelas banget ya, Vin?" "Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet.""Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. L
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi.""Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan.""Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun.""Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan yang nama
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
•• ༻❁༺ ••Bunyi tubrukan sendok dan juga piring lirih meramaikan meja makan di waktu sarapan kali ini. Masih di sekitar bandara, mereka memutuskan untuk memilih salah satu restoran yang kerap ramai di jam-jam makan. Kendati, pada giliran mereka beruntung tempat itu tidak penuh seperti biasanya. "Jun, Ayah bersyukur perjalanan kalian lancar-lancar aja sampai ke sini. Gimana keadaan istrimu? Sedang hamil begitu, apa tidak mengalami mual sepanjang penerbangan.""Enggak, Yah. Walau ini kehamilan pertama, Alyssa enggak pernah menghadapi hal-hal aneh apalagi yang mengancam kesehatannya. Dia bahkan enggak ngerasain mual.""Wah, itu jarang terjadi. Kalau di sini masyarakat menyebutnya hamil kebo. Kadang ibu-ibu muda yang tengah hamil justru bisa sama sekali enggak mendapatkan kendala. Segala aktivitas jadi berlalu seperti orang-orang pada umumnya." Cahyani menyambung obrolan tersebut."Hamil kebo?!" Bunga Alyssa Chloe, menantu keluarga Wicaksono ini menyahut seketika. Tergiring rasa penasara
•• ༻❁༺ ••"Ini kenapa jadi sempit, sih? Minggu lalu 'kan baru aku pakai dan masih nyaman juga." Agaknya kemeja yang ingin dikenakan Ajeng tak lagi muat di badannya. Ajeng berencana tampil sebagus mungkin di hadapan kakak dan kakak iparnya. Terlebih dia paham betul segitu modis keduanya dalam berbusana. "Aduh, enggak bisa dikancing ..." Ajeng merengek dengan kelopak mata berkaca-kaca. Rasa rendah dan tidak percaya diri muncul dalam sekejap untuk merusak suasana hatinya. "Ada apa? Kok ngomel-ngomel sendirian, Dek?" Abimana keluar dari kamar mandi, sedang mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk. Dia menghampiri Ajeng dan langsung berdiri di depan istrinya tersebut. "Bajunya kekecilan, Mas. Adek lagi kepingin banget pakai yang ini.""Masih ada yang lain, buat apa Adek menangis begitu cuma gara-gara baju?" Seraya memberi saran Abimana beringsut ke ranjang, mengambil pakaiannya untuk dikenakan. "Nanti ayah ibu menunggu, loh.""Adek bingung mau pakai yang mana. Di lemari isinya