Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya.
"Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "Silakan kalian bermimpi sepuasnya. Suamiku bukan relawan sosial, enak aja membiayai hobi foya-foya kalian. Lebih baik Mas Abim drop bantuan ke yayasan sosial. Berkah juga hasilnya." "Oh, si paling yayasan sosial rupanya." Lisa menukas halus saat Gisca mulai bergulir mengamati mereka. "Dari kami semua ... bukannya kamu yang pertama kali menikah, Lis? Tapi, sampe sekarang kamu belum juga hamil." Gisca sengaja mengalihkan topik sebelum dua temannya itu kembali mengusik Ajeng. "Memang belum ada rencana punya anak, Gis. Kamu 'kan tau profesiku. Karierku masih panjang. Dan aku enggak mau pekerjaanku terganggu cuma gara-gara mengurus anak. Eh, tunggu! Kamu lagaknya ngebahas soal anak, menikah pun belum, Gis." Gisca mendengkus, hingga atensi yang lain berpindah padanya. "Kenapa dengan wajahmu?" Lisa menautkan sepasang alisnya, menunggu tanggapan Gisca. "Setelah mendengar jawabanmu, aku jadi makin percaya bahwa memiliki anak adalah pekerjaan yang sangat berat. Enggak seharusnya juga aku terburu-buru buat menikah." Gisca cukup tenang dalam menjelaskan asumsinya. Agaknya sepotong tiramisu dalat membantunya agar tetap rileks. "Kamu enggak usah terlalu memikirkannya. Semua akan terjawab saat kamu dan pasanganmu menikah nanti." Jeslyn mengutarakan sepenggal jawaban bijak, disusul anggukan oleh Lisa. Di saat itu juga Ajeng sedang menikmati secangkir teh melati daun mint pilihannya, tiada menyadari tiga pasang mutiara jelaga kompak menengok dia. "Apa mukaku aneh sampai kalian melihatku seperti itu?" "Bukan karena aneh. Tapi, kamu sendiri yang berbeda dari kita semua. Bisa dibilang kamu dalam posisi emas. Punya suami tampan, kaya raya, juga sangat mencintai kamu. Kamu bisa dapatkan segala yang kamu mau tanpa harus berusaha keras. Sementara kami? Semua ini baru bisa kami nikmati setelah banting tulang seharian." Jeslyn tidak mengada-ada mengenai pernyataan demikian. Di antara kehidupan Ajeng dan mereka ada sebuah kontradiksi yang amat menonjol. "Terus, apa aku perlu berterimakasih kepada kalian? Memang, di antara hidup yang berat ada kesenangan lain untuk bisa mengimbanginya." "Kamu enggak perlu terima kasih ke siapapun. Tapi, apa kamu enggak mau sedikit berempati kepada kami yang kurang beruntung ini?! Buat kamu impian kami sungguh mudah. Enggak seperti kami yang terjebak di dalam ekspektasi." Kepalang kesal mengakibatkan Jeslyn menuding secara runtut. "Jalani aja kehidupan yang kita miliki. Beruntung atau enggak tergantung cara kita dalam menerimanya juga bersyukur. Apa kalian enggak pernah berpikir kalau di luar sana ada perempuan yang menginginkan bisa hidup bebas seperti kalian?!" Fakta yang dituturkan Ajeng barusan menutup keluh kesah teman-temannya. ----- Abimana menunggu istrinya di ruang TV dengan perasaan yang turut gelisah. Sudah hampir malam dan Ajeng belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang ke rumah. Ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Berkali-kali mencoba, yang ditemukan Abimana adalah suara otomatis operator. Kemungkinan ponsel Ajeng kehabisan daya, asalkan dia bukan dengan sengaja menonaktifkannya. Prasangka buruk segera ditepis. Abimana tetap pada dugaan pertama, mempercayai bahwa istrinya tidak akan tega mengabaikan dia. Putaran sekon berangsur-angsur bertambah lama dan membosankan. Abimana sadar kini kepalanya berdenyut. Tak henti-hentinya Memikirkan undangan makan malam dari keluarga Lim juga mengenai Ajeng yang terlambat pulang. Abimana mendengkus keras, lalu mengayun kaki menuju kamarnya. Dia telah memutuskan untuk pergi memenuhi undangan si rekan bisnis, walau tanpa kehadiran istrinya. Sakitnya cukup membekas di hati, namun dia perlu memahami kondisi istrinya yang rentan. ----- "Rencana enggak berlangsung seperti harapan. Maaf, aku terlambat," ucap Abimana apa adanya dengan santun; di meja makan yang saat ini penuh dengan bermacam hidangan. Dia benar-benar pergi seorang diri "Anyway, gue pikir istri Lo ikut." Vincent Lim terang-terangan bertanya selagi istrinya menuangkan teh ke dalam cangkir-cangkir keramik yan ditata di situ. "Dia kelihatan kurang sehat. Wajahnya lesu. Mungkin karena kelelahan—aku memintanya untuk tetap beristirahat di rumah." Berat untuk Abimana menerangkan peristiwa sebenarnya, supaya kehormatan dan nama baik istrinya terjaga. "Istri Abimana sedang hamil juga." Vincent Lim agak berbisik, hingga keterkejutan spontan terlihat di wajah istrinya. "Sayang sekali, padahal aku sangat berharap bertemu dia. Pasti seru memiliki teman dengan kondisi yang sama, bisa berbagi banyak hal. Khususnya seputar kehamilan ini." Olivia, dialah istri Vincent Lim. "Masih banyak waktu, atau nanti kita adakan lagi makan malam berikutnya. Tapi, di rumah Abimana." "Beneran? Aku jadi enggak sabar." Olivia menanggapi dengan sukacita, berbarengan Abimana menyeringai sungkan. Sejujurnya dia masih tetap gundah; tidak berhenti memikirkan Ajeng. "Tanya Abim dulu." "Ehm, boleh kok. Bisa diatur, Vin." Dan si empu secara ringkas menanggapi setelah sempat diliputi bimbang. "Jamuan dibalas jamuan. Kayaknya seru, ya. Ajeng pasti menyukai ide ini." "Ya udah! Tunda dulu ngobrolnya." Olivia melepas senyum yang mengembang. Wanita ini benar-benar ramah, pandai membuat suasana menjadi terasa akrab. "Jangan sungkan, ya. Nikmati makanannya, semoga semua sesuai selera." "Dari tampilannya aja udah menggugah selera." Abimana pun menyadari bahwa dia perlu meninggalkan kesan positif terhadap Tuan Rumah seperti pasangan Lim ini. Selain bersahaja, juga mampu menarik suasana yang hangat ke tengah-tengah mereka. Keakraban tampak menguasai ruang makan. Mereka silih berbagi senyuman/tawa jenaka. Sahut menyahut dalam percakapan yang kompleks dan terkadang acak. "Sorry Bro, gue telat bilang ini. Selamat makan! Buat diri Lo santai. Gue dan Olivia berterimakasih sekali Lo mau datang ke jamuan sederhana kita." Itu perkataan penutup dari Vincent Lim jangka mereka mulai menikmati menu-menu yang tersaji di sana. ----- Di perjalanan pulang Abimana Abrisam bercokol lagi dengan perasaan cemasnya semula. Entah sudah yang ke berapa kali dia coba menghubungi nomor HP istrinya, tetap saja dia gagal. Seluruh prasangka bercampur aduk di kepala lelaki ini. Rasa takut, kesal serta kecewa bertubi-tubi merundung benaknya.Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah. "Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya." "Mas Abim udah pulang?" "Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya. "Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu." "Baik, Bu," sahut Mumu. Di dalam kamar Ajeng
Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang. "Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturny
Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menanga
Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
•• ༻❁༺ •• Ketika laun-laun mentari pergi ke peraduannya, terpancang pula keindahan langit berhiaskan semburat lukisan jingga. Pesona sore seakan turut membingkai kesunyian Abimana Abrisam. Dia termenung seraya menatap kemegahan cakrawala, diam memikirkan sang istri tercinta yang saat ini berada di rumah. Ajeng, Ajeng Dwi Ayu; ialah wanita istimewa dengan segala kecantikan yang dia miliki. Mata bulat, kulit putih nan mulus, juga rambut hitam yang panjang dan halus, sungguh menawan untuk dipandang. Ajeng telah seutuhnya memengaruhi pikiran Abimana. Pria itu tengah mengulang kembali peristiwa bahagia tahun lalu kala dia dan Ajeng melangsungkan ijab kabul di depan orang tua mereka dan juga sanak saudara yang hadir. Menjelang setahun pernikahan mereka, kebahagiaan sejoli tersebut akhirnya terlengkapi. Kehamilan Ajeng merupakan hadiah terbaik di sepanjang usia Abimana. Dia bahkan telah menyusun dan mempersiapkan hari khusus demi menanti kelahiran si buah hati.
•• ༻❁༺ •• Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya. "Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka. "Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis." "Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi." "Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan." "Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca. "Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menye
•• ༻❁༺ ••Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik. "Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan.""Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?" "Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristi
Abimana mendadak terserang cemas. Pesan singkat yang diterima dari istrinya membuat dia kelabakan, sangat gelisah. Tanpa pikir panjang dia menarik tuas persneling dan menekan kuat pedal gas. Mobilnya melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi yang harus dia perbuat selain berupaya sekeras mungkin agar tepat waktu tiba di tempat?! 'Perut Adek sakit, Mas. Tapi, Adek udah minum obat pereda nyeri. Mas bisa jemput Adek ke Bogor, enggak?' Begitulah pesan yang dibaca Abimana beberapa menit lalu, sehingga mengakibatkan tubuhnya refleks menyambar kunci mobil di atas nakas; bergerak tangkas saking ketakutan akan terjadi hal buruk pada istrinya.Rasa waswas kian bertambah kala Ajeng tak menjawab teleponnya. Banyak asumsi hilir mudik di benak Abimana dan semua dugaan menyeramkan itu justru mendorong ketegangan ke tengah suasana. Jarang sekali dia mengumpat. Dan kini justru berkali-kali mengeluh. Dia bahkan nyaris mengumpat sebab mobilnya tak bisa lebih cepat lagi; sudah di angka maksimal. Perjalanan
Royal Tulip, Bogor, Jawa Barat adalah sebuah kawasan hotel juga vila pribadi yang menyajikan pemandangan khas pegunungan. Banyak fasilitas menarik di tempat ini, salah satunya adalah kolam renang yang memang tersedia di beberapa gedung vila. Dan Jeslyn termasuk pemilik vila mewah tersebut. Lokasi kolam renang berada di titik yang tepat, berhadapan langsung dengan area perbukitan hijau. Belum cukup sampai di situ, vila ini dilengkapi bar serta ruang gym sederhana berisi tiga unit alat fitness. "Pilihan yang bagus, Jes. Tadinya aku sempat berpikir kalau liburannya tidak segini mewah. Aku telanjur kecewa karena kita batal menginap." Lisa meluapkan kepuasannya ketika dia dan Jeslyn tengah berendam di kolam renang. Berbeda dengan Gisca juga Ajeng yang kini duduk santai tak jauh dari situ. Kedua perempuan itu tengah meresapi udara sejuk yang menyegarkan pernapasan mereka. Lalu, sejemang Ajeng beranjak mengambil minuman dingin rasa buah yang tersaji di meja."Apa boleh buat, daripada gagal
Lagi dan lagi kejadian serupa terulang. Ajeng lupa waktu. Dia dan Jeslyn sedang berbincang-bincang. Tak jarang tawa terlepas secara bergantian atau pun serempak, menikmati bagaimana si pelayan begitu lihai saat memberi pijatan pada punggungnya. Sementara, pelayan lain sibuk merapikan kuku-kuku kakinya. Hampir dua jam dia dan si wanita gummy smile itu bersantai, menghabiskan waktu mereka di sebuah salon ternama di Jakarta.Semua penata rambut di salon ini mahir beragam bahasa. Bagaimana tidak, mereka sudah menjalani pelatihan dan mengikuti kelas di Kota New York selama dua tahun. Kemampuan meraka dalam berbahasa Inggris tidak main-main, mereka sungguh dapat menerapkannya dengan pelafalan yang fasih. Tidak mengherankan jika Black Pearl adalah salon populer di Jakarta. Melayani orang asing yang sedang bekerja atau memang sedang menetap di Ibu Kota, sudah menjadi keseharian bagi mereka. Keuntungan dari pengalaman saat berada di luar negeri membuat mereka menjadi sangat ahli dalam menanga
Proyek di Kalimantan akan segera di mulai. Abimana harus siap menghadapi schedule resminya. Apalagi dia menerapkan sistem deadline demi mencapai kedisiplinan kerja. Tumpukan berkas satu-persatu disusun rapi. Kedua tangannya masih menari-nari di atas keyboard laptop, tiada terkecoh akan suasana gelap yang sedari tadi menggeser keberadaan siang. "Pak, udah jam sembilan lewat," kata Dimas, hanya mengingatkan. Dia menghampiri Abimana ke ruangan sambil membawa map berisi laporan baru. "Ini hasil rapat pagi tadi, Pak. Saya sudah mencantumkan seluruhnya."Abimana hela napasnya agak panjang. Letih kini menguasai dia dan tubuhnya mulai merespons dampaknya. "Besok saya periksa," ucap Abimana singkat sembari merenggangkan otot-ototnya. "Taruh di sini aja!" Sekian kalimat penutup yang terucapkan, Abimana berencana pulang.Dimas pun seketika menaruh kertas-kertas di permukaan meja Abimana. Dia enggan ketinggalan, justru hendak bergegas keluar lebih dahulu. "Sampai besok, Pak. Hati-hati," tuturny
Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ulahnya menyebabkan sang suami kelimpungan menunggu dia pulang. Ajeng pun merasa waswas begitu tiba di kediaman mereka. Hanya waswas, bukan perasaan takut. Terkadang dia memang keras kepala. Beruntungnya saat dia sudah di rumah, Abimana masih berada di luar. Dengan langkah terburu-buru dia melepaskan sandal dan masuk ke rumah. "Bu ..." Mumu menyapa saat keduanya berpapasan di ruang tengah. "Tadi Bapak cari Ibu. Dia pergi ke jamuan makan malam dari salah seorang rekan bisnisnya. Saya diminta menyampaikan ini ke Ibu. Bapak juga sudah menghubungi ponsel Ibu berulang-ulang, enggak aktif katanya." "Mas Abim udah pulang?" "Belum, Bu." Mumu menjawab seadanya. "Ya udah, aku mau langsung ke kamar aja." Perasaan Ajeng berubah tenang usai tahu dia pulang lebih awal daripada suaminya. Langkahnya pun diayun lambat menaiki anak tangga, "Tolong kunci pintunya ya, Mumu." "Baik, Bu," sahut Mumu. Di dalam kamar Ajeng
Ajeng dan teman-temannya masih betah duduk di kafe yang letaknya tak begitu jauh dari mal. Seraya bercakap-cakap mengenai banyak perkara, meskipun sebagian terkadang tidaklah begitu penting, mereka memesan teh tawar berikut cheesecake, tiramisu juga beberapa penganan manis lainnya. "Girls, luar biasa ya permaisuri kita yang satu ini! Kalau dibiarin dia pasti memborong habis barang-barang bermerek di butik tadi." Jeslyn amat bersemangat mengutarakan pernyataan itu di depan teman-temannya, berdecak ketika menjumpai si empu yang dimaksud seakan tidak mendengarkan dia. "Kami takjub sama kamu, Jeng. Segampang itu ya suami kamu kasih kartu kredit, bukan cuma satu lagi." Lisa menyambung sembari menyesap pelan-pelan teh chamomile miliknya. "Bagi ke kita kali, Jeng. Satu aja juga udah cukup buat bertiga. Ya enggak, Lis?" "Kapan lagi 'kan bisa belanja-belanja banyak tanpa harus pusing mikirin dompet menangis?!" sahut Lisa, menanggapi perkataan Jeslyn tadi. "
Abimana membubuhkan goresan pena di halaman terakhir proposal, menandakan tugasnya dalam mengecek berkas-berkas itu pun tuntas. "Masuklah!" seru pria ini saat mendengar ketukan pintu dari balik ruangannya. "Pak, ini kopi Anda. Satu jam lagi Tuan Lim akan tiba. Beliau bilang ingin menemui anda untuk membicarakan demo produk di cabang di Kalimantan." Diana/sekretarisnya menuturkan. "Saya sudah baca e-mail yang dia kirim. Tolong kamu siapkan semuanya, ya." "Baik, Pak." Diana membungkuk sopan sebelum meninggalkan atasannya itu. Embusan napasnya terdengar berat, Abimana tampak lesu kali ini. Padatnya jadwal pertemuan bisnis dan proyek yang harus dituntaskan membuat dia berangsur-angsur merasakan jenuh. Usai merapikan lagi berkas-berkas yang sudah rampung diperiksa, dia mengangkat gagang telepon di sisi kanannya. "Dimas, tolong ke ruangan saya sekarang. Saya sudah baca semua proposal yang kamu kirim kemarin." Lima menit berikutnya pria jangkung tersebut sudah muncul, bergeg
•• ༻❁༺ •• Di sepanjang perjalanan tawa jenaka dan senda gurau meramaikan suasana. Kegembiraan terpancar jelas di wajah-wajah nan cantik. Mereka begitu antusias. Sesekali salah satu teman Ajeng melantunkan lirik yang sengaja mereka putar dari tape mobil, Lisa namanya. "Ajeng, bukannya kamu bilang suamimu enggak kasih izin? Kok tiba-tiba bisa ikut kita? Kalau suamimu marah, bagaimana?" Jeslyn melanting tanya sebagai pembuka obrolan di antara mereka. "Lis, menyetirnya yang fokus. Nyanyi-nyanyi enggak jelas begitu enggak bikin laju mobilnya bertambah, Lis." "Jangan cerewet, Jes! Aku yang menyetir. Kamu hanya perlu duduk manis di situ dan biarkan maestro beraksi." "Pokoknya aku udah ingatkan ya, Lis. Kamu gede belagunya doang soalnya, padahal sering menabrak pembatas jalan." "Kalem kenapa sih, Jes?! Di mana-mana selalu kamu yang bising." Tahu-tahu yang lain menyeletuk, dia Gisca. "Aku enggak minta pendapat kamu, tuh. Kamu sendiri suka menye