Vampire.
Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?
Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?
Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.
Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya.
"Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.
Kucing hitam. Pembawa sial.
Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.
Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu.
"Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan untuk pindah dari kota kecil itu ke Massachusetts.
Entah ini kebetulan atau apa? Seminggu yang lalu dia mendapatkan kabar kematian nenek buyutnya itu, bertepatan dengan dipindahkan tugasnya ke kota ini.
Kota yang dulu sangat dia benci.
"Meow." Kucing hitam itu menyundulkan kepalanya pada kaki Kayden.
Kayden membereskan buku-buku itu, kembali ke raknya. Namun, sebuah buku menarik perhatiannya.
Ini adalah kali pertama Kayden menjejakkan kakinya di rumah neneknya sejak seminggu lalu dia tiba di kota suram ini.
Rumah ini masih sama. Foto Kayden yang masih kecil bersama neneknya terpajang diatas nakas. Kursi goyang itu masih berada di teras. Kayden membayangkan nenek buyutnya, Gloria, duduk di sana, sambil memangku kucing peliharaannya dengan pandangan kosong.
"Meow." Kucing itu melompat dan duduk dipangkuannya.
"Aku bukan tuanmu. Tuanmu sudah mati."
Namun, sepertinya kucing itu tidak memperdulikannya. Dia mendengkur dipangkuannya. Kini dia merasa sudah tua. Duduk di kursi goyang dan bersama seekor kucing.
Kayden mendesah. Dia menatap pemandangan hutan Redwood di depannya. Rumah ini adalah yang paling dekat dengan hutan itu tentu saja selain SMA St. Louisa di bagian barat.
Hanya perlu satu lemparan batu dan Kayden bisa masuk ke dalam hutan gelap itu.
"Kabutnya mulai turun," gumamnya hampa.
Seperti namanya, Mistyfalls adalah kota yang setiap harinya berkabut. Jika udara mulai dingin, maka kabut itu akan menutupi seluruh kota dan hutan. Kota yang dikelilingi oleh hutan Redwood yang merupakan hutan cagar alam karena terdapat banyak sekali spesies tumbuhan dan hewan langka ini merupakan hutan terbesar di negara bagian ini. Dunia hanya tahu hutan dan keindahan pemandangan berkabut kota kecil itu. Namun, bagi Kayden Laye tempat ini adalah tempat yang mengerikan, tempat terkutuk.
Dunia bahkan tidak tahu bagaimana ratusan tahu lalu penduduk suku asli yang dibumihanguskan secara mengerikan disini.
'Tentu ada harga yang dibayar.'
Kayden menatap lembar terakhir dari salah satu buku kuno milik neneknya. Buku bersampul kulit itu berjudul Para Pendatang.
Kini dia kembali ingat bagaimana dulu saat dia kanak-kanak, nenek buyutnya yang selalu menceritakan dongeng penghantar tidur mengerikan itu saat dia bertanya-tanya bagaimana kota itu selalu berkabut.
Mistyfalls.
Bukankah dari namanya saja terdengar misterius?
Mungkin saja semua keabsurdan itu memang ada di kota ini.
Kayden selalu bertanya-tanya. Apakah kutukan suku itulah yang membuat kota ini semakin tenggelam dalam kabut? Apakah kutukan itulah yang menarik orang-orang putus asa untuk mengakhiri hidupnya di hutan Redwood? Dan apakah kutukan itu yang membuatnya kembali ke kota ini?
Apakah Para Pendatang, Suku Asli dan Vampire memiliki keterkaitan antara semua kejadian misterius yang terjadi di kota ini?
*
Seakan tersadar dari mimpi buruknya. Dia menyipitkan maniknya yang sedikit berkunang, menatap seorang gadis yang duduk didekat pembaringannya dengan manik yang menatapnya tajam. Daniel hampir berteriak ketakutan karena sepasang mata tak biasa itu.
"Kau sudah merasa baikan?"
Daniel menelan ludahnya sendiri, seakan sesuatu hampir membuatnya tersedak. Di depannya itu bukannya salah seorang gadis penyihir yang sangat terkenal di sekolah ini? Dan sekarang gadis itu sedang mengajaknya bicara?
"Y-ya..." Daniel berujar gugup. Tiba-tiba sudut bibirnya serasa berdenyut, dia meringis. Berbicara sedikit saja sudah membuatnya kesakitan.
Dasar cowok lemah. Daniel meruntuk dalam hati. Terlebih di depannya telah terduduk sosok bidadari. Sama sekali tidak keren. Namun, gadis itu masih terdiam untuk beberapa saat memperhatikannya tanpa ekspresi.
Daniel merasa dunia nya tiba-tiba hening. Gadis itu seakan telah memanipulasi segala yang berada di dekatnya, termasuk pikiran Daniel. Tatapan mata scarletnya itu benar-benar membuat Daniel tak bisa bergerak. Manik merah senja itu seperti lingkaran spiral, yang akan membuatnya terhipnotis jika lama-lama menatapnya. Jadi, dia segera mengalihkan pandangannya.
Lalu kini entah mengapa dia merasa kalah dan lemah lagi di hadapan gadis itu.
"Baiklah, aku akan pergi."
Sebuah suara selembut beludru milik gadis itu membuat Daniel kembali menoleh, dan tepat saat itu juga, sebuah kecupan singkat mengenai sudut bibirnya.
Daniel melotot dan kaget, sementara gadis itu masih dengan ekspresinya. Begitu dingin dan tajam. Bibir Daniel sangat kelu untuk hanya bertanya apa yang terjadi. Gadis itu kembali memberikan tatapan dunianya sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan Daniel yang masih terbengong-bengong.
*
"Vicky, kuharap ini terakhir kalinya aku melihatmu berinteraksi dengan manusia."
Vincent berjalan melewati Victoria yang baru keluar dari ruang klinik diikuti oleh kedua kakaknya yang berjalan beriringan dengan anak beriris scarlet itu.
"Kita tak akan pindah lagi, kan?" Arabella bertanya lirih.
"Kurasa tak perlu," gumam William.
Yah... Setelah kejadian yang hampir membuat seluruh sekolah heboh itu dan kejadian dimana Victoria hampir kehilangan kendali dan menculik anak lelaki kurus itu. Vincent terpaksa mengorbankan jantungnya oleh pisau perak yang selalu tersembunyi di kantong sutra di dalam sakunya.
Kalau harus ditanya, siapa yang paling banyak berkorban pada kecelakaan ini, tentu saja Vincent jawabannya. Walaupun Arabella pun harus berkorban dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memanipulasi ingatan semua anak yang telah melihat kejadian di taman asrama, dan William yang melakukan penyembuhan pada tulang punggung Daniel yang retak. Kalau bukan karena bantuan William juga, mungkin anak lelaki itu sudah berbaring koma di rumah sakit dengan tubuh yang cacat.
Dari arah kaca Jamie melirik wajah Victoria yang sedang berlalu, gadis yang sejak tadi malam menunggui anak lelaki itu, dan sekumpulan penyihir gadungan yang terus mengawasinya semalaman penuh.
Kini James sedang berada dalam satu ruangan dengan Daniel.
Dia berdecih dalam hati.
Dengan tangan yang masih di perban dia menyuruh Bobby si Gendut Tukang Makan di depannya itu untuk membelikannya jus alpukat, entah mengapa beberapa kejadian yang membuatnya sial seharian penuh membuatnya kehausan.
"Kantin sudah tutup, sobat. Kemana aku akan mencarinya." Bobby, bocah dengan perut bulat itu mengernyitkan alisnya. James selalu berkata melantur kalau sedang dalam keadaan terdesak.
"Cari saja dimanapun. Atau suruh para penyihir itu membuatkannya untukku."
"Serius, Jamie?"
James melotot.
Anak itu langsung menurut dan berjalan keluar dengan kantung-kantung kripik di genggamannya.
Rasanya James mulai ingin menendang bokong bocah yang satu itu.
"Perasaan luka di tubuh bocah tengik itu yang paling banyak. Tetapi kenapa kakimu yang bisa retak begini," celoteh Jeremy dengan heran. Dia benar-benar tak habis fikir kenapa kamera CCTVnya bisa gesrek saat kejadian serunya sedang berlangsung.
James menatap kawannya itu datar. "Sini kutinju mata sipitmu itu. Biar kau bisa diam, dan berbaring di sebelahku."
Tyler lelaki yang duduk di atas nakas itu terkekeh. Terlebih melihat kawan asianya itu mengerucutkan bibirnya. Lelaki berambut coklat dengan sekantung kacang di tangannya itu terdiam sesaat, meredakan kekehannya, dia melirik Daniel lalu kembali menatap Jamie serius. "Pertanyaan serius. Apa kita akan kembali membuat perhitungan pada bocah itu?"
James terdiam. Maniknya menatap tajam bocah kerempeng yang berhasil membuatnya terkapar dengan kaki retak itu. Anak lelaki itu ternyata sedang memperhatikannya juga. Tak mengalihkan sama sekali pandangan tajam dari James. Namun, sekarang dia tak mau meladeninya, James mengalihkan pandangannya. Dia mendesah kesal, James hanya memikirkan hal yang lebih penting dan aneh.
Sekarang yang sedang mengusiknya adalah gadis penyihir itu dan keluarganya.
"Untuk sementara ini kita awasi para penyihir gadungan itu. Aku ingin tahu apa hubungan mereka sehingga Victoria Everlasting begitu memperhatikan cecunguk itu."
"Dan menciumnya dengan mesra." Tyler kembali terkekeh, menambahkan kalimat Jamie. Membuat lelaki berambut pirang itu memutar bola matanya jengah.
"Lalu tiba-tiba James teringat akan sesuatu, tentang para petugas ilmu sialan disekolahnya. "Kalian sudah mengatasi guru-gurunya, kan?"
Dia menatap Jeremy yang tersenyum miring.
"Tenang saja. Francisco dan Sam sedang mengurus semuanya. Mungkin mereka sedang membual di ruang kepala sekolah," ucap lelaki bermanik sipit itu enteng.
"Bagus." James memejamkan matanya sejenak.
Sekarang pikirannya kembali kacau. Bagaimana kilasan tentang Daniel memelintir tangannya dan membuatnya terdorong ke tembok dengan keras. Lalu membuatnya hampir kehilangan salah satu asetnya; kakinya yang berharga. Semua itu terus memenuhi pikirannya dan hampir membuatnya gila dengan pertanyaan.
Bagaimana mungkin? Dia merasa ada yang salah dengan ingatan dan pemikirannya. Semuanya terasa seperti tertukar.
Ah, sial! James benar-benar membutuhkan jus alpukat. "Dimana si Bulat Sialan itu. Tenggorokanku terasa terbakar!"
"Mungkin si Bulat Sialan itu sedang meminta bantuan para penyihir," balas Tyler dengan seringai khasnya.
"Membuat jus otak kelelawar membutuhkan waktu yang lama, Jamie." Kali ini Jeremy tertawa, membuat Tyler menyemburkan kacang yang telah dikunyahnya. Dia tertawa histeris.
Ingatkan James ketika kakinya sembuh. Dia benar-benar akan menendang ketiga bokong itu ke kolam ikan.
*
"Terima kasih. Terima kasih banyak..."
Daniel menatap seorang gadis dengan rambut ginger di depannya itu dengan bingung. "Untuk?"
"Menolongku," jawab gadis itu malu-malu. Dia memberikan sebuah kotak padanya dan lalu tanpa menunggu jawaban selanjutnya dari Daniel. Anak itu telah berlalu pergi meninggalkan kelasnya dan berpapasan dengan seorang gadis bermanik scarlet.
Anak perempuan di klinik.
Netra Daniel sempat bertubrukan dengan anak perempuan itu. Namun, kali ini gadis itulah yang memutusnya lebih dahulu. Victoria berjalan dengan tenang menuju meja di pojok kelas.
Daniel mendesah. Kini pikirannya mulai berpikiran macam-macam tentang bidadari itu.
Bagaimana kalau Victoria ternyata menyukainya? Terdengar konyol sekali, bukan? Mungkin sebenarnya Daniel lah yang mulai menyukainya. Dia cepat-cepat menghilangkan pikiran itu.
Daniel mengalihkan kembali pikirannya pada kelas yang mulai di penuhi murid.
Sudah hampir satu minggu setelah kejadian yang menghebohkan seluruh sekolah, dan ini hari keduanya masuk ke kelas. Semuanya kembali berjalan seperti biasanya, beberapa anak geng James tentu masih merisak anak-anak lemah. Tapi, Daniel tak melihat James sama sekali setelah mereka di panggil ke ruang konseling. Entah ini keberuntungan atau kesialan yang akan mendatang.
Pihak sekolah sepertinya sangat penasaran dengan keluarganya dan meminta Daniel untuk mendatangkan mereka ke sekolah ini. Namun, tentu saja itu tidak mungkin. Sejak pindah ke kota suram bernama Mistyfalls ini Daniel sama sekali tak pernah menghubungi keluarganya, bahkan mungkin mereka tak tahu kepergiannya.
Daniel menghela nafas.
Mr. Federick telah memasuki ruangan bersiap untuk sapaan basi dan tentang materi minggu kemarin. Sebelum seorang berambut ungu menyela sapaannya dengan nyelonong begitu saja di depannya. Lalu tanpa permisi langsung duduk di samping Daniel, membuat cowok itu mengernyit.
"Mrs. Rain... apa keberadaanku disini begitu tak terlihat hingga kau berjalan seenaknya melewatiku?" Guru sejarah itu membentak, dia membenarkan letak kacamatanya yang melorot. Menatap anak perempuan bergaya emo itu yang telah duduk santai sambil memainkan rambut ungunya.
Beberapa murid mendesah pelan. Mereka pasti mulai merasa akan mendapat khutbah lagi sore ini. Gara-gara gadis itu.
Violet Rain tersenyum ringan, gadis berambut ungu itu mulai menjawab tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Maaf pak. Kacamataku tertinggal di asrama. Jadi sedikit buram."
Mr. Federick mulai bertanya dalam hati sejak kapan gadis pemberontak itu memiliki kacamata?
"Lain kali jangan terlambat lagi di kelas saya. Atau kamu harus menggantikan saya di depan kelas." Ya, tak perlu dipikirkan. Mr. Federick hanya menatap sekilas anak itu lagi.
"Baik, Pak." Violet menyeringai.
Dalam hati, Daniel mewanti-wanti untuk menjauhi anak ini.
Mr. Federick yang sedikit pikun menjadi lupa sapaan monotonnya yang hambar. Kini dia malah mulai sibuk menulis di papan.
Sementara itu, gadis berambut ungu itu mulai sibuk merogoh saku seragamnya. Lalu membuka sebuah bungkus permen karet dengan berisik. Membuat Daniel yang sedang mencatat terganggu dan menatapnya kesal.
Merasa di perhatikan terus menerus gadis bermanik ungu itu ikut menatapnya. "Kau mau?" tawarnya menyodorkan sebungkus permen karet pada Daniel.
Daniel menatapnya sesaat. "Tidak." Kembali memperhatikan ke depan.
Walau samar dia dapat mendengar dengusan dari gadis itu, kembali memasukan kembali bungkusan yang disodorkannya pada Daniel ke saku. Lalu terakhir dengan suara giginya yang sibuk mengunyah permen karet.
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud