Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya.
"Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.
Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.
Semua ini berawal dari kejadian yang membuat semua orang terperangah pagi tadi. Tak ada angin, tak ada hujan, dengan beraninya Daniel, si Anak Baru meninjunya, tepat mengenai pipinya sesaat sebelum James menampar salah seorang gadis cupu yang telah tak sengaja menumpahkan makanan padanya di kantin. Walaupun rasanya sama sekali tak sakit bagi James yang bertubuh baja, tapi dia merasa seperti ditelanjangi di depan seluruh murid sekolah.
Dia merasa sangat malu dan marah. Seseorang telah berani menyentuhnya, menyentuh laki-laki paling ditakuti di sekolah, dengan geram akhirnya James memberi perhitungan pada Daniel tepat setelah jam pelajaran di kelas selesai, dengan kekuasaannya dia memerintah beberapa murid di sekolah untuk mengikuti perintahnya.
Daniel meludahkan darah dari dalam mulutnya, bibirnya terasa perih dan tulang pipinya terasa nyeri. Namun, dia takkan menyerah hanya karena anak lelaki dengan otak setengah di depannya. "Aku hanya muak dengan perlakuanmu yang semena-mena. Kau seharusnya malu karena hampir memukul seorang gadis. Atau sebaiknya kau memakai rok saja."
Semua mata yang sedang menonton kejadian di koridor itu tampak kaget dengan ucapan Daniel. Beberapa ada yang tertawa dan menyetujui ucapannya namun ada beberpa yang ketakutan dengan manik mata James yang telah menyorot marah dan wajah yang merah.
Mereka kembali terlibat adu pukul. Tak ada yang sama sekali mau melerai. Ketua osis dan ketua asrama sekolahpun tak bisa membantu, sekumpulan tim American Football teman-teman James telah menghalangi siapapun yang berani mendekati pertarungan satu lawan satu itu.
Guru yang seharusnya bertugas melindungi murid pun tak tahu dimana batang hidungnya, gedung asrama yang terpisah dari gedung kelas dan guru menjadi salah satu kendala. Terlebih beberapa anak geng James menjaga pintu masuk ke asrama dengan ketat. Beberapa CCTV yang tersebar di penjurupun seakan di bodohi oleh Jeremy-peretas handal di sekolah itu.
Semua anak pun tak berani melaporkan, mereka takut akan bernasib sama seperti Daniel. Ponsel merekapun telah disita dan dikumpulkan oleh anak bawahan James. Tak ada saksi dan barang bukti, itulah yang geng James tekankan. Semua telah diatur dengan rapi dan mulus oleh James untuk menghajar habis-habisan Daniel. Ya. Sebenarnya ini peringatan untuk orang-orang yang berusaha melawannya.
Dari arah pojok balkon tampak sepasang mata berwarna scarlet seorang anak perempuan tampak memperhatikan dari kejauhan bersama tiga saudaranya. Dia sma sekali tidak tertarik dengan apa yang sedang dilakukan orang-orang itu. Namun, aroma darah segar itulah yang mengundangnya untuk tetap melihat dan memperhatikan apa yang terjadi. Mereka adalah keluarga Everlasting.
"Victoria, sebaiknya kita masuk asrama saja. Atau kau akan kehilangan kendali." William, saudara sepupu gadis itu memperingatkan. Namun, tampaknya gadis pirang keemasan itu tak mengubrisnya.
Tanpa Victoria sadari, maniknya telah mengkilap kemerahan dan tubuhnya secara ajaib bergerak dengan sendirinya. Dia mendekat ke arah perkelahian itu, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.
Sebuah tangan menahan lengannya. Arabella mencoba mencegah adik keponakannya itu. "Ayo kita pergi dari sini."
Cengkeraman tangan itu di tepis dengan mudah oleh Victoria. Victoria telah terhipnotis oleh darah yang mengucur dari pelipis Daniel, dia merasa semua yang dilakukannya untuk menjadi iblis yang baik adalah hal sia-sia. Terlebih untuk apa menjadi naif kalau di depanmu terdapat makanan yang lezat untuk dilewatkan.
"Tenangkan dirimu, Vicky." Vincent yang sedari tadi hanya memperhatikan gerak-gerik Victoria kini mulai khawatir juga.
Walaupun dalam hati dia ingin membiarkan saja saudara kembarnya itu hilang kendali dan menghabisi seluruh umat manusia di sekolah ini. Namun, dia juga tak ingin kalau sampai dirinya juga akan kembali berbalik menjadi monster.
Vincent sudah cukup tersiksa selama beberapa dekade lalu harus terkurung di bawah tanah. Dia bersyukur bisa kembali keluar dari kastil dan bergaul dengan domba-domba itu. Pelatihan yang keras dan disiplin yang tinggi adalah syarat kusus bagi keluarga mereka jika ingin beradaptasi di dunia yang mayoritas berisi kaun manusia.
"Vincent lakukan sesuatu. Korbankan dirimu." Arabella berkata frustasi ketika semua usahanya gagal mencegah Victoria untuk mendekat ke arah Daniel.
Sementara itu William telah berada di belakang Victoria mencegah gadis itu membunuh orang, tanpa melakukan keributan yang akan membuat kecurigaan.
"Kau mau aku berbuat apa? Menusuk jantungku sendiri?" Vincent berkata sinis.
Arabella Everlasting terdiam beberapa saat memikirkan apa yang harus dilakukannya. Vincent benar, kalaupun Vincent dapat mencegah Victoria itu sama saja dengan menyakiti dirinya sendiri.
Berbeda dengan vampire lainnya, keluarga Everlasting memiliki keistimewaan sendiri, terlebih dengan kedua saudara kembar Vincent dan Victoria. Darah Vincent dan Victoria terikat satu sama lain. Jika salah satu terluka maka yang lainya akan mengalami sakit yang sama. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, dan Vincent tak segila itu untuk melukai dirinya sendiri, hal itu juga akan berdampak buruk baginya. Karena melukai dirinya sendiri berarti dia mengeluarkan darah dan dengan itu juga dia membutuhkan darah untuk kesembuhannya, yang berarti dia perlu makan.
"Kau benar Vin--"
Belum sempat Arabella melanjutkan kalimatnya hantaman sesuatu telah menarik kembali fokusnya. Mereka telah lengah. Victoria telah mengunakan kekuatan supernaturalnya.
Di depan sana. Victoria telah berdiri di hadapan Daniel yang telah duduk dengan mengenaskan, air liur menetes dari mulutnya yang kini terlihat gigi-gigi tajam. Bebeda sekali dengan gadis anggun beberapa menit yang lalu. Seluruh matanya telah berubah sepenuhnya menjadi hitam pekat, urat-urat hitam berdenyut menyembul di kulitnya. Kini dia monster sepenuhnya.
Gadis itu telah melumpuhkan kumpulan benteng manusia anak buah James dengan enteng. Tentu saja sekuat apapun manusia takkan bisa menandingi kekuatan kaum mereka. Anak-anak malang itu terkapar tak berdaya di lantai, setelah terpental oleh kekuatan gadis vampire itu.
Beberapa siswa yang masih sadar berusaha berdiri. Mereka menatap tak percaya dengan sebuah hal yang mereka lihat dan rasakan barusan. Mereka hanya bisa terbengong dengan keringat dingin mulai menetes. Kejadian itu begitu cepat dan sama sekali tak masuk dalam nalar manusia.
"M-monster!"
Sementara William tampak cemas dan panik, sebagai orang tertua dikeluarga mereka baru kali ini dia melihat Victoria yang menggunakan kekuatan penuhnya.
Arabella dan Vincent mendekat untuk mencegah Victoria melakukan hal diluar kendali lagi. Namun, mereka kalah cepat. Seperti sebuah kedipan mata, Victoria telah menghilang bersama dengan keberadaan Daniel.
"Kita dalam masalah besar," gumam Vincent. Matanya tak mungkin salah lihat. Victoria telah kehilangan kendali.
*
"Hmm... Bukankah ini seperti gigitan hewan buas?"
"Hei! Kau tak lihat ini." Dengan santai Mason menunjukkan bekas luka di leher korban George Water pada Cedric. Kalau dilihat oleh mata awam tubuh itu tak lebih tersisa dari cabikan hewan, tapi kalau diperhatikan secara mendetail satu-satunya luka di lehernya. "Ini lebih kecil dari gigitan beruang, hewan buas apanya. Ini lebih seperti gigitan Zombi."
"Zombi? Tidak sekalian Vampir lebih masuk akal? Mahkluk itu hampir mengeringkan darahnya?"
Beberapa petugas forensik yang bersama mereka menatap terkejut kedua orang itu. Walaupun sudah senior, tak jarang kedua orang itu membuat keributan di ruang kerja mereka. Bahkan di lab sekalipun. Seperti saat ini.
Kayden yang ikut masuk bersama mereka hanya terdiam. Sepertinya dia salah masuk ruangan.
Gary Mason menoleh pada rekan-rekan satu timnya, semua orang tampak tegang. Apa dia sudah keterlaluan? Padahal dia hanya ingin mencairkan suasana.
Terlebih pada Detektif Kayden Laye. Tentu Gary sudah mendengar bagaimana desas- desus yang menyebar di kalangan kepolisian dan bahkan ke labnya, kalau laki-laki di depannya itu berbahaya.
"Detektif Laye itu mantan FBI. Dia dipindahkan devisi karena membunuh seseorang."
"Bukankah membunuh itu sudah biasa kalau bekerja di kepolisian?"
"Dia terlalu terobsesi. Dia menembakan peluru pada penjahat yang tak bersenjata dan tak melawan. Dia seorang psikopat."
Masih teringat jelas pembicaraan Gary dengan rekan-rekannya dari kepolisian internasional. Tentu dia tak bisa membantahnya karena dia sendiri yang mengotopsi tubuh penjahat itu.
Lima tembakan di tempat yang sama, jantung.
"Hei! Kalian serius sekali... aku hanya mencairkan suasana. Kalian tegang sekali." Gary menatap Detektif Kayden Laye. Kalau dia tak mendengar beritanya, Gary Mason akan menganggap Kayden Laye itu adalah Detektif muda yang jenius, Gary mengakuinya bahkan Kayden adalah seorang pemuda yang sangat tampan. "Kami akan segera melakukan otopsi. Namun, ini akan lebih lama dari biasanya."
Lebih lama karena tubuh itu hampir tak dikenali dan... sudah membusuk.
"Anda sudah bekerja keras," lanjut petugas Mason. "Kami berterimakasih atas bantuan Detektif Laye. Kami akan memulai otopsinya. Kami akan mengabari setelah hasilnya keluar."
"Baiklah. Mohon kerjasamanya," ujar Kayden sopan dengan sedikit menundukan kepalanya.
Kayden keluar dari ruangan itu dengan pikiran yang terdistorsi.
Luka itu. Dia mengenalinya.
ā
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud