Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.
Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.
Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.
Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.
Dan... Tunggu!
Apa ini?
Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.
Hades?
Grup macam apa ini?
Bukannya nama grup itu sangat mirip dengan nama perkumpulan James Robertson? Ya, Daniel pernah mendengar anak-anak di kelas membicarakannya, dan bagaiman mereka sangat ingin menjadi bagian dari mereka.
Ternyata ada yang memasukannya dalam grup perkumpulan paling di bicarakan di sekolah. Apakah dia harus senang? Tentu tidak!
Tergesa-gesa dia mengetuk tombol keluar dari grup. Setidaknya sebelum ada orang yang menyimpan nomornya, jadi dia tak perlu tahu apa yang akan terjadi seandanya dia keluar dari grup kumpulan alien sekolah itu.
Sebuah notifikasi berbunyi. Daniel kembali mengernyit, seseorang telah memasukannya kembali, dan kali ini orangnya adalah nomor tak dikenal.
Daniel penasaran, dia akan melihat profilnya. Namun, sebuah notifikasi kembali berbunyi. Dari nomor itu, dan pas sekali Daniel melihat siapa si pemilik nomor.
Dia adalah James Robertson, dengan sebuah pesannya yang mengancam:
Mulai detik ini kau menjadi anggota Hades. Selamat, sobatku tersayang!
Tentu saja aku sangat tertarik pada keberanian dan kekuatanmu. Jadi, kau akan masuk tim football mulai besok. Datanglah besok ke lapangan utama setelah kelasmu selesai.
Apa-apaan pesan itu?
Daniel mulai gugup. Sial! Benar-benar sialan!
Selama beberapa hari ini hidupnya terasa tenang karena tak harus melihat drama yang dibuat oleh perkumpulan monyet-monyet nakal itu. James Robertson sedang berfokus menyembuhkan aset berharganya (kakinya), dan anak buahnya tak mungkin melakukan sesuatu tanpa perintah komando sang ketua.
Lalu, apa ini? Seperti ledakan bom waktu saja, James telah membuat Daniel ingin melompat dari lantai gedung perpustakaan sekolah.
Dia mematikan ponselnya cepat, tanpa berniat sedikitpun akan membalas atau membukanya lagi. Daniel benar-benar mulai menyesal akan keputusanya yang sok jagoan dan menolong anak perempuan itu. Kini dia sedang dalam masalah.
*
Perempuan dengan rambut ungu yang tak lain bernama Violet itu terdiam. Dia memperhatikan dari keremangan malam. Dia benar-benar melihat secara detail apa yang sedang dilakukan teman satu kamar asramanya itu.
Dia sama sekali tak percaya dengan gosip murahan yang beredar di kalangan anak-anak alay sekolah. Namun, sepertinya dia harus mulai mewaspadai gadis dengan manik bak malaikat itu.
"Kau belum tidur, Violet?"
Hampir saja Violet terperanjat bangun dan berlari tunggang langgang. Dia mengerjapkan maniknya beberapa kali, dan mulai berkata gugup, menjawab pertanyaan gadis itu, "Aku tak bisa tidur. Ngomong-ngomong."
Gadis berambut pirang itu berdiri dari kursi belajarnya yang penuh dengan bunga-bungaan berbau memualkan. Lalu berjalan menuju ranjangnya, berbaring menghadap Violet, membuat gadis itu seperti melihat hantu. Wajah gadis itu benar-benar pucat. Walau tak dapat Violet pungkiri kalau dia secantik Dewi dan bertubuh layaknya model majalah sport.
Kadang dia merasa sangsi kalau mendengar anak-anak perempuan yang bergosip tentang bagaimana gadis penyihir itu bisa berubah jelek dalam sekejap mata dan dia harus meminum darah gadis-gadis perawan atau bermandikan darahnya setiap malam bulan purnama.
Violet ingin sekali mentertawakan ini. Memangnya ini jaman apa? Lalu, apa gadis itu Elizabeth Báthory si Ratu Vampire? Bukannya itu gagasan yang paling konyol, dan lebih konyolnya lagi banyak juga yang mengira kalau wajahnya itu oplas atau apalah itu bedebah kecantikan palsu.
Tapi, Violet tak tahu itu gosip itu benar atau tidak. Namun, pada kenyataannya Violet benar-benar mengagumi bagaimana wajah Victoria terlihat polos dan murni, dan lihat saja saudara-saudaranya. Apakah mereka mungkin saja demi-god --putra-putri blasteran Olympus?
Lalu, Violet juga beberapa kali memergoki gadis itu sibuk menumbuk atau meracik beberapa bebungaan memualkan itu di laboratorium. Mungkin itu rahasianya. Sebuah ramuan herbal. Lalu, untuk kulitnya yang pucat seperti hantu itu mungkin karena dia jarang keluar rumah. Bukan sepertinya, gadis itu pasti anak rumahan yang selalu dimanjakan orang tua kaya rayanya. Opsi ini terdengar masuk akal daripada operasi.
Dan Violet juga jarang melihatnya maupun keluarga suramnya ikut kelas olahraga outdoor. Kadang Violet juga ingin mencoba beberapa triknya untuk kulitnya yang kering. Tapi, yah... Violet, kan, anak yang tak bisa diam.
"Apa karena kasus itu?" tanya gadis itu lagi, membuat Violet kembali ke realita, dan langsung dibuatnya merinding.
Wajah George Waters kembali terbayang. Violet tidak terlalu mengenal anak itu. Dia hanya tahu dia adalah salah satu anak emas club football. Lalu tiba-tiba dia melihatnya dengan wajah mengeriput, mata yang melotot ngeri dan tubuh yang tercabik-cabik.
Untuk apa Victoria Everlasting yang terkenal dengan sikap apatisnya itu menanyakan kasus kematian mengenaskan George Waters? Violet tahu semua orang mungkin penasaran. Tapi, bukankah anak itu kurang paham situasinya. Violet benar-benar telah berusaha keras untuk melupakan kejadian mengerikan itu.
"Tidak. Bukan itu," jawab Violet lirih.
Mereka mulai terdiam lagi. Violet mengubah cara tidurnya dari miring jadi terlentang, menerawang langit-langit kamarnya. Violet mulai risi dengan pandangan gadis itu yang seakan membaca isi pikirannya.
Kalau dipikir-pikir setelah hampir satu tahun Violet sekamar dengan gadis itu belum pernah dia bercakap-cakap sepanjang ini dengannya, dan ajaibnya lagi, percakapan ini juga diawali dengan dia yang berbicara duluan. Biasanya Violet menyapanya namun gadis itu terlihat cuek dan dingin. Ya, perempuan apatis itu.
"Kau kenal dengan Daniel Zaire?" tanya Victoria tiba-tiba, benar-benar terdengar samar. Namun, cukup membuat Violet yang hampir memejamkan matanya kembali terjaga. Terkejut. Tentu saja.
Daniel Zaire.
Otaknya kembali berputar pada anak lelaki yang tadi siang duduk di sampingnya pada kelas sejarah. Anak lelaki yang sama yang menghajar Jamie si Badak. Anak lelaki yang sedikit menarik baginya, dengan wajahnya dan terlebih karena sifatnya yang blak-blakan, anak itu sulit dilupakan. Walau dia terlihat culun. Aneh bukan? Kenapa seseorang sepertinya bisa mengalahkan James Robertson.
Violet melihatnya pertama kali waktu memasuki ruang kepala sekolah. Waktu itu untuk kesekian kalinya dia dipanggil karena kabur dari sekolah. Bukan salahnya, kan, kalau dia bosan dengan lingkungan sekolah yang lebih mirip penjara itu?
Dia memasuki ruangan kepala sekolah, membuat sang kepala sekolah yang berwajah seperti hantu dalam kapal Flying duchman itu menunda acara mengocehnya tentang peraturan sekolah padanya. Pantas saja Violet belum pernah melihatnya, ternyata anak lelaki itu murid baru. Lalu, baru sehari masuk sekolah asrama penjara ini dia telah menghajar wajah Jamie didepan seluruh murid.
Bukankah dia cute.
"Ya... uhm, maksudku aku melihatnya beberapa kali." Tanpa Violet sadari dia menyeringai, dan itu terlihat oleh Victoria.
"Well. Sebenarnya siapa yang tak mengenal cowok itu. Dia telah menjadi topik terhangat beberapa hari ini," lanjutnya, kali ini sedikit melirik pada Victoria.
Tentu Victoria tahu, bukankah dia yang mengantarnya waktu itu ke UKS setelah bertarung habis-habisan dengan Jamie? Itu membuat Violet tiba-tiba penasaran. Apa mereka memiliki sebuah hubungan?
Yah... siapa peduli.
"Mungkin besok aku harus mengajaknya berkencan." Tiba-tiba hal konyol melintas di kepalanya. Tapi, bukannya itu ide yang cemerlang untuk menghilangkan status jomblonya selama ini.
Walau yang sebenarnya di pikiran Violet adalah mencoba memancing Victoria. Siapa tahu gadis bidadari itu mau mengakui hal-hal sensitif padanya. Well... siapa tahu.
"Terdengar bagus," ujar Victoria pendek. Tidak sesuai harapan Violet.
Victoria berbalik memunggunginya.
Seharusnya Violet tahu kan, kalau gadis ice cube itu tak mungkin menghiraukan kalimatnya.
Tapi, setelah itu tiba-tiba sebuah senyum terukir di bibirnya.
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud