Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.
Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya.
"Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.
Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu.
"Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.
Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP.
"Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan ludah susah payah.
"Hah?! Siapa yang memanggil mereka?!"
"Saya tidak tahu."
Dia tak menyangka sebuah pembunuhan telah terjadi tepat di tempat terpencil ini. Langsung menarik begitu banyak perhatian. Padahal dia sudah meredakan media lokal.
"Seperti yang telah media kami beritakan. Sepertinya ini hanya kasus bunuh diri biasa."
Kayden berbalik. Menghampiri pria tua itu. Dia menunjukan pengenalnya. "Saya Detektif Kayden Laye. Saya sudah menerima banyak laporan kasus bunuh diri. Namun, apakah Bapak?"
Kayden mengangkat alisnya.
"Ini Sheriff Tompson. Brian Tompson."
"Mr. Tompson tentu tahu tentang masalah ini dan apakah bisa menjelaskan bagaimana ini disebut kasus bunuh diri?" Kayden menunjukan foto-foto kasusnya pada Tompson dan kembali membuat pria itu menahan nafas.
"Bagaimana bisa anda mendapatkannya?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Ini sudah tersebar luas di internet. Dari yang saya dengar sepertinya Mr. Tompson juga berada di TKP saat korban ditemukan."
Kini Tompson tak bisa berkata-kata lagi. Kayden berbalik kembali menyelidiki bersama timnya.
Hutan ini disebut hutan Redwood, sepertinya namanya terdapat pohon-pohon Red yang tumbuh menjulang di sini. Hutan yang berada persis di belakang gedung asrama sekolah St. Louisa ini sudah menjadi rahasia umum dari kota kecil ini bahwa hutan yang mendominasi daerah itu adalah tempat untuk mengakhiri hidup.
Tidak hanya dari penduduknya sendiri, bahkan orang-orang yang tak dikenal sekalipun melakukan bunuh diri di tempat itu. Semuanya seperti biasa terjadi.
Namun, mayat dua hari lalu yang di temukan disana dengan kondisi hampir membusuk, rupanya tak lain adalah seorang siswa dari SMA St. Louisa itu sendiri. Anak yang dikabarkan sudah menghilang beberapa hari yang lalu itu mati. Pihak sekolah awalnya mengira kalau anak itu kabur dari sekolah, mereka bahkan telah mengabari keluarga serta kerabat kalau anak lelaki itu sedang dalam masa kenakalan remaja seperti remaja lain.
Tapi, kasus ini ternyata bukanlah kasus pertama yang terjadi di sekolah ini, dan sepertinya mulai membuat kecurigaan di kalangan siswa maupun wali murid. Bisa saja mereka bunuh diri seperti orang-orang putus asa itu, namun, foto-foto yang tersebar di internet tak ada yang bisa membantahnya.
Seharusnya sekolah menutup kasusnya seperti biasanya dengan memberikan uang banyak-banyak pada keluarga korban. Namun, pada akhirnya kasus ini tercium oleh pemerintah.
"George Waters pacarnya Lola Kelly itu?"
Beberapa anak murid yang sedang beristirahat di kafetaria tampak berbincang tentang kematian anak malang itu. Termasuk segerombolan anak perempuan di samping jendela itu.
"Kasihan sekali. Sekarang dia jadi jalang merana."
"Diamlah, May! Kita sedang membahas George, bukan jalang itu."
"Ya, ya. Ayo lanjutkan Stella."
"Aku dengar kematiannya sangat tidak wajar. Mereka bilang dia bunuh diri. Namun, aku lihat foto yang diberikan James di grup, kalian sudah lihat, kan?"
"Sialan aku gak mau melihatnya."
"Luka di lehernya itu seperti seseorang telah mencabiknya. Lihat ini." Anak perempuan berambut pirang itu menunjukan foto di ponselnya pada teman-temannya.
"Aku merasa sakit!" Gadis berambut merah itu menutup mulutnya, menahan gejolak mual di perutnya. "Singkirkan itu, Stella. Ini mengerikan. Petaka. Sekarang seorang pembunuh sedang berkeliaran di sekolah kita."
"Astaga! Tutup mulutmu, May! Kau tidak waras. Apa kau ingin pembunuh itu melenyapkan kau juga."
"Hiii... jangan buat aku merinding, Stelly."
"Itu benar... Aku rasa pembunuh itu masih berkeliaran disekitar kita, dan mencari mangsa baru."
"Omong kosong! Kalian terlalu banyak nonton film."
"Tapi, bukannya George itu teman dekatnya James, bahkan terakhir kali dia terlihat sedang berenang bersama James."
"Entahlah... Well, aku sedikit bersyukur, sih... Satu diantara geng perisak James berkurang."
"Sshhh... kau jangan keras-keras kalau bicara. Kau mau jadi korban selanjutnya oleh James."
Seorang anak lelaki bermanik coklat almond yang sedang berada tak jauh dari segerombolan anak perempuan itu tak bisa tak mendengar suara gosip di antara mereka. Itu semua sudah membuat pagi hari pertamanya di sekolah ini benar-benar buruk.
Hal bagus lainnya itu adalah dia takkan bisa berpindah tempat dari tempat duduk itu karena segerombolan preman sekolah telah datang. Acara makan paginya ini mungkin akan diisi oleh drama anak-anak itu.
"Astaga, Jen. Sepertinya James mendengar perbincangan kita."
"Diam, May!"
"Perhatian semuanya..." Seseorang anak lelaki dengan seragam dan rambut pirang acak-acakan itu mulai berkoar-koar di tengah kantin.
Maniknya yang selalu memancarkan aura jahat menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada satupun murid yang melewatkannya, dan kalaupun ada, lelaki itu sudah siap melayangkan kursi yang sedang didudukinya di atas meja.
"Kita semua tahu tentang kabar duka yang telah menimpa salah satu kawan kita di sekolah ini," lanjutnya dengan wajah tanpa ekspresi.
Oleh sebab itu disini aku sebagai perwakilan seluruh siswa akan menarik dana untuk membantu keluarga mendiang George Waters."
Walaupun James adalah sosok jahat yang selalu semena-mena, dia memiliki jiwa persahabatan yang erat pada teman-teman satu perkumpulannya. Dengan sedikit pemaksaan dia harus mendapatkan uang untuk membantu keluarga mendiang. Terlebih James tahu dari cerita sahabatnya itu kalau adiknya juga sedang berbaring koma di rumah sakit karena Leukemia.
"Kalau ada yang mau protes silahkan datang langsung padaku sekarang juga," ujarnya mengancam. Semua orang terdiam, yah... mau berkata apa lagi.
"Baiklah," tukas James dingin. Dia lansung memerintah beberapa monyet-monyet nakal anak buahnya untuk mulai menarik uang.
Dari atas meja dia memperhatikan seperti penjaga pantai. Dan seperti perintahnya tak ada satupun yang melawan ataupun protes. Semuanya menurut memberikan uang pada anak buahnya. Minimal $50. Gila bukan?
Semuanya berjalan lancar sebelum James sedikit mengernyit ketika melihat anak buahnya kembali namun tanpa menagih pada sekumpulan keluarga aneh di pojok kantin. Dia sudah memperhatikan sedari tadi dan dengan manik tajamnya dia menatap Bobby yang barusan lewat menagih dari arah sana namun melewatinya.
Dia melompat dari meja. "Ambil uang dari mereka juga." Tunjuknya dengan dagu. Namun, seperti anak lelaki bertubuh tambun itu tak mengindahkan.
"Kau bercanda? Aku tak mau kena kutukan dari sekelompok penyihir itu, dan siapa yang tau kalau uang yang akan mereka berikan nanti akan berubah jadi sekumpulan daun kering." Bobby terkekeh bersamaan dengan beberapa anak buah James.
Hampir saja tanggannya yang terkepal akan meninju mereka satu-persatu kalau saja tidak ada seseorang yang tiba-tiba menabraknya dan menumpahkan makanan di bajunya.
Semua orang langsung membulatkan matanya kaget.
"Maaf! Maafkan aku! Maaf!"
Seorang gadis dengan pakaian kelewat rapi dan wajah yang merah tampak ketakutan dengan langsung membersihkan kotoran di baju James. Berulang kali permintaan maaf keluar dari bibirnya yang bergetar dengan manik yang siap menumpahkan air mata.
Dia sama sekali tak sengaja, tubuhnya tadi disenggol seseorang. Dia sama sekali tak sengaja. Tapi, James adalah orang yang tak peduli dengan alasan apapun pada orang-orang yang berusaha mengusiknya. Menggangu jalannya.
Tangan anak lelaki itu terkepal. Dia menundukan kepalanya, melihat pemilik rambut berwarna ginger itu lalu mendorong tubuhnya kasar hingga terjerembab ke lantai.
Kini kantin kembali diisi oleh aura yang menyesakkan.
Anak lelaki bermanik coklat almond yang sejak awal bosan melihat bagaimana kejadian itu berlangsung, mendesah berat. Sudah dia duga pasti akhirnya akan begini.
Dramanya akan segera dimulai. Bisiknya dalam hati.
ā
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Victoria menatap tanpa ekspresi saat tatapannya bertubrukan dengan James Roberson beberapa saat sebelum anak laki-laki itu meninggalkan meja Daniel bersama kelompoknya.Victoria tentu juga melihat bagaimana perubahan wajah Daniel yang terlihat sepucat kapas sepeninggal gang Hades itu.Sebenarnya semua orang di kafetaria itu bahkan kini memusatkan perhatian pada anak laki-laki itu.Victoria tak tahu, apa yang dibicarakan oleh mereka hingga Daniel terburu-buru keluar dari kafetaria itu setelahnya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Victoria tentu tak harus peduli dengan semua hal yang terjadi di sekitarnya apalagi yang berhubungan dengan manusia seperti sifatnya biasanya. Akan tetapi, entah mengapa sesuatu dalam dirinya membuatnya tak bisa lepas dan ingin mengetahui semua gerak-gerik seorang Daniel Zaire itu."Sial! Aku sudah menduganya, kita akan segera mendapat masalah besar. Bukankah sudah kukatakan lebih baik kita tinggal di kast
Langit gelap perlahan berubah menjadi kemerahan bersama sinar bulan purnama merah. Perempuan itu tersenyum lebih lebar memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Air liur tak berhenti menetes dari mulutnya. Dia menatap Daniel dengan lapar. Daniel berkedip. Aroma kematian menguar di sekitarnya. Daniel merasa sesak nafas, dan tubuhnya membeku --tak bisa dia gerakkan sama sekali. Jantungnya berdetak lebih cepat, sampai rasanya akan meledak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Mulut Daniel terkunci saat sepasang pupil hitam itu menelan iris merah dan perlahan mengisi seluruh rongga matanya dengan kegelapan tak berujung. Terdengar retakan tulang yang mengerikan, tubuh perempuan di hadapannya itu perlahan memanjang dan mulai terbalik-terpelintir dengan posisi yang aneh, kulitnya yang pucat perlahan mengelupas menjadi kebiruan, lalu lumer menjadi bentuk yang tak bisa dia jelaskan. Tubuh itu mulai merangkak mendekatinya seperti serangga.
Mereka selalu mengatakan, 'Semakin besar rasa kau membenci seseorang, semakin banyak perhatianmu teralihkan untuknya.' Sebenarnya James sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa dia begitu tertarik dan penasaran dengan Victoria Everlasting maupun keluarganya yang aneh. Sama sekali bukan rasa benci ataupun perasaan emosional lainnya. James lebih menyebutnya dengan rasa curiga. Entahlah, sesuatu dalam dirinya merasa harus mewaspadai mereka. Dia sempat merasa rasa waspadanya selama ini tak beralasan dan mengabaikan eksistensi mereka di sekolah, hingga insiden beberapa hari lalu yang sama sekali tak masuk akal baginya. Tiba-tiba Jeremy Kim mengajaknya untuk memeriksa ulang apa yang sebenarnya terjadi pada saat perkelahiannya di rekaman CCTV. Sama sekali tak terpikirkan olehnya sebelumnya. Semuanya yang ada di rekaman CCTV itu terlihat jelas dan sesuai dengan apa yang diingatnya saat itu. Mulai dari adegan James yang membuat Daniel yang sedang berjalan tersand
Sudah hampir satu minggu dan tak butuh waktu lama bagi seorang James Robertson untuk kembali sehat seperti biasanya. Menyugar rambut pirang gelapnya, sepasang netra hazelnya memerhatikan Daniel yang dengan terburu-buru langsung keluar kelas seperti sedang dikejar hantu begitu jam kelas itu usai. Oh! Apa tikus itu ketakutan padanya? "Hei, Jams! Nggak ke kantin?" Sebuah suara yang sangat Jamie kenal berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Anak lelaki itu memutar bola matanya. Bobby tersenyum lebar, bocah bertubuh subur itu rupanya satu kelas dengannya hari ini. "Males." Jamie malas sekali menghadapi bocah menyebalkan itu sekarang. Dia sudah cukup kesal. Bohong sekali kalau dia tak ingin menghajar anak laki-laki cantik itu lagi. Dia sedikit lega anak itu segera menyingkir dari pandangannya atau kalau tidak, mungkin dia benar-benar akan kehilangan kendali. James tak habis pikir kenapa Hansel Brooklyn sang
Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, de
Daniel berbaring dengan tak nyaman di kamar asramanya. Kini sudah pukul sebelas malam dan dia belum bisa tidur juga.Di antara keremangan ruangan, dia melirik sebuah ranjang kosong di sebelahnya. Itu ranjang milik George Water. Tiba-tiba dia merasa merinding. Lalu suhu ruangan itu seperti mendukung semua presepsinya karena udara sejuk menyerubunginya.Huh! Dalam hati dia mengutuk ketua OSIS sekaligus penjanga asrama putra si Hansel Brooklyn, salah satu tukang pukul dan preman sekolah yang mungkin dengan sengaja telah menjebaknya untuk tinggal di asrama berhantu ini.Daniel membuka ponselnya, ini adalah kali pertamanya membuka ponsel setelah kepindahannya ke sekolah ini. Tak ada pesan atau panggilan yang sepesial. Daniel mulai membaca beberapa pesan di chat nya. Ternyata dia sudah dimasukkan di grup sekolahnya. Sedikit mengejutkan.Dan... Tunggu!Apa ini?Daniel mengernyitkan alisnya begitu dia tahu sebuah pesan masuk dari grup lain.H
Vampire.Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya."Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.Kucing hitam. Pembawa sial.Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu."Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan
Beberapa anak SMA St. Louisa tampak berdiri dari balkon asrama sekolah menatap sebuah pemandangan yang terjadi di hadapan mereka. Seorang anak lelaki dengan tubuh kurus dan baju yang telah kotor karena minuman itu masih tampak berusaha berdiri tegap dengan wajah menantang pada lelaki yang berbadan lebih besar darinya. Walaupun wajahnya telah babak belur dan lecet serta tulang rusuknya yang terasa sangat sakit lelaki yang tak lain adalah Daniel itu menatap tajam James yang sudah tampak tak tertarik dengannya."Heh idiot! Sebaiknya kau tak usah ikut campur dengan urusanku." Jamie kembali mendekat pada Daniel dengan seringainya yang jahat.Sebagai seorang pendatang baru, Daniel telah berani untuk melawan ketidakadilan di sekolah asrama St. Louisa, dan itu membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak bagus untu seorang James Robert, dia adalah kapten tim football sekaligus lelaki paling berkuasa di kalangan murid-murid sekolah.S
Tidak seperti hari biasanya dimana Hutan Redwood yang sepi menjadi hutan yang ramai dengan beberapa orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya.Aroma anyir semerbak di udara. Seorang anggota kepolisian setempat berjalan hendak memasuki sebuah garis polisi yang melingkar di antara pepohonan. Namun, belum sempat dia menjejakan kaki, sebuah tangan menghentikannya."Apa yang mau Anda lakukan?" Kayden menatap tajam polisi itu.Dengan kasar polisi bertubuh tambun itu menepis tangan yang menghalanginya itu."Hei! Kau tak tau siapa aku, ya!?" Memang dapat dilihat dengan jelas melalui emblem yang dia kenakan. Polisi itu mempunyai kedudukan yang tinggi.Namun, tampaknya Kayden sama sekali tak peduli. Dia bersama timnya meninggalkan pria paruh baya itu membentak-membentak kasar di belakangnya, sementara dia mulai mengamati TKP."Pak... sabar... dia dari tim forensik nasional." Seseorang berbisik di telinga pria tua itu dan membuatnya menelan lud