Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.
Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun.
“Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu.
Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung.
“Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yang harus disampaikan,” ucapnya penuh pengertian.
Gadis itu diam, buluran bening mulai menggenang di pelupuk, berkaca-kaca terharu dengan apa yang disampaikan sang mama. Dia tersenyum kecil lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping wanita yang telah melahirkannya itu, berulang kali berucap terima kasih atas pengertiannya yang dibalas anggukkan Heni. Helva tidak tahu kesedihan di wajah wanita kuat itu kian membendung. “Maaf,” bisik hatinya.
Perjodohan itu memang sering kali menekan mereka yang dimaksudkan. Dua anak manusia yang diikatkan tanpa saling mengenal lebih dulu, atau bahkan sekalipun tak mengenal lalu kemudian terikat dalam sebuah ikatan suci. Entah bagaimana akhirnya, yang pasti bagi Helva sama sekali tak ada gambaran untuk itu.
Sebagai seorang ibu, Heni tentu merasa bersalah. Dia tahu betul apa yang diharapkan Helva, apa impiannya, dan cita-citakan. Maka dia berbohong, lebih tepatnya terpaksa karena tak tega melihat Helva.
Keduanya larut dalam perasaan masing-masing, saling memendam, dengan pikiran yang penuh akan segala tanya dan kata, terlalu membingungkan hanya untuk digambarkan jadi cukuplah mereka yang merasakannya.
Malam kian larut, binatang malam mulai terdengar bersuara, alam semakin gelap seolah takkuasa lagi menahan air yang dikandungnya. Gelap menyambar, terangnya membelah malam. Ibu dan anak itu masih larut dalam kehangatan.
Braaak!
Suara dobrakan pintu yang terdengar cukup keras membuat keduanya melepas pelukan dan saling tatap. Ada apa? apa yang terjadi? Dan segelintir pertanyaan atas dobrakan yang cukup keras itu seolah pintu yang menjadi korban itu adalah milik mereka.
“Heni! Keluar kau!” teriak seseorang yang asalnya terdengar dari bawah. Helva menatap ibunya yang menggelengkan kepala.
Sreeet! Bum! Bruk! Braak!
Tak lama setelah dobrakan pintu, dan panggilan yang cukup nyaring itu, terdengar kegaduhan. Seperti suara benda yang di pukul, jatuh, atau apa pun yang sering dilakukan preman yang mengganggu. Tungguh, preman? Helva dan Heni kembali saling tatap.
“Keluar kau! Atau kuhancurkan semua barang milikmu!” ancaman itu semakin nyata. Heni bangkit dari duduknya tergesa menuruni anak tangga untuk melihat apa yang terjadi di bawah, lantai bawah yang dijadikan rumah makan sederhana.
Heni tiba di undakan tangga terakhir, wajahnya pusat pasi begitu melihat ruangan itu tampak sudah hancur bak kapal pecah. Kursi dan meja yang berserakan, bahkan beberapa patah dan hancur. Tak hanya itu, sendok, garpu, serta berbagai macam benda terserak di lantai. Pandangannya kemudian dia alihkan pada beberapa sosok pria yang menjadi pelaku kerusakan barang miliknya. Lalu pandangannya berhenti pada sesosok pria yang menjadi pemimpin mereka.
Sengai menakutkan itu muncul, berjalan mendekati Heni yang kini telah sempurna berada di antara serakan barang dan kayu. Tawa pria itu menggema bak gendering perang yang tak bisa dihentikan.
“Ha ha, kau akhirnya turun, hah! Lama sekali!” katanya menyentak tepat di hadapan Heni yang berjengit. Langkah kaki pria itu mengitarinya. “Aku akan langsung saja. Kapan kau akan melunasi hutang si brengsek itu, hah? Kau tahu, aku tak bisa lama menunggu.”
“A-aku akan segera memberikannya padamu. T-tapi untuk saat ini sedang tidak ada, Bang,” aku Heni dengan tergagap dan nada suara yang bergetar ketakutan.
Sosok tinggi dengan badan tegap dan wajah sangar itu menghentikan langkahnya, mata setajam elang diarahkannya pada Heni yang hanya mampu diam di tempatnya berdoa dalam hati agar tak terjadi apa pun.
“Kapan?” tanyanya dengan suara yang tegas.
“N-nanti kal –”
“Nanti-nanti, kau selalu beralasan. Apa susahnya hanya memberikan akta tanah kau telah digadaikan si brengsek itu, maka kau tak perlu repot bekerja keras.” Pria itu kembali melangkahkan kakinya.
Sreet!
Dia menyeret kursi untuk didudukinya sambil menatap Heni yang tak bergeming di tempatnya. Pengawasan pria itu tak lepas darinya.
“Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi, kau tah itu. jadi, ayo bayar atau tidak sekarang akan kunaikkan dua kali lipat dari biasanya.” Tak ada cara lain selain mengancam, itulah yang dlakukan kebanyakan rentenir yang menagih utang.
Rentenir? Ah, Helva hanya mampu diam di tempatnya tak tahu harus melakukan apa karena mengancampun akan percuma. Jadi diam mungkin lebih baik. Tapi dalam hatinya, Helva menyumpah-serapahi pria yang mereka cari, tampak sekali kemarahan di mata Helva.
“Baik. Tapi tolong beri kami waktu, Bang. Hari ini tidak banyak keuntungan yang kudapatkan karena harus membayar biaya sekolah anak-abak juga,” aku Heni.
Pria dengan perawakan tinggi dan wajah sangar itu diam tampak berpikir akan apa yang harus dia lakukan. Jadi telunjuknya memainkan dagu yang di tumbuhi rambut tipis. Kemudian tatapannya beralih apad Helva yang diam di ujung tangga, seketika senyuman hadir di bibirnya seolah menemukan sebuah ide akan apa yang harus dilakukan ada keluarga kecil itu.
Kesempatan? Sepertinya bukan karena Helva tahu sosok itu tak mungkin memberi mereka kesempatan lagi, dan lagi. Namun, tatapan penuh arti dari pria itu yang tertuju padanya membuat tubuh Helva menegang seolah dia tahu arti tatapan itu yang penuh hasrat dan gairah. Tidak mungkin!
“Aku akan memberimu waktu tapi dengan syarat,” katanya sambil mengeringai licik. Membuang napasnya lewat hidung, tatapannya masih tertuju pada Helva.
“A-apa itu?” tanya Heni terbata. Sebagai seorang ibu, dia merasakannya juga arti tatapan yang terarah pada anaknya.
“Kau berikan anakmu, maka hutang itu lunas,” katanya licik.
Mata Helva membulat begitu dengan Heni, sama-sama terkejut dengan syarat itu. Bagaimana mungkin anaknya diserahkan hanya untuk membayar hutang? Tidak, tidak, Helva tak seberhara itu untuk dijual, bagi Heni dia adalah permata yang harus dijaganya.
“Tidak!” tegasnya sambil merentangkan kedua tangannya di depan Helva, menjadi tameng.
Pria itu tertawa.
“Maka segeralah lunasi hutangmu atau aku akan mengambil anakmu. Sepertinya dia masih virgin, benar, bukan?” tanyanya untuk memastikan. Helva diam ketakutan seolah bisa merasakan sapuan menjijikkan dari tatapan sosok itu.
“Aku tidak akan pernah menyerahkan putriku pada orang sepertimu jadi jangan pernah berpikir mudah untuk mendapatkannya,” jelas Heni mnegaskan kalau sang putri bukanlah barang yang bisa diberikan dengan mudah.
Kembali pria itu tertawa yang suaranya menggema di ruangan itu membuat Helva semakin ketakutan. “Kalau begitu, aku beri kau waktu tiga hari untuk melunasi hutangmu. Atau kalau tidak, aku akan mengambil paksa anakmu,” katanya.
Heni diam, terdesak. Tidak mungkin dia menyerahkan Helva begitu saja pada lintah dasat sepertinya. Maka dia harus mengambil keputusan dengan cepat atau harus merelakan sang putri yang dia sayangi.
“B-baik, aku akan m-membayarmu kembali sesuai waktu yang kau berikan,” putus Heni.
“Oke. Ingat itu kalau tidak, aku tdak akan melewatkan kesempatan yang begitu nikmat,” katanya sambil menggerakkan lidahnya menyusuri bibirnya sendiri.
Helva hanya mampu diam, dia terancam. Jadi, apa yang harus dia lakukan?
***
Terma kasih sudah baca.Halo pembaca Dear Helva, tetap ikuti ceritanya yuk biar author semangat terus, nih. Boleh juga kasih kritik dan saran, ya. Terima kasih.
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta