Home / Romansa / Dear Helva / 6.Perjodohan

Share

6.Perjodohan

Author: Syarah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. 

Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. 

“Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. 

Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. 

Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepuluh tahun, adalah masa di mana seorang anak butuh kasih sayang dan perhatian lengkap dari keluarga. Namun, saat itu, takdir seolah ingin menunjukkan bahwa ada yang lebih berkuasa atas hidup. 

“Maaf, belum bisa bahagiakan Mama, Yah. Tapi aku berusaha untuk melakukan yang terbaik, mempertahankan apa yang kita miliki sekarang,” gumamnya dengan pandangan yang tertuju pada sosok ayah dalam bingkai, di atas bupet. Ada beberapa pigura di sana, termasuk dirinya. 

Diusapnya perlahan sosok pria yang tersenyum hangat dengan tatapan penuh kasih sayang. Helva merindukannya, selalu. Namun, sekali lagi, takdir ingin dia berjuang untuk mencari cara agar bisa bertahan. 

Krek. 

Suara pintu yang terbuka membuat Helva buru-buru mengais tetesan air matanya dan menoleh lalu tersenyum begitu melihat sang ibu datang.

“Udah selesai?” tanya Helva mendekati sang ibu yang tampak tersenyum, menyembunyikan gurat lelahnya. 

“Ya, sudah. Adikmu mana?” tanyanya setelah mendudukkan diri di sofa sederhana itu. 

Helva mendekat dan duduk di samping wanita yang telah melahirkannya dengan penuh perjuangan itu, lalu memijit bahu sang ibu. 

“Tadi katanya ngantuk, makanya tidur dualuan. Udah nyenyak dia,” jawabnya. 

Senyum hangat penuh keibuan itu tersunging, menganggukkan kepala sambil menikmati pijitan Helva yang bercerita bagaimana kesehariannya sebagai mahasiswa baru, dan mengabarkan kalau dia resmi menjadi mahasiswi mulai besok. Sang ibu tersenyum, ikut bahagia dan menanggapi celoteh ringan dari Helva. 

Meski tak lagi ada sosok pria yang memimpin keluarganya, ibu teta bersyukur karena dikaruniai anak yang begitu berbakti. 

“Oh iya, Ma. Aku besok pulang telat, ada yang harus kukerjakan,” ujar Helva. Dia menghentikan pijatannya dan duduk bersila di samping sang ibu. 

“Apa yang kamu kerjakan itu?” tanya Heni, ibunya Helva. 

“Ada saja,” balas Helva dengan gelagat yang aneh. 

Tatapan itu menelisik seolah bisa menangkap gelagat anaknya itu, tapi kemudian memilih tersenyum daripada membuat keresahannya semakin banyak. Ada hal yang harus disampaikan juga pada Helva. Usia gadis itu delapan belas lewat, jadi sudah semestinya mengerti apa yang akan dikatakannya itu.

“Helva,” panggilnya lembut sambil memosisikan diri menghadap putri sulungnya itu. 

“Hm.” Helva membalas. 

Heni meraih tangan Helva setelah menatap lamat putrinya itu. Mengusap pelan punggung tangannya, memberi kehangatan. Apa yang hendak disampaikannya seolah sulit, maka Heni memilih diam beberapa saat, berpikir apa yang harus dia sampaikan.

Helva memperhatikan sang ibu yang menundukkan kepalanya, mengusap tangannya lembut. Dia tahu ada yang ingin disampaikan Heni tapi tetap diam agar sang ibu leluasa mengungkapkannya.

Setelah puas diam, Heni akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Helva lamat. 

“Helva, tolong dengarkan Mama, ya, dan jangan marah,” ucapnya lembut. 

“Iya, Ma. Ada apa?” tanya Helva mulai penasaran juga dengan apa yang akan dikatakan ibunya. Dilihat dari raut wajah wanita itu yang tampak serah, Helva mulai merasa tidak enak. 

“Kamu … sebenarnya,” ucapan Heni terpotong, kesulitan untuk menyampaikan. 

“Ada apa, Ma?” 

Tatapan Heni tertuju pada putrinya, jelas ada yang mengganggu pikiran ibunya. Heni sendiri menelan ludahnya, membasahi kerongkongan agar bisa mengatakannya dengan baik.

“Sebenarnya, kamu … telah ditunangkan,” ucap Heni sambil menutup matanya. 

“Apa?” Bukannya terkejut karena marah, Helva bingung, tak paham dengan maksud sang ibu. “Apa maksud Mama?” tanyanya menuntut. 

Heni membuka matanya perlahan, kembali menatap sang putri. Menarik napasnya panjang, bersiap untuk menyampaikan selebihnya. 

“Kamu, telah di jodohkan dengan seseorang, Helva,” ungkapnya. 

Mata Helva mengerjap, terkejut. Di jodohkan? Hah, yang benar saja. usianya baru melewati Sembilan belas dua bulan lalu dalam keadaan jomlo, dan kini justru sang ibu mengungkapkan kalau telah di jodohkan? Ah, konyol sekali. 

“Mama ….”

“Ya. Mama tahu. Tapi ini saatnya kamu tahu, Helva. Usiamu sudah Sembilan belas, sudah waktunya Mama menjelaskannya.”

“Maksud Mama?”

Helva masih belum mengerti. Atas dasar apa dia di jodohkan dengan seseorang yang tak dia kenal? Ah, ayolah, ini bukan jaman Siti Nurbaya, kenapa harus ada perjodohan? Kuno sekali. 

“Kamu … telah di jodohkan dengan cucu sahabatnya Kakek, seseorang yang ditolong Ayah,” jelas Heni tapi tetap ambigu. 

“Mama bercanda, bukan? Tidak mungkin aku … M-mama pasti tahu, aku tidak ingin terikat dengan siapa pun sebelum menyelesaikan study,” kata Helva. Dia kebingungan, menyampaikan niatnya yang berulang kali dia sampaikan. 

Benar, Helva hanya ingin fokus dalam study dan meraih gelar sarjana lalu mendapat pekerjaan untuk menebus beberapa utang yang dibebankan pada keluarganya itu. 

Heni diam, dia tahu benar. Tapi, apalah dayanya bila perjanjian itu telah melekat di atas sebuah kertas putih. Tak bisa dielakkan lagi, tak bisa di gugat juga meskipun tak memaksa pihaknya. Namun, sebagai penghargaan dan niat baik dari sahabat kakeknya Helva. Mata Heni terpejam kala ingatan tentang sosok itu yang berlutut di hadapannya, memohon segala hal yang telah terjadi, mulai dari penyelamatan, lalu pengorbanan, dan janji. 

“Mama, kenapa diam? Katakan sesuatu untuk membatalkan perjodohan itu. Aku tidak mau, Ma. Aku sungguh tidak siap terikat dengan seseorang,” kata Helva mengguncang tubuh sang ibu yang hanya mampu diam. 

“Mama tau, Helva, Mama tau. Tapi, Mama tidak bisa membatalkannya,” aku Heni. 

“Tidak mungkin! Bagaimana bisa tiba-tiba aku di jodohkan padahal sama sekali tidak ingat apa pun tentang masa kecil setelah Ayah pergi,” ceracau Helva. Dia menangkup wajahnya, mengacak rambut bingung dan sulit untuk menerima kabar itu. 

“Helva, dengarkan Mama,” ucap Heni. Berusaha untuk menjelaskannya lagi pada Helva tapi gadis itu menolaknya dengan menepis tangan sang ibu. 

“Aku tidak mau dengar. Tolong jangan paksa aku, Mama! Aku tidak mau.” Helva menolak penjelasan Heni. 

Siapa yang bisa menerima pernyataan mendadak seperti itu? Siapa yang bisa menerima kabar itu? Rasanya dunia telah runtuh begitu mendengar perjodohan atas dirinya. Oh Tuhan.

“Mama tidak punya pilihan dan tidak bisa menolaknya. Tapi kamu bisa,” ujar Heni dengan suara yang sedikit meninggi agar menembus tameng di telinga Helva yang menolak mendengarkan keelanjutan penjelasan ibunya.

Helva terdiam, mencerna apa yang dikatakan ibunya barusan. Apakah itu berarti Helva bisa menolaknya bila ibunya tidak? Perlahan kembali menatap ibunya untuk memastikan.

“Benarkah?” tanyanya. 

Heni mengangguk dengan kedua mata yang tertutup, dan diam-diam air matanya lolos dari pelupuknya. 

Apakah memang bisa menolak perjodohan itu atau hanya sebagai pengalihan semata saja agar Helva mau mendengarkan apa yanh akan disampaikan Heni selanjutnya? Siapakah gerangan yang menjadi calon bagi Helva?

***

Yuk tetap baca bab berikutnya. Terima kasih, semoga suka.

Related chapters

  • Dear Helva   7. Kesempatan

    Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan

  • Dear Helva   1. Rencana Oma

    Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta

  • Dear Helva   2. Tiga Pangeran

    Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad

  • Dear Helva   3. Tanda Tangan Dewi Kematian.

    “Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a

  • Dear Helva   4. Sang Penyelamat.

    “Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n

  • Dear Helva   5. Di Balik Surat Wasiat

    Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay

Latest chapter

  • Dear Helva   7. Kesempatan

    Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan

  • Dear Helva   6.Perjodohan

    Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu

  • Dear Helva   5. Di Balik Surat Wasiat

    Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay

  • Dear Helva   4. Sang Penyelamat.

    “Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n

  • Dear Helva   3. Tanda Tangan Dewi Kematian.

    “Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a

  • Dear Helva   2. Tiga Pangeran

    Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad

  • Dear Helva   1. Rencana Oma

    Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta

DMCA.com Protection Status