“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.
“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.
Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.
“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.
Clalisa Mia, anggota panitia dari jurusan seni berserta tanda tangan yang meliuk mirip cambuk. Dia bahkan melemparkan buku itu ke Helva lalu melenggang dengan angkuhnya.
Helva hanya mampu terdiam melihat tanda tangan itu. Artinya, dia beneran tidak akan dapat poin apa pun selama OSPEK, bukan? Yah, tanda tangan Lisa tampak begitu merajai halaman bukunya, memperjelas bahwa dia sudah mati!
Maria mengusap lengan Helva prihatin. Bila Lisa sudah memberikan itu, artinya Helva tidak bisa selamat. Separah itukah?
“Yang sabar, Hel,” ucap Maria menghibur.
“Nggak apa-apa, kok, yuk, kita ke lapangan,” ajaknya berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya terasa sakit. Salah apakah dia sampai segitunya Lisa bertindak, padahal, selama ini, sekalipun tak pernah berhubungan dengan genk gadis itu. Tapi sekarang, apa yang akan terjadi padanya?
Sementara di sisi lain, seorang gadis yang juga mengenakan atribut OSPEK tampak menatap kasihan Helva yang murung. Dia juga tahu apa arti tanda tangan Lisa, dan tidak ada yang mau mendapatkannya. Namun, Lisa suka seenaknya tanpa alasan. Dia bergegas menghampiri Maria.
“Ria!” panggilnya dari belakang. Maria menoleh. “Tungguin, dong,” ujarnya sambil mendekat dengan senyuman di wajahnya.
Gadis cantik dengan lesung pipi yang manis itu tak lupa menyapa Helva, bahkan memperkenalkan dirinya sebagai teman Maria.
“Kenapa wajahmu murung gitu, Helva?” tanyanya berusaha untuk mendapat jawaban meskipun dia sudah tahu apa yang terjadi.
Helva hanya menarik napasnya saja, tersenyum menanggapinya. Gadis itu namanya Desty.
“Nggak apa-apa, kok,” ucapnya sambil tersenyum seriang mungkin.
Tapi Maria tahu tidak begitu. Maria kenal baik Helva meskipun kebersamaan mereka masih terbilang baru. Tiba-tiba saja mata Maria berbinar, dia menatap Desty.
“Des, kamu bisa bantu, kan, ya?” tanyanya sambil menyentuh tangan Desty. Gadis itu menatapnya pun Helva. “Aku tahu siapa yang bisa menyelamatkan kamu, Helva,” ujarnya semringah.
Helva menatap Maria tak mengerti tapi gadis itu justru menatap Desty yang sepertinya menangkap maksud Maria dengan cepat.
***
Di sinilah ketiga gadis itu kini berada dengan tiga pria di hadapan mereka. Saling tatap, hanya Helva yang sama sekali tidak paham dengan rencana Desty dan Maria, mengapa membawanya menghadap tiga pria itu hanya untuk menyelamatkannya.
“Please, Kak, waktu kami nggak banyak,” buju Desty untuk kesekiannya.
“Memangnya kenapa dapat tanda tangan Lisa? Itu artinya lo udah tamat, jangan ngelak lo,” timpal salah satu dari mereka.
“Kak Martin pelit amat, sih, tega bener jadi senior,” kata Desty.
Martin, pria yang disebutkan Clara sebagai pangeran ketiga itu mendesah tak percaya dengan tanggapan Desty. Dih, mentang-mentang gadis itu dekat malah berlaku tidak sopan.
Bukannya ikut membuju tiga pria itu, Helva justru mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut bangunan yang disulap menjadi sebuah ruangan mirip kamar. Dari Maria dia akhirnya tahu kalau itu markas tiga pangeran.
“Ayolah, Kak, bisa, kan, ya?” Destu membali membujuk, bahkan memegangi tangan salah satu dari mereka yang sejak tadi hanya menampilkan wajah dasar.
“Dia udah dapat tanda tangan dewi kematian, memangnya siapa yang bisa selametin dia? Dewi Fortuna? Jangan gila kamu, Des,” ujar Martin tetap tidak sependapat dengan pemikiran Desty.
“Aku minta bukan ke Kak Martin jadi mending diem aja, deh,” balas Desty ketus. Martin melotot tak terima.
Mengetahui itu tidaklah mudah, Helva akhirnya angkat bicara dan membujuk Desty.
“Udah, Desty, nggak apa-apa, kok. Kita balik aja, yuk, datang tepat waktu lebih baik dari pada ini,” katanya.
“Nah betul! Lo tahu juga. Di sini cuma buang-buang waktu saja, jadi mending, sana, balik.” Martin tampak senang dengan pemikiran Helva berbeda dengan dua temannya yang tetap diam.
“Kak Martin jahat amat, sih.”
“Udah, Desty, nggak apa-apa, kok.” Helva membujuk Desty untuk pergi saja dari sana, bahkan meminta Maria untuk menunjukkan jalannya setelah membujuknya.
Helva berhasil membujuk Desty karena dua pria itu hanya diam saja, hanya Martin yang menolak keras menandatanganinya.
“Ayolah, Kak, sekali ini aja bantuin aku, ya.” Desty kembali lagi dan memohon pada pria dengan raut wajah dingin itu.
Hanya seraut wajah datar tanpa ekspresi apa pun, bahkan menatap Desty tajam yang membuat Helva jadi merasa bersalah mengira tatapan itu adalah penolakan. Helva tidak tahu siapa pria itu, apa hubungan antara Desty dengan mereka.
Pria dengan postur tubuh yang tinggi itu bangun dari duduknya meraih tangan Desty agar berdiri tapi tak mengatakan apa pun lalu menghampiri Helva yang hanya mampu terdiam, mulai gugup dengan tatapan itu.
Apa yang akan terjadi padany sekarang? Salah apa dia sampai tidak beruntung di hari terakhir masa osientasinya sebagai mahasiswa baru, padahal, sejauh ini tidak terlibat masalah dengan siapa pun, dan Helva tidak mengerti itu.
Sepertinya dia memang tidak tahu apa pun tentang kampusnya sekarang. Dia hanya bersyukur bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi meskipun bukan di kampus idamannya. Mendengar ada yang mampu membiayainya saja dia sudah lebih dari bersyukur, bahkan, terbesit dalam benak untuk membalas kebaikan orang tersebut. Namun, sepertinya masa perkuliahannya tidak akan semulus itu. Mungkinkah takdir telah tergariskan sebuah kehidupan yang penuh liku untuknya? Entah, yang pasti, Helva tidak mengetahui apa pun.
Ah, Helva akhirnya ingat pria itu, yang terakhir disebutkan oleh Clara. Namanya, mata Helva terpejam sesaat untuk mengingat sosok yang kini berdiri tepat di hadapannya. Harri Steven!
Tubuhnya kaku kala tatapan itu semakin menusuk padanya. Dalam hidupnya, Helva selalu menghindari masalah, berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlibat dengan siapa pun, tetapi, justru masalah yang menghampirinya, membuat gadis itu mau tak mau terlibat.
“Helva … nama lo?” tanyanya dengan nada dingin.
Helva mengangguk kaku, mengiyakan pertanyaan pria itu yang membaca namanya di papan nama terbuat dari kertas karton.
Tangan Steven terulur ke hadapannya dengan tatapan yang masih menusuk tepat pada manik Helva yang hanya mampu bergeming, terpaku pada sosrot tajam itu tanpa menyadari apa yang dilakukan Steven.
Namun, baik Steven ataupun Helva tidak menyadari bila takdir telah bekerja.
****
Terima kasih sudah baca, semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejaknya.
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta