“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.
Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.
“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.
Harri Steven, Ekonomi.
Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.
Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.
“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, nama yang cantik. Semoga beruntung,” ucapnya sambil tersenyum dan mengembalikan buku itu pada pemiliknya.
Sekali lagi, Helva melihat siapa yang menggoreskan tinta pada bukunya.
Jodi Alianda, The Prince, kedokteran.
“Ish, oke, oke, gue ngalah,” ujar Martin dengan kesal saat Jodi memberikan kode padanya untuk ikuti apa yang dia lakukan. “Menyebalkan!” gerutunya, merebut buku di tangan Helva lalu meninggalkan capnya.
Martin Septian, The Prince, Economic.
Setelah itu Martin memberikannya pada Helva.
“Jaga itu baik-baik, lo selamat, jangan harap bisa selamat dari gue,” katanya.
Desty memberikan jempolnya pada Martin yang berlalu, dia tetap kesal karena dua temannya memilih menyelamatkan Helva.
“Terima kasih,” ucap Helva tulus. Hanya Jodi yang menanggapinya dengan baik, tersenyum pada Helva, berbeda dengan Steven yang tetap dingin tanpa ekspresi. Martin? Yah, dia enggan berada di sana, menenggelamkan dirinya pada permainan sambil membaringkan tubuh di sofa.
Ketiga gadis itu kemudian keluar dari ruangan dengan perasaan lega, bahkan Desty tertawa senang karena bisa membantu Helva.
“Untunglah,” desah Desty. “Kamu selamat, Hel,” ucapnya kemudian. Helva mengangguk.
“Terima kasih, ya, Desty, Ria,” ucapnya.
“Nggak apa-apa selama kamu bisa selamat. Lain kali kalau ada butuh bantun, jangan sungkan padaku, ya,” kata Desty. Maria mengangguk lalu mereka tos.
“Udah, yuk, buruan, entar telat deh, kena hukuman kita,” ajak Maria. Helva dan Desty mengangguk.
Namun, di tengah jalan, mereka bertemu dengan seorang mahasiswi yang tampak begitu cantik membuat langkah tergesa mereka kembali terhenti.
***
“Kalian lama sekali!” seru pantia menyambut kedatangan Helva, Desty dan Maria.
“Maaf, Kak, ada sedikit masalah,” ucap Desty menjawab.
“Ah, alasan,” timpal Lisa yang terlihat di antara para panitia, bahkan tersenyum puas melihat Helva.
“Kalian terlambat lima menit, hukuman sit up.”
Mau tak mau ketiganya melakukan apa yang diperintahkan demi mengurangi hukuman lainnya. Beruntung hanya disuruh sit up meskipun hitungannya sampai lima putuh, dan lagi yang memerintah bukanlah Lisa.
Mereka berhasil melaksanakan hukuman dengan disaksikan banyak orang, berhitung bersama.
“Oke, cukup.” Handi mengambil alih, memerintahkan ketiganya untuk ikut duduk saja. pemeriksaan tandatangan baru dimulai.
Satu persatu mereka memberikan bukunya untuk diperiksa. Helva terdiam tegang di tempatnya meskipun Maria dan Desty menyemangatinya, tetap saja dia gugup, khawatir. Dia dengan jelas menyaksikan tatapan tajam dari Lisa yang bagi Helva sendiri, tidak tahu apa salahnya, mengapa harus berhadapan dengan dewi kematian itu?
“Berikutnya,” suara panitia yang bertugas memanggil terdengar dan berikutnya adalah Helva.
Lisa tersenyum sinis dan puas menatap Helva, mengira dia sudah taman.
“Apaan ini?” ujar Rindi, mahasiswi panitia yang pertama memeriksa buku Helva. Pandangan Rindi mengarah ke Lisa yang diam dengan santai. “Lo tanda tangan di sini, atas dasar apa, Sa?” tanyanya.
Bola mata Lisa memutar. “Yah, suka-suka gue lah, dia yang minta,” katanya yang membuat Maria bereaksi, dia jelas menyaksikannya sendiri kalau Lisa mengambil paksa buku dari Helva.
Rindi hanya menghela napas lalu menggeleng.
“Lo emang hebat, bukannya dimatikan tapi lo yang matikan dia,” kata Rindi. “Tanda tangan lo cuma ada hitungan jari, tapi tak apa, bagus itu.” Dia menuliskan tanda tangannya di halaman buku yang lain sebagai tanda bahwa Helva sudah mengikuti masa OSPEK.
Buku Helva kini beralih tangan ke panitia lain untuk mendapatkan tanda tangan lagi. Sama seperti Rindi, panitia lain pun ikut terkejut melihat buku Helva sampai membuat mereka berkerumun.
“Buat dapat tanda tangan ini nggak mudah. Lo emang hebat, jadi selamat,” ujar salah satu panitia.
“Apanya yang selamat, ada tanda tangan gue di situ. Harusnya kalian nggak tanda tangan lagi, kan, dia udah tamat,” kata Lisa sambil mendekat kesal melihat kerumunan para panitia itu.
“Lo yang udah tamat, harusnya jangan sembarangan. Memangnya kenapa lo sampe ngasih tanda tangan ke dia segala padal dia gak minta,” cerca Rindi menatap Lisa tak suka. Lisa justru berlalu sombong.
“Yah, gue suka-suka juga dari dulu. Lagian dia bikin gue eneg.”
“Cuma karena satu perhatian, lo udah sensi. Harusnya lo tahu, Handi bukan cuma lakuin itu sama dia, tapi juga pada peserta lain, jadi buka mata, jangan hanya jadi pajangan. Lo kira gue gak tau,” tutur Rindi.
“Memangnya apa masalah lo, hah?” Lisa tersulut, menatap Rindi marah.
“Udah, udah, kalian dewasalah, malu sama anak kecil,” lerai panitia lain. “Lo memang nggak mikir, Lis. Liat aja sendiri, lo yang tamat,” lanjutnya sambil memberikan buku Helva pada Lisa.
“Apaan ini?”
“Lo tanda tangan di situ sebagai panitia, bukan dewa kematian, ngerti gak, lo?”
Lisa akhirnya melihat buku Helva di mana ada tanda tangan kematiannya yang tertulis besar. Dia jelas terkejut melihatnya.
“Apa-apaan ini?” ujarnya tak terima. Tatapannya tertuju pada Helva, pun dengan yang lainnya. “Lo dapat ini dari mana, heh? Jangan bilang lo ngerayu,” tuduhnya.
“Nggak,” sahut helva spontan.
“Lo berani jawab?” tatapan tajam Lisa menusuk.
Helva hanya bisa diam melihat kemarahan Lisa hanya karena dia dapat empat tanda tangan tambahan di antara cap Lisa sebagai dewi kematian, yang menurut banyak mahasiswa, bila dia sudah menggoreskan tinta di atas putih dengan lambang kematian, maka dia akan dijauhi. Namun, ada empat tambahan lagi, tiga dari para pangeran itu, dan satu lagi, seseorang yang berkedudukan tinggi di atas Lisa, dan dikenal sebagai kebalikannya.
“Kakak jangan asal nuduh. Aku yang memaksa Helva buat minta tanda tangan itu, kecuali Kak Selmi, dia menawarkannya sendiri,” terang Desty membela Helva.
“Selmi?”
Seketika para peserta berbisik-bisik mendengar nama itu. Bahkan para panitia hanya diam saja, membiarkan Lisa kelimpungan sendiri, tak terima dengan kehadiran satu tanda tangan pamungkas yang menggeserkan cap miliknya.
Selmi, adalah sang penyelamat Helva selain tiga pangeran itu.
Namun, siapakah itu Selmi? Helva tidak tahu karena belum sempat mendengar banyak hal tentangnya, pun tadi tak sempat mengetahui siapa dia sebenarnya. Yang pasti, berhasil membuat Lisa kesal bukan main, bahkan dia pergi begitu saja usai melempar buku Helva.
***
“Jadi itulah sebabnya kalian lama?” tanya Clara. Maria mengangguk. “Wah, gue nggak nyangka banget Kak Lisa gitu amat,” katanya yang diangguki Maria dan Desty.
Helva bertanya siapa Selmi pada Clara, dan dia menjelaskannya.
Selmi Pratami, adalah mahasiswi dari fakultas sejarah, dengan nilai IPK yang tinggi, lalu terpilih menjadi Presiden Mahasiswa. Bukan hanya dikenal ramah dan baik, Selmi tak pernah membedakan teman, bahkan kekuasaannya mengalahkan keangkuhan Lisa, itulah sebabnya gadis itu tampak begitu marah saat nama Selmi terdapat di atas nama Lisa.
“Kabarnya, mereka tak pernah akur, bagai air dan api,” jelas Clara menggebu. “Lo beruntung ketemu Kak Selmi dan nyelametin lo dari hukuman berat hanya karena satu tanda tangan nenek sishir.”
Mendengar penjelasan Clara, Helva kembali berterima kasih pada Desty dan Maria, tak lupa juga pada Clara karena dengan bantuan mereka dia terhindar dari hukuman dijauhi. Namun, Lisa memang salah kali ini, tak seharusnya menggoreskan tinta kemarian tanpa alasan. Para panitia pasti tahu kalau Helva sama sekali tak memiliki riwayat lain selama penerimaan mahasiswa baru berlangsung, bahkan, dia yang terbaik.
Pandangan Helva tertuju ke depan, pada sosok berpostur tinggi dan tegap yang berjalan ke arah parkiran, dalam hati, dia berterima kasih padanya, Harri Steven, sang penyelamatnya. Kalau saja pria itu tidak menggoreskan tintanya terlebih dulu, Jodi dan Martin tidak akan mungkin ikut menggoreskan pena untuknya.
Namun, semua belumlah dimulai, kisah mereka.
***
Terima kasih sudah baca, semoga suka.
Yuk, tinggalkan jejaknya supaya author semangat.
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
Bukannya merespon dengan senang atas perkataan ibunya kalau dia bisa saja menolak. Apa yang membuat Helva diam adalah raut wajah sang ibu yang terlihat begitu mendung seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Helva kemudian berpikir, apakah ada sesuatu yang tak disampaikan ibunya selain perjodohan? Jujur, dia sama sekali belum siap terikat dengan siapa pun, dan ibunya pasti tahu itu. Dia hanya ingin fokus pada study dan mimpinya tanpa harus terikat dengan siapa pun. “Maafkan aku, Ma. Aku, sungguh tidak bisa menerima ini,” ungkap Helva akhirnya. Dia tak bisa mengambil keputusan hanya karena ada sebuah cerita rahasia di balik perjodohan itu. Heni menatapnya, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian keedua tangannya meraih tangan Helva, menggenggam dan mengusapnya lembut, menyalurkan kasih sayangnya pada anak sulung. “Tidak apa-apa, Mama mengerti, Helva. Itu pilihanmu, jadi jangan merasa terbebani. Mama hanya menyampaikan apa yan
Helva baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Sang ibu sedang sibuk di bawah, melayani pengunjung yang hedak makan di rumah makan sederhananya. Setidaknya mereka bisa bertahan hidup dengan itu. Biasanya Helva juga suka membantu, tapi hari ini ibu meminta untuk istirahat saja karena ada yang ingin disampaikan. Dia adalah gadis rajin dan sederhana. Usai makan dia mencuci bekasnya sendiri, membereskan apa pun sebagai pengusir bosan meski kenyataannya rumah itu selalu dalam keadaan rapi dan bersih. Senyuman hadir begitu menatap sebuah bingkai yang tergantung di dinding. “Ayah, aku rindu,” ucapnya pelan. Foto itu telah lama tergantung, saat Helva masih terbilang anak-anak, bahkan adiknya masih kecil saat itu. Ada kakek dan nenek juga di bingkai yang tergantung, saat bahagia yang dia rasakan. Perlahan, air matanya turun lewat sudut pelupuk, menetes ke tangannya. Siapa yang tidak merindukan keluarga yang lengkap? Usia sepulu
Steven membaringkan tubuhnya di kasur, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Dia tak menggubris ketukan di pintu, hanya nggan meneruskan percakapan yang menurutnya tak penting, hanya akan membuatnya bimbang. Dia tidak terima, jelaslah, menurutnya, sistem perjodohan itu terlalu kuno.Namun, sebuah bayangan seraut wajah membuatnya terdiam. Dia mendudukkan tubuhnya, heran dengan pikirannya, mengapa tiba-tiba ingat dengan wajah gadis itu.“Helva Anriani,” gumamnya dengan kedua alis yang tertaut. “Sejak kapan aku bisa mengingat nama seseorang dalam sekali pertemuan, bahkan ingat namanya dengan lengkap,” katanya tak mengerti. “Astaga, sudahlah.”Dia bangkit dari kasurnya, jemarinya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja, memamerkan perut kotak-kotak yang tercetak jelas. Sepertinya dia rajin olahraga. Steven melangkah ke kamar mandi, berguyur di bawah air shower yang mengalir deras sambil memejamkan matanya.Bay
“Gue bakal ingat nama dan wajah lo sebagai gantinya,” ujar Steven sambil memberikan buku pada Helva.Helva menatap buku di tangan Steven dengan raut wajah terkejut. Bagaimana bisa pria itu memegangnya kini padahal dia sama sekali tak lagi mengeluarkan bukunya, tetapi, apa yang telah dilakukan Steven.“Lo, pergilah, itu udah cukup,” kata Steven sambil berbalik membelakangi Helva yang terpaku pada bukunya, terdapat tanda tangan di atas tanda tangan Lisa, si dewi kematian.Harri Steven, Ekonomi.Hanya itu, tanpa embel-embel panggilannya sebagai pangeran, simple sekali.Desty dan Maria bergegas menghampiri Helva yang masih menatap nama Steven yang tertulis rapi di bukunya. Dia tidak tahu apa artinya.“Saya juga, ya,” suara bass seseorang terdengar, kemudian buku Helva sudah diambil alih, dia mengangkat wajahnya. “Helva, n
“Maaf, Kak, kami harus pergi, udah disuruh kumpul,” ujar Maria berusaha untuk tidak berurusan dengan Lisa. Tangan Maria dan Helva saling menggenggam.“Nggak semua itu. Lo kira gue mau? Jangan mimpi ya,” timpal Lisa garang yang membuat kedua gadis itu tak bisa membantah, hanya berharap dalam hati ada seseorang yang datang menyelamatkan.Namun, sepertinya itu hanya harapan kosong karena berikutnya salah satu teman Lisa mengambil paksa buku mereka lalu memberikannya pada gadis itu. Helva ingin protes rapi dibungkam salah satu dari mereka, pun dengan Maria.“Punya lo aman,” katanya setelah melihat buku Maria yang isi tanda tangannya berbeda dari Helva. Seringai Lisa muncul kala akhirnya dia mendapati satu tanda tangan yang dia cari. “Tapi lo … sayang,” ujarnya dengan dramatis lalu membubuhkan tanda tangan dengan tanda kematian di sana.Clalisa Mia, a
Suara riuh itu menggema di lapangan parkir kala sebuah mobil hitam berhenti dengan anggun. Dari kejauhan suara teriakan histeris para gadis nyaris memekakkan telinga, hanya satu orang yang terbengong-bengong melihat kehebihan itu.“Ada apaan, sih, berisik sekali?” tanyanya pada temannya, sepertinya tidak hanya dia yang tidak peduli pada histeria yang terjadi itu.Gadis dengan atribut yang rame itu tampak menoleh lalu mengedikkan bahunya, mengatakan kalau tidak tahu juga. Mereka adalah mahasiswi baru yang hendak melakukan ospek. Topi yang terbuat dari bola berbahan plastic dibelah dua lalu diikat dengan rapia. Tas dari karung goni dengan tali rapia berwarna pink untuk mahasiswi dan biru untuk pria. Mereka mengenakan baju hitam putih dengan dandan yang menggambarkan hewan, ada tikus, kucing, dan lainnya tergambar di wajah mereka. Sepasang sepatu yang berbeda, pun dengan kaos kaki yang berbeda pula.Histeria pad
Di sebuah rumah besar nan megah, seorang pria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar. Dia mengenakan jam tangannya sebagai sentuhan yang terakhir kemudian berjalan menuju pintu dan keluar setelah membukanya perlahan.Berjalan dengan pelan, wajahnya tetap datar seolah minim ekspresi. Tidak ada yang dia lakukan selain berjalan dengan santai, menuruni anak tangga lalu menuju ke sebuah ruangan, di mana keluarganya sudah menunggu. Dia membuka pintu lalu masuk, menyapa para penghuni yang sudah menunggu kedatangannya.“Selamat pagi, Harri,” sapa seorang waita tua tetapi masih terlihat segar bugar dengan rambut yang memutih sebagian itu disanggul elegan.Harri Steven, nama pria itu. Dia hanya mengangguk sekilas tanpa memberikan senyuman, sungguh dia seolah tak punya urat senyum. Ekspresinya selalu datar dan dingin, semua orang di ruangan itu sudah tahu dan terbiasa karena ta